Wednesday, September 10, 2014

Semua Tentang Rindu

New world, new step, new hope.

Men, ninggalin kehidupan lama itu ga segampang yang gue kira. Gue sering ngedenger cerita gimana beratnya merantau, meninggalkan orang-orang yang kita cintai, entah itu orang tua, sahabat, pacar ataupun mantan yang tak lekang oleh waktu (cie gitu). Gue ngerasain pada saat ortu gue serta kekasih gue berdiri berdampingan di sisi rel kereta. Menanti waktu keberangkatan kereta. Menanti melihat orang yang mereka sayangi menjauh, lalu hilang dari pandangan.

Problema pasangan korban LDR pertama kali adalah 'takut kehilangan'. Jujur, gue mengalami hal itu. Hampir tiap hari pikiran gue selalu terfokus pada, "kira-kira pas gue pulang nanti, dia masih sama gue gak ya?..". Maklum, gak biasa, sob. Di moment seperti ini, posisi pacar kadang di atas keluarga, karena gue berpikir saat gue pulang, keluarga udah pasti nyambut gue dan ada buat gue tapi pacar? Hmm... Belum tentu tangannya masih terulur untuk gue.

Seandainya jarak tiada berarti
Akan ku arungi ruang dan waktu dalam sekejap saja
Seandainya sang waktu dapat mengerti
Takkan ada rindu yang terus mengganggu
Kau akan kembali bersamaku

Asu, kebawa suasana.

Kembali ke rantauan, ya, gue kini ada di kota pelajar. Dengan tujuan menimba ilmu demi masa depan dan keluarga. Gue di sini atas kemauan gue pribadi. Bukan karena sengaja ingin menjauh dari ortu, tapi karna ada panggilan dari kota ini yang mengharuskan gue untuk menempatinya. Dunia pendidikan yang baru sedang gue jalani, bersama suasana baru, kota baru dan teman baru tentunya. Ini semua mengharuskan gue untuk cepat beradaptasi dengan hal-hal baru tersebut dari awal. Semua yang dari titik nol tidaklah mudah. Sama halnya dengan korban friend zone yang sedang berusaha keluar dari zona itu dan harus memulai semua dari awal. Trust me, itu susah banget.

Jauh dari rumah ngebuat gue, anak yang kadang cuek sama ortu, sekarang jadi lebih care dengan keadaan di rumah. Beberapa hari sekali gue minta nyokap buat nelfon (iya, gue ngirit), dan gue selalu nanya, "mah, gimana kabar rumah?", nyokap gue selalu jawab, "rumahnya masih gini-gini aja kok, baik-baik aja." Beliau ngomong gitu sambil ketawa. Damn! I really miss her laugh. Pada momen itu pikiran gue terbang ke rumah, berada di dekat mereka, berkumpul di ruang TV yang diisi dengan percakapan konyol keluarga. Gue yakin, setiap keluarga punya cara sendiri untuk menghangatkan suasana dan begitu cara kami untuk membuat pikiran salah satu dari kami tetap di rumah walaupun raga terpisah ratusan kilometer.


Fix, gue kena home sick.


Mungkin gambar di bawah ini bisa menjelaskan semuanya.





Mungkin di sini ada sepuh rantauan yang lagi kesasar sampe akhirnya masuk ke blog antah brantah ini. Gue yakin tiap perantau pernah ngerasain saat-saat seperti ini, entah itu dalam skala kecil ataupun besar. Gue juga yakin tiap dari mereka punya caranya sendiri untuk mengatasi hal ini, mungkin ada yang sama sekali ga nunjukin, padahal di dalam dirinya dia sangat rindu rumah, ada yang curhat ke temennya sampai ada yang nulis di blog. Pokoknya macem-macem deh.


Untuk anak rantau, kita, di tempat kini kita berpijak, ingatlah pada alasan kenapa kita ke sini. Ingatlah tujuan kita pertama kali. Ingatlah pesan orang tua kita ketika kita mencium tangannya sebelum berpisah. Doa mereka tak terhalang oleh jarak, men. Untuk kalian yang kini merasakan hal yang sama dengan gue, show if you miss them. Jangan gengsi buat bilang, "mah/pah, aku kangen". Percaya bahwa mereka menantikan kita untuk menghubungi mereka dengan cara seperti itu. Untuk kamu yang aku tinggalkan, yakinkan pada diri masing-masing akan tiba saatnya ketika aku memelukmu erat dengan air mata rindu. Dan untuk gue pribadi, semoga bisa bertahan dengan kondisi ini serta sukses dalam long distance fuckin' relationship-nya. Satu lagi, semoga kalo mau nyeramahin orang lain, harus sadar diri dulu, ya, Di.


Ah, mungkin cukup sekian dari gue kali ini. Itu sebagian kecil dari perasaan rindu gue akan kota tercinta yang di dalamnya ada orang-orang yang gue cintai pula. Gue pamit undur diri, ya. Wassalam!