Saturday, September 23, 2017

Chapter XII - Au Revoir, France



Laila

Avignon, awal musim gugur 2016.

Saat-saat paling membahagiakan di Avignon telah berlalu, musim panas telah berakhir dan digantikan musim gugur dengan semilir anginnya yang menyejukkan. Kebahagiaan musim panas di Avignon membuat seluruh sudut kota ini menjadi hidup. Terkhusus Rocher des Doms, taman itu hampir tak pernah sepi tiap harinya sehingga membuatku yang kerap duduk sendirian di bangku taman favoritku tak pernah benar-benar merasa sendiri.

Because i need to be alone, but not to be lonely.

Mungkin hanya aku dari lebih dari 90 ribu penduduk Avignon yang melewati musim panas dengan raut wajah—bagaimana ya aku mengatakannya? Ah, menyedihkan.

Sekitar dua bulan lalu, Mbak Aya memberi kabar bahwa kondisi Ibu kritis. Kabar itu menjadi pukulan telak bagiku yang berada ribuan kilometer jauhnya dari rumah. Kala itu Mas Fahri sedang ada banyak tanggungan pekerjaan dan mengatakan bahwa aku saja yang pulang ke Indonesia, sedangkan Mbak Aya telah lebih dahulu berada di Jakarta untuk menjaga Ibu.

Kurang dari dua minggu aku berada di Jakarta, menemani dan merawat Ibu setiap hari, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa kala Yang Memberikan Nyawa telah mencabut apa yang telah Ia tiupkan pada makhkuknya. Detik itu pula waktu dan putaran bumi serasa terhenti. Sosok malaikat yang menjaga, merawat hingga membesarkan aku serta Mbak Aya telah meninggalkan kami untuk selamanya. Mas Fahri segera menyusul ke Indonesia ketika aku memberitahu kabar duka ini.

Mbak Aya menyuruhku kembali ke Avignon setelah masa cuti yang diambil Mas Fahri habis. Aku menolak untuk berangkat dan mengatakan ingin kembali tinggal di rumah selepas Ibu pergi. Mas Fahri yang mendengar aku menolak ke Avignon nampak murung, namun ia tak banyak bicara mengenai keputusanku itu.

Pasca cekcok cukup lama dengan Mbak Aya, akhirnya aku (terpaksa) mengikuti sarannya dengan keputusan akhir Mbak Aya akan tinggal di rumah setidaknya sampai 40 harian Ibu dan untuk selanjutnya ia akan kembali ke Jepang dan rencananya rumah akan dikontrakan untuk sementara waktu. Mbak Aya juga mengatakan selama di Indonesia ia akan mencari calon penyewa rumah yang tepat karena ia tak ingin sembarangan orang mengisi rumah keluarga ini.

And here it goes, berada di balkon apartemen kecil ini dengan ginger tea dalam genggaman. Menikmati angin musim gugur yang menyeka rambutku lembut dan melihat orang-orang yang bergerak dinamis di Rue Viala.

Oh ya, berbicara mengenai hubunganku dengan Mas Fahri, sebelum kabar tentang Ibu menghampiri, Mas Fahri tampak semakin berusaha menjadi suami seutuhnya dan ia benar-benar mengusahakan kami menjadi pasangan suami-istri selayaknya.

Mungkin semua itu nampak normal dan justru terdengar baik bagi orang luar. Tapi bagiku, keadaan ini malah semakin terasa memburuk. Semakin dalam perasaan Mas Fahri yang kurasakan, maka akan semakin sulit pula hubungan ini untuk diselesaikan. Begitulah sekiranya.

Setelah berpulangnya Ibu ke hadapan Allah, pikiranku berkecamuk mengenai hal-hal lain yang berkaitan tentang Ibu dan pernikahanku. Bagaimana aku dan Mas Fahri bisa bersatu hingga kini, dan sekarang bagaimana aku menyudahi hubungan ini karena Mas Fahri dirasa telah benar-benar mencintaiku.

Sepulang dari Paris, setelah ia bangun dari tidurnya di sofa dan mendapati tubuhnya ditutupi selimut, ia berpikir bahwa aku telah memiliki rasa perhatian selayaknya seorang istri pada umumnya.

Ya, memang aku mulai menaruh perhatian padanya saat itu.

Tapi,

Bukan berarti perhatianku bisa disamakan seperti perhatian seorang istri pada suaminya. Perhatianku hanya sebatas menghargai orang yang juga punya perhatian terhadapku.

Maybe what i’ve done sounds like an evil for everybody, but that’s the truth.

“Jangan lagi-lagi coba kayak apa yang kamu lakukan kemarin,” ucapnya kepadaku dengan nada yang menenangkan.

‘Shit. Don’t do this,’ pikirku.

Selepas itu, ada satu kebiasaan baru yang ia ciptakan yang sempat membuatku canggung ketika pertama kali diterapkan—bahkan hingga kini, yaitu setiap ingin berangkat dan saat pulang dari kantor, ia mencium keningku. Sekali lagi, sebenarnya ini wajar bagi suami istri dimanapun itu, tapi sekali lagi pula aku katakan, ini sudah terlalu jauh buatku.

Hingga pada suatu sore di akhir pekan aku duduk berdua dengan Isabel di sebuah kedai kopi kecil di Rue Vieux Sextier—tak jauh dari apartemen kami. Aku memesan hot chocolate dan souffle au chorizo, sedangkan Isabel sedang menyeruput chocopom d’amour mereka yang lezat.

Pada titik ini, aku merasa butuh seorang teman untuk mencurahkan isi pikiranku. Hey, aku tak setegar itu dalam memendam perasaan. Sebenarnya aku lebih memilih Nadine sebagai pendengarku untuk perkara ini, namun perbedaan waktu yang cukup ketara dirasa mengganggu menentukan kapan saat yang tepat untuk berbagi.

“Isabel,” sahutku sembari memutar sendok dalam cangkir di hadapanku tanpa melihat ke arahnya.

“Ya, Laila?”

“Jika kau berada di posisiku, apa yang akan kau lakukan?”

Isabel berdehem sebentar.

“Aku tak tahu, Laila. Setiap orang punya masalahnya sendiri untuk dihadapi. Dan kemampuan tiap orang dalam menghadapi masalah itu berbeda-beda. Mungkin aku bisa melewati masalahmu dengan mudah, atau bahkan aku tak mampu bertahan melebihi yang kau lakukan sekarang, karena aku tak tahu bagaimana rasanya, Laila.” Aku berhenti memainkan sendok, namun bola mataku masih tertanam pada souffle au chorizo yang sedari tadi belum kusentuh.

“Coba kau lihat pasangan di luar sana,” Isabel menunjuk ke arah kaca besar di belakangku. Aku sedikit memutar badan, lalu mendapati seorang pria dengan polo shirt hitam memandang sayu wanita cantik dengan dress putih di depannya. Wanita itu menatap cangkir yang telah kosong di tangannya. “Si wanita merasa sedih karena memergoki si pria yang ketahuan selingkuh untuk kali ketiga. Sedangkan si pria mencoba mengklarifikasi dan meyakinkan bahwa hal itu nggak akan terjadi lagi,” terusnya.

Aku melayangkan tatapan ragu pada Isabel. Ia hanya tersenyum.

“Lalu yang di sana itu.” Kali ini ia menunjuk seorang pria berkacamata dengan rambut di kuncir kuda yang tengah menatap layar laptop dengan menopang dagu menggunakan punggung tangannya.

Aku mengangguk, ia melanjutkan. “Ia seorang penulis di sebuah media lokal yang tengah dikejar deadline namun tak tahu apa yang harus ia tulis karena dalam pikirannya berkecamuk banyak hal, termasuk, ‘mengapa aku memilih kedai ini? Ah, sisa uangku untuk hari ini habis hanya untuk membeli minuman macam ini.’

“I hear what you say, lady,” ujar pria yang sedang dibicarakan Isabel. Aku membelalak sembari menahan tawa pada Isabel. Aku melihat pemilik kedai menggelengkan kepala. Isabel meminta maaf sambil tergelak dari tempatnya duduk.

“Sudahlah, ilmu cenayangmu makin lama makin keterlaluan,” kataku.

“But, there’s one thing that i see from you, Laila,” aku mengangkat dagu. “You’re on of the strongest girl that i’ve ever met. I believe you can handle this. I believe that you can through all of that shit.” Isabel tertawa, dan senyum pertamaku hari itu tersungging.

“Just follow your heart, Laila,” Ia melanjutkan. “Meskipun beberapa kali logikamu mengatakan, ‘ah, kamu jahat,’ atau, ‘yang akan kamu lakukan itu kejam, tak berperasaan.’  
Biarlah, jangan didengar. Anggap saja bahwa logikamu itu bagai sebuah lautan, kamu seorang nahkoda kapal dan hatimu adalah dermaga tujuanmu. Kemana pun lautan mencoba membawa kapalmu, tapi pahamilah kalau kamu mampu mengatasi itu karena kamu sejatinya tahu kemana tujuanmu sesungguhnya.”

Aku tersenyum.

“One more thing, Laila, and it’s very very important to hear.” Aku menaikkan sebelah alisku, memposisikan kedua tanganku di atas meja dan sedikit mencondongkan badanku ke arahnya.

“Kalau kamu nggak mau memakan souffle au chorizo itu, sebaiknya buat aku saja,” katanya sambil menahan tawa. Rasanya kuingin melempar sendok kecil ini ke arahnya saat itu.

---

Kembali ke kondisi saat ini, dimana suasana sore Avignon yang menenangkan membawa pikiranku melayang ke belasan tahun lalu. Dimana kali pertama aku diajak Ayah dan Ibu pergi ke Kebun Binatang Ragunan,  bersama dengan Mbak Aya juga tentunya.

Usiaku yang begitu belia dan penuh dengan pertanyaan membuatku menjadi bocah yang cerewet.

“Bu, itu apa?” Kataku menunjuk salah satu kandang.

“Itu singa, Laila,” balas Ibu.

“Lalu, itu apa?”

“Itu simpanse, Laila,” Ibu selalu membalas tiap pertanyaanku dengan senyuman.

“Kenapa dia bisa jalan kayak manusia, Bu?”

“Anak Ayah ini banyak tanya, ya. Kelak kamu jadi manusia yang cerdas,  Nak,” potong Ayah sebelum Ibu menjawab pertanyaanku. “Kamu mau es krim, Laila?” Tawar Ayah. Aku girang bukan kepalang mendengarnya.

Aku berpikir, kebahagiaan itu akan bertahan selamanya. Namun semua itu hanya titipan yang bersifat sementara. Kebahagiaan itu bisa berakhir kapan saja.

“Hey,” suara berat itu menyadarkanku, lalu sebuah tangan melingkari pinggangku dari arah belakang. Mas Fahri.

‘Oh crap, not again,’ balasku dalam hati.

“Hey, Mas,” aku meliuk sejenak, mencoba melepaskan diri dari pelukannya. “Tumben pulang cepat?” Lanjutku setelah terbebas dari sergapannya.

“Kangen istri,” ucapnya tersenyum.

“Yeee ditanya serius juga, malah gombal.”

Mas Fahri kemudian memegang pagar balkon apartemen, menegakkan punggungnya dan menghirup nafas dalam. “Emangnya nggak boleh ngegombalin istri sendiri?” Jawabnya melirik padaku.

‘Enggak boleh, Mas, nanti perasaan ini bisa terlalu jauh. Hati ini masih punya Andre walau sekeras apapun kamu mencoba merebutnya, Mas.’

“Yaaa....boleh sih,” balasku ragu.

Keheningan menyeruak diantara kami selama beberapa saat, sebelum ia kembali bersua.

“La?”

“Ya, Mas?”

“Aku terkadang ngebayangin deh, di sore hari gini, aku dan kamu menikmati hari di balkon ini sembari salah satu diantara kita merangkul si kecil.”

Aku terperanjat sejenak, melihat ia yang kini memandang luas ke arah langit.

Itu merupakan yang keempat untuk minggu ini dirinya menyinggung masalah buah hati. Intensitasnya berbicara seperti itu semakin meningkat dari waktu ke waktu. Padahal pada awal terciptanya hubungan ini, kami setuju untuk menyingkirkan pembahasan mengenai anak karena kami sadar hubungan ini tak akan bertahan selamanya.

Dan dengan adanya anak, maka cincin di jari manis ini akan terpasang lebih lama.

Memang, banyak pasangan yang mengakhiri status pernikahan mereka walaupun telah memiliki buah hati, namun aku tak bisa melakukan hal serupa. Aku, tak mau mengorbankan anak yang tak berdosa dan tak tahu masalah sesungguhnya dibalik perpisahan orang tuanya.

Aku tak mau, dan tak bisa.

“Kalau menurutmu, bagaimana, La?” Tanyanya lagi, ku merasakan pandangannya berganti padaku, namun mataku tertuju pada kedua kakiku.

Mulutku masih terbelenggu. Aku tak ingin menjawabnya.

“La?”

Sial, dia memaksa.

“Iya, Mas?”

“Kamu ada di sini, kan?”

“Ha? Maksudnya? Iyalah, Mas, aku di sini,” sergahku.

“Bukan, maksudku pikiranmu, La.”

‘Kau ingin jawaban jujur atau jawaban yang memuaskanmu, Mas?’

“Iya, Mas, aku di sini, kok,” jawabku.

“Lalu, gimana menurutmu, La?”

Aku menatapnya kini. “Tentang anak?”

Dia mengangguk.

“Entahlah, Mas,” kataku lirih.

Kembali terjadi keheningan. Aku tahu Mas Fahri menunggu jawaban utuhku, maka aku lanjutkan. “Aku nggak tahu apakah dengan adanya anak bisa menyelamatkan pernikahan kita. Aku juga nggak tahu mengapa sekarang kau sangat sering menyinggung permasalahan ini, padahal ide tak adanya anak kau sendiri yang menyuarakan di awal hubungan ini, Mas.”

Aku merasa tak berani menatapnya lagi setelah mengatakan itu. Sebelumnya, acap kali Mas Fahri mencoba membahas persoalan ini, aku selalu bersikap acuh tak acuh atau mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Namun, kali ini aku mengatakannya dengan lantang, suara hatiku yang terpendam selama ini.

“Kenapa, La?” Firasatku mengatakan tak enak tentang ini. “Kenapa? Kita, udah satu tahun, La, kenapa seakan ini semua tak ada artinya bagimu?”

I wish i can go away from here now.

“Kita ada di satu atap yang sama setiap harinya. Bangun dan ingin tidur yang pertama kali aku lihat adalah kamu. Setiap aku pulang kerja, kamu orang yang ada untuk menyambut aku, begitupun ketika aku berangkat, kamu orang yang mengantarku sampai ke depan pintu dan melihat punggungku semakin menjauh sampai mata tak mampu menjangkaunya lagi.” Ia diam. Aku semakin erat menggenggam cangkir di tanganku. 

“Beberapa kali kita pergi ke berabagai tempat di Prancis, sewaktu aku ajak kamu ke Marseille untuk melihat kantorku, atau ketika kita keliling Paris bersama. Apa itu tak ada artinya bagimu? Apa semua keceriaanmu hanya fana belaka?”

Suaranya kian memberat.

“Hentikan, Mas.”

“Kenapa, La? Kenapa kamu bisa bersikap seakan tak ada apa-apa diantara kita?”

‘Memang tak ada apa-apa, Mas, dari dulu tetap dan akan selalu begitu.’

“La, aku mau jujur soal perasaanku,” katanya lagi dengan suara semakin lirih.

‘Mas, hentikan, aku nggak mau dengar.’

“La, pada awalnya aku memang menganggap hubungan ini sebatas formalitas belaka demi membuat tenang hati kedua orang tua kita, terutama almarhum Ibumu. Namun, hari demi hari dilalui bersama dengan hanya satu orang membuat hati ini tergerak juga untuk membawa hubungan ini ke jalan yang seharusnya. La, aku percaya bahwa cinta datang dengan berbagai cara, salah satunya ialah cinta bisa datang karena terbiasa.”

‘Tapi aku bukan tipe orang yang bisa cinta karena terbiasa, Mas.’

Bibirku masih terkatup.

“La, aku telah meninggalkan semua peristiwa masa lalu dan bersiap menghadapi masa depan yang terlihat nyata di depanku kini. Aku tak pernah berbicara mengenai ini sebelumnya karena aku pun melihat kamu merasakan hal yang sama, La, tapi kelihatannya kamu tidak terpengaruh itu semua.” Desau angin berhembus menyapu kulit tipisku dan membelai rambutku. Aku sama sekali tak berkeinginan untuk membalasnya, mencoba tidak menggores hatinya sekecil apapun.

“La, lalu apa arti kebahagiaan itu? Kebahagiaan yang kerap terpancar dari wajahmu? Sorot mata yang berbinar acap kali aku menggenggam tanganmu? Apa arti semua itu, La? Apakah itu karena aku, atau hanya murni karena kamu terpana dengan indahnya Prancis?”

“Mas, hentikan....”

“Apa hidup dengan memakai topeng seperti itu selama ini terasa nyaman bagimu?”

Aku sudah tak tahan lagi mendengarnya. “MAS!”

Ia tersentak, nampak tak percaya dengan reaksiku.

“Aku bilang sedari tadi untuk hentikan omongan ini. Aku nggak bisa, Mas, aku nggak bisa,” aku berusaha menatapnya yang masih tergambar perasaan shock di sana. “Aku berusaha untuk tak mengatakan apapun karena....aku takut....takut melukai hatimu, Mas.”

“Tapi, diam mu cukup menciderai hatiku, La, meskipun kecil. Dan, dengan begini kamu tetap akan meninggalkanku, bukan?” Lagi, aku tak membalasnya.

“Jadi, sampai kapanpun posisi Andre nggak akan tergeser dari hatimu, begitu? Huh, Aku kira aku dapat mengisi tempatnya setelah semua ini,” ia tersenyum sinis.
Kala ia mulai membawa Andre dalam percakapan ini, emosiku meninggi dengan sendirinya.

“Mas, cukup, memasukan Andre dalam obrolan, kalau ingin bahas tentang aku, ya bahas ini, Mas.”

“Tapi perasaanmu terikat dengan Andre, jadi namanya tak luput ku sebut,” ia membalas dengan cepat. “Lagian, kenapa sosoknya begitu kokoh tertanam di hatimu, La? Kamu punya aku di sini yang juga telah jatuh hati padamu, dan siap menafkahimu lahir batin.”

“Jadi, maksud Mas, Andre nggak siap untuk menafkahi aku?” Nada suaraku sedikit meninggi.

“Aku melihatnya demikian. Aku juga beberapa kali menengok isi feed instagramnya. Ia seakan belum punya konsep hidup yang matang. Jiwa mudanya masih nampak terlalu dominan sehingga menjadikan ia sedikit liar. Dia juga---“

“CUKUP!!!!” Seruku lantang. Aku melihat sejenak ke arah bawah, ada seorang remaja yang menengadah ke arah kami. Biarlah, aku hanya perlu menghentikan omongan Mas Fahri.

“Mas...kamu nggak tahu apa-apa tentang Andre. Jangan mengatakan apa-apa yang tidak kamu ketahui betul, Mas,” aku mencoba merendahkan suaraku kembali.

“Then tell me, La, what makes him so special in your eyes?” Balasnya.

Aku berpikir sesaat. Should i tell him now?

“Hati ini nggak bisa memilih kepada siapa ia akan berlabuh. Saat bertemu dengannya, aku adalah sosok yang rapuh. Bersamanya, aku merasa memiliki malaikat pelindung. Meninggalkannya, hatiku serasa mati. Kamu bisa bilang ini semua hanya omong kosong, tapi kamu tahu apa, Mas? Aku yang merasa, kamu tak berhak menilai,” jawabku dengan bibir gemetar. 

“Kita sudahi saja pembicaraan ini.”

Aku melangkah meamsuki apartemen meninggalkan sosoknya yang mematung. Aku tak ingin air mata ini sampai tumpah di hadapannya, karena air mata ini siap keluar dari bendungannya.

“Lalu apa ada jaminan kalau dia masih menerima kehadiranmu setelah kamu menghilang sekian lama dan membohonginya sekian banyak?!” Ujarnya setengah berteriak.

Kakiku tertahan mendengarnya. Ia meneruskan kalimatnya. “Belum pasti dia masih mencintaimu sama seperti terakhir kali kamu meninggalkannya, terutama setelah ia mendengar apa yang telah terjadi, La.”

Aku berbalik arah menghadapnya. “Satu hal yang pasti, Mas, hubungan ini akan segera berakhir dan aku nggak perlu ragu lagi untuk mengucapkan ini. Sebaiknya kita segera pulang, kita urus perceraian kita,” ujarku dengan suara parau.

Senja di Avignon perlahan dilahap kelamnya langit malam. Petang itu, air mataku luruh bersama dengan hilangnya Avignon dari hati.

to be continued