Friday, April 3, 2015

Chapter I - The Difference

Lucu bagaimana perbedaan bisa membuat dua insan manusia bersatu. Menjalin hubungan dengan dasar perbedaan pendapat hampir di semua aspek. Kegelapan, merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang sering kita perdebatkan. Gue benci kegelapan, sedangkan dia suka menyendiri dalam gelap. Gue nggak bisa tidur dalam keadaan lampu mati, sedangkan ia mudah masuk ke alam mimpi saat pejaman mata pertama dalam ruangan tanpa cahaya.

“Nanti kalau kita nikah, pas tidur lampunya harus dimatiin ya!” Merupakan kalimat yang sama yang selalu ia ulang ketika ‘gelap’ sudah masuk topik pembicaraan kita. Gue setuju? Tidak semudah itu.

"Enak aja! Kamu kan tau aku nggak bisa tidur kalau gelap!”

“Iiih! Egois! Pokoknya matiin lampu! Titik!”

“Kamu juga egois! Kalau aku gak bisa tidur, nanti kerjanya lemes, terus gak konsisten pas kerja, dilihat bos terus aku dipecat, nanti kamu dapat penghasilan dari mana?!”

“Kamu lebaay! Le-bay! L-E-B-A-Y! LEBAY!!” Satu jeweran mendarat di telinga kanan gue. Oke, tadi memang terlalu jauh. Beginilah kita, selalu memperdebatkan hal yang belum terjadi dan bahkan belum tentu juga gue dan dia bisa terus bersama sampai sejauh itu. Sebenarnya gue dan dia sudah tau solusi dari perdebatan ini, kita setuju andai kejadian di atas terjadi saat kita menikah nanti, kita akan menggunakan ‘lampu tidur’. Yah, walaupun tidak seterang neon, setidaknya cukup untuk menerangi daerah sekitar tempat tidur. Tapi entah kenapa saat perdebatan yang sama terulang, sulit untuk memberi tahu bahwa kita sudah punya solusinya.

Mesikpun peringatan bahaya tidur dengan lampu menyala sudah banyak di dunia maya, gue tetap berpegang kepada pendirian gue. Oh iya, nama gue Andre, gue hanya seorang pria biasa yang sedang menjajaki dirinya menuju fase dewasa yang sesungguhnya. Hanya seorang pria yang menyukai Avenged Sevenfold (band heavy metal asal California, Amerika Serikat), penyuka segala bentuk olahraga dan pengindap banyak jenis phobia, termasuk flying-cockroachobia, yaitu fobia terhadap kecoa terbang yang gue ciptakan sendiri.

Berbicara mengenai pasangan, hubungan antara dua manusia dengan beda (atau mungkin sama) jenis kelamin. Apapun itu bentuknya, komunikasi merupakan satu fondasi utama dalam membangun hubungan spesial ini. Gue bukanlah seorang expert dalam bidang ini, namun setidaknya gue merasakan betapa besarnya faktor komunikasi, persamaan pendapat dan satu jalan pikiran, mampu meng-handle jalannya suatu hubungan. Seperti halnya gue dengan Laila, gadis yang sejak 2 tahun terakhir telah mengisi hari-hari gue, mewarnainya dengan indah senyumnya dan segala kesempurnaannya. Seorang hawa yang ngebuat gue semakin semangat dalam mendapatkan gelar, ST di belakang nama gue. Gadis yang membuat gue semakin cinta dengan kota yang dikenal sebagai 'kota pelajar' ini. Gadis berambut lurus sebahu yang hobi menggunakan beanie hat abu-abu ketika siang hari dan warna violet ketika malam. Seorang fanatik warna ungu, pecinta Panda, pemetik gitar akustik handal dan piawai dalam memainkan aksara. Saat pertama kali melihatnya di sebuah kafe di daerah Gejayan, dia berhasil mematahkan teori yang mengatakan bahwa pria hanya butuh 8,2 detik untuk jatuh cinta pada pandangan pertama, nyatanya, gue hanya butuh satu kedipan mata untuk meyakinkan bahwa, 'she's the woman that i looking for'.

Laila bukanlah contoh cerminan remaja masa kini, ia punya beberapa social media, namun ia hanya berteman dengan orang-orang yang ia kenal, bukan orang lain yang kenal dia. Bahkan, instagram Laila memiliki jumlah followers yang tidak lebih banyak dari 50 orang. Padahal ratusan orang lainnya menunggu approve dari dia karena Laila membuat akunnya menjadi private. Ia benar-benar memanfaatkan itu sebagai gallery maya-nya. Gue bersyukur karna tidak ada @peninggi_pelangsing_udahtinggi_pendekinlagi ditiap comment box profil dia.

Jujur, hari-hari gue terasa jauh lebih baik semenjak ada Laila, dan hubungan kita selama ini bisa dibilang luar biasa. Gue dan Laila memang terasa seperti satu hati, namun jalan pikiran kita layaknya air dan api, suatu hal yang sulit bersatu. Dia nggak suka junk food, gue seminggu 3x pergi ke restoran fast food. Gue suka Avenged Sevenfold, dia suka band indie, dua genre musik yang berbeda. Dia gak suka nonton film, menurutnya membaca novel jauh lebih menyenangkan, berselancar dalam imajinasi merupakan satu hal yang ia sukai, selain itu, menurutnya juga bisa merasakan perasaan yang dialami oleh tokoh utama, sedangkan gue rutin download film terbaru tiap minggu untuk gue tonton. Dia nggak takut dengan serangga, gue sangat benci dengan yang namanya kecoa.

"Kenapa kamu takut sama kecoa, sih? Itu kan makhluk kecil banget, ukurannya paling cuma se-flash disk," tanyanya ketika kita sedang menikmati malam dengan dua cangkir cappuccino latte digenggaman tangan masing-masing di kafe favoritnya dan menjadi favoritku semenjak pertama melihatnya. Mengambil meja dibagian pojok pada lantai 2 kafe itu. This is our favorite spot. Dengan kaca di sebelah kanan kita yang menyuguhkan pemandangan jalan besar dengan berbagai sorot lampu kendaraan tiap detiknya.

"Iya, tapi kalau dia udah ngeluarin sayapnya dia jadi lebih mengerikan daripada Godzilla yang tingginya 50 meter..... Awww! Sakit!" Telinga kanan gue kembali kena jewer, mungkin saat gue menikah dengannya nanti, gue akan mengasuransikan telinga gue ini.

"Kamu tuh lebaynya nggak ilang-ilang yah, Ndre," suaranya tenang. Ia tersenyum ke arah gue yang sedang mengusap-usap telinga hasil jewerannya. "Sakit? Sini aku yang usap," gue mengangkat satu alis gue dan dia mengeluarkan senjatanya, yaitu senyumnya yang menawan. Dia mendekatkan tangannya ke telinga gue, lalu ia mengusap dengan pelan dan... "LAILAAAAAA!!!" dia sukses ngebuat warna telinga gue beda dari warna kulit gue. Laila tertawa puas, seorang pelayan kafe naik untuk menanyakan apa yang terjadi, Laila mengatakan bahwa gak ada yang perlu dikhawatirkan. Sepertinya gue yang harus menghkhawatirkan masa depan organ luar tubuh gue.

---

Hubungan gue dan Laila memang bukanlah sebuah hubungan yang sempurna, tidak seperti seorang pageran dan putrinya di kerajaan ataupun cerita fairy tale lainnya. Hampir tiada hari yang kita lewati tanpa adu argumen. Dalam satu dan lain hal, kita selalu sukses membuat masalah kecil menjadi besar, namun mampu kita lalui meskipun dengan sedikit ego masing-masing. Ketika kita kembali mengingat apa yang tadi kita perdebatkan, gelak tawa menjadi yang pertama keluar dari mulut kita.

"Kita nih ya, masa gitu aja pakai ribut, hahaha"

"Iya, La, kamu lucu sih, yang begitu gak setuju sama aku,"

"Ah, kamu juga gituuu, suka ngga setuju sama aku, Ndre,"

"Kamu juga,"

"Kamu,"

"Kamu,"

"KAMU ANDREEEE!!!" Akhirnya kita berantem lagi.

Walaupun begitu, dia lah orang yang membuat gue kembali bermimpi. Membuat gue merasa mampu untuk melewati batasan cakrawala. Gue berani memastikan bahwa dialah tujuan gue untuk hidup. Membuatnya selalu bahagia merupakan target tertinggi bagi gue. Ketika mimpi itu telah berada diantara bara semangat, sebuah kalimat mampu meredamkan bara tersebut.

Februari 2015. Pagi hari yang disambut hujan deras beserta petir melanda Yogyakarta. Setelah cukup kuat untuk lepas dari medan gravitasi kasur yang kuat, gue mengambil handphone dan nama 'Laila Indrayanti' tertera di chat Line. Hanya satu pesan darinya, pesan yang lebih mengagetkan gue dari pada suara petir yang menyambar langit pagi Yogya.

'Ndre, i have to go....'


I'll never feel alone again with you by my side,
You're the one, and in you i confide

Avenged Sevenfold - Warmness On The Soul


to be continued