Pagi
ini, sama seperti pagi sebelumnya dan pagi-pagi lainnya yang akan datang-setidaknya
sampai sekitar seminggu ke depan sebelum liburan sekolah, tiba-aku terdiam.
Tidak. Memang aku selalu diam. Diam dengan satu alasan jelas. Menunggu
seseorang yang pasti akan kembali kepadaku jika waktunya tiba.
Kulirik
jam di hadapanku, hmmm, pukul 10, berarti gak lama lagi dia pulang. Entah
kenapa kali ini waktu berjalan begitu lambat. Detak jarum jam yang bisa kurasakan menyatu dengan tubuhku
juga terasa berputar begitu lamban, seolah ia malu jika aku lihat
terus-menerus.
Bosan.
Sebenarnya banyak yang ingin kulakukan, tapi apa daya, aku tak sanggup
melakukan hal-hal yang ingin aku lakukan. Gerakku terbatas. Yah, mau tidak mau
aku harus kembali ke kegiatan awal yang kulakukan, menunggu. Rasanya aku sangat
ingin berteriak karena kejenuhan hebat yang melandaku saat ini. Tapi suaraku mustahil
bisa didengar. Bahkan jika ada seekor jangrik yang memamerkan suara bisingnya,
suara itu tetap mampu mengalahkan teriakanku.
Banyak
yang mengatakan kalau merubah diri itu susah, baik diri sendiri ataupun orang
lain. Tapi sepertinya, hal itu tak
berlaku bagiku. Selama aku hidup, banyak perubahan yang terjadi pada diriku.
Dan setiap detail perubahan yang terjadi padaku, aku ingat semuanya. Papa dan
Mama selalu tak puas dengan keadaanku, makannya mereka rela merogoh kocek yang
tak sedikit hanya untuk merubahku. Namun berkat mereka, aku yang sekarang
tampak lebih segar. Aku juga sangat menyukai penampilan baruku ini.
---
“Assalamualaikum”
Ah! Itu dia! Aku melamun sampai tak sadar kalau jam sudah
menunjukkan pukul 3 sore. Kalau begini, setiap hari aku melamun saja, supaya
waktu terasa berlari dan terasa lebih cepat berlalu.
Sudah
hampir setengah jam dia belum juga menghampiriku. Dia malah membanting tasnya
di ruang tengah kemudian masuk ke kamar
adiknya. Huh, sial. Padahal biasanya dia buru-buru mendatangiku untuk
istirahat. Lagi-lagi aku harus kembali ke pekerjaan yang seharusnya sudah
selesai dari setengah jam yang lalu. Menunggu.
---
“Bro,
gimana hubungan lu sama Ryana?”
“Begitulah..,”
“Membaik?”
“Gak
membaik, tapi juga gak buruk. Melainkan hancur,”
“Terus?
Lo mau putus?”
“Gue?
Enggak. Dia yang mau,”
“Sayang,
padahal Ryana cantik banget, menurut gue dia juga baik. Ya, gue tau lo jauh
lebih mengenal dia daripada kita-kita, secara, lo udah lama sama dia. Tapi..
ya, sayang aja gitu kalau putus,”
“Tuhan
yang menyatukan gue dan dia untuk bersama, Dia juga yang menentukan takdir kita
berdua. Cuma yang gue sayangin, kenapa Tuhan membuat gue dan dia bersama selama
2 tahun? Kenapa gak 5 hari? Atau paling lama 5 bulan? Too much memories with
her, and isn’t easy to forget,”
---
“...
bola dioper ke M. Ridwan, dia melepaskan umpan ke tengah kotak pinalti,
sepertinya tak ada kawan di sana.. oh! GOOOOAAAAL!”
“GOOOOOOOAAAAAL!!!
Yeaay! Akhirnya!!”
“....
Sergio Van Dijk! Comin’ from behind! Lolos dari pengawalan para pemain
belakang Persipura, menyambar umpan lambung dari Muhammad Ridwan. 2-1 untuk
Persib Bandung,”
Argh.
Ternyata aku tertidur dan dibangunkan oleh suara komentator sepak bola featuring
suara teriakkan Eza yang menonton pertandingan bola di tempatku. Sebenarnya aku
sedikit kesal jika Eza nonton bola di sini, lebih-lebih kalau yang bertanding
tim kesayangannya, ia bisa berteriak sekeras mungkin apabila terjadi gol bagi
tim favoritnya itu. Yah, kadang aku sengaja mengerjai dia supaya dia tidak
terlalu berisik. Aku buat ruangan ini seolah-olah ada hembusan angin yang masuk
sehingga auranya berbeda, pasti dia langsung keluar, hihi.
Tunggu.
Sepertinya aku melupakan sesuatu. Oh iya! Mimpi itu... membawaku kembali
beberapa minggu yang lalu. Kenangan lama yang kepingannya masih terbawa sampai
saat ini. Percakapan antar 3 sahabat mengenai suatu hubungan yang sepetinya
sudah tidak dapat ditolong lagi. Hubungan yang membuat salah satu diantara
mereka menjadi berbeda dari biasanya. Dari periang menjadi pemurung. Dari
paling banyak membuat ulah menjadi pendiam. Dari yang bersikap bak pemimpin yang
bijaksana, menjadi seorang pecundang yang buta akan tujuan hidup.
---
“Udahlah,
Bro. Jangan memaksakan suatu hubungan agar tetap berjalan. Kalau emang udah
waktunya jatuh, ambruk, hancur, biarin aja. Analoginya gini, lo suka main PES,
tapi suatu hari laptop lo rusak, masih bisa dipakai buat main, tapi gambarnya
gak jelas, larinya ngadat, dikit-dikit nge-hang. Apa mau lo paksain? Mainnya
juga gak enak. Lo pasti coba berusaha buat benerin laptop lo, kalau emang gak
bisa, ya, lo beli baru,”
“Terus
kalau gue putus sama Ryana. Eh, bakal putus juga, sih. Gue harus beli cewek baru
gitu? Analogi lo ngaco. Mending main lagi deh. Ambil stick lo, gue pakai
Munchen. Siap gue bantai lo, lagi kesel nih,”
“Oke!
Tapi lo jangan ngebayangin gawang musuh itu jadi muka Ryana lho, hahaha,”
“Biarin.
Supaya gue semangat jebol gawang lu, hahaha. Yok lanjut!”
---
Aku
tahu, kau tidak mengerti apa maksud dari perkataan Hugo tadi. Ya, tapi aku
senang, kau bisa dengan cepat kembali tersenyum bahkan langsung bercanda ria
dengan 2 sahabatmu, walau hanya untuk saat itu. Benar kiraku, sepulang mereka
berdua, pikiranmu lagi-lagi menerawang jauh ke belakang. Aku membaca dari raut
wajahmu yang tampak pusing dan lelah memikirkan sesuatu yang kurang pantas untuk
kau pikirkan. Kau butuh seseorang untuk membantumu melupakan segelintir masalah
yang melandamu. Sahabatmu tak selalu berada disisimu karena pasti mereka punya
kegiatan lain. Tapi sadarkah kau bahwa ada aku yang selalu mengawasimu? Ada aku
yang selalu ingin menghiburmu, walau aku tak sanggup.
Kini,
2 minggu sudah berlalu. Keadaanmu tak tampak lebih baik dari waktu itu. Kau
sudah putus dengan perempuan bernama Ryana. Bisa dikatakan baru. Sekitar 3 atau
4 hari lalu ketika suara handphone-mu berdering keras. Wajahmu berseri
kita kau membaca nama yang tertera dilayar ponselmu.
“Ryana
Dwi S,” begitu gumamu sembari tersenyum halus. Senyuman yang hanya bertahan
kurang dari 5 menit. Setelah kau menutup telfonmu. Kau mulai menangis.
Sebenarnya pembicaraan diantara kalian berdua tak begitu lama. Tapi efeknya
mampu bertahan sampai detik ini. Kau masih tampak murung. Aku mencoba
menghiburmu, walau aku tak sanggup.
---
8
bulan pasca hubunganmu dengan Ryana berakhir. Kau sepertinya mulai terbiasa
menjalani hidup sendiri. Dalam konteks pasangan khususnya. Itu bagus untukmu.
Kau mencoba berbagai hal yang selama ini tak sempat dirimu lakukan. Segalanya
kau kerjakan untuk mengisi waktu kosong. Untuk menyibukkan diri sendiri. Karena
aku tahu, kau tak sanggup berdusta apabila rindu dengan Ryana kala sepi
melanda.
---
“Kok
lu masih jomblo sih? Gak mau cari cewek lagi gitu?”
“Yaelah,
Go, cewek mah nanti juga dateng sendiri, hahaha,”
“Bay,
temen lu tuh, ganteng-ganteng tapi jomblo,”
“Lo
naksir, Go? Pacarin aja gih,”
“Kampret
lu berdua, gue bukan maho. Lo lagi, Go, ngomongnya jijik gitu, ih,”
Mereka
berdua, Hugo dan Bayu hampir tiap minggu datang berkunjung. Mereka ingin
menemanimu. Mereka tahu, bila kau sendiri, kau selalu merindukan masa lalu. Ya,
mereka memang sahabat yang baik, kau beruntung bisa bersama mereka. Meskipun,
tujuan lainnya untuk bermain game sepak bola kesayang kalian. Aku tak
tahu apa serunya permainan itu, sepertinya hampir semua lelaki gemar bermain
game bola tersebut. Aku yang melihat kalian bermain sampai saat ini belum
mengerti dimana letak serunya game itu. Bahkan kalau kalian bermain sampai
teriak-teriak dan tertawa terbahak-bahak, aku hanya bisa tersenyum melihat
tingkah laku kalian.
Sepertinya
akan ada yang datang... ah Mama. Beliau membuka pintu dan bertanya kepada
kalian mengapa berisik sekali. Kau sudah bosan menjawab pertanyaan yang sama
berulang-ulang dengan jawaban yang sama secara berulang-ulang pula. Tapi jika
kau diam, beliau akan menceramahi kaian bertiga tanpa henti. Kecuali beliau
sudah lelah.
“Biasa,
Ma, permainan laki-laki. Bikin greget,” begitulah jawabmu. Dua lainnya
mengangguk setuju seakan menguatkan pernyataanmu tadi. Sedangkan beliau,
Mama-mu, hanya menggeleng. Entah itu gelengan kepala untuk yang keberapa kali.
Kau tidak memperdulikannya. Aku juga terlalu malas untuk ikut menghitung.
---
Akhir-akhir ini
kau terlihat sibuk. Mama sampai bertanya, apa yang sedang engkau lakukan. Aku
juga memiliki pertanyaan yang sama dengan Mama, tapi tak mampu terucap secara
lisan. Kau hanya membalas pertanyaan itu dengan senyum tipis yang menjadi salah
satu daya tarikmu di mata para gadis. Mama semakin heran. Aku juga semakin
heran. Harapan kita sama, semoga apa yang dilakukanmu dapat menghasilkan sesuatu
yang positif.
---
Aw! Sakit sekali!
Apa yang membuatku merasa sakit ketika aku sedang tidur? Aku tak bermimpi
apa-apa. Aku juga tak bergerak selama aku tidur, ya, karena memang tidak bisa.
Aku melihatmu masuk, membawa palu. Hey, palu? Untuk apa?
BAM! BAM! BAM!
BAM!
“Akhirnya nancep
juga ini paku,”
Argh... apa yang
dilakukannya? Apa dia tak sadar bahwa dinding ini juga bagian dari tubuhku? Apa
dia tidak tahu rasanya kalau ada bagian dari tubuhnya yang dipaku? Sangat sakit! Kau keluar lagi
seakan ingin mengambil sesuatu. Papan tulis? Buat apa papan tulis itu? Mama
melontarkan pertanyaan yang sama dengan apa yang aku pikirkan. Yah, naluri
sesama perempuan. Eh, aku perempuan? Entahlah, aku juga tak tahu.
Papan tulis itu
kau letakkan tepat di depan tempat tidurmu dan disamping meja yang lebih senang
disebut meja kerja olehmu. Aku tahu, belajar adalah pekerjaan yang paling malas
untuk dirmu lakukan. Lantas, apa gunanya papan tulis berukuran 2x1 meter
tersebut? Kalau ini dibuat dalam serial sinetron, pasti judulnya Hanya Tuhan-lah
yang Tahu.
---
Kau kini lebih
sering bersama dengan laptopmu. Papan tulis itu juga sudah kau penuhi dengan
tulisan-tulisan yang tak kumengerti maksudnya. Wait! Setelah kupahami,
sepertinya tulisan-tulisan itu adalah sebuah judul. Buku? Novel? Cerpen? Atau
puisi? Entahlah. Sekarang aku mengerti kenapa matamu kuat berlama-lama
bertatapan dengan layar LCD yang menyala terang. Kau menjadi penulis. Ya,
penulis. Sounds good. Aku tak tahu apa yang kamu tulis, tapi jika
berkaca pada tulisan di papan tulismu, kau menuliskan kisah hidupmu. Mulai dari
senang, bahagia, dan yang terakhir melanda dirimu, kesedihan dan kepedihan.
Selain menulis,
kau juga sepertinya tertarik dengan dunia musik. Bahkan celenganmu rela
dibongkar untuk membeli sebuah gitar. Otodidak. Kau lebih suka cara itu. Surfing
chord gitar di internet masuk dalam rutinitas kegiatanmu tiap hari.
Perlahan, kau mulai mahir memainkan alat musik itu. Aku melihat bakat terpendam
yang selama ini tak pernah sekalipun kau tunjukkan. Mulai dari lagu pop, hingga
lagu rock yang beisik telah kau kuasai. Tapi, aku punya saran untukmu, lebih
baik biarkan alunan gitar yang memenuhi diriku, tak perlu menyanyikan lirik
yang selalu bernada sama dari mulutmu, hihi.
---
Akhir-akhir ini
aku semakin susah tidur. Sebabnya, musik rock yang hampir tiap waktu menggema
dari speaker simbadda milikmu. Aku tak keberatan apabila kau melantunkan
lagu melalui speaker-mu itu. Aku tak akan melarangmu. Tak akan
mengganggumu. Karena aku juga milikmu. Tapi bisakah kau memilih lagu yang tepat
untuk kita dengar bersama? Kau sadar aku ada. Akan tetapi sadarnya dirimu belum
mampu menyadarkan bahwa aku juga bisa merasakan sesatu. Aku punya perasaan.
Sama seperti dirmu. Sama seperti kalian.
---
Kau pulang dengan
raut wajah ceria hari ini. Sepertinya, hal baik telah menimpamu. Dengan
bergegas kau membuka laptopmu dan menghapus sebagian tulisan di papan tulis.
Entah apa lagi yang kau pikirkan. Jalan pikiranmu selalu membuatku bingung.
Suara hentakan jari pada keyboard terdengar sampai ke indra
pendengaranku. Kau menulis dengan senyum indah terlukis di wajahmu. Perkiraanku
sepertinya tepat. Kau mengalami hari yang bagus.
“Fiuh, kelar
juga,” kau menghempaskan punggungmu ke sandaran kusi. Kayaknya apa yang kau
kerjakan sudah mencapai akhir. Kau berdiri dari kursi itu. Astaga! Kau melihat
kearahku. Matamu bergerak menelusuri ruangan ini. Diriku. Menjamah setiap
detail dari setiap sudutnya. Aku merasa tersipu malu jika diperhatikan begini.
Kembali kau lontarkan senyum manismu itu. Kau menyalakan speaker-mu.
Memutar lagu yang... ah! Salah satu kesukaanku! Kali ini kau memilih lagu yang
tepat untuk kau, maksudku, kita dengar bersama. When You Love Someone-nya
Endah & Rhesa melantun dengan indah. Tanganmu meraih sebuah spidol dan
mulai menggoreskan tinta hitamnya pada papan tulis kesayanganmu. When We
Love Someoe. Begitu tulismu.
When
you love someone
Just
be brave to say
That
you want him to be with you
When
you hold your love
Don’t
ever let it go
Or
you will loose your chance
To
make your dreams come true
Kini kau tahu aku
ada.
Kini kita tahu,
kita sedang jatuh cinta.
0 comments:
Post a Comment