Chapter I
Chapter II
Chapter III
---
Gue terbangun karena sinar matahari menyusup masuk melalui celah jendela kamar. Mengenai tepat bagian wajah. Menimbulkan kehangatan yang mengganggu. Sayup-sayup terdengar suara televisi. Perlahan gue membuka mata dan menemukan bidadari duduk bersandar pada dinding ranjang.
Tunggu, ini gue masih hidup, kan?
Gue memicingkan mata, memastikan sosok di hadapan gue. Rambut hitam kecoklatan yang dicepol dengan ikat rambut violet. Jumper abu-abu belel. Mata belonya terfokus ke arah televisi. Sebuah mangkuk biru berada di tangannya serta mulut penuh dengan makanan.
“Hoi, sadar. Bangun-bangun langsung bengong gitu ih,” bidadari itu menyentakkan jarinya tepat di muka gue.
Oh, Laila.
“Ngapain?”
“Sarapan. Aku beliin buat kamu juga. Bubur doang tapi. Ada di meja belajar, ya,” ucapnya tanpa menoleh, tetap dengan gerakan mengunyahnya.
“Maksud aku, kamu ngapain ke sini pagi-pagi?” Gue mendekap guling. Mata gue perlahan memejam kembali.
“Bangunin kamu. Selesai makan ini tadinya mau ngambil ember di kamar mandi terus nyiram kamu. Dan sekarang udah jam 9 lewat, kamu mau bimbingan skripsi jam 10, kan?”
Gue membelalak kemudian bangkit. Mampus. Gue lupa.
“Tuh kan, pasti lupa deh,” ujar Laila. Gue cengengesan. “Makan dulu, Ndre, masih sempet kok.” Ia melirik sambil tersenyum. Senyum favorit gue.
Gue bangkit dan bergerak menuju meja tempat Laila menaruh bubur itu. Membuka plastik pembungkusnya, kemudian menyantapnya dengan nikmat. “Ndre, tadi Dian nelfon kamu, aku yang angkat.”
“Ada apa?”
“Minta konfirmasi kamu. Soalnya 3 minggu lagi Alchemy manggung di Bandung.”
“Terus, kamu iyain?” dia mengangguk. Gue tepok jidat.
“Tenang, aku pastiin jadwal kamu aman kok. Makanya sekarang kamu bimbingan. Semangat ngerjain skripsinya. Biar setiap ada panggilan manggung nggak repot mikirin jadwal yang takut bentrok.” She already has become my private manager. And i love when she do that managers things.
Gue memang memberikan kunci duplikat kamar gue ke Laila. Just in case kalau kunci gue hilang gara-gara keteledoran gue. Namun, semenjak gue gencar mengerjakan skripsi, hampir tiap hari Laila mampir hanya sekedar memastikan gue nggak telat ketemu dosen pembimbing. Juga nggak lupa dia selalu membawakan sarapan kala datang. Pagi ini contohnya.
“Kamu abis dari sini mau kemana?” tanya gue sambil menikmati bubur yang dibawa Laila.
“Ke cafenya Nadine paling.”
“Oh, ngomongin buat nanti malam?” Laila mengangguk. Nadine merupakan teman kuliah Laila sekaligus owner sebuah cafe yang berbasis di daerah Demangan. Nanti malam cafe milik Nadine merayakan first anniversary mereka serta meminta Laila tampil sebagai performer dalam sesi live music.
“Ndre, aku pinjem Blacky, ya?”
“Emang mobil kamu kenapa?”
“Nggak apa-apa, Ndre, aku lagi kangen Blacky aja.”
“Terus aku ke kampus naik apa? Mobilku kan lagi dipinjam Bram.”
“Pakai mobilku aja, Ndre, ya ya ya?” pintanya memelas. Sial. Dia tau banget tatapannya yang teduh itu selalu berhasil menaklukan hati gue kalau ia sedang memiliki permintaan.
“Tapi, La, nggak sembarangan orang bisa naik Blacky tau,” Laila menaikkan satu alisnya, seakan bertanya, kenapa gitu? “Blacky itu, sebelum dinyalain harus dielus-elus dulu, di sayang, terus diengkol secara perlahan. Pokoknya repot deh, harus sama yang punya.”
“Ndre,” Laila menghela nafas.
“Apa?”
“Mau tau nggak cara lebih mudah nyalain Blacky?” gue menggeleng. “Bawa ke bengkel, Ndre, udah berapa lama Blacky nggak kamu service.” Berapa ya? Satu semester? Entahlah, mungkin lebih.
“Boleh, sekalian kamu service ya, La,” jawab gue semangat.
“Tapi kamu traktir aku, ya?”
“Siap. Burjo, kan?”
“Matamu!” gue tertawa.
“Terus apa dong?” tanya gue lagi.
“Gelato!” teriaknya sumringah.
“Deal!”
“Tiap hari selama sebulan,” Laila menahan tawa.
“Matamu!” dan tawanya pecah.
Bagi gue, cinta itu undefined. Susah menemukan definisi yang tepat untuk satu kata ini. Cinta nggak melulu harus diungkapkan dengan bilang, ‘I love you’ ke pasangan kita puluhan kali dalam sehari. Atau menyiapkan makan malam romantis acap tiap kali merayakan anniversary. Cinta bisa lebih lucu dari itu, bahkan hanya dengan kelakuan orang yang kita cintai. Meskipun apa yang dilakukannya sangat menyebalkan. Gue sempat membaca sebuah kutipan yang mengatakan, love is spending the rest of your life with someone you want to kill and not doing it because you’d miss them. Yap, dan Laila salah satunya. Dia rese, menyebalkan, cerewet, perusak bagian tubuh orang lain (telinga gue), tapi hal-hal demikian justru kerap membuat gue rindu akan sosoknya. Termasuk apa yang diperbuatnya pada pagi hari ini.
Gue bersiap ke kampus. Menaiki mobil Laila. Menyimpan draft skripsi serta ransel di kursi penumpang. Menyalakan mobil dan seketika gue dapati pemandangan nggak enak terpampang. Indikator yang menandakan kapasitas bensin berkedip berulang kali, tanda bahwa mobil ini sekarat. Pantas nenek sihir tadi minta tukar kendaraan. Satu dari ratusan kejahilan Laila. Gue bersandar pada jok, mengirim pesan kepada Laila.
‘Lain kali gak usah sok bilang kangen sama Blacky. Awas nanti kalau ketemu!’ sent.
‘:-p’ hanya itu balasan dari Laila. Sebuah emoticon tanpa aksara. Secara nggak sadar gue tersenyum dan mendesah pelan. “Untung gue cinta lo, La.”
---
Pikiran gue kerap melayang melewati lorong ruang dan waktu menuju pada saat bagaimana semesta mempertemukan gue dan Laila dulu. Kadang gue lakukan hal ini kala menghadapi hari yang buruk, seperti mendapat kabar kalau dosen pembimbing gue pergi ke luar kota secara mendadak, seperti saat ini. Dimana sewaktu gue mengingat detail itu kembali, securah senyuman tersungging dari bibir gue.
Suatu malam dipenghujung tahun 2012, gue dalam perjalanan bertemu dengan Bram dan Dian untuk membahas lagu baru Alchemy yang gue ciptakan. Gue dan Blacky menyusuri jalanan Jogja yang kala itu cukup padat. Baru setengah perjalanan, hujan mengguyur Jogja dengan derasnya, membuat tiap pengendara motor panik. Menghentikan kendaraan mereka di tepi jalan. Membuka jok, mengambil jas hujan serta memakainya dengan terburu-buru.
Sedangkan gue memutar gas lebih dalam sambil memperhatikan tepi jalan. Hampir semua tempat sudah dipenuhi pengendara motor yang tidak membawa jas hujan, termasuk gue. Jas hujan gue tertinggal setelah dikeluarkan dari tempatnya karena harus gue jemur diakibatkan hujan dengan intensitas sama membasahi Jogja pada malam sebelumnya.
Setelah tak tahan lagi dengan derasnya hujan, gue menepikan Blacky dimana pun itu tanpa melihat nama tempatnya. Dan tersadar kalau gue berhenti di sebuah cafe. Gue menunggu di pelataran cafe tersebut, berharap hujan segera reda. Gue mengigil, pakaian gue basah kuyup. Gue mengeluarkan ponsel dari saku yang layarnya sedikit basah, pengin memberitahu Dian dan Bram kalau gue akan terlambat datang—atau bahkan tidak sama sekali. And then shit happens; daya ponsel gue habis. Fuck.
30 menit kemudian gue duduk di sebuah sofa panjang di lantai dua cafe tersebut. Tubuh gue masih gemetar menahan dinginnya memakai pakaian basah serta ditambah suhu minim dari air conditioner. Sedangkan tangan gue menggenggam secangkir Hot Americano. Gue sungguh membutuhkan kafein untuk menetralkan hari buruk gue. One of my worst day.
Kala itu, hanya ada dua orang yang berada di sana. Gue dan seorang gadis dengan beanie ungu yang duduk di sudut ruangan dekat jendela berhadapan dengan tempat gue duduk. Dengan sepasang earphone terselip di telinga. Wajahnya cerah diakibatkan pantulan cahaya dari laptop yang sedang ia tatap. Sesekali ia menoleh ke jendela, memproyeksikan bayangannya sendiri di jendela tersebut.
She’s pretty enough, i think. Gue memperhatikan gadis itu cukup lama. Mata bulatnya terkunci pada layar laptop dan beberapa kali ia tersenyum. Shit, her smiles also sweet. Mungkin ia sedang ber-chatting ria dengan pacarnya, gue menerka-nerka. Kegiatan gue hanya sebatas memandanginya entah berapa lama. Ponsel gue mati dan gue nggak tau harus ngapain lagi.
Gue pernah baca sebuah cuitan di Twitter, isinya begini, ‘65% orang mempunyai kemampuan merasakan seseorang yang melihat dia’.
Gadis itu melirik ke arah gue. Mata kami sempat bertemu, seketika gue buang buka. Menahan malu karena tertangkap basah meperhatikan dia. Namun anehnya, gue merasakan hal yang sama. Masih dengan wajah tertunduk menatap cangkir yang mulai kosong, sesekali mata gue ‘mengintip’ ke tempat gadis itu duduk. Dan gue dapati beberapa kali dengan gerakan cepat, ia melihat gue.
Hujan belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Saat gue kembali memperhatikan gadis itu, gue menyadari ternyata ia menggunakan MacBook. Hal itu membuka kemungkinan bahwa ia menggunakan ponsel dengan merk yang sama.
Setelah mempertimbangkan dengan matang, gue melangkah mendekati meja sang gadis. Jantung gue berdegup cepat. Bukan, bukan karena gue merasakan jatuh cinta, tapi gue emang terlalu malu untuk melakukan hal seperti ini.
“Permisi,” ucap gue. Ia menghentikan aktifitas mengetiknya. Menoleh, kemudian melepas satu earphone-nya.
“Ya? Ada yang bisa saya bantu, Mas?” suaranya... Lembut.
“Eng.. Anu.. Mbak pakai iPhone?” dia mengangguk. “Eng... Itu.. Punya charger nggak, Mbak?” sumpah, gue nggak bisa ngebayangin muka gue gimana.
Dia tertawa. Manis. “Ada kok, Mas. Mau pinjam?” gue iyakan. “Gak usah grogi gitu kali, Mas, saya nggak galak kok.” Lanjutnya dengan senyum sambil menyerahkan charger kepada gue.
“Eh, iya, Mbak, makasih,” jawab gue menerima uluran tangannya. Gue masih mematung di sisi meja gadis itu. Matanya kembali menatap layar laptop.
“Mbak,” panggil gue.
“Hmm?” ujarnya tanpa mengalihkan pandangan.
“Boleh saya charge di sini? Biar Mbak percaya kalau saya nggak ngambil charger punya Mbak,” kata-kata itu meluncur begitu saja. Gue tersadar kalau salah ngomong. Tolol, Ndre, tolol.
Ia menatap gue sejenak, lalu meringis menahan tawa. “Boleh kok, Mas,” ucapnya diakhiri segurat senyum manis.
Kini kami duduk berhadapan dan kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ia masih dengan laptopnya. Gue sibuk dengan ponsel yang akhirnya menyala, membalas beberapa pesan serta memberi kabar kepada dua orang yang menunggu kedatangan gue. Benar saja, terdapat beberapa misscall dari mereka. Tak ketinggalan mereka menghujani kolom chat gue dengan spam.
‘Woy kampret, dimana?’ tanya Bram di WhatsApp. 35 menit lalu.
‘Neduh. Hujan. Gak bawa jas hujan. HP lowbatt.’
“Pasti pas nyala banyak banget pesan yang masuk, ya?” ia memecah keheningan.
“Banget. Udah janjian sama teman tapi hujannya nggak santai, batal deh.”
“Kenapa gak pinjem charger dari tadi aja?”
“Malu,” gue menjawab dengan menundukkan kepala. Bocah banget lo, Ndre.
“Bedanya sama barusan apa?”
“Eh, sama aja ya?” ia tertawa. Tak lama berselang suasana berubah jadi hangat. Akhirnya gue tau nama gadis ini, Laila. Such a nice name. Kuliah semester 6 di kampus yang sama dengan gue. Mengambil jurusan ekonomi bisnis. Dan juga anak rantau seperti gue.
Gue jadi tau dia beberapa kali mengunjungi cafe ini karena suasananya tidak terlalu ramai. Cukup mendukung ia untuk menulis artikel atau cerpen yang ia muat di blog pribadinya atau ia kirimkan ke beberapa media online. Ternyata sedari tadi ia tersenyum sendiri karena geli membaca dialog yang ia bangun. Mendengar hal itu timbul perasaan lega dalam diri gue karena tau bahwa terkaan gue tadi salah.
Obrolan-obrolan berikutnya mengalir begitu saja. Menghilangkan kecanggungan yang sempat timbul. Gue bukan tipe cowok yang mudah tertarik dengan seorang gadis. Tapi Laila, ia berbeda. Ada sesuatu yang membuat gue ingin mengenalnnya lebih jauh. Tidak hanya sebatas stranger yang meminjam charger ponsel di sebuah cafe, kemudian kembali menjadi stranger setelah melangkah keluar dari cafe ini begitu saja.
I think i’m in love with her at first sight.
Hujan mulai mereda. Laila merapikan barang-barang miliknya dan memasukkan semua ke dalam sebuah totebag abu-abu. Gue memperhatikan tiap gerak yang ia ciptakan. Tak lupa menyerahkan kembali charger yang gue pinjam lalu mengucapkan terima kasih.
Ia beranjak pergi. Gue masih duduk terpaku dengan pikiran berkecamuk. La, jangan pergi dulu, gue masih mau ngobrol. Dikira lo siapa, Ndre, nahan-nahan dia? La, gue mau kenal lo lebih jauh. Dikira weirdo, Ndre. La, bisa minta ID Line? Terlalu agresif.
Laila kini berada di ambang tangga.
“La,” dia berhenti tanpa menoleh. “Can we get some coffee another time?”
Ia memutar badan dan tersenyum—senyuman terindah malam itu, “Sure.”
---
“And last performer, dari sahabat aku yang dulu meyakinkan aku untuk membuka cafe ini. Ia yang mengusulkan adanya live music di sini, serta ia pribadi bersedia mengisi sesi live music tiap weekend. Perempuan cantik, dengan suara merdu dan petikan gitarnya mampu menyihir siapapun yang mendengarnya. Tapi jangan macam-macam ya, dia udah ada yang punya. Cowoknya bassis band rock terkenal dan sekarang juga ada di tengah-tengah kita,” Nadine mengerling ke meja kami. Pengunjung melihat arah tatapan Nadine dan suasana menjadi riuh dengan bisikan ketika melihat gue ada di sini.
Kami hanya tersenyum. “Dia cuma membual, Ndre.” Laila berbisik.
“Hanya pada bagian, ‘bassis band rock terkenal’ doang, La, sisanya kenyataan,” gue balas dengan senyum.
“... Beri tepuk tangan untuk kesayangan aku, Laila Indrayanti,” suara Nadine diikuti riuhnya tepuk tangan pengunjung yang hadir meramaikan malam ini. Nadine menyerahkan microphone kepada Laila dan memberinya sedikit kecupan di pipi sebelum meninggalkannya sendirian di mini stage itu.
“Lo beruntung, Ndre, punya cewek sekomplit Laila,” Nadine kini menempati kursinya. Gue dan Laila memang diminta untuk duduk satu meja dengan Nadine, special guest katanya.
Gue hanya tersenyum menanggapi perkataan Nadine. Lalu menatap kembali ke arah perempuan dengan short dress hitam yang membuatnya tampak anggun. Ia duduk di atas kursi kayu tinggi dengan jemari lentiknya memetikan senar gitar sehingga menghasilkan nada-nada indah. Suaranya sungguh membuat teduh pendengarnya.
“Last but not least, i want to dedicate this song for someone special. Someone who give me a chance to feel a true love. Someone who hold me when i’m down. And someone who i loved that much,” mukanya memerah, kemudian beberapa suitan terdengar dari pengunjung. Tatapan serta senyum gue nggak pernah lepas dari fokusnya.
Jemari Laila mulai beraksi. Memulai intro dari lagu terakhir malam ini. Ia membawakan lagu dari Dido dengan judul Thank You.
I drank too much last night, got bills to pay
my head just feels in pain
I missed the bus and there'll be hell today
I'm late for work again
and even if I'm there, they'll all imply that I might not last the
day
and then you call me and it's not so bad
it's not so bad and
Matanya menyapu sekeliling dan terhenti saat kedua mata kami bertemu. Tunggu, ada yang berbeda dari Laila. Matanya tampak... Berkaca-kaca. Gue menoleh kepada Nadine, ia juga menyadari ada ‘sesuatu’ tapi hanya bisa mengangkat kedua bahu dan menggeleng pasrah.
I want to thank you for giving me the best day of my life
Oh just to be with you is having the best day of my life
Mendadak perasaan ini kembali timbul. Perasaan takut akan kehilangan sosok perempuan yang gue sayang. Ada sesuatu dari Laila yang tidak gue ketahui. Sesuatu yang kompleks. Seperti sebuah dinding tinggi yang tak bisa gue panjat. Dia pernah mengatakan ini saat status kita beralih menjadi sepasang kekasih dahulu.
Sebenarnya Laila sudah diwisuda setahun lalu, namun ia memutuskan tetap tinggal di Jogja. Ia mengatakan malas jika harus bertemu ibundanya. Kenyataan menyedihkannya adalah gue nggak tau apa yang sebenarnya terjadi antara Laila dengan ibunya dan ia selalu menolak membicarakan hal itu.
Push the door, I'm home at last and I'm soaking through and
through
then you handed me a towel and all I see is you
and even if my house falls down now, I wouldn't have a clue
because you're near me and
Dan gue dari dulu mempunyai pemikiran bahwa tiap orang punya dimensi personal yang berbeda. Tempat dimana ia tak mau disentuh oleh siapa pun. Termasuk orang yang ia sayangi. Gue anggap Laila punya dimensi itu dan gue harus berdiri terpaku pada horizon batas dimensi personal Laila. Menjalani hubungan dengan perasaan was-was merupakan konsekuensi pasti yang gue dapat.
I want to thank you for giving me the best day of my life
Oh just to be with you is having the best day of my life
Laila menyelesaikan lagunya. Menebar senyum getir kepada mereka yang memberikan standing applause. Sedangkan gue menangkap ada maksud yang coba disampaikan Laila secara implisit. Gue paham betul Laila, ia tak akan membahas ini apabila gue tanya nanti.
Entah pesan apa yang coba Laila sampaikan dari lagu itu, gue hanya berharap kemungkinan buruk tidak datang. Meskipun malam ini ketakukan itu muncul dalam kuantitas terbesar selama gue berpacaran dengannya.
to be continued