Tak
banyak yang bisa ku ingat. Tentang masa lalu. Tentang semua suka dan duka yang
tersimpan dalam kotak memori. Namun, segala hal yang berkaitan tentang dirimu,
selalu ku ingat. Jika ku coba melupakan, tak beda dengan ku melupakan kehidupanku
sendiri.
---
Hujan deras turun sejak semalam,
membuat udara pada pagi itu menjadi sangat dingin. Ini bukan merupakan daerah
dengan cuaca sejuk, melainkan daerah dataran rendah dengan hawa panas yang
selalu menyambangi tiap hari. Selasa pagi yang dingin membuat sebagian orang
merasa enggan untuk menjalani aktifitas di awal minggu ini. Para pekerja,
pelajar, bahkan ibu rumah tangga merasa hawa dingin ini memaksa mereka untuk
melekat lebih lama pada kasur. Para pengendara motor yang pada saat itu belum
banyak jumlahnya akan memaksimalkan waktu dengan menambah jam tidur dibalik
alasan, “Maaf Pak/Bu, tadi hujan deras dan saya tidak punya jas hujan. Jadi,
saya menunggu hujan agak reda dulu.”
Hawa dingin yang tak biasa ini pun
memasuki rumah-rumah penduduk. Mereka yang pada hari normal menggunakan air
conditioner atau kipas angin, kali ini harus berpikir ulang karena menganggap bahwa
itu bukanlah ide yang baik. Tak terkecuali dengan rumah kecil bergaya zaman
Belanda dengan halaman yang membentang luas serta beberapa pohon dengan akar
yang menancap kokoh di bawahnya. Hawa itu merambat masuk ke dalam sebuah kamar
kecil melalui ventilasi udara. Kamar
yang di dalamnya terdapat bocah berambut cepak sedang terlelap di bawah selimut
tebalnya.
“Dit... Adit... bangun nak, waktunya
sekolah,” seorang perempuan paruh baya yang tak lain adalah bunda dari bocah
tersebut, tampak mencoba membangunkan anaknya dengan menggoyang-goyangkan tubuh
anak itu dari pinggir ranjang.
“Hmmm...
hmmm,” Adit. Begitulah nama bocah itu. Ia menggeliat berusaha kabur dari tangan
sang bunda demi meneruskan tidurnya.
“Adit, bangun dong nak, ini udah hampir jam 6. Kalau kamu gak siap-siap dari sekarang nanti kamu telat,” Bunda tidak menyerah, dengan sifat lembut khas seorang ibu ia terus berusaha membangunkan buah hati tunggalnya itu.
“Adit, bangun dong nak, ini udah hampir jam 6. Kalau kamu gak siap-siap dari sekarang nanti kamu telat,” Bunda tidak menyerah, dengan sifat lembut khas seorang ibu ia terus berusaha membangunkan buah hati tunggalnya itu.
“Adit, nanti sore bunda sama ayah
mau pergi ke rumah nenek. Kalau kamu hari ini gak sekolah, kamu gak bunda ajak
ya,” mendengar pernyataan Bunda, Adit langsung melompat keluar dari kasurnya
dan berlari ke luar kamar seraya berteriak, “Nanti sore Adit ikut ya, Bun!”.
Bunda hanya tersenyum melihat tingkah bocah 8 tahun itu. Bunda beranjak dari
tempatnya, kemudian mulai merapikan tempat tidur dengan sprei motif Doraemon
tersebut.
---
Deru mobil BMW 318i keluaran tahun
1990 menggema ketika memasuki pekarangan sebuah rumah tua yang tampak besar.
Salah satu mobil yang tergolong mewah pada saat itu. ‘BRAK!’ suara pintu mobil
terbanting keras ketika mesin mobil berhenti.
“Adit! Pelan-pelan dong nutupnya,”
seru Bunda. Namun, Adit menghiraukan pernyataan Bundanya, ia berlalu ke arah
pintu depan sambil berteriak kencang, “Nek... Nenek... Assalamualaikum Nenek!”.
Lihat tuh, Bun, Adit selalu
semangat kalau diajak ke rumah Ibu,” Ayah tersenyum dari dalam mobil melihat
tingkah putranya itu.
Halaman merupakan tempat favorit Adit
untuk bermain. Bukan bermain suatu permainan selayaknya anak seusianya. Ia tak
bermain gasing, gundu, atau permainan lainnya. Melainkan membaca berbagai buku
cerita yang koleksinya selalu bertambah satu tiap bulannya. Bunda memahami hobi
Adit yang gemar membaca, maka dari itu Bunda tak lupa meyisihkan uang bulanan
demi membelikan buku cerita untuk Adit.
Meski banyak koleksi buku cerita,
tapi hanya cerita ‘Si Kancil’-lah yang melekat di hati Adit. Cerita tentang bagaimana
seekor kancil yang berhasil mengelabui gerombolan buaya agar bisa sampai ke
seberang sungai. Entah kenapa cerita ini sangat disukai Adit. Meskipun berulang
kali ia membacanya, berulang kali pula ia mengulangnya.
Sore itu, di halaman rumah nenek, Adit
‘bermain’ dengan buku-buku ceritanya. Dengan posisi tengkurap di atas hamparan
rumput yang hijau dan di bawah langit sore yang menguning, Adit membuka lembar
demi lembar buku cerita bergambarnya. Ekspresi wajahnya ceria tiap kali halaman
‘mainan’ miliknya berganti. Topi biru muda yang selalu digunakan Adit kalau ke
luar rumah seakan melindunginya dari terpaan sinar mentari sore.
“Kamu lagi baca apa? Kayaknya seru,”
suara yang cukup mengagetkan Adit. Ia mengadahkan kepalanya ke arah pemilik
suara. Anak perempuan dengan dress putih dan bando dengan warna serupa di atas
rambut bergelombangnya berdiri tepat di sebelah Adit.
“Dongeng kesukaanku, Si Kancil,
ngomong-ngomong kamu siapa?”
“Aku Denia, salam kenal,” gadis
perempuan itu menjulurkan tangannya.
“Adit,” ia menjabat tangan gadis
kecil itu dengan hangat.
“Boleh aku ikut membaca denganmu?” dengan
satu anggukan pelan, Denia ikut membaca bersama Adit. Menghabiskan sore berdua
dengan canda tawa khas anak kecil yang seakan tak memikirkan hal lain selain
bermain dan bermain. Tak ada pikiran membayar tagihan listrik, membayar tagihan
telfon, atau tagihan di warung makan yang menumpuk. Hanya ada kegembiraan dan
keceriaan yang terbesit pada diri mereka.
“Kamu kenapa pakai baju serapih
itu?” pertanyaan yang sebenarnya sejak awal ingin Adit tanyakan namun tertahan
oleh cerita Denia tentang kakak pertamanya yang suka menjahilinya di rumah dan
kakak keduanya-lah yang menjadi malaikat pelindung bagi dirinya jika kakak
pertama mulai iseng kepadanya.
“Oh iya! Aku jadi lupa! Aku tadi mau
ke pesta ulang tahun temanku, tapi kebetulan lewat sini dan melihat kamu, nggak
jauh dari sini kok. Mungkin sekarang masih sempat, kamu mau ikut?”
“Tapi aku enggak kenal siapa-siapa di sini,” Adit melihat Denia sudah beranjak dari sisinya dan kini berdiri tepat dihadapan Adit yang masih dengan posisinya semula.
“Tapi aku enggak kenal siapa-siapa di sini,” Adit melihat Denia sudah beranjak dari sisinya dan kini berdiri tepat dihadapan Adit yang masih dengan posisinya semula.
“Aku yakin kamu bisa punya banyak
teman di sini. Kamu anaknya asik kok,” Denia kembali menjulurkan tangannya,
tanpa menunggu lama Adit meraih tangan gadis itu. Mereka pergi ke pesta ulang
tahun teman Denia yang dimaksud dengan bergandengan tangan dan tidak lupa,
wajah ceria yang terlukis diantara keduanya.
---
Hari mulai gelap, di depan teras
beralaskan kayu rumah tua tersebut, tampak Bunda sedang gelisah. Menantikan
seseorang pulang. Menantikan pangeran dalam hidupnya kembali. Menantikan Adit
datang.
“Duh, ini udah lewat maghrib, kemana
ya Adit?” Bunda tak henti-hentinya berjalan untuk meredakan kegelisahanya yang
sebenarnya memang tak bisa dihilangkan.
“Kamu tunggu aja toh dik, kan mas
Agung juga lagi nyari pakai mobil, kita doakan aja Adit ndak kenapa-napa,”
“Tapi bu, Adit nggak biasanya main
sampai jam segini, apa lagi ini bukan di daerah rumahnya, dia mana hafal jalan,
bu, kalau dia nyasar bagaimana?”
“Adit itu mirip ayahnya, dulu mas
Agung juga sering keluyuran sampai malam, sampai-sampai ibu sama almarhum bapak
kewalahan buat nyarinya. Ndak taunya dia ketiduran di taman main deket sini,
kelakuan suamimu itu toh dik, ada-ada saja saat masih kecil. Sama kayak Adit
sekarang ini,” kenang Nenek Adit mengisahkan. Mendengar cerita itu cukup
menenangkan hati Bunda yang gelisah. Tak berapa lama kemudian...
Brumm... Brumm...
Suara mobil yang tak asing lagi di
telinga Bunda. Bunda masih harap-harap cemas dengan kehadiran suaminya, ia
khawatir hanya hasil nihil-lah yang dibawa pulang. Ayah turun dan membuka pintu
belakang, dengan menggendong Adit yang dalam keadaan terlelap beliau berjalan
memasuki rumah yang disambut tangis haru sang Bunda. Kegelisahannya menghilang
ketika ia menggenggam erat tangan pangeran hidupnya tersebut.
“Mas ketemu Adit di taman deket
sini, dia ketiduran di sana dan ditemani gadis bernama Denia, katanya ia
tadinya mau membangunkan Adit cuma karena melihat Adit sangat lelap, makannya
dia nunggu kita buat nyari Adit,” Ayah menjelaskan.
Nenek membalas dengan seyuman ketika
mendengar cerita tentang cucunya, Bunda tersenyum lega ke arah Nenek. Ternyata
benar, sifat dan kelakuan Adit sama seperti Ayahnya ketika masih kecil. Like
father like son.
“Kita biarkan dulu dia tidur di
sini, kasihan juga Adit,” Bunda menganggukkan kepala tanda setuju atas
pemintaan mas Agung, suaminya.
Malam itu, hujan kembali turun, di
sebuah kamar berukuran kecil dengan satu kasur berukuran sedang, satu keluarga
tertidur dengan lelapnya, saling berpelukan membentuk kehangatan dalam
dinginnya udara di luar sana. Adit, dengan wajah polosnya, ia sangat nyaman
tidur diantara kedua orangtuanya.
---
Esoknya, mereka pulang dan Adit tak
sempat mengucapkan salam perpisahan kepada gadis bernama Denia itu. Perkenalan
hangat tanpa diiringi perpisahan yang manis. Ada yang mengganjal di hati Adit
ketika melihat pekarangan rumah Neneknya menjauh dari pandangan. Semakin jauh,
semu, hingga akhirnya tak tampak lagi. Adit akan merindukan sosok ceria Denia,
sedangkan hatinya, akan merindukan kenyamanan yang tercipta antara keduanya. Di
pagi dengan langit gelap dan perlahan awan mulai menjatuhkan beban yang
ditampungnya, langit seakan mengerti apa yang dirasakan Adit. Seakan tak ikhlas
jika mereka harus berpisah.
Di ruang tamu rumah yang asri,
seorang gadis kecil menghadap ke arah luar jendela dengan gorden yang terbuka,
menatap kosong ke arah halaman yang mulai tergenang air, menyambut datangnya
hujan kecil pada pagi itu. Tetesan air yang jatuh seperti menghantarkan salam
perpisahan yang disampaikan Adit di perjalanan pulangnya. Gadis itu tak tahu
apakah bocah bertopi biru itu akan kembali atau tidak. Adit tak tahu apakah ia
bisa bertemu kembali dengan Denia atau tidak. Mereka hanya diam membisu di
tempatnya, berbicara pada hati masing-masing, biarkan hujan yang menerjemahkan
kegelisahan mereka.
---
Perpisahan yang cukup menyita
waktuku untuk memikirkannya. Waktuku tersita cukup banyak hanya untuk sekedar memikirkannya pada saat itu. Tapi harus kuakui, senyumnya, tawanya, sikapnya, merupakan yang terbaik setelah Bunda.
Perlu
waktu yang tak sebentar untuk bertemu gadis itu, di saat gadis dengan gaun dan
bando putih banyak bermunculan, ia sudah berpenampilan sedikit lebih dewasa
dari lainnya.
---
Kesibukkan Ayah dalam mengurus
proyeknya membuat waktu untuk bersama agak berkurang. Kunjungan ke rumah Nenek
pun menjadi imbasnya. Kegiatan rutin sebulan sekali menyambangi rumah Nenek
menjadi terbengkalai. Sudah 5 bulan ini mereka tak berkunjung ke sana. Mungkin
tak terlalu masalah bagi Ayah dan Bunda, tapi bagi Adit, ini merupakan masalah
besar. 5 bulan menahan rindu yang tak lain masih dalam lingkup ‘cinta monyet’
tak mudah bagi anak seusianya.
“Adit, kamu liburan sekolah mau kemana?
Sekalian kita ngerayain tahun baru,” pertanyaan dari sang Bunda yang
mengejutkan Adit. Tentu Adit sudah tau akan kemana.
“Adit mau di rumah Nenek aja, Bun,”
Bunda hanya mengangguk dan mengelus-elus rambut Adit. Lusa pagi, mereka
berangkat ke rumah Nenek. Perasaan senang Adit menjadi dua, pertama karena
liburan sekolah dan tahun baru, kedua, ia harap bisa bertemu Denia.
BRAK!
Gelengan kepala dari Bunda ketika
Adit kembali menutup pintu mobil dengan keras. Ayah kembali melontarkan
tersenyum dengan prilaku anaknya itu.
“Nek.... Nenek....
Assalamualaikum...,”
Setelah cukup bercertia tentang
sekolahnya kepada Nenek, Adit menyanggahi tempat favoritnya. Halaman luas
dengan hamparan rumput hijau yang halus. Sore itu, gumpalan awan membentuk
karya alam yang indah, menambah rasa nyaman Adit untuk berlama-lama dengan
‘mainannya’ di bawah terik mentari yang tak terlalu panas sebenarnya, namun,
topi biru kesukaannya tak jua dilepas walau cuaca sedang bersahabat.
Adit memanjakan diri dengan bermain
bersama ‘mainannya’. Kali ini tampak ada yang berbeda. Lembar demi lembar silih
berganti. Gambar dari buku cerita berubah tiap lembarnya. Satu konflik dan
konflik lainnya sudah terselesaikan hingga berakhir dengan akhir yang bahagia.
Namun berbanding terbalik dengan Adit, gadis yang ia tunggu untuk membaca
bersama-pun tak kunjung terlihat batang hidungya.
Tetesan air kembali jatuh dari
angkasa, gerimis kecil melengkapi kesepian bocah lelaki itu. Adit menatap
langit. Wajahnya manisnya menantang air untuk membasahi kenignya, turun melalui
pelipis hingga akhirnya jatuh ke tanah.
“Adit, masuk, nak, di luar sudah
mulai hujan,” Bunda memanggil Adit dari depan pintu yang terbuka.
“Iya, Bun,” jawab Adit lemah. Adit
berlari kecil menghampiri Bunda, “Bun, pintunya jangan ditutup, ya,” pinta Adit
yang membuat Bunda heran.
“Memangnya kenapa, Adit? Di luar
kan dingin, nanti dinginnya masuk ke dalam rumah lho,”
“Gapapa, Bun, Adit mau ngersain
dinginnya hawa hujan di sore ini,” Bunda mengerti keinginan anaknya. Namun,
bukan itu maksud sebenarnya, Adit ingin pintu ini selalu terbuka, agar dia,
permaisuri dengan gaun putih itu tahu bahwa ada seseorang yang menunggu
dirinya. Di depan pintu rumahnya, dibawah tetesan hujan yang mulai membesar,
ada bocah lelaki bertopi biru sedang menunggu... dan menunggu....
---
“Adit, kita ke taman yuk, sebentar
lagi kan tahun baru, biasanya di sana ada pesta kembang api, sekalian kita
makan jagung bakar di sana,” ajak Ayah. Adit bersoak gembira, ia bergegas
mengambil sebuah buku dan senter, serta tak lupa topi biru kesukaannya.
“Kamu kok bawa buku?” tanya Ayah
sambil memakaikan jaket dengan warna serupa kepada anaknya. “Biar kamu nggak
kedinginan,” sebuah senyum dari Ayah menyelesaikan proses pemakaian jaket Adit.
“Selagi nunggu pergantian tahun,
Adit mau baca ini dulu, Yah, tadi belum selesai bacanya,” Ayah sangat memahami
hobi anaknya ini, ia kembali tersenyum sembari mengangguk, dan menggandeng
tangan kecil Adit. “Kita jalan kaki aja ya, nanti Bunda nyusul, lagi ngobrol
sama Nenek dulu soalnya,” Adit mengangguk lemah tanda setuju. Mereka berjalan
keluar bersama. Hanya seorang ayah dan anaknya yang luar biasa.
---
“Ayah beli jagung dulu ya di sana,
kamu tunggu di sini sebentar, oke?” kata Ayah sambil mengacungkan jempolnya,
yang dibalas hal yang sama oleh Adit.
Duduk dibangku taman sambil membaca sebuah
buku dan berkat senter yang tadi ia bawa maka ia tak kekurangan cahaya yang
dapat merusak matanya.
“Sekarang kamu baca buku cerita apa
lagi?” suara yang tak asing tertangkap gendang telinga Adit. Suara dari karah
kiri dirinya. Dia tau malam ini akan semakin lengkap dengan kehadiran sosok
pemilik suara yang barusan menyapanya itu.
“Ini bukan buku cerita, ini sebuah
novel,” Adit tersenyum ketika tahu bahwa ia kini bertemu bidadari kecilnya
lagi.
“Oh ya? Novel apa? Kamu suka banget
baca ya?'
“Tintin, aku penasaran aja sama
ceritanya, belum habis semua sih. Iya, aku lebih suka membaca dari pada bermain
di luar rumah,” jawaban yang membuat Denia, yang kali ini menggunakan dress
yang sama, namun dengan warna berbeda, warna biru dongker. Warna yang terkesan
menyatu dengan gelapnya malam. Namun, berkas cahaya yang terpancar dari wajah
mungilnya, cukup membuat fokus mata Adit terkunci ke arah Denia.
“Boleh aku ikut membaca bersamamu?”
anggukan pelan dan senyum manis Adit menghangatkan malam dingin itu. Di bawah
sinar rembulan, di bawah lampu taman, di bawah sinar dari senter kecil milik
Adit, rasa kerinduan yang lama terpendam, akhirnya dapat tersalurkan pada
sebuah malam dingin di penghujung tahun.
---
“Eh, ada temennya Adit ternyata, om
lupa, siapa namanya?” tanya Ayah dengan memegang kantung plastik berisi 3
jagung bakar.
"Denia om,” dengan ramah dan senyum
manisnya yang khas, Denia membalas pertanyaan Ayah Adit.
“Kebetulan, om bawa 3 jagung bakar,
tadinya sih... 2 buat Adit, dia suka ngambek kalau cuma makan satu jagung
bakar,”
“Ah, Ayah, jangan ngomong gitu
dong,” Ayah tertawa sembari menghidar ketika Adit berusaha mencubitnya. Melihat
tingkah ayah dan anak itu, Denia hanya bisa menahan tawa. Ia diberi 1 jagung bakar oleh ayah Adit,
mereka menghabiskannya bersama di atas bangku taman, diselingi canda tawa
diantara ketiganya.
“Nah, itu Bunda sama Nenek datang,”
kata Ayah sambil menunjuk ke arah keduanya dengam mulut penuh jagung yang
berlum tertelan.
“Kayaknya ada yang asik makan jagung
bakar tapi nggak bagi-bagi nih,” sindir Bunda dan diikuti tawa lainnya.
“Sebentar lagi pergantian tahun, yuk
ke tengah taman, udah ramai juga disitu,” ajak Ayah yang disetujui oleh
‘pasukannya’. Taman dengan air mancur berbentuk lingkaran di bagian tengahnya,
di kelilingi rumput halus dan pohon yang rindang, terasa sangat asri. Saat itu,
polusi udara belum banyak memberi dampak negatif bagis atmosfer kita. Sangat
natural.
Mereka berlima duduk di atas rumput taman,
Bunda, Nenek, Ayah, Adit dan Denia bersiap menyambut tahun baru. Bersiap
memulai lembar baru dalam kehidupan masing-masing. Satu genggaman erat tangan
Adit pada jemari-jemari Denia cukup menyatakan tak ada hati baru diantara
keduanya.
5....4....3...2...1..
BAM!!!! TAAAR!!!! PLETAK!!!!
Suara petasan menggema mengguncang
angkasa, menghiasi gelapnya malam, menyaingi terangnya sinar rembulan dan
bintang-bintang. Terompet tak henti-hentinya ditiup. Aura perayaan tahun baru
terasa sangat kental. Adit dan Denia terpana melihat langit penuh dengan
percak-percik kembang api. Malam itu, 1 Januari 1996, kehangatan, kerekatan,
kebersamaan, terbalut indah dalam satu malam.
---
Kini, seorang bernama Denia Alica
Wiharja, gadis bergaun biru dongker pada malam tahun baru 17 tahun silam, ada
dalam rangkulanku dengan menggunakan gaun serupa dengan ukuran yang berbeda. Dengan terbalut sebuah cincin pada masing-masing jari manis kami. Dengan
seorang pangeran kecil yang berada diantara kami. Di atas kap mobil di daerah Ancol,
kami menunggu detik-detik pergantian tahun menuju 2014
5...4....3...2...1
Ribuan orang yang ada di sana mulai
menghitung mundur.
Aku memejamakan mata. Suara dentuman
yang nyaris serupa dengan tahun-tahun sebelumnya kembali terdengar. Aku membuka
mataku perlahan, malam dimana bulan merasa memiliki saingan dalam hal
menyinari, malam dimana social media penuh dengan kicauan-kicauan
berawalan kata, ‘selamat’. Kalian masih ingat dengan hobiku sewaktu kecil? Hobi
yang kutekuni hingga dewasa kini, bedanya, kali ini aku berperan sebagai
pemain, bukan si penikmat lagi. Percayalah, jika kalian mempunyai hobi yang
positif, tekuni dengan perlahan, maka hobimu itu akan mengantarkan kalian pada
kesuksesan kelak.
Malam
ini, aku analogikan sebagai buku, dimana pada detik-detik pergantian tahun kita
sudah sampai pada bagian daftar pustaka, atau pada sebuah novel.. umm, mungkin
bagian tentang penulis. Mereka mengatakan, ‘mari memulai lembar baru’, tapi
pada sebuah buku, tak ada lembaran baru setelah daftar pustaka atau tentang
penulis. Aku akan mengatakan, seharusnya kita menyiapkan buku baru, buku baru
yang polos tanpa goresan tinta sedikit pun. 365 hari ke depan, 365 halaman
baru, kita mengisi halaman itu dengan tinta masing-masing. Entah tinta hitam,
atau berwarna. Kita mencoba lebih baik di tahun yang baru, mencoba lebih, dari
apapun yang kita inginkan.
“Selamat tahun baru 17 sayang,”
bisikku.
“Lho, sekarang kan 2014, kok 17?” ia
menaikan alisnya, aku tersenyum.
“Tahun baru ke 17 kita bersama,” ia
tersenyum, aku pun begitu. Dengan satu kecupan di dahinya, kita menghabiskan
waktu di bawah sinar rembulan, dibawah gemerlapnya langit malam. Selamat tahun
baru 2014!