Friday, January 13, 2017

Emak

Kucing merupakan hewan peliharan yang lucu, menggemaskan dan (terkadang) ngeselin. Gue juga suka kucing, tapi keluarga gue bukan tipe keluarga yang suka memelihara binatang, terutama nyokap. Nyokap paling males kalau udah ngurusin hewan peliharaan, wong ngurusi dua anak laki-lakinya yang buandel aja udah ngribetin, apalagi ditambah hewan peliharaan.

Namun sekarang keluarga gue udah terbuka akan hal itu dan mulai menerima kehadiran kucing di rumah. Bukan kucing ganteng dan instagram-able yang followersnya lebih banyak daripada followers manusia lainnya, melainkan hanya kucing kampung biasa. Ya, dia kampung dan dia biasa.

Kehadiran kucing itu di rumah bukan ujug-ujug bisa diterima, khususnya oleh nyokap. Ada sejarah tersendiri dalam perjalanannya dan juga memerlukan proses yang panjang. Mungkin kali ini gue akan menceritakan bagian awalnya saja dan pada kesempatan lain gue akan bercerita tentang bagian lainnya.

Semuanya berawal saat gue masih SD, kurang lebih 10 tahun yang lalu..

Dulu, ada seekor kucing betina warna putih yang dateng ke rumah. Awalnya nyokap membiarkan dia yang dateng dengan seenak jidat. Tapi makin hari frekuensi dia datang ke rumah semakin sering. Mungkin ia berpikir bahwa ia sudah mendapat tempat tinggalnya. Dan nyokap ini emang perempuan tulen, beliau gak mau punya peliharaan di rumah, tapi tiap kucing putih itu dateng, beliau pasti ngasih makan. Sama seperti cewek yang bilang dia gak suka sama cowok yang lagi deketin dia, tapi kalau diperhatiin terus juga senyum-senyum sendiri. Benci-benci tapi cinta gimana gitu.

Kucing putih ini tanpa nama dan emang kita sama sekali gak minat buat ngasih dia nama. Kata nyokap kalau dia dikasih nama nanti kesannya udah resmi jadi binatang peliharan. Sip, Mah, sip.

Ternyata dia bukan tipe kucing yang kalau udah nemu tempat tinggalnya hal yang bakal ia lakukan cuma tidur-tiduran dan minta makan. Kucing ini lebih sering keluar rumah. Gue sempet berpikir kalau dia kerja, pastinya kerja apa dan dimana, entahlah. Semacam kucing kantoran gitu. Dan dugaan gue benar, dia kerja. Kalau orang kantoran pulang ke rumah bawa tugas atau laporan yang dijadikan beban pikiran, beda sama kucing putih ini. Dia pulang emang gak bawa pikiran apa-apa, tapi beban pikirannya ada pada nyokap. Ya, dia pulang bawa anak dalam perutnya. Dia hamil.

Kejadian itu terus berulang. Nyokap sendiri udah pusing sama ‘kerjaan’ kucing satu ini. Beberapa hari ngelayaban, pulang-pulang udah hamil aja. Masalahnya tiap dia melahirkan jumlahnya selalu antara 3-5 anak kucing. Tapi yang mampu bertahan hidup hanya 1-2 saja.

Masalah lainnya adalah, kucing ini tergolong ibu yang tidak bertanggungjawab. Siklus hamilnya berantakan. Ia selalu hamil tiap anak-anak yang lain masih pada kecil. Jadi tiap anaknya udah lepas menyusui,dia udah melahirkan lagi. Itu yang ngebuat nyokap lama kelamaan lelah sama kelakuannya. Anaknya numpuk di rumah!

Pernah pada suatu sore, di teras depan rumah, nyokap terlibat obrolan dengan si kucing putih ini. Obrolan berat antar sesama ibu, “kamu tuh jangan gini-gini amat, Cing. Kasihan anak-anakmu, belum tumbuh besar udah ditinggal sama ibunya. Tobat, Cing, tobat. Zina itu dosa.” Kucing itu menatap nyokap dengan tatapan nanar, kemudian dengan lirih dia mengucapkan sebuah kata, ‘meong..’.

Saking seringnya kucing itu hamil dan melahirkan sehingga ia punya banyak anak, nyokap memutuskan untuk memberi dia nama; Emak. Semenjak itu dia resmi jadi ‘peliharaan’ keluarga.

Lokasi melahirkan favorit Emak ialah di tempat jemuran di bagian atas rumah. Rumah gue punya satu atap yang difungsikan sebagai tempat jemur baju. Di pojok tempat itu, tepat di bagian genteng-genteng cadangan tersimpan, itulah tempat kesukaan Emak mengeluarkan bayi-bayi kucing lucu dari perutnya. Emak biasanya melahirkan pada malam hari sampai menjelang subuh. Dulu, setelah gue selesai shalat subuh, nyokap sering manggil gue buat nemenin ke atas, denger suara anak kucing katanya. Walaupun nyokap kesel sama kelakuan Emak, tapi beliau selalu excited tiap denger suara anak kucing dari tempat jemuran. 

Dengan membawa senter (karena di atas gelap gak ada penerangan), gue sama nyokap nyari sumber suara tersbut. Ketika gue mengarahkan senter ke balik tumpukan genteng, sorot cahaya menangkap di sana terdapat bayi-bayi kucing yang masih lucu parah dan juga Emak yang menatap tajam ke arah kita berdua, seakan ia berbicara, “rasakan kalian, pusing-pusing lo pada, ha ha ha,” diakhiri dengan tawa sinis dalam hatinya.

Setiap Emak hamil, gue selalu menebak-nebak, kucing garong mana yang abis ‘main’ sama dia. Karena begini, anak yang dilahirkan Emak itu coraknya dan warnanya selalu beda-beda. Emak emang putih dengan sedikit corak hitam, tapi anak-anaknya ada yang warna cokelat, oranye bahkan ada satu yang menurut gue dia anak paling gagah yang pernah Emak lahirkan, seekor garong hitam yang ganteng.

Emang sih, gak semua anak-anak Emak bisa bertahan hidup dengan lama, walaupun katanya nyawa kucing itu ada sembilan. Tapi seberapa pun keselnya nyokap sama kelakuan Emak, beliau tetap menguburkan tiap anak Emak yang mati dengan cara yang tentunya berprikucingan.

Anak-anak Emak yang mati dikubur di pekarangan salah satu rumah kenalan bokap. Saking banyaknya anak Emak yang dikubur di sana, tanah itu seakan udah jadi kuburan keluarga Emak.

Dari sekian banyak anak Emak yang lahir, pergi hingga mati, hampir semuanya ‘menetap’ di rumah gue. Tepatnya di teras depan rumah. Nyokap paling gak suka kalau ada salah satu di antara mereka yang masuk ke rumah dan tetap menganggap bahwa mereka bukanlah peliharaan dalam konteks sesungguhnya, melainkan hanya kucing kampung biasa yang numpang tidur di teras depan rumah. Ya, mereka kampung dan mereka biasa. Tapi tetep aja nyokap masih ada hati buat ngasih mereka makan yang kelak jadi bagian dari kebiasaan nyokap.

Salah satu anak Emak yang hidup paling lama ialah garong hitam yang tadi gue sebut dan kakaknya, kucing betina warna oranye yang nantinya mengikuti jejak Emak (cabut, balik ke rumah udah hamil). Garong ini satu-satunya ‘jebolan’ Emak yang gue kasih nama secara priadi, dia gue panggil Joni. Yoi. Joni.

Kebiasaan Joni ini anti-mainstream. Dia gak kayak kakak kandung dan kakak-kakak tirinya yang kerjaannya cuma males-malesan dan nunggu makanan dari nyokap. Joni lebih suka makan di luar dan ketika dia pulang ke rumah pas waktu makan malam, dia lebih milih tiduran sambil ngeliatin kakaknya makan.

Hal lain yang gue suka dari Joni adalah dia sering pulang dalam kondisi badan penuh luka, lecet dan sebagainya. Yoi... DOI STREET FIGHTER, MEN! SADIS! Balik ke rumah penuh luka, tidur, besok siang keluyuran lagi dan terkadang balik dengan luka baru. Kehidupan kucing tidak semudah yang kalian kira, kawan. Joni adalah salah satu petarung sejati di dunia perkucingan. Mungkin ia disegani di komplek tempat gue tinggal, karena pada satu kesempatan gue ngeliat dia lagi jalan jauh dari rumah. Sendirian. Sorot matanya tajam. Seakan ia akan menghabisi sembilan nyawa kucing sekaligus hari itu. Sangar.

Tapi sayang, nasib Joni berakhir tragis. Suatu hari bokap nemuin dia di depan pagar rumah dengan kondisi kulit sebelah kiri terbuka yang nampaknya bekas sabitan senjata tajam. Mungkin dia kepergok saat melakukan tindak kriminal (mencuri makanan). Tapi tetap apa yang dilakukan seseorang terhadap Joni tidak berprikucingan. Manusia melawan kucing preman yang paling ditakuti di komplek. Cih.

Joni mati terlalu muda. Saat badannya sedang bagus-bagusnya. Bahkan Emak pun masih belum mati, tapi semakin terlihat tua dengan uban dimana-mana (percayalah, walaupun bulunya putih, tapi masih keliatan kok mana uban mana bukan). Joni yang malang, namun ia tetap menjadi anak Emak favorit gue.

Selang beberapa lama setelah kematian Joni, suasana duka kembali menyelimuti keluarga gue. Emak mati. Murni karena umur. Dia udah tua banget saat meninggalkan dunia ini. Nyokap yang pada kesempatan pertama bertemu Emak menolak mati-matian kehadirannya di rumah, tapi saat tahu Emak mati, nyokap ikut bersedih juga.

Saat usianya sudah memasuki usia nenek-nenek bagi kucing, Emak terlihat lebih bersahaja dan banyak diam di rumah. Nyokap juga mulai sering ngobrol sama Emak saat waktu makan malam. Sambil nemenin Emak makan katanya. Mungkin ikatan batin antara kedua ibu yang ngebuat nyokap sedih atas kepergian Emak.

Emak dikuburkan di kuburan keluarganya sendiri. Tertimbun di bawah tanah dengan bangkai anak-anaknya yang sudah lebih dulu menyatu dengan tanah. Namun kematian Emak bukan berarti ‘dinasti’ keluarga yang ia ciptakan di rumah berakhir, masih ada satu anaknya lagi yang tersisa, kucing oranye betina, kakak dari Joni yang melanjutkan kehidupan ibundanya sebagai supplier anak kucing di rumah.

Ilustrasi Emak
 Eh, maaf salah foto.

Ya, kurang lebih begini lah...