Saturday, August 24, 2013

A Moment To Remember

Kali ini gue akan membagi cerpen gue yang gue ikut sertakan dalam sayembara #TruthOrDare bareng @WOWKonyol dan @bentangpustaka. Berhubung gue kalah, maka daripada mubazir, mending gue share aja di blog. Oke deh, selamat membaca. :)

“Eh, awas ada calon pengemis mau lewat,” kalimat itu lah yang selalu ia dengar. Itu merupakan salah satu dari ribuan kalimat pedas dan tidak manusiawi yang ia dengar setiap hari. Setiap jam. Setiap ia berada diluar istananya, rumahnya.
Keadaan di luar sana memaksanya untuk tidak melanjutkan sekolah untuk sementara waktu atau bahkan selamanya. Bersekolah di sekolah yang penuh dengan anak-anak dengan tingkat pergaulan tinggi tak lagi menyenangkan di matanya. Mereka –teman-temannya- hanya ingin bersenang-senang. Mereka tidak mau menerima kondisi fisik yang kurang dari salah satu teman mereka.
Rena, remaja kelas 2 SMA yang dianugerahi wajah cantik, rambut lurus nan panjang dan fisik yang anggun, mengalami kecelakaan mobil saat ia hendak pergi ke luar kota. Kecelakaan yang membuat hidupnya berubah. Kecelakaan yang membuat ia harus kehilangan kakinya.
“Enggak! Enggak mau! Kaki Rena gak boleh diamputasi!” pernyataan dokter membuatnya shock saat itu. Hampir seminggu setelah dokter mengeluarkan penyataan harus mengamputasi kaki Rena, ia tak kunjung menuruti apa kata dokter. Alhasil, kakinya semakin membengkak dan menjadi infeksi. Dokter memberinya peringatan, sebenarnya peringatan ini sudah terlambat. Dokter takut infeksi itu menyebar dan menyerang tubuh Rena, bukan hanya kehilangan kaki, tapi Rena juga bisa kehilangan nyawanya. Dengan berat hati, Rena memgizinkan dokter mengambil kakinya.
Semenjak kakinya diamputasi, Papa Rena menjadi sangat posesif. Rena jadi sangat dimanjakan. Padahal, apa yang dilakukan Papa tidak disukai Rena. Rena tidak ingin terlihat lemah. Bahkan ia sempat menentang keinginan Papa saat ingin menyewa seorang pengasuh. Tentu apa yang dikatakan Rena tidak digubris Papa.
Sejak memutuskan tidak sekolah, Papa tidak menyerah. Ia ingin putrinya terus belajar. Menurutnya, miskin otak jauh lebih buruk daripada miskin fisik. Akhirnya Rena belajar di rumah dengan sistem homeschooling.
Kamar Rena berada dilantai 2. Tentu ini menjadi problema lainnya pasca Rena kehilangan kaki. Papa bersikeras bahwa Rena harus pindah kamar. Tapi Rena tetaplah Rena yang keras kepala. Ia menghiraukan perkataan Papa.
“Kan Papa udah maksain nyewa pengasuh. Nah, bisa kan buat bantu Rena naik-turun tangga doang?” begitulah Rena. Papa menyerah. Papa menyulap lantai dua menjadi senyaman mungkin. Tujuannya agar Rena tidak terlalu sering naik-turun tangga.
Rena lebih suka menghabiskan waktu di kamarnya. Kamar yang ia sebut sebagai surga baginya. Karena hanya di kamar ini ia mendapatkan ketenangan. Ia hanya ditemani dengan Billy, boneka Teddy Bear pemberian mantannya terakhirnya. Orang yang meninggalkannya ketika tau bahwa kakinya diamputasi.
---
Sore itu, Rena keluar rumah sendirian dengan kursi rodanya. Rena suntuk kalau terus-menerus di rumah. Ia tak mau ditemani oleh pengasuhnya. Ia bahkan menganggap pengasuh itu tak ada.
Ketika ia hendak pulang, ia melihat 4 orang anak kecil sedang bermain di teras salah satu rumah yang tak jauh dari rumah Rena.
“Truth or Dare?”, tanya seorang bocah cowok berbaju orange kepada bocah cowok yang memakai baju biru.
“Dare aja, deh,” sahut bocah berbaju biru.
“Kalau gitu, kamu coba tiruin gaya ultraman berubah, yang keren, ya,” dare yang aneh. Tapi segera dilakukan dengan penuh semangat. Rena yang melihatnya dari depan rumah itu hanya bisa menahan tawa. Ia bergegas pulang, membayangkan permainan Truth or Dare yang baru saja anak kecil tadi mainkan.
---
“Gini-gini aja. Gimana nggak bosen coba?” Rena bergumam sendiri di kamarnya. Ia hanya melihat langit-langit kamar. Seakan tak ada hal lain yang dapat ia lakukan. Rena bergerak menuju rak bukunya. Rak penuh buku dan novel yang tak pernah Rena lewati untuk dibaca. Rena melihat-lihat buku di rak tersebut.
“Ah, udah dibaca semua,” Rena beralih ke meja belajarnya. Ada beberapa novel baru ditumpuk di sana. Rena memilah-milih novel yang ada. Pencariannya berhenti ketika ia melihat sebuah buku yang masih terbalut rapi dalam plastiknya.
“The Fabulous Udin? Kapan aku beli buku ini? Atau, ini yang kemarin dibeliin Mama?” Ia mengambil buku itu. Ia duduk di kursi belajarnya. Halaman demi halaman terlewati. Ekspresi Rena-pun berubah-ubah. Kadang ia tersenyum, tertawa, mengerutkan dahinya. Dan menurutnya, itu buku yang lumayan untuk membunuh waktu.
Rena me-khatam-kan The Fabulous Udin dalam tempo 3 jam. Bahkan ia tak menyangka waktu berjalan secepat itu. Rena kagum dengan sifat Suri –tokoh di TFU- yang kuat, padahal ia mengidap penyakit kanker otak. Penyakit yang dengan mudahnya merenggut nyawa seseorang. Bila dibandingkan dengan dirinya, yang dialami Rena jelas tidak ada apa-apanya. Rena masih bisa hidup dengan tenang. Tanpa memikirkan kapan kematian itu akan datang menjemput.
Rena pikir, kalau dirinya menjadi Suri ia tidak akan merasakan rasa sakitnya. Karena sudah ada seseorang yang menemaninya, sampai akhir hayat. Ya, sampai ajal menjemputnya, Suri ditemani dengan sang kekasih, Udin.
“Ah, sudahlah. Cerita kayak gini cuma sekedar fiksi belaka. Ini mah bisa-bisanya Onyol bikin cerita aja,” Rena tak ingin berakhir seperti Suri, tapi ia ingin memiliki kekasih seperi Udin.
---
Bosan. Jenuh. Begitulah kira-kira mood yang Rena rasakan hampir setiap hari. Ia memang jarang keluar rumah. Ia lebih sering melihat kondisi luar rumah dari jendela di kamarnya. Jendela tersebut menghadap ke halaman belakang rumah Rena. Kali ini Rena agak lama melihat ke luar jendela. Alasannya karena ia melihat seseorang di teras sebuah rumah yang berada persis dibelakang rumah Rena.
“Kayaknya aku belum pernah lihat cowok itu deh. Atau, akunya aja yang jarang keluar rumah?” matanya tak beranjak dari cowok tersebut. Cowok dengan potongan rambut pendek, putih, dan juga lumayan tampan. Tapi tak lebih tampan dari mantan-mantan Rena, terutama mantannya yang bernama Aldi. Bagi Rena, Aldi adalah Christian Sugiono yang pernah singgah dihatinya. Kembali ke cowok itu, Rena tak melihat ada sisi istimewa dalam diri cowok tersebut.
---
Rena sedang membaca sebuah buku di gazebo halaman belakang rumahnya. Tiba-tiba sebuah bola sepak masuk melewati tembok tinggi rumah Rena.
“Kerjaan anak belakang deh. Main bola nggak hati-hati. Masuk rumah orang, kan. Untung nggak kena aku,” Rena menggerutu. Ia yakin, sebentar lagi bel rumahnya akan berbunyi, dan akan ada anak kecil yang mengambil bola tersebut.
Ting, tong...
Bingo! Perkiraan Rena tepat. Ia menunggu seseorang yang akan mengambil bola yang kini sedang dipegangnya. Ia melihat pengasuhnya datang, kemudian berdiri di pintu belakang seraya menunjuk ke arahnya. Kali ini perkiraan Rena meleset. Bukan bocah kecil yang akan mengambil bola itu, tetapi cowok yang ia lihat dari jendela kamarnya-lah yang datang untuk mengambil.
“Eng... maaf. Tadi aku lagi main bola sama adikku. Aku menendang terlalu keras, ya, jadi masuk ke rumah kamu, deh. Kamu nggak kena bola, kan?” Rena hanya memandangi cowok tersebut. Ternyata lebih tampan jika dilihat dari dekat.
“Iya, gapapa kok. Lain kali kalau main bola hati-hati. Untung tadi nggak kena aku,” cowok itu tersenyum. Senyum yang manis menurut Rena.
“Boleh aku minta bolaku kembali?” pintanya sambil tersenyum. Rena tidak dapat berbicara melihat senyumnya. Ia memberikan bola tersebut tanpa megalihkan pandangannya dari wajah cowok itu.
“Oh iya, namaku Gemini, kamu?” akhirnya Rena tau nama cowok manis yang sekarang berada dihadapannya. Gemini menjulurkan tangannya dengan maksud bersalaman.
“Rena...hmm, nama yang cantik untuk seseorang yang ganteng,” kalimat terakhir Rena katakan dengan perlahan.
“Apa?” Gemini menaikkan alisnya.
“Eh, enggak kok, hehe,” Rena salah tingkah. Ia lalu menjabat tangan Gemini untuk pertama kalinya. Mereka berjabat tangan selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka berdua menjadi salah tingkah.
“Eh, adik aku kayaknya udah nungguin. Aku harus pulang sekarang,”
“Yaudah, nanti adik kamu nungguin loh,” aduh Rena, kenapa ngomong gitu , sih? Tadi kan dia udah ngomong kalau adiknya nungguin. Begitu batinnya berkata. Gemini tertawa mendengar perkataan Rena. Ia kemudian beranjak meninggalkan Rena sambil melambaikan tangannya.
Kini, Rena berharap bola yang ditendang Gemini sering-sering masuk ke halaman rumahnya. Sepertinya ia jatuh cinta.
---
“Billy, kita main sesuatu, yuk?”
“Kita main Truth or Dare aja. Kemarin aku lihat anak kecil main permainan ini, aku juga mau main, kamu mau, kan, main sama aku?” Rena duduk di lantai kamarnnya bersama Billy, boneka Teddy Bear kesayangannya.
Rena sadar ini adalah hal bodoh. Mengajak sebuah boneka bermain Truth or Dare adalah hal gila. Namun, ia berpikir lebih gila jika ia mengajak teman-teman yang suka menghina dirinya untuk bermain bersama.
“Oke, kamu duluan, ya. Aku milih truth,” Rena berbicara sendiri seakan Billy dapat membalas ucapannya.
“Apa? Ehm... gimana, ya,” pertanyaan yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan akan dijawab sendiri pula.
“Sepertinya aku jatuh cinta sama Gemini. Ya, walau gak ada istimewanya, tapi, dia cukup menawan,” Rena tersenyum. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Menatap langit biru yang membentang luas. Seakan menggambarkan kebebasan yang tak dapat ia rasakan.
---
Setelah pertemuan itu, Rena dan Gemini semakin dekat. Gemini semakin sering mengunjungi rumah Rena. Bukan. Bukan karena bolanya masuk ke halaman belakang rumah Rena lagi, melainkan ia ingin terus bersama dengan Rena.
Orang tua Rena sepertinya sudah memberikan lampu hijau kepada Gemini untuk menjalani hubungan dengan putri mereka. Disaat Rena tidak mau makan, Gemini-lah yang menyuapinya. Disaat Rena selalu menolak jika harus jalan-jalan bersama pengasuhnya, Gemini-lah yang mendorong kursi roda Rena kemana-pun Rena mau.
---
Sebenarnya mereka belum resmi pacaran, hingga pada suatu saat...
Hari semakin gelap, Rena kembali setelah tadi keluar untuk membeli sesuatu di mini market dekat rumahnya.
“Loh, kok gelap?” Rena bingung. Karena rumahnya menjad gelap. Tapi, ia melihat semua rumah tetangganya terang benderang. Dalam keadaan gelap seperti ini Rena kesulitan untuk menaikki tangga. Ada 1 hal yang membuat Rena bingung, kenapa rumahnya menjadi gelap, dan sepi? Padahal orang tua Rena ada di rumah saat ia pergi tadi.
“Huh, kenapa jadi kayak gini, sih, kemana semua orang?” Rena tak henti-hentinya mengeluh. Ia perlahan menaikki tangga dengan kedua tangannya memegangi list tangga. Rena juga terus berteriak memanggil orang tua dan pengasuhnya. Tapi hasilnya nihil.
Dengan susah payah akhirnya Rena berhasil mencapai depan pintu kamarnya. Alangkah terkejutnya Rena ketika ia melihat ada kertas glow in the dark membentuk tulisan, ‘LIHAT KE HALAMAN BELAKANG’ tertempel di tembok kamarnya. Rena berjalan ke arah jendela, dan ia mendapat kejutan yang membuatnya tak akan bisa melupakan hari itu.
Ia melihat orang tua dan pengasuhnya berdiri dibawah sana menatap ke arah jendela tempat Rena berdiri sekarang. Yang membuat ia speechless adahlah tulisan ‘Happy Birthday, Rena’ yang dibentuk dengan lilin yang menyala. Dari gazebo, ia melihat seseorang keluar membawa kue. Gemini... ia membawa kue dengan hiasan lilin berbentuk 17 dengan tulisan ‘Are u gonna be my girl?’ pada bagian atas kue.
Mulut Rena tak dapat mengeluarkan sepatah katapun, ia hanya mentutup mulutnya yang menganga dengan tangannya, dan ia mulai menangis. Tangis haru akan semua yang melakukan hal ini demi dirinya.
---
“Gem, kita main Truth or Dare, yuk?” sore itu, sama seperti sore-sore sebelumnya, Gemini selalu mengunjungi Rena. Mereka duduk berdua di ruang tengah di lantai dua.
“Boleh,” jawab Gemini tersenyum.
“Aku duluan, ya. Kamu pilih Truth or Dare?”
“Truth,”
“Jujur, ya, apa alasan kamu suka sama aku? Kenapa kamu mau pacaran sama aku? Padahal kondisi aku seperti ini,” Gemini yang mendengarnya hanya tersenyum. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan.
“Karena kamu segalanya bagiku...,” Rena mengerutkan dahinya, dan menaikkan alisnya.
“... sejak aku ngambil bola tempo hari, aku langsung suka sama kamu pada pandangan pertama. Aku tak melihat adanya kekurangan dalam jiwamu, walau ada dalam ragamu,” mendengarnya, mata Rena berbinar.
“Sekarang giliranmu, Truth or Dare?” Gemini seakan tak pernah meredupkan senyumnya pada Rena.
“Dare,”
“Aku mau kamu berdiri tanpa tongkat, dan pejamkan matamu,” Rena yang bingung dengan dare dari Gemini hanya bisa menurut. Peraturan tetaplah peraturan. Rena menjaga keseimbangannya agar tidak terjatuh karena berdiri dengan satu kaki. Selama 5 menit Rena berdiri dan memejamkan mata, tapi tak terdengar Gemini bersuara. Ia kehilangan keseimbangan, saat ia hendak jatuh, sebuah tubuh memeluknya dari belakang. Menahannya untuk jatuh. Gemini. Semenjak tadi ia hanya berdiri di belakang Rena dan memperhatikannya.
Rena membuka matanya, “kenapa kamu diam aja? Kenapa nunggu sampai aku kehilangan keseimbangan dan mau jatuh?” Gemini menjawab,
“Sekuat apapun kamu mencoba bertahan, ada waktunya kamu tak sanggup lagi untuk menahan beban itu dan kemudian terjatuh. Begitu pula dengan cinta kita, walau hubungan kita akan berjalan lama, pasti suatu saat akan roboh kalau beban yang kita tanggung begitu berat, kecuali Tuhan menolong kita saat kita hubungan kita hendak roboh,” lagi-lagi perkataan Gemini membuat Rena speechless.
“Walau fisik kamu nggak sempurna, tapi aku bisa memberimu kesempurnaan...,” Gemini kembali melanjutkan ucapannya.
“Apa itu? Fisik? Gak mungkin kamu ngasih bagian tubuh kamu, kan?” Rena semakin heran dengan perkataan Gemini.
“... hati aku, cinta kita,”  Gemini berbisik pelan di kuping Rena dan mempererat pelukannya. Kini Rena sadar, opininya mengenai Gemini yang tidak terlihat istimewa adalah salah. Gemini hanya memberikan keistimewaannya kepada orang yang dia cintai, orang yang dia sayangi, yaitu Rena.
---
“Tante, bagaimana kabar Rena?!” suasana tampak tegang di ruang tunggu UGD suatu RS terkenal di Jakarta Selatan. Gemini baru sampai. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sang kekasih.
“Infeksi... infeksi yang ada di kaki Rena sebelum diamputasi sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Dulu, kaki Rena terlambat diamputasi hingga kakinya infeksi, dokter memberi tahu akibat dari infeksi tersebut kepada Rena, Rena yang takut akhirnya mau mengamputasi kakinya. Tapi semua itu terlambat, Gem..,” Mama Rena menceritakan semuanya. Air mata tak luput menghiasi cerita tersebut.
Mendengar cerita Mama, Gemini menjadi lemas, ia bersandar pada tembok sambl memegangi dahinya. Raut wajahnya sangat jelas menggambarkan kekhawatiran. Kekhawatiran yang sangat besar.
---
Setiap pulang sekolah, Gemini selalu menemani Rena yang terbaring lemas di rumah sakit. Shift Gemini hanya sampai salah satu dari orang tua Rena pulang kerja. Tak lupa pengasuhnya yang setia menemani Rena jika ada, atau tak ada Gemini dan orang tuanya. Sekarang Rena mengerti pentingnya seorang pengasuh bagi dirinya. Disaat tak ada seorangpun yang tak bisa menemaninya, mbak Nella –pengasuhnya- lah yang selalu menyediakan segala kebutuhan Rena dan menjaganya setiap saat.
Semakin hari kondisi kaki kiri Rena semakin memburuk. Padahal selama pasca amputasi, kaki kirinya tak pernah memperlihatkan kondisi buruk. Tapi sekarang kaki kirinya semakin membiru dan membengkak. Keadaan itu berpengaruh pada fisik tubuh Rena seluruhnya. Lemak dalam tubuh Rena seakan menghilang. Rambut Rena helai demi helai berguguran. Eh, maaf, itu penyakit lain. Kondisi yang membuat semuanya khawatir, Mama-Papa, Gemini, dan pengasuhnya, mbak Nella.
---
23 April 2012. Hari yang mungkin menyedihkan bagi keluarga besar Rena. Mereka semua berkumpul di kamar nomor 207, tempat Rena berbaring selama 2 minggu terakhir. Suasana penuh haru sangat terasa di sana. Air mata berjatuhan dari setiap mata yang menatap Rena dalam kondisi semakin tidak berdaya.
“Mah... Gem... Gemi-ni mana, mah?” ucap Rena lirih.
“Rena sayang, Gemini sedang ada acara penting, tapi nanti dia akan datang, kok,” Mama terpaksa berbohong. Ia tahu bahwa Gemini sudah pindah rumah ke Jogjakarta 2 hari lalu. Kepindahan yang mendadak dan membuat kecewa kedua orang tua Rena, tapi kepindahan itu juga tak bisa ditunda oleh orang tua Gemini. Mama terpaksa berbohong karena ia tak mau melihat putrinya kecewa, mungkin ini adalah saat terakhirnya.
Tak berapa lama, Rena menghembuskan nafas terakhirnya. Tangis semua orang semakin tumpah saat Rena memejamkan mata. Akhir yang tidak diingkan Rena, karena tak besama orang yang ia cintai, Gemini.
---

“POS!”
“Iya, iya sebentar!” suara yang kencang. Tampaknya tukang pos tersebut mendengar sangat jelas teriakkan itu.
“Ada kiriman surat. Dengan mas Gemini?”
“Iya, saya sendiri, pak,”
“Ini suratnya, mas,”
“Oh iya, pak, terima kasih,” Gemini berjalan masuk sambil membolak-balik surat itu. Ia duduk di kursi tamu, dan perlahan membuka surat itu. Ada selembar kertas kecil dan kertas besar. Ia terlebih dulu membaca yang kecil.
‘Gemini, kertas ini tante ambil dari buku harian Rena. Tante gak ingin mengecewakan Rena meskipun ia telah tiada’
Gemini tercengang membaca surat tersebut. Ia menyesal tak ada disisi Rena saat Rena menghembuskan nafas terakhirnya. Kini, sudah 3 minggu sejak kepergian Rena. Ia membaca surat itu dengan hatinya, dan pikirannya menerawang jauh menembus kabut penyesalan. Tak berapa lama, ia menangis. Surat tersebut dibuat Rena sehari sebelum kematiannya dan sehari setelah Gemini pindah rumah.
‘Halo Gemini, apa kabar? Duh, seharian ini gak ada kabar dari kamu nih. Semoga kamu nggak kenapa-kenapa, ya. Aku nulis ini biar nanti kalau kamu dateng, kamu bisa tau apa aja yang aku lakukan hari ini. Aku lebay, ya? Gapapa deh hehe. Eh iya, kondisi aku makin lemes aja nih. Aku gak tau bakal kuat sampai berapa lama. Seperti apa kata kamu, sekuat apapun kita menahan, pasti akan jatuh juga, dan saat kita hendak jatuh, jika Tuhan punya kehendak, Dia pasti akan menolong kita. Aku berharap Tuhan menolongku, karena aku merasa tak sanggup lagi. Oh iya, kalau emang waktunya sebentar lagi, aku mau kayak Suri di buku The Fabulous Udin, dia wafat ditemani pacarnya, Udin. Kira-kira, kamu juga gitu, gak, ya? Ada disisi aku saat aku hendak ‘ditolong’ Tuhan? Tapi aku gak berharap banyak, aku tetaplah aku, bukan Suri atau siapapun. Duh, cukup segini dulu, ya, sayang. Kasihan tangan mbak Nella udah pegel nulisin ini semua demi aku. Malahan dia nulisnya sambil nangis lho, lucu, ya, udah gede suka nangis, aku aja enggak nangis kok, hahaha. Aku harap kamu ada di sini, secepatnya. I love you, Gemini.’

Wednesday, August 14, 2013

Selamat Lebaran, Kawan!

Setelah 29 hari (bagi yang full) menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, akhirnya kita dipertemukan dengan hari besar lainnya yang tentu saja ditunggu umat muslim diseluruh dunia, yak, Idul Fitri.

Idul Fitri itu apa sih, Di?

Hari bagi-bagi THR!
Bukan pea! Main nyamber aja lo.

Idul Fitri dapat diartikan kembali ke fitrah. Dinamakan Idul Fitri karena manusia pada hari itu laksana seorang bayi yang baru keluar dari dalam kandungan yang tidak mempunyai dosa dan salah.

Biasanya sesaat menjelang Idul Fitri, orang-orang sibuk membuat ucapan minta maaf, mulai dari yang menyentuh hati seperti;

“Ketika tangan ini tak mampu menggapai kelembutan jiwamu, ijinkan daku meneteskan air mata penyesalan atas  semua khilaf yang pernah melintas dalam diam dan gerak hina nafsuku, aku mengerti jika diri ini penuh iri dan dengki, betapa  tak pantas semua perilaku tak terpuji yang pernah melukai, dengan penuh kerendahan hati dan kesadaran jiwa, perkenankanlah aku untuk bersimpuh memohon maaf darimu. Sahabatku  tercinta…. Selamat Hari Raya Idul Fitri, minal aizin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin.”

Sampe yang... ah gue juga males ngomentarinnya. Liat aja sendiri deh;

“Buah Jeruk
Buah Melon
Mohon maaf lahir batin ya”

Nyambung abis...

Biasanya juga nih, kaum jomblo demen banget sama saat-saat kayak gini. Suka curi-curi kesempatan buat chatting sama orang yang disuka. Yang tadinya udah nulis, ‘Hai, kenalan yuk’ tapi dihapus lagi. Sekarang bermodal latar belakang ucapan lebaran, jadi berani bilang, ‘Eh, minal aidzin ya. Btw, kamu mudik, gak?’. Bisa... bisa... Paham kok gue.

Salah satu tradisi Idul Fitri di negara kita ialah mudik atau pulang kampung. Tapi, gue pribadi belum pernah ngerasain pulang kampung, melainkan pulang kota. Serang-Jakarta, sob. Gak ada kampung-kampungnya. Yaaa, kampung mana yang banyak gedung tingginya? Yang banyak mall sama bioskopnya? Kalo kampungnya aja segitu, gimana kotanya? Astagfirullah.

Mudik juga punya ciri khas tersediri, yaitu macet. Mudik kalo gak macet bukan mudik namanya.

Lho? Terus namanya apa dong, Di?
Au ah.  Bisa diem, gak?
Enggak hehe :3
Ngeselin. -___-

Karena gue belum pernah ngerasain mudik yang sesungguhnya, jadi gue juga belum tau rasanya macet khas mudik. Paling banter macet di lampu merah yang saking lamanya bisa buat ngetweet, update instagram, path, 4square, bahkan nulis di blog. Ya, gue tau pasti macet saat mudik itu membosankan. Berjam-jam di dalem mobil yang bergerak 1 cm per 2 jam. Belum lagi kalo battre hp abis, charger mobil ketinggalan di rumah sodara, mau muter takut nanti macetnya tambah panjang, baru inget ada power bank, tapi gak bisa nyala. Sweet.

Efek gue gak pernah tau gimana rasanya mudik. Gue bertekad, kalo udah gede nanti, gue bakal cari rumah yang jauh dari rumah ortu dan mertua gue. Ortu gue tinggal di Serang. Mertua gue (ceritanya) di Jawa. Gue akan tinggal di antara keduanya. Paris. Okesip.

Tradisi lainnya adalah bagi-bagi THR (Tunjangan Hari Raya).

Nah! Gue demen nih yang beginian!
Masalah duit aja, lo semangat. -___-

Siapa sih orang yang gak suka dikasih duit? Ya, mungkin ada, mungkin, tapi gue yakin hampir semua orang pasti girang kalo dikasih kertas berwarna itu. Gue sih kalo silaturahmi ke sanak saudara gak mengharapkan dapet THR. Pernah waktu itu gue dikasih THR tapi gue tolak. Kurang 100 ribu soalnya.

Udah pada dapet THR, duitnya dipake buat berbagai hal, ada yang beli baju baru-lah, (karena sebelum lebaran lupa beli baju baru), hp baru-lah, macem-macem pokoknya. Kalo duitnya abis, baru deh pada nyesel kenapa waktu itu dibiliin barang yang sebenernya gak penting-penting amat.. yah, namanya juga manusia.

Hal yang paling menyebalkan saat pembagian THR menurut gue adalah, ketika bokap gue bilang ke om gue saat beliau hendak ngasih lembaran 100rb ke gue. Bokap berkata dengan tegas, “Om, kalo udah gede, gausah dikasih THR, ya, maksimal sampe kelas 2 SMA”. Maksimal kelas 2? Gue kelas 3! Kenapa gak diselesain aja sampe kelas 3? Kenapa?!

Selanjutnya, tradisi kue lebaran. Gue juga suka nih sama tradisi yang satu ini. Bisa memperbaiki gizi gue (baca: bikin gemuk). Kue lebaran juga banyak macemnya, ada kue salju, kue sagu, kong ghuan isi rengginang, sampe The Legend of Lebaran Cake, nastar. Nastar masuk dalam perburuan kue lebaran nomer satu dalam daftar gue. Kalo di rumah sodara udah ada nastar, bisa gue abisin tuh satu wadah. Kalo masih ada, gue bawa ke pulang, buat makan di rumah. Ah, nikmatnya hidup.

Udah deh, cukup sekian dari gue. Btw, minal aidzin ya, friends. J
Selamat berlebaran!

iya iya, gue ngaku kalo dapet dari google, huft


Sunday, August 4, 2013

When We Love Someone



Pagi ini, sama seperti pagi sebelumnya dan pagi-pagi lainnya yang akan datang-setidaknya sampai sekitar seminggu ke depan sebelum liburan sekolah, tiba-aku terdiam. Tidak. Memang aku selalu diam. Diam dengan satu alasan jelas. Menunggu seseorang yang pasti akan kembali kepadaku jika waktunya tiba.
Kulirik jam di hadapanku, hmmm, pukul 10, berarti gak lama lagi dia pulang. Entah kenapa kali ini waktu berjalan begitu lambat. Detak jarum  jam  yang bisa kurasakan menyatu dengan tubuhku juga terasa berputar begitu lamban, seolah ia malu jika aku lihat terus-menerus.
Bosan. Sebenarnya banyak yang ingin kulakukan, tapi apa daya, aku tak sanggup melakukan hal-hal yang ingin aku lakukan. Gerakku terbatas. Yah, mau tidak mau aku harus kembali ke kegiatan awal yang kulakukan, menunggu. Rasanya aku sangat ingin berteriak karena kejenuhan hebat yang melandaku saat ini. Tapi suaraku mustahil bisa didengar. Bahkan jika ada seekor jangrik yang memamerkan suara bisingnya, suara itu tetap mampu mengalahkan teriakanku.
Banyak yang mengatakan kalau merubah diri itu susah, baik diri sendiri ataupun orang lain. Tapi sepertinya,  hal itu tak berlaku bagiku. Selama aku hidup, banyak perubahan yang terjadi pada diriku. Dan setiap detail perubahan yang terjadi padaku, aku ingat semuanya. Papa dan Mama selalu tak puas dengan keadaanku, makannya mereka rela merogoh kocek yang tak sedikit hanya untuk merubahku. Namun berkat mereka, aku yang sekarang tampak lebih segar. Aku juga sangat menyukai penampilan baruku ini.
---
“Assalamualaikum”
Ah! Itu dia! Aku melamun sampai tak sadar kalau jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Kalau begini, setiap hari aku melamun saja, supaya waktu terasa berlari dan terasa lebih cepat berlalu.
Sudah hampir setengah jam dia belum juga menghampiriku. Dia malah membanting tasnya di ruang tengah kemudian  masuk ke kamar adiknya. Huh, sial. Padahal biasanya dia buru-buru mendatangiku untuk istirahat. Lagi-lagi aku harus kembali ke pekerjaan yang seharusnya sudah selesai dari setengah jam yang lalu. Menunggu.
---
“Bro, gimana hubungan lu sama Ryana?”
“Begitulah..,”
“Membaik?”
“Gak membaik, tapi juga gak buruk. Melainkan hancur,”
“Terus? Lo mau putus?”
“Gue? Enggak. Dia yang mau,”
“Sayang, padahal Ryana cantik banget, menurut gue dia juga baik. Ya, gue tau lo jauh lebih mengenal dia daripada kita-kita, secara, lo udah lama sama dia. Tapi.. ya, sayang aja gitu kalau putus,”
“Tuhan yang menyatukan gue dan dia untuk bersama, Dia juga yang menentukan takdir kita berdua. Cuma yang gue sayangin, kenapa Tuhan membuat gue dan dia bersama selama 2 tahun? Kenapa gak 5 hari? Atau paling lama 5 bulan? Too much memories with her, and isn’t easy to forget,”
­­­---
“... bola dioper ke M. Ridwan, dia melepaskan umpan ke tengah kotak pinalti, sepertinya tak ada kawan di sana.. oh! GOOOOAAAAL!”
“GOOOOOOOAAAAAL!!! Yeaay! Akhirnya!!”
“.... Sergio Van Dijk! Comin’ from behind! Lolos dari pengawalan para pemain belakang Persipura, menyambar umpan lambung dari Muhammad Ridwan. 2-1 untuk Persib Bandung,”
Argh. Ternyata aku tertidur dan dibangunkan oleh suara komentator sepak bola featuring suara teriakkan Eza yang menonton pertandingan bola di tempatku. Sebenarnya aku sedikit kesal jika Eza nonton bola di sini, lebih-lebih kalau yang bertanding tim kesayangannya, ia bisa berteriak sekeras mungkin apabila terjadi gol bagi tim favoritnya itu. Yah, kadang aku sengaja mengerjai dia supaya dia tidak terlalu berisik. Aku buat ruangan ini seolah-olah ada hembusan angin yang masuk sehingga auranya berbeda, pasti dia langsung keluar, hihi.
Tunggu. Sepertinya aku melupakan sesuatu. Oh iya! Mimpi itu... membawaku kembali beberapa minggu yang lalu. Kenangan lama yang kepingannya masih terbawa sampai saat ini. Percakapan antar 3 sahabat mengenai suatu hubungan yang sepetinya sudah tidak dapat ditolong lagi. Hubungan yang membuat salah satu diantara mereka menjadi berbeda dari biasanya. Dari periang menjadi pemurung. Dari paling banyak membuat ulah menjadi pendiam. Dari yang bersikap bak pemimpin yang bijaksana, menjadi seorang pecundang yang buta akan tujuan hidup.
---
“Udahlah, Bro. Jangan memaksakan suatu hubungan agar tetap berjalan. Kalau emang udah waktunya jatuh, ambruk, hancur, biarin aja. Analoginya gini, lo suka main PES, tapi suatu hari laptop lo rusak, masih bisa dipakai buat main, tapi gambarnya gak jelas, larinya ngadat, dikit-dikit nge-hang. Apa mau lo paksain? Mainnya juga gak enak. Lo pasti coba berusaha buat benerin laptop lo, kalau emang gak bisa, ya, lo beli baru,”
“Terus kalau gue putus sama Ryana. Eh, bakal putus juga, sih. Gue harus beli cewek baru gitu? Analogi lo ngaco. Mending main lagi deh. Ambil stick lo, gue pakai Munchen. Siap gue bantai lo, lagi kesel nih,”
“Oke! Tapi lo jangan ngebayangin gawang musuh itu jadi muka Ryana lho, hahaha,”
“Biarin. Supaya gue semangat jebol gawang lu, hahaha. Yok lanjut!”
---
Aku tahu, kau tidak mengerti apa maksud dari perkataan Hugo tadi. Ya, tapi aku senang, kau bisa dengan cepat kembali tersenyum bahkan langsung bercanda ria dengan 2 sahabatmu, walau hanya untuk saat itu. Benar kiraku, sepulang mereka berdua, pikiranmu lagi-lagi menerawang jauh ke belakang. Aku membaca dari raut wajahmu yang tampak pusing dan lelah memikirkan sesuatu yang kurang pantas untuk kau pikirkan. Kau butuh seseorang untuk membantumu melupakan segelintir masalah yang melandamu. Sahabatmu tak selalu berada disisimu karena pasti mereka punya kegiatan lain. Tapi sadarkah kau bahwa ada aku yang selalu mengawasimu? Ada aku yang selalu ingin menghiburmu, walau aku tak sanggup.
Kini, 2 minggu sudah berlalu. Keadaanmu tak tampak lebih baik dari waktu itu. Kau sudah putus dengan perempuan bernama Ryana. Bisa dikatakan baru. Sekitar 3 atau 4 hari lalu ketika suara handphone-mu berdering keras. Wajahmu berseri kita kau membaca nama yang tertera dilayar ponselmu.
“Ryana Dwi S,” begitu gumamu sembari tersenyum halus. Senyuman yang hanya bertahan kurang dari 5 menit. Setelah kau menutup telfonmu. Kau mulai menangis. Sebenarnya pembicaraan diantara kalian berdua tak begitu lama. Tapi efeknya mampu bertahan sampai detik ini. Kau masih tampak murung. Aku mencoba menghiburmu, walau aku tak sanggup.
---
8 bulan pasca hubunganmu dengan Ryana berakhir. Kau sepertinya mulai terbiasa menjalani hidup sendiri. Dalam konteks pasangan khususnya. Itu bagus untukmu. Kau mencoba berbagai hal yang selama ini tak sempat dirimu lakukan. Segalanya kau kerjakan untuk mengisi waktu kosong. Untuk menyibukkan diri sendiri. Karena aku tahu, kau tak sanggup berdusta apabila rindu dengan Ryana kala sepi melanda.
---
“Kok lu masih jomblo sih? Gak mau cari cewek lagi gitu?”
“Yaelah, Go, cewek mah nanti juga dateng sendiri, hahaha,”
“Bay, temen lu tuh, ganteng-ganteng tapi jomblo,”
“Lo naksir, Go? Pacarin aja gih,”
“Kampret lu berdua, gue bukan maho. Lo lagi, Go, ngomongnya jijik gitu, ih,”
Mereka berdua, Hugo dan Bayu hampir tiap minggu datang berkunjung. Mereka ingin menemanimu. Mereka tahu, bila kau sendiri, kau selalu merindukan masa lalu. Ya, mereka memang sahabat yang baik, kau beruntung bisa bersama mereka. Meskipun, tujuan lainnya untuk bermain game sepak bola kesayang kalian. Aku tak tahu apa serunya permainan itu, sepertinya hampir semua lelaki gemar bermain game bola tersebut. Aku yang melihat kalian bermain sampai saat ini belum mengerti dimana letak serunya game itu. Bahkan kalau kalian bermain sampai teriak-teriak dan tertawa terbahak-bahak, aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku kalian.
Sepertinya akan ada yang datang... ah Mama. Beliau membuka pintu dan bertanya kepada kalian mengapa berisik sekali. Kau sudah bosan menjawab pertanyaan yang sama berulang-ulang dengan jawaban yang sama secara berulang-ulang pula. Tapi jika kau diam, beliau akan menceramahi kaian bertiga tanpa henti. Kecuali beliau sudah lelah.
“Biasa, Ma, permainan laki-laki. Bikin greget,” begitulah jawabmu. Dua lainnya mengangguk setuju seakan menguatkan pernyataanmu tadi. Sedangkan beliau, Mama-mu, hanya menggeleng. Entah itu gelengan kepala untuk yang keberapa kali. Kau tidak memperdulikannya. Aku juga terlalu malas untuk ikut menghitung.
---
            Akhir-akhir ini kau terlihat sibuk. Mama sampai bertanya, apa yang sedang engkau lakukan. Aku juga memiliki pertanyaan yang sama dengan Mama, tapi tak mampu terucap secara lisan. Kau hanya membalas pertanyaan itu dengan senyum tipis yang menjadi salah satu daya tarikmu di mata para gadis. Mama semakin heran. Aku juga semakin heran. Harapan kita sama, semoga apa yang dilakukanmu dapat menghasilkan sesuatu yang positif.
---
            Aw! Sakit sekali! Apa yang membuatku merasa sakit ketika aku sedang tidur? Aku tak bermimpi apa-apa. Aku juga tak bergerak selama aku tidur, ya, karena memang tidak bisa. Aku melihatmu masuk, membawa palu. Hey, palu? Untuk apa?
            BAM! BAM! BAM! BAM!
            “Akhirnya nancep juga ini paku,”
            Argh... apa yang dilakukannya? Apa dia tak sadar bahwa dinding ini juga bagian dari tubuhku? Apa dia tidak tahu rasanya kalau ada bagian dari tubuhnya  yang dipaku? Sangat sakit! Kau keluar lagi seakan ingin mengambil sesuatu. Papan tulis? Buat apa papan tulis itu? Mama melontarkan pertanyaan yang sama dengan apa yang aku pikirkan. Yah, naluri sesama perempuan. Eh, aku perempuan? Entahlah, aku juga tak tahu.
            Papan tulis itu kau letakkan tepat di depan tempat tidurmu dan disamping meja yang lebih senang disebut meja kerja olehmu. Aku tahu, belajar adalah pekerjaan yang paling malas untuk dirmu lakukan. Lantas, apa gunanya papan tulis berukuran 2x1 meter tersebut? Kalau ini dibuat dalam serial sinetron, pasti judulnya Hanya Tuhan-lah yang Tahu.
---
            Kau kini lebih sering bersama dengan laptopmu. Papan tulis itu juga sudah kau penuhi dengan tulisan-tulisan yang tak kumengerti maksudnya. Wait! Setelah kupahami, sepertinya tulisan-tulisan itu adalah sebuah judul. Buku? Novel? Cerpen? Atau puisi? Entahlah. Sekarang aku mengerti kenapa matamu kuat berlama-lama bertatapan dengan layar LCD yang menyala terang. Kau menjadi penulis. Ya, penulis. Sounds good. Aku tak tahu apa yang kamu tulis, tapi jika berkaca pada tulisan di papan tulismu, kau menuliskan kisah hidupmu. Mulai dari senang, bahagia, dan yang terakhir melanda dirimu, kesedihan dan kepedihan.
            Selain menulis, kau juga sepertinya tertarik dengan dunia musik. Bahkan celenganmu rela dibongkar untuk membeli sebuah gitar. Otodidak. Kau lebih suka cara itu. Surfing chord gitar di internet masuk dalam rutinitas kegiatanmu tiap hari. Perlahan, kau mulai mahir memainkan alat musik itu. Aku melihat bakat terpendam yang selama ini tak pernah sekalipun kau tunjukkan. Mulai dari lagu pop, hingga lagu rock yang beisik telah kau kuasai. Tapi, aku punya saran untukmu, lebih baik biarkan alunan gitar yang memenuhi diriku, tak perlu menyanyikan lirik yang selalu bernada sama dari mulutmu, hihi.
---
            Akhir-akhir ini aku semakin susah tidur. Sebabnya, musik rock yang hampir tiap waktu menggema dari speaker simbadda milikmu. Aku tak keberatan apabila kau melantunkan lagu melalui speaker-mu itu. Aku tak akan melarangmu. Tak akan mengganggumu. Karena aku juga milikmu. Tapi bisakah kau memilih lagu yang tepat untuk kita dengar bersama? Kau sadar aku ada. Akan tetapi sadarnya dirimu belum mampu menyadarkan bahwa aku juga bisa merasakan sesatu. Aku punya perasaan. Sama seperti dirmu. Sama seperti kalian.
---
            Kau pulang dengan raut wajah ceria hari ini. Sepertinya, hal baik telah menimpamu. Dengan bergegas kau membuka laptopmu dan menghapus sebagian tulisan di papan tulis. Entah apa lagi yang kau pikirkan. Jalan pikiranmu selalu membuatku bingung. Suara hentakan jari pada keyboard terdengar sampai ke indra pendengaranku. Kau menulis dengan senyum indah terlukis di wajahmu. Perkiraanku sepertinya tepat. Kau mengalami hari yang bagus.
            “Fiuh, kelar juga,” kau menghempaskan punggungmu ke sandaran kusi. Kayaknya apa yang kau kerjakan sudah mencapai akhir. Kau berdiri dari kursi itu. Astaga! Kau melihat kearahku. Matamu bergerak menelusuri ruangan ini. Diriku. Menjamah setiap detail dari setiap sudutnya. Aku merasa tersipu malu jika diperhatikan begini. Kembali kau lontarkan senyum manismu itu. Kau menyalakan speaker-mu. Memutar lagu yang... ah! Salah satu kesukaanku! Kali ini kau memilih lagu yang tepat untuk kau, maksudku, kita dengar bersama. When You Love Someone-nya Endah & Rhesa melantun dengan indah. Tanganmu meraih sebuah spidol dan mulai menggoreskan tinta hitamnya pada papan tulis kesayanganmu. When We Love Someoe. Begitu tulismu.
When you love someone
Just be brave to say
That you want him to be with you
When you hold your love
Don’t ever let it go
Or you will loose your chance
To make your dreams come true
            Kini kau tahu aku ada.
Kini kita tahu, kita sedang jatuh cinta.