Kali ini gue
akan membagi cerpen gue yang gue ikut sertakan dalam sayembara #TruthOrDare
bareng @WOWKonyol dan @bentangpustaka. Berhubung gue kalah, maka daripada
mubazir, mending gue share aja di blog. Oke deh, selamat membaca. :)
“Eh, awas ada calon pengemis mau lewat,”
kalimat itu lah yang selalu ia dengar. Itu merupakan salah satu dari ribuan
kalimat pedas dan tidak manusiawi yang ia dengar setiap hari. Setiap jam.
Setiap ia berada diluar istananya, rumahnya.
Keadaan di luar sana memaksanya untuk tidak
melanjutkan sekolah untuk sementara waktu atau bahkan selamanya. Bersekolah di
sekolah yang penuh dengan anak-anak dengan tingkat pergaulan tinggi tak lagi
menyenangkan di matanya. Mereka –teman-temannya- hanya ingin bersenang-senang.
Mereka tidak mau menerima kondisi fisik yang kurang dari salah satu teman
mereka.
Rena, remaja kelas 2 SMA yang dianugerahi wajah
cantik, rambut lurus nan panjang dan fisik yang anggun, mengalami kecelakaan
mobil saat ia hendak pergi ke luar kota. Kecelakaan yang membuat hidupnya
berubah. Kecelakaan yang membuat ia harus kehilangan kakinya.
“Enggak! Enggak mau! Kaki Rena gak boleh
diamputasi!” pernyataan dokter membuatnya shock saat itu. Hampir seminggu
setelah dokter mengeluarkan penyataan harus mengamputasi kaki Rena, ia tak
kunjung menuruti apa kata dokter. Alhasil, kakinya semakin membengkak dan
menjadi infeksi. Dokter memberinya peringatan, sebenarnya peringatan ini sudah
terlambat. Dokter takut infeksi itu menyebar dan menyerang tubuh Rena, bukan
hanya kehilangan kaki, tapi Rena juga bisa kehilangan nyawanya. Dengan berat
hati, Rena memgizinkan dokter mengambil kakinya.
Semenjak kakinya diamputasi, Papa Rena menjadi
sangat posesif. Rena jadi sangat dimanjakan. Padahal, apa yang dilakukan Papa
tidak disukai Rena. Rena tidak ingin terlihat lemah. Bahkan ia sempat menentang
keinginan Papa saat ingin menyewa seorang pengasuh. Tentu apa yang dikatakan
Rena tidak digubris Papa.
Sejak memutuskan tidak sekolah, Papa tidak
menyerah. Ia ingin putrinya terus belajar. Menurutnya, miskin otak jauh lebih
buruk daripada miskin fisik. Akhirnya Rena belajar di rumah dengan sistem homeschooling.
Kamar Rena berada dilantai 2. Tentu ini menjadi
problema lainnya pasca Rena kehilangan kaki. Papa bersikeras bahwa Rena harus
pindah kamar. Tapi Rena tetaplah Rena yang keras kepala. Ia menghiraukan
perkataan Papa.
“Kan Papa udah maksain nyewa pengasuh. Nah,
bisa kan buat bantu Rena naik-turun tangga doang?” begitulah Rena. Papa
menyerah. Papa menyulap lantai dua menjadi senyaman mungkin. Tujuannya agar
Rena tidak terlalu sering naik-turun tangga.
Rena lebih suka menghabiskan waktu di kamarnya.
Kamar yang ia sebut sebagai surga baginya. Karena hanya di kamar ini ia
mendapatkan ketenangan. Ia hanya ditemani dengan Billy, boneka Teddy Bear
pemberian mantannya terakhirnya. Orang yang meninggalkannya ketika tau bahwa kakinya
diamputasi.
---
Sore itu, Rena keluar rumah sendirian dengan
kursi rodanya. Rena suntuk kalau terus-menerus di rumah. Ia tak mau ditemani
oleh pengasuhnya. Ia bahkan menganggap pengasuh itu tak ada.
Ketika ia hendak pulang, ia melihat 4 orang
anak kecil sedang bermain di teras salah satu rumah yang tak jauh dari rumah
Rena.
“Truth or Dare?”, tanya seorang bocah cowok
berbaju orange kepada bocah cowok yang memakai baju biru.
“Dare aja, deh,” sahut bocah berbaju biru.
“Kalau gitu, kamu coba tiruin gaya ultraman
berubah, yang keren, ya,” dare yang aneh. Tapi segera dilakukan dengan penuh
semangat. Rena yang melihatnya dari depan rumah itu hanya bisa menahan tawa. Ia
bergegas pulang, membayangkan permainan Truth or Dare yang baru saja anak kecil
tadi mainkan.
---
“Gini-gini aja. Gimana nggak bosen coba?” Rena
bergumam sendiri di kamarnya. Ia hanya melihat langit-langit kamar. Seakan tak
ada hal lain yang dapat ia lakukan. Rena bergerak menuju rak bukunya. Rak penuh
buku dan novel yang tak pernah Rena lewati untuk dibaca. Rena melihat-lihat
buku di rak tersebut.
“Ah, udah dibaca semua,” Rena beralih ke meja
belajarnya. Ada beberapa novel baru ditumpuk di sana. Rena memilah-milih novel
yang ada. Pencariannya berhenti ketika ia melihat sebuah buku yang masih
terbalut rapi dalam plastiknya.
“The Fabulous Udin? Kapan aku beli buku ini?
Atau, ini yang kemarin dibeliin Mama?” Ia mengambil buku itu. Ia duduk di kursi
belajarnya. Halaman demi halaman terlewati. Ekspresi Rena-pun berubah-ubah.
Kadang ia tersenyum, tertawa, mengerutkan dahinya. Dan menurutnya, itu buku yang
lumayan untuk membunuh waktu.
Rena me-khatam-kan The Fabulous Udin
dalam tempo 3 jam. Bahkan ia tak menyangka waktu berjalan secepat itu. Rena
kagum dengan sifat Suri –tokoh di TFU- yang kuat, padahal ia mengidap penyakit
kanker otak. Penyakit yang dengan mudahnya merenggut nyawa seseorang. Bila
dibandingkan dengan dirinya, yang dialami Rena jelas tidak ada apa-apanya. Rena
masih bisa hidup dengan tenang. Tanpa memikirkan kapan kematian itu akan datang
menjemput.
Rena pikir, kalau dirinya menjadi Suri ia tidak
akan merasakan rasa sakitnya. Karena sudah ada seseorang yang menemaninya,
sampai akhir hayat. Ya, sampai ajal menjemputnya, Suri ditemani dengan sang
kekasih, Udin.
“Ah, sudahlah. Cerita kayak gini cuma sekedar
fiksi belaka. Ini mah bisa-bisanya Onyol bikin cerita aja,” Rena tak ingin berakhir
seperti Suri, tapi ia ingin memiliki kekasih seperi Udin.
---
Bosan. Jenuh. Begitulah kira-kira mood
yang Rena rasakan hampir setiap hari. Ia memang jarang keluar rumah. Ia lebih
sering melihat kondisi luar rumah dari jendela di kamarnya. Jendela tersebut
menghadap ke halaman belakang rumah Rena. Kali ini Rena agak lama melihat ke
luar jendela. Alasannya karena ia melihat seseorang di teras sebuah rumah yang
berada persis dibelakang rumah Rena.
“Kayaknya aku belum pernah lihat cowok itu deh.
Atau, akunya aja yang jarang keluar rumah?” matanya tak beranjak dari cowok
tersebut. Cowok dengan potongan rambut pendek, putih, dan juga lumayan tampan.
Tapi tak lebih tampan dari mantan-mantan Rena, terutama mantannya yang bernama
Aldi. Bagi Rena, Aldi adalah Christian Sugiono yang pernah singgah dihatinya.
Kembali ke cowok itu, Rena tak melihat ada sisi istimewa dalam diri cowok
tersebut.
---
Rena sedang membaca sebuah buku di gazebo
halaman belakang rumahnya. Tiba-tiba sebuah bola sepak masuk melewati tembok
tinggi rumah Rena.
“Kerjaan anak belakang deh. Main bola nggak
hati-hati. Masuk rumah orang, kan. Untung nggak kena aku,” Rena menggerutu. Ia
yakin, sebentar lagi bel rumahnya akan berbunyi, dan akan ada anak kecil yang
mengambil bola tersebut.
Ting, tong...
Bingo! Perkiraan Rena tepat. Ia menunggu
seseorang yang akan mengambil bola yang kini sedang dipegangnya. Ia melihat
pengasuhnya datang, kemudian berdiri di pintu belakang seraya menunjuk ke
arahnya. Kali ini perkiraan Rena meleset. Bukan bocah kecil yang akan mengambil
bola itu, tetapi cowok yang ia lihat dari jendela kamarnya-lah yang datang untuk
mengambil.
“Eng... maaf. Tadi aku lagi main bola sama
adikku. Aku menendang terlalu keras, ya, jadi masuk ke rumah kamu, deh. Kamu
nggak kena bola, kan?” Rena hanya memandangi cowok tersebut. Ternyata lebih
tampan jika dilihat dari dekat.
“Iya, gapapa kok. Lain kali kalau main bola
hati-hati. Untung tadi nggak kena aku,” cowok itu tersenyum. Senyum yang manis
menurut Rena.
“Boleh aku minta bolaku kembali?” pintanya
sambil tersenyum. Rena tidak dapat berbicara melihat senyumnya. Ia memberikan
bola tersebut tanpa megalihkan pandangannya dari wajah cowok itu.
“Oh iya, namaku Gemini, kamu?” akhirnya Rena
tau nama cowok manis yang sekarang berada dihadapannya. Gemini menjulurkan
tangannya dengan maksud bersalaman.
“Rena...hmm, nama yang cantik untuk seseorang
yang ganteng,” kalimat terakhir Rena katakan dengan perlahan.
“Apa?” Gemini menaikkan alisnya.
“Eh, enggak kok, hehe,” Rena salah tingkah. Ia
lalu menjabat tangan Gemini untuk pertama kalinya. Mereka berjabat tangan
selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka berdua menjadi salah tingkah.
“Eh, adik aku kayaknya udah nungguin. Aku harus
pulang sekarang,”
“Yaudah, nanti adik kamu nungguin loh,” aduh
Rena, kenapa ngomong gitu , sih? Tadi kan dia udah ngomong kalau adiknya
nungguin. Begitu batinnya berkata. Gemini tertawa mendengar perkataan Rena.
Ia kemudian beranjak meninggalkan Rena sambil melambaikan tangannya.
Kini, Rena berharap bola yang ditendang Gemini
sering-sering masuk ke halaman rumahnya. Sepertinya ia jatuh cinta.
---
“Billy, kita main sesuatu, yuk?”
“Kita main Truth or Dare aja. Kemarin aku lihat
anak kecil main permainan ini, aku juga mau main, kamu mau, kan, main sama
aku?” Rena duduk di lantai kamarnnya bersama Billy, boneka Teddy Bear
kesayangannya.
Rena sadar ini adalah hal bodoh. Mengajak
sebuah boneka bermain Truth or Dare adalah hal gila. Namun, ia berpikir lebih
gila jika ia mengajak teman-teman yang suka menghina dirinya untuk bermain
bersama.
“Oke, kamu duluan, ya. Aku milih truth,” Rena
berbicara sendiri seakan Billy dapat membalas ucapannya.
“Apa? Ehm... gimana, ya,” pertanyaan yang hanya
diketahui oleh dirinya sendiri dan akan dijawab sendiri pula.
“Sepertinya aku jatuh cinta sama Gemini. Ya,
walau gak ada istimewanya, tapi, dia cukup menawan,” Rena tersenyum. Ia
mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Menatap langit biru yang membentang
luas. Seakan menggambarkan kebebasan yang tak dapat ia rasakan.
---
Setelah pertemuan itu, Rena dan Gemini semakin
dekat. Gemini semakin sering mengunjungi rumah Rena. Bukan. Bukan karena
bolanya masuk ke halaman belakang rumah Rena lagi, melainkan ia ingin terus
bersama dengan Rena.
Orang tua Rena sepertinya sudah memberikan
lampu hijau kepada Gemini untuk menjalani hubungan dengan putri mereka. Disaat
Rena tidak mau makan, Gemini-lah yang menyuapinya. Disaat Rena selalu menolak
jika harus jalan-jalan bersama pengasuhnya, Gemini-lah yang mendorong kursi
roda Rena kemana-pun Rena mau.
---
Sebenarnya mereka belum resmi pacaran, hingga
pada suatu saat...
Hari semakin gelap, Rena kembali setelah tadi
keluar untuk membeli sesuatu di mini market dekat rumahnya.
“Loh, kok gelap?” Rena bingung. Karena rumahnya
menjad gelap. Tapi, ia melihat semua rumah tetangganya terang benderang. Dalam
keadaan gelap seperti ini Rena kesulitan untuk menaikki tangga. Ada 1 hal yang
membuat Rena bingung, kenapa rumahnya menjadi gelap, dan sepi? Padahal orang
tua Rena ada di rumah saat ia pergi tadi.
“Huh, kenapa jadi kayak gini, sih, kemana semua
orang?” Rena tak henti-hentinya mengeluh. Ia perlahan menaikki tangga dengan
kedua tangannya memegangi list tangga. Rena juga terus berteriak memanggil
orang tua dan pengasuhnya. Tapi hasilnya nihil.
Dengan susah payah akhirnya Rena berhasil mencapai depan pintu
kamarnya. Alangkah terkejutnya Rena ketika ia melihat ada kertas glow in the
dark membentuk tulisan, ‘LIHAT KE HALAMAN BELAKANG’ tertempel di tembok
kamarnya. Rena berjalan ke arah jendela, dan ia mendapat kejutan yang
membuatnya tak akan bisa melupakan hari itu.
Ia melihat orang tua dan pengasuhnya berdiri dibawah sana menatap
ke arah jendela tempat Rena berdiri sekarang. Yang membuat ia speechless
adahlah tulisan ‘Happy Birthday, Rena’ yang dibentuk dengan lilin yang menyala.
Dari gazebo, ia melihat seseorang keluar membawa kue. Gemini... ia membawa kue
dengan hiasan lilin berbentuk 17 dengan tulisan ‘Are u gonna be my girl?’
pada bagian atas kue.
Mulut Rena tak dapat mengeluarkan sepatah
katapun, ia hanya mentutup mulutnya yang menganga dengan tangannya, dan ia
mulai menangis. Tangis haru akan semua yang melakukan hal ini demi dirinya.
---
“Gem, kita main Truth or Dare, yuk?” sore itu,
sama seperti sore-sore sebelumnya, Gemini selalu mengunjungi Rena. Mereka duduk
berdua di ruang tengah di lantai dua.
“Boleh,” jawab Gemini tersenyum.
“Aku duluan, ya. Kamu pilih Truth or Dare?”
“Truth,”
“Jujur, ya, apa alasan kamu suka sama aku?
Kenapa kamu mau pacaran sama aku? Padahal kondisi aku seperti ini,” Gemini yang
mendengarnya hanya tersenyum. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan
perlahan.
“Karena kamu segalanya bagiku...,” Rena
mengerutkan dahinya, dan menaikkan alisnya.
“... sejak aku ngambil bola tempo hari, aku
langsung suka sama kamu pada pandangan pertama. Aku tak melihat adanya
kekurangan dalam jiwamu, walau ada dalam ragamu,” mendengarnya, mata Rena
berbinar.
“Sekarang giliranmu, Truth or Dare?” Gemini
seakan tak pernah meredupkan senyumnya pada Rena.
“Dare,”
“Aku mau kamu berdiri tanpa tongkat, dan
pejamkan matamu,” Rena yang bingung dengan dare dari Gemini hanya bisa menurut.
Peraturan tetaplah peraturan. Rena menjaga keseimbangannya agar tidak terjatuh
karena berdiri dengan satu kaki. Selama 5 menit Rena berdiri dan memejamkan
mata, tapi tak terdengar Gemini bersuara. Ia kehilangan keseimbangan, saat ia
hendak jatuh, sebuah tubuh memeluknya dari belakang. Menahannya untuk jatuh.
Gemini. Semenjak tadi ia hanya berdiri di belakang Rena dan memperhatikannya.
Rena membuka matanya, “kenapa kamu diam aja?
Kenapa nunggu sampai aku kehilangan keseimbangan dan mau jatuh?” Gemini
menjawab,
“Sekuat apapun kamu mencoba bertahan, ada
waktunya kamu tak sanggup lagi untuk menahan beban itu dan kemudian terjatuh.
Begitu pula dengan cinta kita, walau hubungan kita akan berjalan lama, pasti
suatu saat akan roboh kalau beban yang kita tanggung begitu berat, kecuali
Tuhan menolong kita saat kita hubungan kita hendak roboh,” lagi-lagi perkataan
Gemini membuat Rena speechless.
“Walau fisik kamu nggak sempurna, tapi aku bisa
memberimu kesempurnaan...,” Gemini kembali melanjutkan ucapannya.
“Apa itu? Fisik? Gak mungkin kamu ngasih bagian
tubuh kamu, kan?” Rena semakin heran dengan perkataan Gemini.
“... hati aku, cinta kita,” Gemini berbisik pelan di kuping Rena dan mempererat
pelukannya. Kini Rena sadar, opininya mengenai Gemini yang tidak terlihat
istimewa adalah salah. Gemini hanya memberikan keistimewaannya kepada orang
yang dia cintai, orang yang dia sayangi, yaitu Rena.
---
“Tante, bagaimana kabar Rena?!” suasana tampak
tegang di ruang tunggu UGD suatu RS terkenal di Jakarta Selatan. Gemini baru
sampai. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sang kekasih.
“Infeksi... infeksi yang ada di kaki Rena
sebelum diamputasi sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Dulu, kaki Rena
terlambat diamputasi hingga kakinya infeksi, dokter memberi tahu akibat dari
infeksi tersebut kepada Rena, Rena yang takut akhirnya mau mengamputasi
kakinya. Tapi semua itu terlambat, Gem..,” Mama Rena menceritakan semuanya. Air
mata tak luput menghiasi cerita tersebut.
Mendengar cerita Mama, Gemini menjadi lemas, ia
bersandar pada tembok sambl memegangi dahinya. Raut wajahnya sangat jelas
menggambarkan kekhawatiran. Kekhawatiran yang sangat besar.
---
Setiap pulang sekolah, Gemini selalu menemani
Rena yang terbaring lemas di rumah sakit. Shift Gemini hanya sampai
salah satu dari orang tua Rena pulang kerja. Tak lupa pengasuhnya yang setia
menemani Rena jika ada, atau tak ada Gemini dan orang tuanya. Sekarang Rena
mengerti pentingnya seorang pengasuh bagi dirinya. Disaat tak ada seorangpun
yang tak bisa menemaninya, mbak Nella –pengasuhnya- lah yang selalu menyediakan
segala kebutuhan Rena dan menjaganya setiap saat.
Semakin hari kondisi kaki kiri Rena semakin
memburuk. Padahal selama pasca amputasi, kaki kirinya tak pernah memperlihatkan
kondisi buruk. Tapi sekarang kaki kirinya semakin membiru dan membengkak.
Keadaan itu berpengaruh pada fisik tubuh Rena seluruhnya. Lemak dalam tubuh
Rena seakan menghilang. Rambut Rena helai demi helai berguguran. Eh, maaf, itu
penyakit lain. Kondisi yang membuat semuanya khawatir, Mama-Papa, Gemini, dan
pengasuhnya, mbak Nella.
---
23 April 2012. Hari yang mungkin menyedihkan
bagi keluarga besar Rena. Mereka semua berkumpul di kamar nomor 207, tempat
Rena berbaring selama 2 minggu terakhir. Suasana penuh haru sangat terasa di
sana. Air mata berjatuhan dari setiap mata yang menatap Rena dalam kondisi
semakin tidak berdaya.
“Mah... Gem... Gemi-ni mana, mah?” ucap Rena
lirih.
“Rena sayang, Gemini sedang ada acara penting,
tapi nanti dia akan datang, kok,” Mama terpaksa berbohong. Ia tahu bahwa Gemini
sudah pindah rumah ke Jogjakarta 2 hari lalu. Kepindahan yang mendadak dan
membuat kecewa kedua orang tua Rena, tapi kepindahan itu juga tak bisa ditunda
oleh orang tua Gemini. Mama terpaksa berbohong karena ia tak mau melihat
putrinya kecewa, mungkin ini adalah saat terakhirnya.
Tak berapa lama, Rena menghembuskan nafas
terakhirnya. Tangis semua orang semakin tumpah saat Rena memejamkan mata. Akhir
yang tidak diingkan Rena, karena tak besama orang yang ia cintai, Gemini.
---
“POS!”
“Iya, iya sebentar!” suara yang kencang.
Tampaknya tukang pos tersebut mendengar sangat jelas teriakkan itu.
“Ada kiriman surat. Dengan mas Gemini?”
“Iya, saya sendiri, pak,”
“Ini suratnya, mas,”
“Oh iya, pak, terima kasih,” Gemini berjalan
masuk sambil membolak-balik surat itu. Ia duduk di kursi tamu, dan perlahan
membuka surat itu. Ada selembar kertas kecil dan kertas besar. Ia terlebih dulu
membaca yang kecil.
‘Gemini, kertas ini tante ambil dari buku harian Rena. Tante gak
ingin mengecewakan Rena meskipun ia telah tiada’
Gemini tercengang membaca surat tersebut. Ia
menyesal tak ada disisi Rena saat Rena menghembuskan nafas terakhirnya. Kini,
sudah 3 minggu sejak kepergian Rena. Ia membaca surat itu dengan hatinya, dan
pikirannya menerawang jauh menembus kabut penyesalan. Tak berapa lama, ia
menangis. Surat tersebut dibuat Rena sehari sebelum kematiannya dan sehari
setelah Gemini pindah rumah.
‘Halo Gemini, apa kabar? Duh, seharian ini gak
ada kabar dari kamu nih. Semoga kamu nggak kenapa-kenapa, ya. Aku nulis ini
biar nanti kalau kamu dateng, kamu bisa tau apa aja yang aku lakukan hari ini.
Aku lebay, ya? Gapapa deh hehe. Eh iya, kondisi aku makin lemes aja nih. Aku
gak tau bakal kuat sampai berapa lama. Seperti apa kata kamu, sekuat apapun
kita menahan, pasti akan jatuh juga, dan saat kita hendak jatuh, jika Tuhan
punya kehendak, Dia pasti akan menolong kita. Aku berharap Tuhan menolongku, karena
aku merasa tak sanggup lagi. Oh iya, kalau emang waktunya sebentar lagi, aku
mau kayak Suri di buku The Fabulous Udin, dia wafat ditemani pacarnya, Udin.
Kira-kira, kamu juga gitu, gak, ya? Ada disisi aku saat aku hendak ‘ditolong’
Tuhan? Tapi aku gak berharap banyak, aku tetaplah aku, bukan Suri atau
siapapun. Duh, cukup segini dulu, ya, sayang. Kasihan tangan mbak Nella udah
pegel nulisin ini semua demi aku. Malahan dia nulisnya sambil nangis lho, lucu,
ya, udah gede suka nangis, aku aja enggak nangis kok, hahaha. Aku harap kamu
ada di sini, secepatnya. I love you, Gemini.’