Sunday, August 4, 2013

When We Love Someone



Pagi ini, sama seperti pagi sebelumnya dan pagi-pagi lainnya yang akan datang-setidaknya sampai sekitar seminggu ke depan sebelum liburan sekolah, tiba-aku terdiam. Tidak. Memang aku selalu diam. Diam dengan satu alasan jelas. Menunggu seseorang yang pasti akan kembali kepadaku jika waktunya tiba.
Kulirik jam di hadapanku, hmmm, pukul 10, berarti gak lama lagi dia pulang. Entah kenapa kali ini waktu berjalan begitu lambat. Detak jarum  jam  yang bisa kurasakan menyatu dengan tubuhku juga terasa berputar begitu lamban, seolah ia malu jika aku lihat terus-menerus.
Bosan. Sebenarnya banyak yang ingin kulakukan, tapi apa daya, aku tak sanggup melakukan hal-hal yang ingin aku lakukan. Gerakku terbatas. Yah, mau tidak mau aku harus kembali ke kegiatan awal yang kulakukan, menunggu. Rasanya aku sangat ingin berteriak karena kejenuhan hebat yang melandaku saat ini. Tapi suaraku mustahil bisa didengar. Bahkan jika ada seekor jangrik yang memamerkan suara bisingnya, suara itu tetap mampu mengalahkan teriakanku.
Banyak yang mengatakan kalau merubah diri itu susah, baik diri sendiri ataupun orang lain. Tapi sepertinya,  hal itu tak berlaku bagiku. Selama aku hidup, banyak perubahan yang terjadi pada diriku. Dan setiap detail perubahan yang terjadi padaku, aku ingat semuanya. Papa dan Mama selalu tak puas dengan keadaanku, makannya mereka rela merogoh kocek yang tak sedikit hanya untuk merubahku. Namun berkat mereka, aku yang sekarang tampak lebih segar. Aku juga sangat menyukai penampilan baruku ini.
---
“Assalamualaikum”
Ah! Itu dia! Aku melamun sampai tak sadar kalau jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Kalau begini, setiap hari aku melamun saja, supaya waktu terasa berlari dan terasa lebih cepat berlalu.
Sudah hampir setengah jam dia belum juga menghampiriku. Dia malah membanting tasnya di ruang tengah kemudian  masuk ke kamar adiknya. Huh, sial. Padahal biasanya dia buru-buru mendatangiku untuk istirahat. Lagi-lagi aku harus kembali ke pekerjaan yang seharusnya sudah selesai dari setengah jam yang lalu. Menunggu.
---
“Bro, gimana hubungan lu sama Ryana?”
“Begitulah..,”
“Membaik?”
“Gak membaik, tapi juga gak buruk. Melainkan hancur,”
“Terus? Lo mau putus?”
“Gue? Enggak. Dia yang mau,”
“Sayang, padahal Ryana cantik banget, menurut gue dia juga baik. Ya, gue tau lo jauh lebih mengenal dia daripada kita-kita, secara, lo udah lama sama dia. Tapi.. ya, sayang aja gitu kalau putus,”
“Tuhan yang menyatukan gue dan dia untuk bersama, Dia juga yang menentukan takdir kita berdua. Cuma yang gue sayangin, kenapa Tuhan membuat gue dan dia bersama selama 2 tahun? Kenapa gak 5 hari? Atau paling lama 5 bulan? Too much memories with her, and isn’t easy to forget,”
­­­---
“... bola dioper ke M. Ridwan, dia melepaskan umpan ke tengah kotak pinalti, sepertinya tak ada kawan di sana.. oh! GOOOOAAAAL!”
“GOOOOOOOAAAAAL!!! Yeaay! Akhirnya!!”
“.... Sergio Van Dijk! Comin’ from behind! Lolos dari pengawalan para pemain belakang Persipura, menyambar umpan lambung dari Muhammad Ridwan. 2-1 untuk Persib Bandung,”
Argh. Ternyata aku tertidur dan dibangunkan oleh suara komentator sepak bola featuring suara teriakkan Eza yang menonton pertandingan bola di tempatku. Sebenarnya aku sedikit kesal jika Eza nonton bola di sini, lebih-lebih kalau yang bertanding tim kesayangannya, ia bisa berteriak sekeras mungkin apabila terjadi gol bagi tim favoritnya itu. Yah, kadang aku sengaja mengerjai dia supaya dia tidak terlalu berisik. Aku buat ruangan ini seolah-olah ada hembusan angin yang masuk sehingga auranya berbeda, pasti dia langsung keluar, hihi.
Tunggu. Sepertinya aku melupakan sesuatu. Oh iya! Mimpi itu... membawaku kembali beberapa minggu yang lalu. Kenangan lama yang kepingannya masih terbawa sampai saat ini. Percakapan antar 3 sahabat mengenai suatu hubungan yang sepetinya sudah tidak dapat ditolong lagi. Hubungan yang membuat salah satu diantara mereka menjadi berbeda dari biasanya. Dari periang menjadi pemurung. Dari paling banyak membuat ulah menjadi pendiam. Dari yang bersikap bak pemimpin yang bijaksana, menjadi seorang pecundang yang buta akan tujuan hidup.
---
“Udahlah, Bro. Jangan memaksakan suatu hubungan agar tetap berjalan. Kalau emang udah waktunya jatuh, ambruk, hancur, biarin aja. Analoginya gini, lo suka main PES, tapi suatu hari laptop lo rusak, masih bisa dipakai buat main, tapi gambarnya gak jelas, larinya ngadat, dikit-dikit nge-hang. Apa mau lo paksain? Mainnya juga gak enak. Lo pasti coba berusaha buat benerin laptop lo, kalau emang gak bisa, ya, lo beli baru,”
“Terus kalau gue putus sama Ryana. Eh, bakal putus juga, sih. Gue harus beli cewek baru gitu? Analogi lo ngaco. Mending main lagi deh. Ambil stick lo, gue pakai Munchen. Siap gue bantai lo, lagi kesel nih,”
“Oke! Tapi lo jangan ngebayangin gawang musuh itu jadi muka Ryana lho, hahaha,”
“Biarin. Supaya gue semangat jebol gawang lu, hahaha. Yok lanjut!”
---
Aku tahu, kau tidak mengerti apa maksud dari perkataan Hugo tadi. Ya, tapi aku senang, kau bisa dengan cepat kembali tersenyum bahkan langsung bercanda ria dengan 2 sahabatmu, walau hanya untuk saat itu. Benar kiraku, sepulang mereka berdua, pikiranmu lagi-lagi menerawang jauh ke belakang. Aku membaca dari raut wajahmu yang tampak pusing dan lelah memikirkan sesuatu yang kurang pantas untuk kau pikirkan. Kau butuh seseorang untuk membantumu melupakan segelintir masalah yang melandamu. Sahabatmu tak selalu berada disisimu karena pasti mereka punya kegiatan lain. Tapi sadarkah kau bahwa ada aku yang selalu mengawasimu? Ada aku yang selalu ingin menghiburmu, walau aku tak sanggup.
Kini, 2 minggu sudah berlalu. Keadaanmu tak tampak lebih baik dari waktu itu. Kau sudah putus dengan perempuan bernama Ryana. Bisa dikatakan baru. Sekitar 3 atau 4 hari lalu ketika suara handphone-mu berdering keras. Wajahmu berseri kita kau membaca nama yang tertera dilayar ponselmu.
“Ryana Dwi S,” begitu gumamu sembari tersenyum halus. Senyuman yang hanya bertahan kurang dari 5 menit. Setelah kau menutup telfonmu. Kau mulai menangis. Sebenarnya pembicaraan diantara kalian berdua tak begitu lama. Tapi efeknya mampu bertahan sampai detik ini. Kau masih tampak murung. Aku mencoba menghiburmu, walau aku tak sanggup.
---
8 bulan pasca hubunganmu dengan Ryana berakhir. Kau sepertinya mulai terbiasa menjalani hidup sendiri. Dalam konteks pasangan khususnya. Itu bagus untukmu. Kau mencoba berbagai hal yang selama ini tak sempat dirimu lakukan. Segalanya kau kerjakan untuk mengisi waktu kosong. Untuk menyibukkan diri sendiri. Karena aku tahu, kau tak sanggup berdusta apabila rindu dengan Ryana kala sepi melanda.
---
“Kok lu masih jomblo sih? Gak mau cari cewek lagi gitu?”
“Yaelah, Go, cewek mah nanti juga dateng sendiri, hahaha,”
“Bay, temen lu tuh, ganteng-ganteng tapi jomblo,”
“Lo naksir, Go? Pacarin aja gih,”
“Kampret lu berdua, gue bukan maho. Lo lagi, Go, ngomongnya jijik gitu, ih,”
Mereka berdua, Hugo dan Bayu hampir tiap minggu datang berkunjung. Mereka ingin menemanimu. Mereka tahu, bila kau sendiri, kau selalu merindukan masa lalu. Ya, mereka memang sahabat yang baik, kau beruntung bisa bersama mereka. Meskipun, tujuan lainnya untuk bermain game sepak bola kesayang kalian. Aku tak tahu apa serunya permainan itu, sepertinya hampir semua lelaki gemar bermain game bola tersebut. Aku yang melihat kalian bermain sampai saat ini belum mengerti dimana letak serunya game itu. Bahkan kalau kalian bermain sampai teriak-teriak dan tertawa terbahak-bahak, aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku kalian.
Sepertinya akan ada yang datang... ah Mama. Beliau membuka pintu dan bertanya kepada kalian mengapa berisik sekali. Kau sudah bosan menjawab pertanyaan yang sama berulang-ulang dengan jawaban yang sama secara berulang-ulang pula. Tapi jika kau diam, beliau akan menceramahi kaian bertiga tanpa henti. Kecuali beliau sudah lelah.
“Biasa, Ma, permainan laki-laki. Bikin greget,” begitulah jawabmu. Dua lainnya mengangguk setuju seakan menguatkan pernyataanmu tadi. Sedangkan beliau, Mama-mu, hanya menggeleng. Entah itu gelengan kepala untuk yang keberapa kali. Kau tidak memperdulikannya. Aku juga terlalu malas untuk ikut menghitung.
---
            Akhir-akhir ini kau terlihat sibuk. Mama sampai bertanya, apa yang sedang engkau lakukan. Aku juga memiliki pertanyaan yang sama dengan Mama, tapi tak mampu terucap secara lisan. Kau hanya membalas pertanyaan itu dengan senyum tipis yang menjadi salah satu daya tarikmu di mata para gadis. Mama semakin heran. Aku juga semakin heran. Harapan kita sama, semoga apa yang dilakukanmu dapat menghasilkan sesuatu yang positif.
---
            Aw! Sakit sekali! Apa yang membuatku merasa sakit ketika aku sedang tidur? Aku tak bermimpi apa-apa. Aku juga tak bergerak selama aku tidur, ya, karena memang tidak bisa. Aku melihatmu masuk, membawa palu. Hey, palu? Untuk apa?
            BAM! BAM! BAM! BAM!
            “Akhirnya nancep juga ini paku,”
            Argh... apa yang dilakukannya? Apa dia tak sadar bahwa dinding ini juga bagian dari tubuhku? Apa dia tidak tahu rasanya kalau ada bagian dari tubuhnya  yang dipaku? Sangat sakit! Kau keluar lagi seakan ingin mengambil sesuatu. Papan tulis? Buat apa papan tulis itu? Mama melontarkan pertanyaan yang sama dengan apa yang aku pikirkan. Yah, naluri sesama perempuan. Eh, aku perempuan? Entahlah, aku juga tak tahu.
            Papan tulis itu kau letakkan tepat di depan tempat tidurmu dan disamping meja yang lebih senang disebut meja kerja olehmu. Aku tahu, belajar adalah pekerjaan yang paling malas untuk dirmu lakukan. Lantas, apa gunanya papan tulis berukuran 2x1 meter tersebut? Kalau ini dibuat dalam serial sinetron, pasti judulnya Hanya Tuhan-lah yang Tahu.
---
            Kau kini lebih sering bersama dengan laptopmu. Papan tulis itu juga sudah kau penuhi dengan tulisan-tulisan yang tak kumengerti maksudnya. Wait! Setelah kupahami, sepertinya tulisan-tulisan itu adalah sebuah judul. Buku? Novel? Cerpen? Atau puisi? Entahlah. Sekarang aku mengerti kenapa matamu kuat berlama-lama bertatapan dengan layar LCD yang menyala terang. Kau menjadi penulis. Ya, penulis. Sounds good. Aku tak tahu apa yang kamu tulis, tapi jika berkaca pada tulisan di papan tulismu, kau menuliskan kisah hidupmu. Mulai dari senang, bahagia, dan yang terakhir melanda dirimu, kesedihan dan kepedihan.
            Selain menulis, kau juga sepertinya tertarik dengan dunia musik. Bahkan celenganmu rela dibongkar untuk membeli sebuah gitar. Otodidak. Kau lebih suka cara itu. Surfing chord gitar di internet masuk dalam rutinitas kegiatanmu tiap hari. Perlahan, kau mulai mahir memainkan alat musik itu. Aku melihat bakat terpendam yang selama ini tak pernah sekalipun kau tunjukkan. Mulai dari lagu pop, hingga lagu rock yang beisik telah kau kuasai. Tapi, aku punya saran untukmu, lebih baik biarkan alunan gitar yang memenuhi diriku, tak perlu menyanyikan lirik yang selalu bernada sama dari mulutmu, hihi.
---
            Akhir-akhir ini aku semakin susah tidur. Sebabnya, musik rock yang hampir tiap waktu menggema dari speaker simbadda milikmu. Aku tak keberatan apabila kau melantunkan lagu melalui speaker-mu itu. Aku tak akan melarangmu. Tak akan mengganggumu. Karena aku juga milikmu. Tapi bisakah kau memilih lagu yang tepat untuk kita dengar bersama? Kau sadar aku ada. Akan tetapi sadarnya dirimu belum mampu menyadarkan bahwa aku juga bisa merasakan sesatu. Aku punya perasaan. Sama seperti dirmu. Sama seperti kalian.
---
            Kau pulang dengan raut wajah ceria hari ini. Sepertinya, hal baik telah menimpamu. Dengan bergegas kau membuka laptopmu dan menghapus sebagian tulisan di papan tulis. Entah apa lagi yang kau pikirkan. Jalan pikiranmu selalu membuatku bingung. Suara hentakan jari pada keyboard terdengar sampai ke indra pendengaranku. Kau menulis dengan senyum indah terlukis di wajahmu. Perkiraanku sepertinya tepat. Kau mengalami hari yang bagus.
            “Fiuh, kelar juga,” kau menghempaskan punggungmu ke sandaran kusi. Kayaknya apa yang kau kerjakan sudah mencapai akhir. Kau berdiri dari kursi itu. Astaga! Kau melihat kearahku. Matamu bergerak menelusuri ruangan ini. Diriku. Menjamah setiap detail dari setiap sudutnya. Aku merasa tersipu malu jika diperhatikan begini. Kembali kau lontarkan senyum manismu itu. Kau menyalakan speaker-mu. Memutar lagu yang... ah! Salah satu kesukaanku! Kali ini kau memilih lagu yang tepat untuk kau, maksudku, kita dengar bersama. When You Love Someone-nya Endah & Rhesa melantun dengan indah. Tanganmu meraih sebuah spidol dan mulai menggoreskan tinta hitamnya pada papan tulis kesayanganmu. When We Love Someoe. Begitu tulismu.
When you love someone
Just be brave to say
That you want him to be with you
When you hold your love
Don’t ever let it go
Or you will loose your chance
To make your dreams come true
            Kini kau tahu aku ada.
Kini kita tahu, kita sedang jatuh cinta.





0 comments:

Post a Comment