Hai, lama tak jumpa.
Maaf karena terlalu lama hilang. Banyak tekanan yang membuat gue jarang buka
blog, bahkan jarang nyalain laptop Tapi tekanan itu sekarang sedikit berkurang
sehingga gue ada kesempatan buat memindahkan isi pikiran gue ke sini. Gue akan
ngomongin tentang satu hal, yang mana sepertinya sudah ditakdirkan ada pada
tiap insan di bumi ini, patah hati.
Selamat membaca.
Gue percaya kalian yang
baca tulisan ini pernah merasakan hal yang sama, namun dengan sakit yang
berbeda. Dengan ceritanya sendiri dan dengan pelajarannya sendiri. Patah hati
sering dianggap sebagai salah satu bumbu dalam hidup, bisa membuat hidup lebih
baik ketika kita bisa mengambil hikmah darinya, namun bisa membuat lebih pahit
ketika kita tak urung menemukan bumbu lain yang bisa menutupi pahitnya rasa
sebuah patah hati.
Patah hati selalu
meninggalkan lubang besar dalam relung hati terdalam, yang bahkan satu-dua
kebahagiaan tak cukup untuk menutupi lubang tersebut. Jika kita melihat orang
yang sedang patah hati bahagia bersama temannya, belum tentu ia merasakan hal
yang sama apabila ia berada di kamarnya sendiri dengan kesendiriannya. Namun,
tidak bisa dipungkiri bahwa bahagia ialah obat dari patah hati. Mungkin saat
bersama teman dan mengunjungi tempat yang dulu pernah dikunjungi dengan orang
yang sempat kita sayangi, ada sebuah memori yang sebenarnya tidak ingin
diingat, tapi secara spontan muncul ke permukaan. Hal yang harus dilakukan
ialah terus tersenyum dan menikmati momen bersama teman tersebut, mungkin tiap
tawa yang terpancar di wajah ada hati yang terus teriris. Tawa yang sama namun
berbeda rasa. Bagaikan luka yang ditetesi alkohol, perih memang, tapi
percayalah, itu obatnya.
Selama hampir 20 tahun
gue hidup, banyak hal yang telah terjadi dalam hidup gue. Mencintai dan
dicintai. Menyakiti dan disakiti. Meninggalkan dan ditinggalkan. Keberhasilan
dan kegagalan. Begitu banyak pelajaran yang gue ambil dari semua pengalaman
itu. Hal bersifat positif-negatif kerap gue alami. Seperti yin dan yang,
semua itu diciptakan untuk keseimbangan hidup. Gue pernah nangis selama 2 jam
dari jam 12 malem sampe jam 2 pagi karena nama gue gak ada di pengumuman “murid
diterima” di SMA yang dulu sangat gue impi-impikan. Namun, satu minggu kemudian
gue diterima di salah satu SMA negeri terbaik di kota tempat gue tinggal.
Kebetulan, itu pertama kalinya gue ketirma di sekolah negeri atas usaha
sendiri. Di situ gue percaya, Tuhan punya cara sendiri dalam mengatur semesta,
menempatkan kesedihan dan kebahagiaan berdamipingan, menimbulkan senyum dari
wajah yang sempat lupa bagaimana caranya tersenyum. Mungkin disaat gue bahagia
dengan pengumuman diterimanya gue, ada puluhan atau bahkan ratusan anak lainnya
yang ingin ada di posisi gue, tapi sekali lagi gue percaya kalo Tuhan punya
cara-Nya sendiri. Gue percaya mereka menemukan kebahagiaan mereka sendiri yang
mungkin gak akan mereka dapatkan di tempat lain.
Begitu pula dalam
kehidupan asmara gue. Udah banyak cerita terjadi dan pelajaran yang gue ambil.
Dari jaman ‘cinta monyet’, sampe jaman: “monyet, pacaran terus lo!”. Dari jaman
bales-balesan komen di facebook, sampe akhirnya gue mikir kalo gak
perlu ngumbar hubungan, cukup gue dan dia saja yang tau. Dari jaman nembak cewek
harus nyari tanggal yang bagus, sampe mikir kalo tanggal bagus itu gak penting,
yang penting berapa lama hati gue menetap di hatinya. Tiga masa pacaran pertama
gue semuanya dimulai tanggal 1 dan merupakan tanggal bagus menurut gue, dulu
hal itu pernah gue banggain, sekarang gue berpikir kalo ternyata taraf
kebanggaan atas apa yang gue lakukan hanya serendah itu…
Banyak sakit hati yang
gue rasain selama ini, namun gue hanya merasakan beberapa kali patah hati.
Karena menurut gue patah hati dan sakit hati merupakan hal yang berbeda,
Pedihnya patah hati lebih dalam dari sakit hati. Jujur, gue benci keduanya.
Tapi tanpa keduanya gue gak akan jadi gue yang sekarang ini. Gue benci dengan
hadirnya dua elemen ini tiap gue memulai suatu hubungan. Tapi jika salah satunya
gak ada, mungkin gue gak akan sadar dengan banyaknya kebodohan yang gue
lakukan. Hal yang sebenernya kita benci, ternyata menuntun kita ke pribadi yang
lebih baik.
Seiring berjalannya
waktu serta bertambahnya usia, rasa sakit yang ditimbulkan akibat patah hati
semakin dalam meskipun sebenernya udah pernah kita rasakan sebelumnya. Misalkan
sewaktu gue diputusin pas SMP dulu-iya, gue yang diputusin-, saat itu ya, cuma
sekedar galau-galau najis biasa, mungkin kalo sekarang terjadi hal itu akan
terasa lebih berat. Perkembangan jaman juga membuat rasa patah hati yang
berbeda, dulu patah hati karena ditolak dengan alasan, “maaf kayaknya kita
temenan aja deh,”, lebih ‘mendingan’ dibanding alasan, “maaf,
aku udah nganggep kamu kayak om aku sendiri.' Loh?
Seperti yang sudah gue
bilang, tiap orang pernah merasakan patah hati dalam hidupnya-setidaknya sekali
seumur hidup. Sejatinya patah hati hanya mewariskan dua hal; kenangan dan
penyesalan. Dimana jika keduanya berkecamuk dalam diri akan melahirkan kepedihan
yang teramat dalam. Luka yang ditimbulkan oleh patah hati tak mudah diobati.
Butuh waktu yang tidak sebentar untuk dapat menutupi luka tersebut, itupun
hanya 98% yang dapat terobati, karena 2%nya adalah kenangan; yang tidak bisa
dilupakan, tetapi hanya tertimbun diantara jutaan memori lainnya, namun dapat
naik ke permukaan kapan pun ia mau.
Yogyakarta, kota dimana
gue menuntut ilmu, baru memasuki musim hujan. Musim dimana alam seakan mengerti
suasana hati beberapa manusia. Setiap sudut kota Jogja romantis, katanya. Bagi
mereka yang mempunyai pasangan, mungkin saat ini agak kesulitan untuk mengeksplore
kota Jogja lebih jauh, tapi buat mereka yang tengah dalam kepedihannya, hujan
seakan mengingatkan mereka tentang kenangan. Cukup berada di kamar sendiri
dengan hujan deras di luar, menangis tanpa takut terdengar yang lain, karena
hujan membantu menutup suara tangis tersebut. Hujan tak akan selamanya turun,
juga dengan tangis. Begitu hujan reda, tangismu mengikuti. Begitu matahari
kembali terlihat, di situ dirimu kembali tampil ceria