Sunday, October 1, 2017

Untitled

Halo

Sudah lama rasanya nggak ada di sini. I mean, dalam artian gue yang sesungguhnya, bukan gue sebagai Laila atau Andre yang belakangan mengisi bagian dari blog ini.

Gue rindu juga menulis sebagai gue, dan kali ini rindu itu tak bisa tertahankan lagi sehingga gue memutuskan mencurahkan apa yang gue rasa dan pikirkan seperti dulu kala.

Tulisan ini dimulai tepat 10 menit sebelum September bergulir dan bersiap digantikan oleh Oktober. Rasanya di tengah malam ini pikiran gue nggak bisa diam, dia seakan berjalan menyusuri lorong ruang dan waktu ke beberapa waktu lalu. Ya, dia emang gemar flashback disaat gue sendiri kurang menyukai hal itu.

Ah, rasanya perasaan gue jadi lebih sentimentil belakangan ini.

Let me talk about love.

Basi banget nggak sih bahasannya? Love...cinta...mungkin sebagian dari kalian spontan bilang, “Cih,” atau mungkin juga ada yang langsung muntah ketika mendengar kata itu?

Permasalahan menyangkut hal ini seakan semakin ribet seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia. Dulu, pas masih jamannya cinta, Monyet. Eh, cinta monyet, kayaknya sederhana aja gitu masalah yang ditimbulkan satu kata ini. Semisal marah karena nggak bales SMS (iya, jaman gue cinta monyet dulu masih pakai SMS, Line belum lahir, BBM aja belum eksis, masih mainan YM, iya, nggak usah tanya umur, ya), terus perihal apa lagi, ya...umm atau masih bisa putus dengan alasan bosan dengan pacarnya (ini juga masih bisa terjadi di umur 20++, hanya penyelesaian masalahnya bukan dengan ganti dengan pacar baru), ya pokoknya semacam itu lah.

Sedangkan apa yang gue rasakan sekarang mengenai hal yang berkaitan dengan l-o-v-e itu begitu sulit dimengerti. Bagi hati gue, yang ia butuhkan di umur segini hanyalah rumah. Dia udah lelah dengan siklus pacaran yang menguras waktu itu, ada cewek baru-kenalan-mulai pendekatan-mulai ngerasa ada aura yang beda-ternyata dia boker di celana.

Oke, maaf kelewatan.

Siklus sederhana berupa kenalan-PDKT-jadian-berantem-putus itu akan menjadi sangat melelahkan apabila dilakukan berulang kali. Setiap hati pasti punya batas capeknya masing-masing dalam menjalani siklus iu. Hingga pada suatu saat, hati akan berbicara. “Gue udah nggak capek sama tahapan pacarnya, gue harus ketemu sama orang yang gue yakini bersama dialah gue menjalani siklus ini untuk terakhir kalinya.”

Eh, taunya nggak sesuai realita.

Emang sih, kadang hati juga nggak konsisten, ketika dia bilang. “Dia harus jadi yang terakhir.” Taunya bukan. Masih ada ‘dia-dia’ lainnya yang menunggu singgah sampai menemukan yang benar-benar menetap dan menjadikan hati itu sebagai rumahnya.

Begitu pula dengan hati gue, terakhir dia membisikan suatu hal ke gue.

“Skripsi kerjain, Di.”

Oh shit.

Salah, itu alam bawah sadar gue yang sengaja gue masukin ke penjara biar nggak berisik berbicara mengenai skripsi lagi.

Hati gue bilang kalau pilihannya kali ini nggak salah.

Kenyataannya? Ah, gue belum bisa menyimpulkan. Logika gue bilang kalau pilihan hati gue kali ini lagi-lagi salah, tapi doi kekeuh bertahan dengan pilihannya. Dia bilang, kalau ada something yang berbeda yang dimiliki dari pilihannya tapi belum kelihatan sama khalayak aja.

Gue cuma bisa nurut sambil ngerasain akibat dari kebebalan hati gue aja sih....

As i said before, persoalan tentang ini semakin ribet seiring bertambahnya umur. Atau emang guenya aja kali ya yang bikin ribet. Ah, entahlah, sebenarnya tulisan ini nggak ada poinnya. Gue cuma mau nambahain post aja biar terkesan nggak sepi ini blog.

Dan gue juga nggak mau banyak nulis kali ini, tapi ternyata udah dapat dua halaman aja di Word. Yasudah, sepertinya gue sudahi aja post ini. Untuk kalian yang sekiranya membaca ini, gue kasih standing applause karena udah bersedia membaca tulisan nirfaedah ini sampai selesai. Maaf kalau gue membuang sedikit waktu kalian yang mungkin bisa kalian gunakan untuk merubah dunia, tapi malah kalian habiskan dengan membaca tulisan ini.

Tapi, semoga inti dari maksud pikiran gue bisa ditangkap. Apa? Ya, nambah-nambahin post di blog. Sip.

Gue cabut, ya. Sampai bertemu di tulisan gue selanjutnya yang kemungkinan akan diisi kembali oleh Andre dan Laila.  Ciao!

Saturday, September 23, 2017

Chapter XII - Au Revoir, France



Laila

Avignon, awal musim gugur 2016.

Saat-saat paling membahagiakan di Avignon telah berlalu, musim panas telah berakhir dan digantikan musim gugur dengan semilir anginnya yang menyejukkan. Kebahagiaan musim panas di Avignon membuat seluruh sudut kota ini menjadi hidup. Terkhusus Rocher des Doms, taman itu hampir tak pernah sepi tiap harinya sehingga membuatku yang kerap duduk sendirian di bangku taman favoritku tak pernah benar-benar merasa sendiri.

Because i need to be alone, but not to be lonely.

Mungkin hanya aku dari lebih dari 90 ribu penduduk Avignon yang melewati musim panas dengan raut wajah—bagaimana ya aku mengatakannya? Ah, menyedihkan.

Sekitar dua bulan lalu, Mbak Aya memberi kabar bahwa kondisi Ibu kritis. Kabar itu menjadi pukulan telak bagiku yang berada ribuan kilometer jauhnya dari rumah. Kala itu Mas Fahri sedang ada banyak tanggungan pekerjaan dan mengatakan bahwa aku saja yang pulang ke Indonesia, sedangkan Mbak Aya telah lebih dahulu berada di Jakarta untuk menjaga Ibu.

Kurang dari dua minggu aku berada di Jakarta, menemani dan merawat Ibu setiap hari, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa kala Yang Memberikan Nyawa telah mencabut apa yang telah Ia tiupkan pada makhkuknya. Detik itu pula waktu dan putaran bumi serasa terhenti. Sosok malaikat yang menjaga, merawat hingga membesarkan aku serta Mbak Aya telah meninggalkan kami untuk selamanya. Mas Fahri segera menyusul ke Indonesia ketika aku memberitahu kabar duka ini.

Mbak Aya menyuruhku kembali ke Avignon setelah masa cuti yang diambil Mas Fahri habis. Aku menolak untuk berangkat dan mengatakan ingin kembali tinggal di rumah selepas Ibu pergi. Mas Fahri yang mendengar aku menolak ke Avignon nampak murung, namun ia tak banyak bicara mengenai keputusanku itu.

Pasca cekcok cukup lama dengan Mbak Aya, akhirnya aku (terpaksa) mengikuti sarannya dengan keputusan akhir Mbak Aya akan tinggal di rumah setidaknya sampai 40 harian Ibu dan untuk selanjutnya ia akan kembali ke Jepang dan rencananya rumah akan dikontrakan untuk sementara waktu. Mbak Aya juga mengatakan selama di Indonesia ia akan mencari calon penyewa rumah yang tepat karena ia tak ingin sembarangan orang mengisi rumah keluarga ini.

And here it goes, berada di balkon apartemen kecil ini dengan ginger tea dalam genggaman. Menikmati angin musim gugur yang menyeka rambutku lembut dan melihat orang-orang yang bergerak dinamis di Rue Viala.

Oh ya, berbicara mengenai hubunganku dengan Mas Fahri, sebelum kabar tentang Ibu menghampiri, Mas Fahri tampak semakin berusaha menjadi suami seutuhnya dan ia benar-benar mengusahakan kami menjadi pasangan suami-istri selayaknya.

Mungkin semua itu nampak normal dan justru terdengar baik bagi orang luar. Tapi bagiku, keadaan ini malah semakin terasa memburuk. Semakin dalam perasaan Mas Fahri yang kurasakan, maka akan semakin sulit pula hubungan ini untuk diselesaikan. Begitulah sekiranya.

Setelah berpulangnya Ibu ke hadapan Allah, pikiranku berkecamuk mengenai hal-hal lain yang berkaitan tentang Ibu dan pernikahanku. Bagaimana aku dan Mas Fahri bisa bersatu hingga kini, dan sekarang bagaimana aku menyudahi hubungan ini karena Mas Fahri dirasa telah benar-benar mencintaiku.

Sepulang dari Paris, setelah ia bangun dari tidurnya di sofa dan mendapati tubuhnya ditutupi selimut, ia berpikir bahwa aku telah memiliki rasa perhatian selayaknya seorang istri pada umumnya.

Ya, memang aku mulai menaruh perhatian padanya saat itu.

Tapi,

Bukan berarti perhatianku bisa disamakan seperti perhatian seorang istri pada suaminya. Perhatianku hanya sebatas menghargai orang yang juga punya perhatian terhadapku.

Maybe what i’ve done sounds like an evil for everybody, but that’s the truth.

“Jangan lagi-lagi coba kayak apa yang kamu lakukan kemarin,” ucapnya kepadaku dengan nada yang menenangkan.

‘Shit. Don’t do this,’ pikirku.

Selepas itu, ada satu kebiasaan baru yang ia ciptakan yang sempat membuatku canggung ketika pertama kali diterapkan—bahkan hingga kini, yaitu setiap ingin berangkat dan saat pulang dari kantor, ia mencium keningku. Sekali lagi, sebenarnya ini wajar bagi suami istri dimanapun itu, tapi sekali lagi pula aku katakan, ini sudah terlalu jauh buatku.

Hingga pada suatu sore di akhir pekan aku duduk berdua dengan Isabel di sebuah kedai kopi kecil di Rue Vieux Sextier—tak jauh dari apartemen kami. Aku memesan hot chocolate dan souffle au chorizo, sedangkan Isabel sedang menyeruput chocopom d’amour mereka yang lezat.

Pada titik ini, aku merasa butuh seorang teman untuk mencurahkan isi pikiranku. Hey, aku tak setegar itu dalam memendam perasaan. Sebenarnya aku lebih memilih Nadine sebagai pendengarku untuk perkara ini, namun perbedaan waktu yang cukup ketara dirasa mengganggu menentukan kapan saat yang tepat untuk berbagi.

“Isabel,” sahutku sembari memutar sendok dalam cangkir di hadapanku tanpa melihat ke arahnya.

“Ya, Laila?”

“Jika kau berada di posisiku, apa yang akan kau lakukan?”

Isabel berdehem sebentar.

“Aku tak tahu, Laila. Setiap orang punya masalahnya sendiri untuk dihadapi. Dan kemampuan tiap orang dalam menghadapi masalah itu berbeda-beda. Mungkin aku bisa melewati masalahmu dengan mudah, atau bahkan aku tak mampu bertahan melebihi yang kau lakukan sekarang, karena aku tak tahu bagaimana rasanya, Laila.” Aku berhenti memainkan sendok, namun bola mataku masih tertanam pada souffle au chorizo yang sedari tadi belum kusentuh.

“Coba kau lihat pasangan di luar sana,” Isabel menunjuk ke arah kaca besar di belakangku. Aku sedikit memutar badan, lalu mendapati seorang pria dengan polo shirt hitam memandang sayu wanita cantik dengan dress putih di depannya. Wanita itu menatap cangkir yang telah kosong di tangannya. “Si wanita merasa sedih karena memergoki si pria yang ketahuan selingkuh untuk kali ketiga. Sedangkan si pria mencoba mengklarifikasi dan meyakinkan bahwa hal itu nggak akan terjadi lagi,” terusnya.

Aku melayangkan tatapan ragu pada Isabel. Ia hanya tersenyum.

“Lalu yang di sana itu.” Kali ini ia menunjuk seorang pria berkacamata dengan rambut di kuncir kuda yang tengah menatap layar laptop dengan menopang dagu menggunakan punggung tangannya.

Aku mengangguk, ia melanjutkan. “Ia seorang penulis di sebuah media lokal yang tengah dikejar deadline namun tak tahu apa yang harus ia tulis karena dalam pikirannya berkecamuk banyak hal, termasuk, ‘mengapa aku memilih kedai ini? Ah, sisa uangku untuk hari ini habis hanya untuk membeli minuman macam ini.’

“I hear what you say, lady,” ujar pria yang sedang dibicarakan Isabel. Aku membelalak sembari menahan tawa pada Isabel. Aku melihat pemilik kedai menggelengkan kepala. Isabel meminta maaf sambil tergelak dari tempatnya duduk.

“Sudahlah, ilmu cenayangmu makin lama makin keterlaluan,” kataku.

“But, there’s one thing that i see from you, Laila,” aku mengangkat dagu. “You’re on of the strongest girl that i’ve ever met. I believe you can handle this. I believe that you can through all of that shit.” Isabel tertawa, dan senyum pertamaku hari itu tersungging.

“Just follow your heart, Laila,” Ia melanjutkan. “Meskipun beberapa kali logikamu mengatakan, ‘ah, kamu jahat,’ atau, ‘yang akan kamu lakukan itu kejam, tak berperasaan.’  
Biarlah, jangan didengar. Anggap saja bahwa logikamu itu bagai sebuah lautan, kamu seorang nahkoda kapal dan hatimu adalah dermaga tujuanmu. Kemana pun lautan mencoba membawa kapalmu, tapi pahamilah kalau kamu mampu mengatasi itu karena kamu sejatinya tahu kemana tujuanmu sesungguhnya.”

Aku tersenyum.

“One more thing, Laila, and it’s very very important to hear.” Aku menaikkan sebelah alisku, memposisikan kedua tanganku di atas meja dan sedikit mencondongkan badanku ke arahnya.

“Kalau kamu nggak mau memakan souffle au chorizo itu, sebaiknya buat aku saja,” katanya sambil menahan tawa. Rasanya kuingin melempar sendok kecil ini ke arahnya saat itu.

---

Kembali ke kondisi saat ini, dimana suasana sore Avignon yang menenangkan membawa pikiranku melayang ke belasan tahun lalu. Dimana kali pertama aku diajak Ayah dan Ibu pergi ke Kebun Binatang Ragunan,  bersama dengan Mbak Aya juga tentunya.

Usiaku yang begitu belia dan penuh dengan pertanyaan membuatku menjadi bocah yang cerewet.

“Bu, itu apa?” Kataku menunjuk salah satu kandang.

“Itu singa, Laila,” balas Ibu.

“Lalu, itu apa?”

“Itu simpanse, Laila,” Ibu selalu membalas tiap pertanyaanku dengan senyuman.

“Kenapa dia bisa jalan kayak manusia, Bu?”

“Anak Ayah ini banyak tanya, ya. Kelak kamu jadi manusia yang cerdas,  Nak,” potong Ayah sebelum Ibu menjawab pertanyaanku. “Kamu mau es krim, Laila?” Tawar Ayah. Aku girang bukan kepalang mendengarnya.

Aku berpikir, kebahagiaan itu akan bertahan selamanya. Namun semua itu hanya titipan yang bersifat sementara. Kebahagiaan itu bisa berakhir kapan saja.

“Hey,” suara berat itu menyadarkanku, lalu sebuah tangan melingkari pinggangku dari arah belakang. Mas Fahri.

‘Oh crap, not again,’ balasku dalam hati.

“Hey, Mas,” aku meliuk sejenak, mencoba melepaskan diri dari pelukannya. “Tumben pulang cepat?” Lanjutku setelah terbebas dari sergapannya.

“Kangen istri,” ucapnya tersenyum.

“Yeee ditanya serius juga, malah gombal.”

Mas Fahri kemudian memegang pagar balkon apartemen, menegakkan punggungnya dan menghirup nafas dalam. “Emangnya nggak boleh ngegombalin istri sendiri?” Jawabnya melirik padaku.

‘Enggak boleh, Mas, nanti perasaan ini bisa terlalu jauh. Hati ini masih punya Andre walau sekeras apapun kamu mencoba merebutnya, Mas.’

“Yaaa....boleh sih,” balasku ragu.

Keheningan menyeruak diantara kami selama beberapa saat, sebelum ia kembali bersua.

“La?”

“Ya, Mas?”

“Aku terkadang ngebayangin deh, di sore hari gini, aku dan kamu menikmati hari di balkon ini sembari salah satu diantara kita merangkul si kecil.”

Aku terperanjat sejenak, melihat ia yang kini memandang luas ke arah langit.

Itu merupakan yang keempat untuk minggu ini dirinya menyinggung masalah buah hati. Intensitasnya berbicara seperti itu semakin meningkat dari waktu ke waktu. Padahal pada awal terciptanya hubungan ini, kami setuju untuk menyingkirkan pembahasan mengenai anak karena kami sadar hubungan ini tak akan bertahan selamanya.

Dan dengan adanya anak, maka cincin di jari manis ini akan terpasang lebih lama.

Memang, banyak pasangan yang mengakhiri status pernikahan mereka walaupun telah memiliki buah hati, namun aku tak bisa melakukan hal serupa. Aku, tak mau mengorbankan anak yang tak berdosa dan tak tahu masalah sesungguhnya dibalik perpisahan orang tuanya.

Aku tak mau, dan tak bisa.

“Kalau menurutmu, bagaimana, La?” Tanyanya lagi, ku merasakan pandangannya berganti padaku, namun mataku tertuju pada kedua kakiku.

Mulutku masih terbelenggu. Aku tak ingin menjawabnya.

“La?”

Sial, dia memaksa.

“Iya, Mas?”

“Kamu ada di sini, kan?”

“Ha? Maksudnya? Iyalah, Mas, aku di sini,” sergahku.

“Bukan, maksudku pikiranmu, La.”

‘Kau ingin jawaban jujur atau jawaban yang memuaskanmu, Mas?’

“Iya, Mas, aku di sini, kok,” jawabku.

“Lalu, gimana menurutmu, La?”

Aku menatapnya kini. “Tentang anak?”

Dia mengangguk.

“Entahlah, Mas,” kataku lirih.

Kembali terjadi keheningan. Aku tahu Mas Fahri menunggu jawaban utuhku, maka aku lanjutkan. “Aku nggak tahu apakah dengan adanya anak bisa menyelamatkan pernikahan kita. Aku juga nggak tahu mengapa sekarang kau sangat sering menyinggung permasalahan ini, padahal ide tak adanya anak kau sendiri yang menyuarakan di awal hubungan ini, Mas.”

Aku merasa tak berani menatapnya lagi setelah mengatakan itu. Sebelumnya, acap kali Mas Fahri mencoba membahas persoalan ini, aku selalu bersikap acuh tak acuh atau mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Namun, kali ini aku mengatakannya dengan lantang, suara hatiku yang terpendam selama ini.

“Kenapa, La?” Firasatku mengatakan tak enak tentang ini. “Kenapa? Kita, udah satu tahun, La, kenapa seakan ini semua tak ada artinya bagimu?”

I wish i can go away from here now.

“Kita ada di satu atap yang sama setiap harinya. Bangun dan ingin tidur yang pertama kali aku lihat adalah kamu. Setiap aku pulang kerja, kamu orang yang ada untuk menyambut aku, begitupun ketika aku berangkat, kamu orang yang mengantarku sampai ke depan pintu dan melihat punggungku semakin menjauh sampai mata tak mampu menjangkaunya lagi.” Ia diam. Aku semakin erat menggenggam cangkir di tanganku. 

“Beberapa kali kita pergi ke berabagai tempat di Prancis, sewaktu aku ajak kamu ke Marseille untuk melihat kantorku, atau ketika kita keliling Paris bersama. Apa itu tak ada artinya bagimu? Apa semua keceriaanmu hanya fana belaka?”

Suaranya kian memberat.

“Hentikan, Mas.”

“Kenapa, La? Kenapa kamu bisa bersikap seakan tak ada apa-apa diantara kita?”

‘Memang tak ada apa-apa, Mas, dari dulu tetap dan akan selalu begitu.’

“La, aku mau jujur soal perasaanku,” katanya lagi dengan suara semakin lirih.

‘Mas, hentikan, aku nggak mau dengar.’

“La, pada awalnya aku memang menganggap hubungan ini sebatas formalitas belaka demi membuat tenang hati kedua orang tua kita, terutama almarhum Ibumu. Namun, hari demi hari dilalui bersama dengan hanya satu orang membuat hati ini tergerak juga untuk membawa hubungan ini ke jalan yang seharusnya. La, aku percaya bahwa cinta datang dengan berbagai cara, salah satunya ialah cinta bisa datang karena terbiasa.”

‘Tapi aku bukan tipe orang yang bisa cinta karena terbiasa, Mas.’

Bibirku masih terkatup.

“La, aku telah meninggalkan semua peristiwa masa lalu dan bersiap menghadapi masa depan yang terlihat nyata di depanku kini. Aku tak pernah berbicara mengenai ini sebelumnya karena aku pun melihat kamu merasakan hal yang sama, La, tapi kelihatannya kamu tidak terpengaruh itu semua.” Desau angin berhembus menyapu kulit tipisku dan membelai rambutku. Aku sama sekali tak berkeinginan untuk membalasnya, mencoba tidak menggores hatinya sekecil apapun.

“La, lalu apa arti kebahagiaan itu? Kebahagiaan yang kerap terpancar dari wajahmu? Sorot mata yang berbinar acap kali aku menggenggam tanganmu? Apa arti semua itu, La? Apakah itu karena aku, atau hanya murni karena kamu terpana dengan indahnya Prancis?”

“Mas, hentikan....”

“Apa hidup dengan memakai topeng seperti itu selama ini terasa nyaman bagimu?”

Aku sudah tak tahan lagi mendengarnya. “MAS!”

Ia tersentak, nampak tak percaya dengan reaksiku.

“Aku bilang sedari tadi untuk hentikan omongan ini. Aku nggak bisa, Mas, aku nggak bisa,” aku berusaha menatapnya yang masih tergambar perasaan shock di sana. “Aku berusaha untuk tak mengatakan apapun karena....aku takut....takut melukai hatimu, Mas.”

“Tapi, diam mu cukup menciderai hatiku, La, meskipun kecil. Dan, dengan begini kamu tetap akan meninggalkanku, bukan?” Lagi, aku tak membalasnya.

“Jadi, sampai kapanpun posisi Andre nggak akan tergeser dari hatimu, begitu? Huh, Aku kira aku dapat mengisi tempatnya setelah semua ini,” ia tersenyum sinis.
Kala ia mulai membawa Andre dalam percakapan ini, emosiku meninggi dengan sendirinya.

“Mas, cukup, memasukan Andre dalam obrolan, kalau ingin bahas tentang aku, ya bahas ini, Mas.”

“Tapi perasaanmu terikat dengan Andre, jadi namanya tak luput ku sebut,” ia membalas dengan cepat. “Lagian, kenapa sosoknya begitu kokoh tertanam di hatimu, La? Kamu punya aku di sini yang juga telah jatuh hati padamu, dan siap menafkahimu lahir batin.”

“Jadi, maksud Mas, Andre nggak siap untuk menafkahi aku?” Nada suaraku sedikit meninggi.

“Aku melihatnya demikian. Aku juga beberapa kali menengok isi feed instagramnya. Ia seakan belum punya konsep hidup yang matang. Jiwa mudanya masih nampak terlalu dominan sehingga menjadikan ia sedikit liar. Dia juga---“

“CUKUP!!!!” Seruku lantang. Aku melihat sejenak ke arah bawah, ada seorang remaja yang menengadah ke arah kami. Biarlah, aku hanya perlu menghentikan omongan Mas Fahri.

“Mas...kamu nggak tahu apa-apa tentang Andre. Jangan mengatakan apa-apa yang tidak kamu ketahui betul, Mas,” aku mencoba merendahkan suaraku kembali.

“Then tell me, La, what makes him so special in your eyes?” Balasnya.

Aku berpikir sesaat. Should i tell him now?

“Hati ini nggak bisa memilih kepada siapa ia akan berlabuh. Saat bertemu dengannya, aku adalah sosok yang rapuh. Bersamanya, aku merasa memiliki malaikat pelindung. Meninggalkannya, hatiku serasa mati. Kamu bisa bilang ini semua hanya omong kosong, tapi kamu tahu apa, Mas? Aku yang merasa, kamu tak berhak menilai,” jawabku dengan bibir gemetar. 

“Kita sudahi saja pembicaraan ini.”

Aku melangkah meamsuki apartemen meninggalkan sosoknya yang mematung. Aku tak ingin air mata ini sampai tumpah di hadapannya, karena air mata ini siap keluar dari bendungannya.

“Lalu apa ada jaminan kalau dia masih menerima kehadiranmu setelah kamu menghilang sekian lama dan membohonginya sekian banyak?!” Ujarnya setengah berteriak.

Kakiku tertahan mendengarnya. Ia meneruskan kalimatnya. “Belum pasti dia masih mencintaimu sama seperti terakhir kali kamu meninggalkannya, terutama setelah ia mendengar apa yang telah terjadi, La.”

Aku berbalik arah menghadapnya. “Satu hal yang pasti, Mas, hubungan ini akan segera berakhir dan aku nggak perlu ragu lagi untuk mengucapkan ini. Sebaiknya kita segera pulang, kita urus perceraian kita,” ujarku dengan suara parau.

Senja di Avignon perlahan dilahap kelamnya langit malam. Petang itu, air mataku luruh bersama dengan hilangnya Avignon dari hati.

to be continued

Thursday, August 10, 2017

Chapter XI - Worry





Laila
 
Avignon
 
Matahari sore menyentuh permukaan kulitku dengan hangatnya. Lambaian angin menyisir pelan rambutku. Aku duduk dengan laptop terbuka di atas kedua pahaku di tempat favoritku; Rocher des Doms. Aku menyapu pandangan ke sekeliling. Pasangan lanjut usia, mungkin sekitar 60 tahun atau lebih, sedang berjalan bergandengan di sebalah baratku menuju ke bangku tempatku duduk. Si Pria yang memakai flannel cokelat muda dan celana bahan warna senada mengapit tangan istrinya dengan tangan satunya terangkat menunjuk ke pepohonan yang berjajar jauh di depan mereka. Melihat itu, tanpa sadar senyumku tersungging.
 
Aku mengalihkan pandangan ke arah sebaliknya. Seorang wanita 23 tahun terlihat sedang mengabadikan objek dalam memori kameranya. Ia membidik sekumpulan burung yang bertengger di patung perempuan dengan tangan melintang di atas kepala di tengah danau mini taman ini. Ia menurunkan kameranya, melirik padaku dan melontarkan seringai.
 
Wanita itu berjalan mendekatiku.
 
Haven’t done yet?
 
Aku menggeleng.
 
“Udah berapa banyak?” tanyanya lagi.
 
Aku menatap layar laptop. Terisi setengah halaman.
 
Not that much,” jawabku singkat.
 
Wanita itu bernama Isabel. Seorang fotografer lepas sebuah majalah dan media online berkewarganegaraan Inggris yang menetap di sebelah kanan apartemenku. Usianya yang sebaya menjadikan kami cepat akrab. Ia seorang wanita muda yang cantik. Rambutnya keemasan, hidungnya bangir, pipinya tirus dan jalannya anggun. Meskipun begitu, ia belum menentukan tambatan hatinya, padahal ia bercerita sudah banyak pria yang berusaha mendekatinya. Aku kurang tahu mengapa, mungkin ia belum sepenuhnya membuka diri padaku karena memang kita baru akrab beberapa pekan belakangan.

Isabel duduk disampingku. Ia menyandarkan punggungnya dan mendengus pelan. “Terlalu banyak pikiran, Laila?”
 
Aku mengangguk pelan sembari tersenyum risau.
 
Aku masih menulis untuk beberapa media online dengan menggunakan nama penaku; Laura Michelle. Karena menulis menjadi alasan bagiku untuk menjalani hari-hariku di kota ini yang semakin lama semakin menjemukan. Bukan, bukan karena kebahagiaan di kota ini mudah menguap, melainkan karena hampir seluruh bagian hatiku tertinggal di Indonesia, pada seorang lelaki pemimpi bernama Andre.
 
Beruntung aku mengenal Isabel. Mas Fahri tidak pernah menceritakan padaku perihal tetangga kami satu ini karena memang mereka jarang berpapasan, dan jikapun begitu mereka hanya saling menegur sekenanya.
 
Pertama kali aku bertemu dengannya kala aku baru pulang dari Galerie Ducastel tak jauh dari apartemenku. Saat itu aku mendapati seorang wanita yang nampak kebingungan di depan pintu kamar sebelah kanan kamarku. Ia berjalan mondar-mandir dengan satu tangan memegang keningnya, menandakan ia cukup jangar.

Ketika aku berada tepat di depan pintu, ia menilikku.
 
“Kamu tinggal di situ?” adalah kalimat pertama yang ia lontarkan. Aku segera menyimpulkan bahwa ia seorang Britania, terdengar dari aksennya yang begitu kental.
 
“Iya,” jawabku singkat.
 
“Bukannya di situ tempat tinggal Fahri?” Ia bersandar menghadapku pada tembok diantara kamar kami.
 
“Ya, saya istrinya,” ucapku dengan berat hati.
 
“Oh,” balasnya singkat sambil memerhatikanku dari atas ke bawah. Aku mafhum, Mas Fahri pernah cerita kalau Florencia sempat tinggal di sini. Jadi wanita ini keheranan karena aku yang mengaku sebagai istri Mas Fahri begitu berbeda dari yang biasa ia lihat.
 
I know what you thinking. Aku bukan dia yang sempat kamu lihat sebelumnya,” jelasku.
 
Okay, sorry then. I’m Isabel by the way.” Ia mengulurkan tangannya.
 
“Laila,” aku menyambut uluran tangannya. “Apa yang mengganggumu, Isabel? Kamu nampak pusing aku perhatikan,” lanjutku.
 
Ia menepuk dahinya. “Ah, iya! Aku kehilangan kunci kamarku ketika perjalanan pulang tadi. Dan kunci cadangan ada di lemari kamarku, sekarang aku bingung bagaimana caranya masuk.” Dia diam sejenak. “Ah! Benar! Untung ada kau, apakah kau punya kawat?”
 
Aku mengangkat kedua bahuku. “Entahlah, tapi mungkin ada.”
 
Can you bring me some?” Aku mengangguk dan berlalu memasuki kamar.
 
“Mungkin ada di dapur,” desisku pelan. Setelah mencari di berbagai counter, akhirnya aku menemukan kawat sepanjang, entahlah, mungkin setengah meter. Segera aku bawa kawat itu keluar.
 
Wajah Isabel sumringah kala aku membawakan kawat yang ia cari. Ia lalu membuat meminta gunting dan memotong seperempat dari panjang kawat. Kemudian ia tekuk kawat pada titik tengahnya hingga membentuk huruf U. Setelah itu ia memasukan kawat ke dalam lubang kunci dan melakukan sedikit ‘sulap’ hingga beberapa saat kemudian bunyi ‘krek’ terdengar dari pintu.
 
Isabel tersenyum puas ketika apa yang ia kerjakan berhasil. Aku yang sedari tadi menjadi penonton hanya terpana melihat ‘perampokan’ terhadap apartemen sendiri ini.
 
Semenjak saat itu kami yang pada awalnya jarang bersitatap menjadi hampir tiap hari menghabiskan waktu bersaama dan pada beberapa kesempatan Mas Fahri mengajak Isabel untuk makan malam bersama di apartemen kami.
 
Kembali ke Rocher des Domes, aku mengerling ke arah Isabel yang kini duduk di tempat kosong di sebelahku. “Kau sudah selesai dengan aktifitas fotomu?”
 
“Untuk sekarang, sudah. Mau lihat?” Isabel mencondongkan badannya ke arahku. Aku melihat seksama display kameranya. Ia menekan tombol next untuk memperlihatkan beberapa foto yang ia tangkap.
 
“Bagus seperti biasa, matamu sangat jeli menilai objek mana yang pantas untuk diabadikan.”
 
“Ah, tidak juga, Laila. Menurutku, semua orang bisa menjadi fotografer. Sama sepertimu, semua orang bisa menjadi penulis. Ini hanya masalah jam terbang, bahkan ada beberapa orang yang ditakdirkan dengan bakat fotografi,” jelasnya.
 
“Bagaimana sekarang? Kau masih ingin di sini atau kita pergi ke tempat lain?” tanya Isabel.
 
“Aku rasa duduk di sini untuk beberapa menit ke depan bukan ide yang buruk. Hey! Bagaimana kalau kita memberi makan burung-burung itu?” Aku menunjuk kumpulan burung dara yang sedang mengais makanan di jalan tak jauh dari tempat kami duduk. Isabel hanya mengangguk dan bergerak mengikutiku.
 
“Isabel,”  aku memanggilnya tanpa mengindahkan pandangan dari kumpulan burung yang kini berada tepat di sekitar kakiku.
 
“Ya?”
 
“Apakah kau pernah tinggal bersama orang yang tidak kau cintai?” entah mengapa aku menelurkan kalimat itu.
 
Tidak ada jawaban selama beberapa saat. “Itukah yang sedang kamu rasakan, Laila?” Isabel menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan. Aku terdiam. Gerakan tanganku yang sedari tadi menebar makanan ringan ke kawanan burung ikut tertahan.
 
“Aku tidak tahu sampai kapan ini akan berakhir,” jawabku lemah.
 
“Mungkin sebaiknya kita ke Le Cid Cafe. Aku rasa di sini bukan tempat yang cocok untuk membicarakan perkara ini, Laila.”
 
Aku mengiyakan dan kami berlalu menuju tempat yang telah di tentukan. Sebuah kafe kecil di dekat apartemen kami, namun ramai oleh pengunjung setiap harinya dikarenakan arus manusia yang melalui Rue de Republique tak pernah lenggang.
 
Kami duduk di bagian luar kafe yang langsung menghadap ke Jalan Republik karena di dalam sudah tidak memungkinkan tersedia tempat kosong. Isabel memesan andromaque, salad dengan potongan daging ayam dan disajikan ala Thailand. Sedangkan aku hanya memesan cappuccino.
 
“Aku rasa aku mengerti masalahmu,” Isabel membuka percakapan. “Setidaknya itu yang sempat aku pikirkan kala pertama kali melihatmu di kamar sebelah. Kamu bukan wanita yang kemarin sempat tinggal di sana.” Tukasnya.
 
“Aku tahu kau berpikiran begitu. Tapi, apakah kamu mengenalnya?”
 
“Tidak begitu, ia jarang bersosialisasi. Bahkan dibanding dengan Fahri yang sudah terhitung jarang bertemu denganku, wanita itu masih di bawahnya.” Isabel berbicara sembari menyantap saladnya.
 
“Sifatnya sangat berbeda darimu, Laila. Entahlah,mungkin karena kalian orang Indonesia yang pernah kudengar peringainya ramah dan hangat hingga terbuka bagi siapapun. Sebenarnya aku pun mempunyai sifat yang sama seperti wanita itu, tapi berbicara denganmu membuatku tak acuhkan sisi lainku yang satu itu.” Aku tersenyum mendengar penjelasannya.
 
“Oh ya, tentang pertanyaanmu di Rocher des Doms tadi, aku tidak pernah mengalami seperti apa yang kamu alami sekarang, tapi aku tau rasanya ditinggal pergi oleh orang yang sangat kucintai.”
 
Aku menaikkan satu alis. “Dia meninggalkanmu seperti....memilih bersama perempuan lain?”
 
Isabel terkekeh sampai makanan di mulutnya hampir keluar. Ia mengambil tisu untuk membersihkan daerah mulutnya sebelum menanggapi ucapanku. “Tidak, bukan begitu.”
 
“Lalu?” aku semakin penasaran dibuatnya.
 
Ekspresi Isabel berubah seketika. Kini nampak kemurungan yang kentara terhias diwajahnya. “Dia meninggalkanku selamanya. Kecelakaan tunggal 2 tahun lalu di London.”
 
“Eh? Maaf kalau begitu, tidak seharusnya aku bertanya,” kataku merasa tak enak.
 
It’s okey, Laila,” ia tersenyum getir padaku. “Anyway, life must go on, right?” hanya dalam beberapa detik ia mampu mengubah raut wajahnya seperti sedia kala kembali.
 
“Aku tarik dari kata-katamu tadi, berarti sekarang kamu tinggal dengan orang yang tidak kamu cintai dan ada seseorang yang kamu cintai nun jauh di sana yang kamu tinggalkan?”
 
Aku terkesiap menangkap kalimatnya. Isabel cukup melihat mimik keterkejutanku untuk memastikan tebakannya tidak salah.
 
“Boleh aku memberi saran, Laila?”
 
Aku mengangguk.
 
“Aku memang tak tahu bagaimana kamu bisa sampai ke titik ini. Aku hanya ingin mengatakan, jangan terlalu lama mendustakan isi hatimu sendiri. Segera pulang ke tempa dimana kau semestinya, sebelum semua terlambat. Sebelum orang yang memang kamu cintai hanya bisa didatangi di pemakaman setempat,” Isabel menjeda kalimatnya. “Aku tahu, tempat ini cukup bagus untuk ragamu, tapi tidak bagi hatimu. Dan sampai saat itu tiba, saat dimana kamu akan kembali ke pelukan sesungguhnya, aku ada 2 meter di samping kamarmu.” Ia menutup perkataannya dengan sebuah senyuman.
 
---

Ada beberapa aturan yang aku dan Mas Fahri setujui bersama. 1). Hubungan ini didasari oleh keinginan orang tua kita, jadi jangan menggunakan hati di dalamnya. 2). Tidak ada singgungan tentang anak dalam hubungan ini. Meskipun aku tetap melayaninya karena bagaimana pun juga ia merupakan suami sahku.
 
Hubungan kami memang terkesan seperti antara abang dan adiknya, meskipun itu tak berlaku kala kami bergumul di ranjang beberapa kali. Namun, suatu ketika, kala hubungan ini berjalan lebih dari setahun, aku menangkap gelagat berbeda ditujukan Mas Fahri.
 
Aku paham aku tak sebodoh itu, aku paham kalau ia berusaha membawa hubungan ini ke arah yang semestinya; suami istri sesungguhnya. Bahkan dalam beberapa kesempatan ia turut memasukkan ‘anak’ dalam topik pembicaraan kami, juga ia mulai menjadi protektif dan menguarkan perhatian lebih.
 
Aku tahu itu bukanlah sesuatu yang salah dalam hubungan suami istri, tetapi tidak pada hubungan ini.
 
Saat dimana hal-hal demikian itu mulai terlihat adalah ketika aku menyambangi Paris untuk pertama kalinya. Aku berpikir, sekarang aku berada di salah satu destinasi favorit di Eropa, mengapa aku tak mengunjungi Eiffel tuk pertama kali selagi kesempatan ini ada?
 
Aku memang biasa pergi keliling Avignon tanpa mengabari Mas Fahri terlebih dahulu, terlebih aku selalu kembali ke apartemen sebelum Mas Fahri pulang kerja. Aku tahu, tidak seharusnya seorang istri bepergian tanpa sepengetahuan dan seizin suaminya. Tapi untuk kasus satu ini, aku bahkan meragukan status istri yang kusandang sendiri.
 
Maka, pada hari itu aku putuskan pergi ke Paris seorang diri. Isabel berhalangan mendampingiku karena ada urusan pekerjaan di Bordeaux.
 
Perjalanan dari Avignon menuju Paris ditempuh dalam waktu 3 jam dengan TGV. Bermodal peta dan rekomendasi tempat yang aku dapatkan dari internet, membuatku merasa pede dalam kenekatanku untuk berkeliling Paris.
 
And here i am. Paris dengan segala keelokannya. Aku nampak berseri kala menginjakkan kaki pertama kali di Kota Cahaya ini. Mataku menyapu sekeliling, memerhatikan bagaimana wajah Parisian atau penduduk paris yang sangat khas. Dagunya, raut mukanya, hidungnya, seakan Paris bukan hanya elok dari segi aristekturnya, melainkan juga dari penduduknya.
 
Berhubung aku sampai pada waktu hampir tengah hari, aku langsung menuju destinasi utamaku, sebuah sutet yang dibanggakan warga Paris, Eiffel Tower. Aura romantis langsung menguar setiba aku di sana. Aku mengabadikan beberapa foto dalam pocket camera yang aku pinjam dari Isabel; muda mudi yang berciuman tak jauh dari tempatku berdiri, lalu ada pasangan yang asyik bercanda sambil tak henti menunjuk menara eksotis itu. Aku tersenyum melihat mereka. Dan dalam hati kecilku, aku pun ingin berada di posisi mereka, dengan Andre tentunya.
 
Sebetulnya Eiffel akan ramai menjelang malam hari, karena orang-orang dapat melihat pemandangan Paris yang gemerlap dari puncak Eiffel. Namun, karena waktuku yang terbatas, maka aku mengantri tiket Eiffel pada siang hari. Biarlah, setidaknya rasa penasaranku terbunuh dengan ini. Toh, berada di puncak Eiffel saja udah lebih dari cukup bagiku.
 
Aku hanya punya sedikit waktu di sini, sehubungan dengan telah terpuaskan rasa penasaranku dengan menara Eiffel, maka selanjutnya kuputuskan membawa kakiku ke Saint-Pierre de Montmarte, salah satu gereja tertua di Paris yang terbuka untuk umum dan turis. Letaknya yang berada diketinggian membuat siapapun yang berdiri di sana dapat melihat Paris dari atas dan itu sangat sangat luar biasa indahnya. Seakan ada sensasi berbeda yang diberikan apabila melihat Paris dari ketinggian di sini dan dari puncak Eiffel. Dan beruntung, di sekitar Montmarte ada Flea Market atau pasar loak yang menyediakan begitu banyak barang mulai dari jam hingga ornamen khas Prancis. Riuhnya pasar loak tersebut juga kuabadikan dalam lensa kamera milik pinjaman ini.
 
Aku sudah memesan tiket pulang berupa penerbangan paling malam dari Paris ke Lyon yang kemudian dilanjutkan naik TVG ke Avignon. Sengaja kulakukan karena aku ingin mengeksplore Paris lebih lama. Meskipun hanya dua landmark Paris yang bisa kukunjungi, tapi aku cukup puas telah melihat keanggunan Paris dari tiap kelok jalanannya, orang-orangnya dan bangunannya.
 
Hingga saat aku sedang menunggu waktu boarding-ku dengan menghabiskan makanan di salah satu restoran cepat saji asal Amerika, ponselku berdering. Mas Fahri.
 
“Laila, kamu dimana?” tanyanya dengan suara terburu-buru.
 
“Paris,” kataku singkat.
 
“PARIS?!” ia menyentak. Membuatku harus menjauhkan ponsel dari telingaku. “Ngapain kamu ke sana?!”
 
“Iseng, liat Eiffel, terus pulang.” 
 
Mas Fahri menggeram sesaat. “Laila! Pulang sekarang! Kenapa nggak bilang sih kalau kamu ke Paris?!”
 
Aku mengrenyitkan dahi. Tak biasanya ia semarah ini kalau aku bepergian sendirian. Memang sebelumnya aku biasa sampai sebelum Mas Fahri pulang, tetapi toh ini baru pertama kali aku begini. Dan ini pertama kali Mas Fahri marah dengan kelakuanku.

Akan tetapi di situ aku merasakannya.

Mas Fahri berbuat begitu karena ia takut aku mengalami kejadian tidak mengenakkan. Terlebih aku orang asing yang hanya mengandalkan jalanan Paris dari smartphone miliknya. Aku tahu, ada hal lebih yang ingin diperjuangkan Mas Fahri. Dan itu berusaha aku tampik.

Aku sampai di apartemen setelah hampir 12 jam berada di luar. Setelah menaruh jaketku di holder dekat pintu, aku mendapati pemandangan yang membuat hatiku meringis.

Mas Fahri tidur telengkup di sofa depan TV masih lengkap dengan pakaian kerjanya. Aku tahu ia menungguku pulang hingga tertidur.

Dan saat itu pula pertama kali aku menaruh perhatian padanya.

to be continued


Friday, July 21, 2017

Chapter X - Bonjour, France



Chapter I-IX bisa dibaca di sini

---

Laila

Prancis, 2015

Aku terbangun di sofa ruang tengah dengan kepala sedikit pening. Aku rasa, aku masih terkena jetlag meski sudah berada di sini selama dua hari. Ditambah, kondisi apartemen ini lebih layak dijadikan tempat syuting film hantu dibanding tempat singgah ketika pertama aku tiba, dan baru selesai kubersihkan siang hari tadi sehingga membuat energiku terkuras habis yang membuat aku tertidur di sofa sejak siang sampai menjelang malam hari.

Di perjalanan, Mas Fahri sudah mewanti kepadaku perihal kondisi apartemennya yang mengkhawatirkan. Aku menanggapinya dengan santai, ku pikir seorang berpenampilan necis sepertinya tak mungkin seburuk itu dalam mengurus tempat tinggalnya. 

Hingga kami sampai di depan pintu, Mas Fahri kembali meyakinkan agar aku tidak sampai shock melihat berbagai barang berserakan dimana-mana.

“Ini orang lebay banget sih,” batinku waktu itu. Aku mengangguk yakin. Mas Fahri memasukan kunci ke lubang pintu, memutarnya perlahan hingga bunyi ‘krek’ terdengar menegangkan. Ia mendorong pintunya dengan pelan, leherku mendongak tak sabar memastikan perkataannya.

“ASTAGFIRULLAH!”

Aku tercengang. Mataku terbuka selebar-lebarnya, mulutku pun tanpa sadar sedikit menganga. Aku menatap Mas Fahri dengan mata memicing. Ia tertawa kecil dengan tatapan kan-udah-aku-bilang miliknya.

Aku tak menyangka hari pertamaku di negeri yang menjadi salah satu destinasi wajib di Eropa bisa seburuk ini. Pakaian kotor bertebaran disembarang tempat. Makanan yang belum dibuang sebelum Mas Fahri pulang ke Indonesia—yaitu dua minggu lalu, masih ada di posisi sama seperti sebelum ditinggalkan. Sampah makanan ringan serta kaleng minuman tergeletak begitu saja di meja depan televisi, bahkan hingga jatuh ke kolong meja.

Tak sampai di situ, kondisi serupa juga terpampang di dua kamar apartemen ini. Entah karena malas membersihkan salah satu kamar, sehingga Mas Fahri memilih tidur di kamar lain dan membuat kondisi sama buruknya di kamar itu atau memang sebelumnya tempat ini merupakan war zone bagi tentara Prancis. Aku tak habis pikir.

“Maaf ya, La, kemarin aku lagi ngerasa stres. Jadi nggak sempat membereskan ini semua.” Iya, Mas, aku juga stres karena harus berpisah dengan orang yang seharusnya mengenakan cincin yang sama denganku pada kondisi ini. Tapi seharusnya kamu juga mikir dong, Mas, kalau dalam waktu dekat akan ada perempuan yang menetap di sini untuk waktu yang tidak ditentukan.

Aku tak menyuarakan yang satu itu.

Setelah menempuh perjalanan selama hampir satu hari dari Jakarta menuju Marseille, kemudian ekstra enam puluh menit lagi perjalanan dengan TGV ke tempat tujuan akhir,  Avignon, menjadikan tulang-tulang ditubuhku seakan terlepas semua. Hal ini membuat kekesalanku terhadap kondisi apartemen yang mengenaskan tersumbat sementara. Aku hanya menyingkap pakaian Mas Fahri yang berhamburan di atas kasur, lalu membanting tubuh ke kasur dan segera memejamkan mata. 

Belum banyak aktiftas yang kulakukan selain membersihkan ruangan mengerikan ini. Namun tadi pagi tetangga sebelah barat apartemen kami, Leroy Devaux, datang dengan membawakan croissant terenak yang pernah aku makan. Ia tinggal bersama istrinya, Nathalie Devaux.

Melalui perbincangan singkat, aku mengetahui ternyata ia mempunyai boulangerie, atau toko kue, di Cannes, kota sebelah tenggara Avignon. Toko kue itu kini dikelola oleh putranya dan mereka tinggal di Avignon sejak 8 tahun lalu, membuka usaha home bakery lalu menjualnya dengan sistim door to door. Pelanggannya tak banyak, tapi mereka pelanggan yang setia karena rasa croissant atau baguette yang ditawarkan Leroy tak mungkin ditolak lidah mereka.

“Saya bisa sedikit bahasa Indonesia,” ujarnya dengan aksen khas bule yang mencoba pelafalan bahasa Indonesia. “Fakhri yang mengajarkan saya.” Aku tertawa pada caranya menyebut nama ‘Fahri’. Menurutku itu cukup lucu.

Leroy, pria 60 tahun yang kerap mengenakan flat cap tuk menutupi rambut putihnya, memiliki kontur wajah kotak dengan kumis putih yang menutupi setengah dari bibir atasnya. Tubuh tambunnya mungkin diakibatkan banyaknya alkohol yang ia konsumsi. Kepribadiannya hangat, sehingga saat berbincang dengannya aku merasa seperti seorang anak yang merindukan pembicaraan dengan ayahnya. Dan aku memang merindukan itu.

Leroy sadar aku belum menguasai bahasa Prancis sehingga dengan berbaik hati ia mengajakku bicara menggunakan bahasa Indonesia meskipun dengan cara bicaranya yang lucu dan terpatah-patah.

“Istri anak saya cantik seperti kamu,” ucapnya sambil tertawa renyah. Aku tersipu mendengarnya.

Obrolan terhenti mengingat masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan. Leroy berjanji akan memberi kami kue buatannya selama seminggu ke depan, lalu minggu berikutnya kami harus membayar kue miliknya seharga dua minggu. Ia berlalu sambil tertawa meninggalkanku yang pula tergelak di ambang pintu.

Pasca seluruh pekerjaan rumah beres, aku beranjak ke dapur untuk menyeduh teh. Mungkin dengan ini pusing di kepalaku bisa reda.

Aku berjalan menuju balkon dengan tangan menggenggam secangkir teh hangat. Langit jingga mulai takluk pada warna biru tua. Beberapa bangunan sudah menyalakan lampu menandakan gelap segera tiba. Aku memposisikan kedua lenganku di atas pagar pembatas dengan sesekali menyesap teh dari gelas yang ku pegang.

Aku melirik arloji. 20.15.

Sebentar lagi Mas Fahri pulang. Aku melihat orang berlalu-lalang di bawah sana dari posisiku di lantai empat. Rue—jalan, Viala masih nampak ramai dengan aktifitas orang-orangnya, begitu juga Jalan Republik di sebelah kananku yang sepanjang jalannya banyak ditemui berbagai macam toko, mulai dari sepatu hingga tas. Mungkin lain hari aku berbelanja di salah satu toko itu.

Aku suka melihat kondisi jalanan yang didominasi manusia, bukan mesin. Aku juga suka bagaimana orang-orang di sini dapat berjalan dengan tenang di trotoar tanpa harus khawatir mendapat teguran dari pengendara motor yang mencoba mencari ‘jalur alternatif’ akibat dari jalan utama yang sesak.

Aku teringat ketika aku sedang berjalan santai di daerah Sudirman. Kala itu aku sibuk dengan ponselku dan hanya sesekali melirik ke depan untuk memastikan tidak menabrak siapapun. Aku yang juga menggunakan earphone tiba-tiba terdengar bunyi nyaring secara samar. Lalu ku lepas satu earphone ku dan suara nyaring itu semakin memekakkan telinga. Aku berbalik arah dan mendapati pengendara motor dengan wajah geram terus menekan klakson.

“Woy Mbak! Budek ya? Minggir, gua mau lewat!”

Lah? Siapa lo berani nyuruh gue buat menepi dari trotoar? Argh, ingin berkata kasar! Umpatku kala itu, dalam hati.

Aku memberinya jalan. Saat ia tepat melewatiku, ia menoleh dan memberi tatapan yang entah aku artikan apa, mungkin ‘nah gitu dong dari tadi kek’ yang aku balas dengan pandangan sinis.

Melihat kondisi di sini tidak seperti di Indonesia, sepertinya aku bisa merasakan menjadi pejalan kaki seutuhnya yang belum pernah aku rasakan di Jakarta.

Berbicara mengenai Jakarta dan Indonesia, pikiranku langsung merujuk satu nama; Andre. Andre apa kabar ya?  Sekarang di Indonesia pukul tiga sore, hmm mungkin ia sedang bersiap menunaikan ibadah shalat ashar. Andre nyariin aku nggak ya? Kalau iya, mungkin segala cara ia usahakan untuk mencari keberadaanku. Kalau enggak, ah, aku nggak yakin dengan satu itu. Aku jahat ya, Ndre, udah ninggalin kamu gitu aja tanpa kejelasan? Bahkan tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Aku bahkan mempertanyakan ulang keputusanku, ini demi kebaikan kita, atau hanya aku? Aku nggak tahu, Ndre, sekarang aku merasa udah gila karena pikiranku terus berbicara mengenai ini.

“Kalau melamun terus di situ, nanti bisa kesambet loh.”

Aku menoleh. Mas Fahri.

Aku memutar badan, punggungku bersandar pada pagar pembatas. “Barusan pulang, Mas?”

“Enggak sih, 5 menit lalu kayaknya, ngeliatin kamu bengong dulu,” ucapnya sambil menaruh  kotak hitam di atas meja depan televisi. “Sini, La, makan dulu. Pasti belum makan, kan?”

Benar. Perutku berontak mendengar kata ‘makan.’

Aku mendekat ke sofa tempat Mas Fahri duduk. Aku tertegun ketika melihat meja penuh dengan sushi. California rolls dengan tepung ayam dan udang, salmon rolls yang menggiurkan, lalu ada yang dinamakan rouleaux de printemps, semacam lumpia yang di dalamnya terdapat udang, wortel hingga sayuran namun dengan kulit yang lebih tipis cenderung transparan. Kemudian ada sushi yang di bagian atas dan bawahnya terdapat kiwi untuk makanan penutupnya.

“Mas, ini kita nggak lagi ngadain syukuran seapartemen, kan?”

Ia menatapku sejenak, lalu terbahak.

“Ini bukan porsi kamu ya? Désolé alors. Semisal nggak habis, ditaruh kulkas aja buat besok sarapan, maaf ya sekali lagi.” Aku memaklumi. Mas Fahri belum tahu banyak tentang aku—makanan kesukaanku, hobiku, apa yang aku benci, termasuk ini, seberapa banyak kapasitas makanan yang mampu masuk ke lambungku. Aku nggak takut gemuk, bahkan aku sering makan tanpa mengkhawatirkan kondisi perutku, tapi ‘sering’ bukan berarti porsinya ‘banyak’, untuk kasus ini...just too much

Beda cerita kalau Andre yang menyodorkan makanan sebanyak itu untukku, aku nggak berani jamin esok hari keberadaannya masih eksis di dunia ini.

Aku memegang sumpit dan mengambil satu yang menurutku paling enak. Aku lahap satu itu. Enak. Aku ambil yang lain. Enak juga. Sumpitku bergerak ke arah lain. Ini juga enak. Coba yang di sebelah sana. Sial, enak. Bahaya kalau terus begini.

Tanpa kusadari Mas Fahri ternyata belum mengambil satu makanan pun. Ia terpaku menatapku sambil menahan tawanya.

“Mas, jangan diliatin gitu ah.” Aku menaruh sumpit di meja, melirik ke arahnya sambil mengunyah dengan tanganku ku tempatkan menutupi mulutku.

“Tadi shock liat porsinya, sekarang malah kayaknya kamu yang mau ngehabisin sendiri.”

“Abis enak. He he he he he he he he,” kataku malu-malu. “Beli dimana sih ini, Mas?”

“Sushi Ball di Saint-Etienne, nanti kapan-kapan kita makan di sana.”

Aku terdiam sejenak. “Saint-Etienne, Mas? Bukannya itu jauh ya?”

Mas Fahri menepuk keningnya. “Bukan kotanya, di dekat sini ada Jalan Saint-Etienne, tadi sekalian lewat kok, La.”

“Oooooh, kirain, he he he,” tawaku canggung.

Akhirnya 3/4 porsi sushi tadi masuk dengan penuh penyesalan ke dalam perutku. Setelah tak ada suhsi tersisa rasa bersalahku muncul melihat Mas Fahri hanya makan sedikit padahal seharusnya ia yang banyak makan setelah seharian bekerja. Aku meminta maaf berkali-kali, sungguh, yang tadi itu khilaf, Mas Fahri berkata tak apa sama banyaknya.

Oh ya, aku belum berbicara tentang Mas Fahri, pria yang baru menginjak usia kepala tiga, yang berarti sama dengan Mbak Aya yaitu berjarak 7 tahun denganku. Rambutnya hitam bergelombang dan mempunyai lesung pipi yang tertanam di kedua pipinya. Raut wajahnya keras menggambarkan ia seorang tegas padahal hatinya lembut. Ia lulusan Universitas Sorbonne di Paris dan kini bekerja sebagai akuntan di Marseille.

Sewaktu di pesawat aku pernah menanyakan hal ini padanya. “Mas, kenapa kerja di Marseille tapi tinggal di Avignon? Aku ngeliat di Google Maps jaraknya satu jam perjalanan. Apa nggak capek?”

Dia menatapku, nampak ragu untuk menjawab pertanyaan tadi. Namun akhirnya ia menjelaskan kalau sedari masa kuliah dulu ia ingin tinggal di Avignon bersama Florencia, mantan kekasihnya yang berkebangsaan Belanda. Ia jatuh cinta dengan Avignon sewaktu liburan musim panas tahun ketiga ia di Sorbonne. Mas Fahri suka suasana abad pertengahan yang menjadi ciri khas dari Avignon. Banyak kastil masih berdiri dengan angkuh menampakkan kegagahannya telah merebut hatinya. Sejak saat itu Mas Fahri dan Florencia menetapkan bahwa Avignon adalah tujuan akhir mereka.

Setelah menabung pada masa awal-awal bekerja di Paris, ia akhirnya sanggup membeli satu apartemen sederhana di Rue Viala, yaitu apartemen yang kami tempati sekarang. Lalu ia pindah ke satu kantor yang bertempat di Marseille--sampai sekarang, sedangkan Florencia sempat bekerja di biro hukum di Avignon. Ia tak keberatan dengan perjalanan super pagi, dan pulang malam hari. Karena tinggal di Avignon adalah keinginannya, jadi ia tak merasa itu sebuah masalah besar.

“Awalnya sih kerasa banget capeknya, La, tapi mungkin karena udah terbiasa, jadi rasa capek di perjalanan udah nggak kerasa banget kayak dulu.”

Aku mangut-mangut. Berhubung dia menyinggung tentang Florencia, aku turut penasaran dengan kisah mereka. Mas Fahri garuk-garuk bagian belakang kepalanya mendengar keingintahuanku.

“Yaaa, we broke up, La, gimana lagi? Dia nggak habis pikir sama pikiran orang tua aku yang dengan mudahnya mengakhiri hubungan kami yang udah bertahun-tahun. Bahkan kalau masalahnya agama, Floren udah bersedia untuk pindah. Akhirnya dia blame aku karena aku nggak bisa nolak keinginan Mama, dia ngira aku udah cinta mati sama kamu jadi dia berpikir itu bukan maunya Mama, tapi mauku,” ia menghentikan kalimatnya untuk menarik nafas sejenak. “Yaudah, kita berantem hebat, putus dan dia milih pulang ke Belanda. Jujur, aku stres, La, karena kita pacaran udah lama tapi harus berakhir dengan seperti ini.” Roman wajahnya menunjukkan kesedihan yang nyata. Saat itu juga, Andre melintas dipikiranku. Dan mungkin kondisi apartemen yang sangat sangat berantakan itu tak lepas dari masalah yang Mas Fahri alami sendiri.

“Kamu sendiri gimana, La?” Aku tersentak.

“Kalau nggak salah, bukannya kamu juga punya pacar ya? Artis, kan?” Ia bertanya lagi.

“Iya, Mas, tapi...,” aku ragu untuk mengatakan itu.

“Tapi?” Nada bicaranya agak ditekan dan ia menaikkan satu alisnya.

Aku menarik nafas panjang. Sepertinya perjalanan panjang di udara saja masih belum cukup menguras tenagaku.

“Aku nggak seperti Mas, aku pergi tanpa pamit.” Itu dia. Kalimat pertama sudah dilontarkan, kalau sudah begini maka harus kuteruskan.

Tak ada perubahan ekspresi pda roman Mas Fahri. Aku melanjutkan kisahku.

“Aku terlalu pengecut untuk bilang mengenai ini sama Andre.” Aku melengos, menatap kabin pesawat memerhatikan pramugari yang sibuk menawarkan makanan kepada tiap penumpang.

Selesai mendongeng timbul perasaan lega. Aku merasa seperti curhat dengan Mbak Aya, mungkin faktor kesamaan umur diantara mereka berdua yang menjadikan aku nyaman dengannya. Sejak saat itu aku dan Mas Fahri lebih condong ke abang-adik daripada suami istri.

---

Hari-hari berikutnya di Avignon aku gunakan untuk menyisiri tiap sudut kota ini. Aku mengunjungi berbagai tempat, diantaranya Palais des Papes, sebuah istana peninggalan abad pertengahan yang terdiri dari balai kota hingga teater. Berada di tengah halaman istana seakan menarik ragaku mundur ke ratusan tahun lalu menuju masa dimana Paus Benedict III mulai membangun istana sebagaimana yang terpampang di hadapanku ini. Aku takjub melihat bagaimana megahnya dua belas tower batu yang melintangi istana ini. Kemudian di lain hari aku pergi ke Pont d’Avignon, jembatan abad pertengahan yang terkenal di barat laut pusat kota Avignon. Jembatan ini membentang di atas sungai Rhône dan memiliki panjangnya sekiar 900 meter. Aku datang pada sore hari ketika langit nampak keemasan memamerkan keindahannya, berada di sini tanpa mengunggah fotoku ke media sosial sungguh menyiksa.

Namun dari beberapa tempat yang aku kunjungi, aku punya dua lokasi yang menjadi destinasi favoritku. Pertama Rocher des Doms, taman yang terletak di utara Avignon. Di salah satu sudut taman ini terdapat pohon pinus yang berjejer rapih. Rerimbuan pohon menjadi nilai plus karena membuat suasana menjadi sejuk. Tidak jauh dari deretan pohon itu terdapat bangku taman yang biasa aku hampiri untuk menulis atau duduk sembari menyantap makanan ringan melihat orang-orang menikmati harinya.

Kedua ialah Rue des Teinturies, sebuah surga kecil di Avignon. Jalan ini dipenuhi berbagai restoran, kafe hingga teater dan di sisi satunya mengalir sungai Sorgue, yaitu sungai kecil yang di ujungnya terdapat kincir air yang menambah kesan pedesaan di jalan ini. Pohon rimbun sepanjang jalan ini menambah kesan nyaman ketika hendak menyusuri Rue des Teinturies. Aku senang duduk di pembatas batu tepi sungai Sorgue dekat kincir air dengan laptop terbuka di pangkuanku. Biasanya aku menulis sembari mengenakan earphone untuk mendengar lantunan musik akustik, namun kala duduk di sini, telingaku terbuka lebar mendengarkan gemericik air yang secara tak langsung menjadi lagu latar bagi jari-jariku menari di atas keyboard.

Setelah menelusuri kota ini, aku menjadi paham mengapa Mas Fahri memilh Avignon sebagai tempat tinggalnya. Mengapa ia rela bolak-balik ke Marseille dan tidak menetap di sana. Aku mengerti setelah kakiku melangkah lebih jauh, mataku menatap lebih banyak, dan hatiku merasakan lebih dalam keseluruhan dari kota ini.

“If you are coming to visit Provence, don't stop in Avignon! Once here, like a siren, the city will entrance you and you won't want to leave!”

Aku merasakan hal yang sama seperti yang Mas Fahri rasakan.

Aku jatuh cinta dengan kota ini.

Namun aku di sini bukan bersama orang yang aku cintai.

I wish you were here, Ndre.

to be continued