Saturday, March 11, 2017

Chapter IV - Fear




Chapter I
Chapter II
Chapter III

---

Gue terbangun karena sinar matahari menyusup masuk melalui celah jendela kamar. Mengenai tepat bagian wajah. Menimbulkan kehangatan yang mengganggu. Sayup-sayup terdengar suara televisi. Perlahan gue membuka mata dan menemukan bidadari duduk bersandar pada dinding ranjang.

Tunggu, ini gue masih hidup, kan?

Gue memicingkan mata, memastikan sosok di hadapan gue. Rambut hitam kecoklatan yang dicepol dengan ikat rambut violet. Jumper abu-abu belel. Mata belonya terfokus ke arah televisi. Sebuah mangkuk biru berada di tangannya serta mulut penuh dengan makanan.

“Hoi, sadar. Bangun-bangun langsung bengong gitu ih,” bidadari itu menyentakkan jarinya tepat di muka gue.

Oh, Laila.

“Ngapain?”

“Sarapan. Aku beliin buat kamu juga. Bubur doang tapi. Ada di meja belajar, ya,” ucapnya tanpa menoleh, tetap dengan gerakan mengunyahnya.

“Maksud aku, kamu ngapain ke sini pagi-pagi?” Gue mendekap guling. Mata gue perlahan memejam kembali.

“Bangunin kamu. Selesai makan ini tadinya mau ngambil ember di kamar mandi terus nyiram kamu. Dan sekarang udah jam 9 lewat, kamu mau bimbingan skripsi jam 10, kan?”

Gue membelalak kemudian bangkit. Mampus. Gue lupa.

“Tuh kan, pasti lupa deh,” ujar Laila. Gue cengengesan. “Makan dulu, Ndre, masih sempet kok.” Ia melirik sambil tersenyum. Senyum favorit gue.

Gue bangkit dan bergerak menuju meja tempat Laila menaruh bubur itu. Membuka plastik pembungkusnya, kemudian menyantapnya dengan nikmat. “Ndre, tadi Dian nelfon kamu, aku yang angkat.”

“Ada apa?”

“Minta konfirmasi kamu. Soalnya 3 minggu lagi Alchemy manggung di Bandung.”

“Terus, kamu iyain?” dia mengangguk. Gue tepok jidat.

“Tenang, aku pastiin jadwal kamu aman kok. Makanya sekarang kamu bimbingan. Semangat ngerjain skripsinya. Biar setiap ada panggilan manggung nggak repot mikirin jadwal yang takut bentrok.” She already has become my private manager. And i love when she do that managers things.

Gue memang memberikan kunci duplikat kamar gue ke Laila. Just in case kalau kunci gue hilang gara-gara keteledoran gue. Namun, semenjak gue gencar mengerjakan skripsi, hampir tiap hari Laila mampir hanya sekedar memastikan gue nggak telat ketemu dosen pembimbing. Juga nggak lupa dia selalu membawakan sarapan kala datang. Pagi ini contohnya.

“Kamu abis dari sini mau kemana?” tanya gue sambil menikmati bubur yang dibawa Laila.

“Ke cafenya Nadine paling.”

“Oh, ngomongin buat nanti malam?” Laila mengangguk. Nadine merupakan teman kuliah Laila sekaligus owner sebuah cafe yang berbasis di daerah Demangan. Nanti malam cafe milik Nadine merayakan first anniversary mereka serta meminta Laila tampil sebagai performer dalam sesi live music.

“Ndre, aku pinjem Blacky, ya?”

“Emang mobil kamu kenapa?”

“Nggak apa-apa, Ndre, aku lagi kangen Blacky aja.”

“Terus aku ke kampus naik apa? Mobilku kan lagi dipinjam Bram.”

“Pakai mobilku aja, Ndre, ya ya ya?” pintanya memelas. Sial. Dia tau banget tatapannya yang teduh itu selalu berhasil menaklukan hati gue kalau ia sedang memiliki permintaan.

“Tapi, La, nggak sembarangan orang bisa naik Blacky tau,” Laila menaikkan satu alisnya, seakan bertanya, kenapa gitu? “Blacky itu, sebelum dinyalain harus dielus-elus dulu, di sayang, terus diengkol secara perlahan. Pokoknya repot deh, harus sama yang punya.”

“Ndre,” Laila menghela nafas.

“Apa?”

“Mau tau nggak cara lebih mudah nyalain Blacky?” gue menggeleng. “Bawa ke bengkel, Ndre, udah berapa lama Blacky nggak kamu service.” Berapa ya? Satu semester? Entahlah, mungkin lebih.

“Boleh, sekalian kamu service ya, La,” jawab gue semangat.

“Tapi kamu traktir aku, ya?”

“Siap. Burjo, kan?”

“Matamu!” gue tertawa.

“Terus apa dong?” tanya gue lagi.

“Gelato!” teriaknya sumringah.

“Deal!”

“Tiap hari selama sebulan,” Laila menahan tawa.

“Matamu!” dan tawanya pecah.

Bagi gue, cinta itu undefined. Susah menemukan definisi yang tepat untuk satu kata ini. Cinta nggak melulu harus diungkapkan dengan bilang, ‘I love you’ ke pasangan kita puluhan kali dalam sehari. Atau menyiapkan makan malam romantis acap tiap kali merayakan anniversary. Cinta bisa lebih lucu dari itu, bahkan hanya dengan kelakuan orang yang kita cintai. Meskipun apa yang dilakukannya sangat menyebalkan. Gue sempat membaca sebuah kutipan yang mengatakan, love is spending the rest of your life with someone you want to kill and not doing it because you’d miss them. Yap, dan Laila salah satunya. Dia rese, menyebalkan, cerewet, perusak bagian tubuh orang lain (telinga gue), tapi hal-hal demikian justru kerap membuat gue rindu akan sosoknya. Termasuk apa yang diperbuatnya pada pagi hari ini.

Gue bersiap ke kampus. Menaiki mobil Laila. Menyimpan draft skripsi serta ransel di kursi penumpang. Menyalakan mobil dan seketika gue dapati pemandangan nggak enak terpampang. Indikator yang menandakan kapasitas bensin berkedip berulang kali, tanda bahwa mobil ini sekarat. Pantas nenek sihir tadi minta tukar kendaraan. Satu dari ratusan kejahilan Laila. Gue bersandar pada jok, mengirim pesan kepada Laila.

‘Lain kali gak usah sok bilang kangen sama Blacky. Awas nanti kalau ketemu!’ sent.

‘:-p’ hanya itu balasan dari Laila. Sebuah emoticon tanpa aksara. Secara nggak sadar gue tersenyum dan mendesah pelan. “Untung gue cinta lo, La.”

---

Pikiran gue kerap melayang melewati lorong ruang dan waktu menuju pada saat bagaimana semesta mempertemukan gue dan Laila dulu. Kadang gue lakukan hal ini kala menghadapi hari yang buruk, seperti mendapat kabar kalau dosen pembimbing gue pergi ke luar kota secara mendadak, seperti saat ini. Dimana sewaktu gue mengingat detail itu kembali, securah senyuman tersungging dari bibir gue.

Suatu malam dipenghujung tahun 2012, gue dalam perjalanan bertemu dengan Bram dan Dian untuk membahas lagu baru Alchemy yang gue ciptakan. Gue dan Blacky menyusuri jalanan Jogja yang kala itu cukup padat. Baru setengah perjalanan, hujan mengguyur Jogja dengan derasnya, membuat tiap pengendara motor panik. Menghentikan kendaraan mereka di tepi jalan. Membuka jok, mengambil jas hujan serta memakainya dengan terburu-buru.

Sedangkan gue memutar gas lebih dalam sambil memperhatikan tepi jalan. Hampir semua tempat sudah dipenuhi pengendara motor yang tidak membawa jas hujan, termasuk gue. Jas hujan gue tertinggal setelah dikeluarkan dari tempatnya karena harus gue jemur diakibatkan hujan dengan intensitas sama membasahi Jogja pada malam sebelumnya.

Setelah tak tahan lagi dengan derasnya hujan, gue menepikan Blacky dimana pun itu tanpa melihat nama tempatnya. Dan tersadar kalau gue berhenti di sebuah cafe. Gue menunggu di pelataran cafe tersebut, berharap hujan segera reda. Gue mengigil, pakaian gue basah kuyup. Gue mengeluarkan ponsel dari saku yang layarnya sedikit basah, pengin memberitahu Dian dan Bram kalau gue akan terlambat datang—atau bahkan tidak sama sekali. And then shit happens; daya ponsel gue habis. Fuck.

30 menit kemudian gue duduk di sebuah sofa panjang di lantai dua cafe tersebut. Tubuh gue masih gemetar menahan dinginnya memakai pakaian basah serta ditambah suhu minim dari air conditioner. Sedangkan tangan gue menggenggam secangkir Hot Americano. Gue sungguh membutuhkan kafein untuk menetralkan hari buruk gue. One of my worst day.

Kala itu, hanya ada dua orang yang berada di sana. Gue dan seorang gadis dengan beanie ungu yang duduk di sudut ruangan dekat jendela berhadapan dengan tempat gue duduk. Dengan sepasang earphone terselip di telinga. Wajahnya cerah diakibatkan pantulan cahaya dari laptop yang sedang ia tatap. Sesekali ia menoleh ke jendela, memproyeksikan bayangannya sendiri di jendela tersebut.

She’s pretty enough, i think. Gue memperhatikan gadis itu cukup lama. Mata bulatnya terkunci pada layar laptop dan beberapa kali ia tersenyum. Shit, her smiles also sweet. Mungkin ia sedang ber-chatting ria dengan pacarnya, gue menerka-nerka. Kegiatan gue hanya sebatas memandanginya entah berapa lama. Ponsel gue mati dan gue nggak tau harus ngapain lagi.

Gue pernah baca sebuah cuitan di Twitter, isinya begini, ‘65% orang mempunyai kemampuan merasakan seseorang yang melihat dia’. 

Gadis itu melirik ke arah gue. Mata kami sempat bertemu, seketika gue buang buka. Menahan malu karena tertangkap basah meperhatikan dia. Namun anehnya, gue merasakan hal yang sama. Masih dengan wajah tertunduk menatap cangkir yang mulai kosong, sesekali mata gue ‘mengintip’ ke tempat gadis itu duduk. Dan gue dapati beberapa kali dengan gerakan cepat, ia melihat gue.

Hujan belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Saat gue kembali memperhatikan gadis itu, gue menyadari ternyata ia menggunakan MacBook. Hal itu membuka kemungkinan bahwa ia menggunakan ponsel dengan merk yang sama.

Setelah mempertimbangkan dengan matang, gue melangkah mendekati meja sang gadis. Jantung gue berdegup cepat. Bukan, bukan karena gue merasakan jatuh cinta, tapi gue emang terlalu malu untuk melakukan hal seperti ini.

“Permisi,” ucap gue. Ia menghentikan aktifitas mengetiknya. Menoleh, kemudian melepas satu earphone-nya.

“Ya? Ada yang bisa saya bantu, Mas?” suaranya... Lembut.

“Eng.. Anu.. Mbak pakai iPhone?” dia mengangguk. “Eng... Itu.. Punya charger nggak, Mbak?” sumpah, gue nggak bisa ngebayangin muka gue gimana.

Dia tertawa. Manis. “Ada kok, Mas. Mau pinjam?” gue iyakan. “Gak usah grogi gitu kali, Mas, saya nggak galak kok.” Lanjutnya dengan senyum sambil menyerahkan charger kepada gue.

“Eh, iya, Mbak, makasih,” jawab gue menerima uluran tangannya. Gue masih mematung di sisi meja gadis itu. Matanya kembali menatap layar laptop.

“Mbak,” panggil gue.

“Hmm?” ujarnya tanpa mengalihkan pandangan.

“Boleh saya charge di sini? Biar Mbak percaya kalau saya nggak ngambil charger punya Mbak,” kata-kata itu meluncur begitu saja. Gue tersadar kalau salah ngomong. Tolol, Ndre, tolol.

Ia menatap gue sejenak, lalu meringis menahan tawa. “Boleh kok, Mas,” ucapnya diakhiri segurat senyum manis.

Kini kami duduk berhadapan dan kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ia masih dengan laptopnya. Gue sibuk dengan ponsel yang akhirnya menyala, membalas beberapa pesan serta memberi kabar kepada dua orang yang menunggu kedatangan gue. Benar saja, terdapat beberapa misscall dari mereka. Tak ketinggalan mereka menghujani kolom chat gue dengan spam.

‘Woy kampret, dimana?’ tanya Bram di WhatsApp. 35 menit lalu.

‘Neduh. Hujan. Gak bawa jas hujan. HP lowbatt.’

“Pasti pas nyala banyak banget pesan yang masuk, ya?” ia memecah keheningan.

“Banget. Udah janjian sama teman tapi hujannya nggak santai, batal deh.”

“Kenapa gak pinjem charger dari tadi aja?”

“Malu,” gue menjawab dengan menundukkan kepala. Bocah banget lo, Ndre.

“Bedanya sama barusan apa?”

“Eh, sama aja ya?” ia tertawa. Tak lama berselang suasana berubah jadi hangat. Akhirnya gue tau nama gadis ini, Laila. Such a nice name. Kuliah semester 6 di kampus yang sama dengan gue. Mengambil jurusan ekonomi bisnis. Dan juga anak rantau seperti gue.

Gue jadi tau dia beberapa kali mengunjungi cafe ini karena suasananya tidak terlalu ramai. Cukup mendukung ia untuk menulis artikel atau cerpen yang ia muat di blog pribadinya atau ia kirimkan ke beberapa media online. Ternyata sedari tadi ia tersenyum sendiri karena geli membaca dialog yang ia bangun. Mendengar hal itu timbul perasaan lega dalam diri gue karena tau bahwa terkaan gue tadi salah.

Obrolan-obrolan berikutnya mengalir begitu saja. Menghilangkan kecanggungan yang sempat timbul. Gue bukan tipe cowok yang mudah tertarik dengan seorang gadis. Tapi Laila, ia berbeda. Ada sesuatu yang membuat gue ingin mengenalnnya lebih jauh. Tidak hanya sebatas stranger yang meminjam charger ponsel di sebuah cafe, kemudian kembali menjadi stranger setelah melangkah keluar dari cafe ini begitu saja.

I think i’m in love with her at first sight.

Hujan mulai mereda. Laila merapikan barang-barang miliknya dan memasukkan semua ke dalam sebuah totebag abu-abu. Gue memperhatikan tiap gerak yang ia ciptakan. Tak lupa menyerahkan kembali charger yang gue pinjam lalu mengucapkan terima kasih.

Ia beranjak pergi. Gue masih duduk terpaku dengan pikiran berkecamuk. La, jangan pergi dulu, gue masih mau ngobrol. Dikira lo siapa, Ndre, nahan-nahan dia? La, gue mau kenal lo lebih jauh. Dikira weirdo, Ndre. La, bisa minta ID Line? Terlalu agresif.

Laila kini berada di ambang tangga.

“La,” dia berhenti tanpa menoleh. “Can we get some coffee another time?”

Ia memutar badan dan tersenyum—senyuman terindah malam itu, “Sure.”

---

And last performer, dari sahabat aku yang dulu meyakinkan aku untuk membuka cafe ini. Ia yang mengusulkan adanya live music di sini, serta ia pribadi bersedia mengisi sesi live music tiap weekend. Perempuan cantik, dengan suara merdu dan petikan gitarnya mampu menyihir siapapun yang mendengarnya. Tapi jangan macam-macam ya, dia udah ada yang punya. Cowoknya bassis band rock terkenal dan sekarang juga ada di tengah-tengah kita,” Nadine mengerling ke meja kami. Pengunjung melihat arah tatapan Nadine dan suasana menjadi riuh dengan bisikan ketika melihat gue ada di sini.

Kami hanya tersenyum. “Dia cuma membual, Ndre.” Laila berbisik.

“Hanya pada bagian, ‘bassis band rock terkenal’ doang, La, sisanya kenyataan,” gue balas dengan senyum.

“... Beri tepuk tangan untuk kesayangan aku, Laila Indrayanti,” suara Nadine diikuti riuhnya tepuk tangan pengunjung yang hadir meramaikan malam ini. Nadine menyerahkan microphone kepada Laila dan memberinya sedikit kecupan di pipi sebelum meninggalkannya sendirian di mini stage itu.

“Lo beruntung, Ndre, punya cewek sekomplit Laila,” Nadine kini menempati kursinya. Gue dan Laila memang diminta untuk duduk satu meja dengan Nadine, special guest katanya.

Gue hanya tersenyum menanggapi perkataan Nadine. Lalu menatap kembali ke arah perempuan dengan short dress hitam yang membuatnya tampak anggun. Ia duduk di atas kursi kayu tinggi dengan jemari lentiknya memetikan senar gitar sehingga menghasilkan nada-nada indah. Suaranya sungguh membuat teduh pendengarnya.

“Last but not least, i want to dedicate this song for someone special. Someone who give me a chance to feel a true love. Someone who hold me when i’m down. And someone who i loved that much,” mukanya memerah, kemudian beberapa suitan terdengar dari pengunjung. Tatapan serta senyum gue nggak pernah lepas dari fokusnya.

Jemari Laila mulai beraksi. Memulai intro dari lagu terakhir malam ini. Ia membawakan lagu dari Dido dengan judul Thank You.

I drank too much last night, got bills to pay
my head just feels in pain
I missed the bus and there'll be hell today
I'm late for work again
and even if I'm there, they'll all imply that I might not last the
day
and then you call me and it's not so bad
it's not so bad and

Matanya menyapu sekeliling dan terhenti saat kedua mata kami bertemu. Tunggu, ada yang berbeda dari Laila. Matanya tampak... Berkaca-kaca. Gue menoleh kepada Nadine, ia juga menyadari ada ‘sesuatu’ tapi hanya bisa mengangkat kedua bahu dan menggeleng pasrah.

I want to thank you for giving me the best day of my life
Oh just to be with you is having the best day of my life

Mendadak perasaan ini kembali timbul. Perasaan takut akan kehilangan sosok perempuan yang gue sayang. Ada sesuatu dari Laila yang tidak gue ketahui. Sesuatu yang kompleks. Seperti sebuah dinding tinggi yang tak bisa gue panjat. Dia pernah mengatakan ini saat status kita beralih menjadi sepasang kekasih dahulu. 

Sebenarnya Laila sudah diwisuda setahun lalu, namun ia memutuskan tetap tinggal di Jogja. Ia mengatakan malas jika harus bertemu ibundanya. Kenyataan menyedihkannya adalah gue nggak tau apa yang sebenarnya terjadi antara Laila dengan ibunya dan ia selalu menolak membicarakan hal itu.

Push the door, I'm home at last and I'm soaking through and
through
then you handed me a towel and all I see is you
and even if my house falls down now, I wouldn't have a clue
because you're near me and

Dan gue dari dulu mempunyai pemikiran bahwa tiap orang punya dimensi personal yang berbeda. Tempat dimana ia tak mau disentuh oleh siapa pun. Termasuk orang yang ia sayangi. Gue anggap Laila punya dimensi itu dan gue harus berdiri terpaku pada horizon batas dimensi personal Laila. Menjalani hubungan dengan perasaan was-was merupakan konsekuensi pasti yang gue dapat.

I want to thank you for giving me the best day of my life
Oh just to be with you is having the best day of my life

Laila menyelesaikan lagunya. Menebar senyum getir kepada mereka yang memberikan standing applause. Sedangkan gue menangkap ada maksud yang coba disampaikan Laila secara implisit. Gue paham betul Laila, ia tak akan membahas ini apabila gue tanya nanti.

Entah pesan apa yang coba Laila sampaikan dari lagu itu, gue hanya berharap kemungkinan buruk tidak datang. Meskipun malam ini ketakukan itu muncul dalam kuantitas terbesar selama gue berpacaran dengannya.

to be continued

Sunday, March 5, 2017

Chapter III - Memories



Chapter II - can read here

---

Ada yang mengatakan bahwa tidak perlu sebuah alasan untuk jatuh cinta pada seseorang, namun hanya butuh satu alasan untuk membuat cinta itu pergi.

Kira-kira begitulah yang pernah gue rasakan. Mencintai seseorang, memperjuangkannya, menahannya berkali-kali ketika hubungan itu sedang diujung tanduk, dan dikarenakan suatu goncangan, segala hal tersebut seakan tak pernah terjadi. Seperti sirna begitu saja.

Gue bukan termasuk cowok yang handal dalam membangun serta menjalani hubungan tertentu, khususnya dengan wanita. Bahkan sampai umur gue menyentuh angka 23, gue hanya dua kali mengalami apa yang dinamakan jatuh cinta. Satu diantaranya ialah ketika hati gue terpaku pada seorang cewek bernama, Rara.

Gue kenal Rara sejak duduk di bangku SMP, hingga kebetulan kita diterima di sekolah menengah atas yang sama. Meskipun begitu, gue dan Rara gak terlalu akrab. Gue hanya bertukar senyum jika sedang berpapasan dengannya, itu pun sesekali. Tanpa kata. Tanpa suara.

Bagi gue, Rara termasuk cewek yang manis dan, ya, dia juga berparas anggun. Sangat. Gue berani bertaruh mayoritas cowok di sekolah gue berharap dapat menjadi kekasihnya. Ia memiliki rambut lurus sebahu. Kulitnya putih tapi tidak lebih putih dari gue—yang mana hal ini selalu jadi perdebatan kita pada masa pacaran, kulit siapa yang lebih putih. Hidungnya mancung bak keturunan Arab. Kepribadiannya hangat, dan sifatnya periang. Tak ayal ia memiliki banyak teman dan dapat dikatakan masuk dalam kategori cewek populer di SMA. 

Pribadi Rara yang demikian ideal sangat kontras dengan gue yang cenderung pendiam. Gue lebih suka mengasingkan diri di dalam kelas ketika jam istirahat tiba. Membenamkan wajah ke meja dengan earphone terselip ditelinga. Gendang telinga gue lebih cocok menangkap dentuman musik rock yang keras dibanding riuhnya suasana sekolah kala itu.

Rara merupakan seorang pisces dan fanatik warna biru. Hampir segala yang ia punya berwarna seperti warna dasar awan tersebut. Mulai dari ikat rambut, tas, kaos kaki, tempat pensil, kotak makan, sampai kendaraan yang ia gunakan semuanya berwarna biru. Andai Mendikbud membebaskan peraraturan berseragam, gue yakin seragam putih abu-abu khas SMA segera berubah menjadi biru-biru khas Rara.

“Ndre, mau pulang bareng nggak?” suara itu mengagetkan gue yang sedari tadi kebosanan setengah mati menunggu angkutan umum yang tak kunjung tiba. Suara itu, gue tau siapa pemiliknya dan di hadapan gue tengah berhenti Honda Jazz berwarna biru metalik dengan kaca penumpang diturunkan. Memperlihatkan orang dibalik kemudi mencondongkan badannya ke arah kaca yang terbuka, dan mengadah kepada pria yang sedang melihat balik ke arahnya dengan mulut sedikit terbuka.

“Hoi! Jangan bengong gitu kenapa? Masih siang nanti kesambet lagi,” dia cekikikan. Gue sedang bertanya-tanya sendiri, ini serius seorang Rara ngajak gue pulang bareng? Terkadang gue malas bawa kendaraan ke sekolah, salah satu faktornya ialah gue belum punya izin resmi berkendara. Tapi banyak dari anak kelas satu pada saat itu –bahkan sampai sekarang, yang sudah membawa kendaraan sendiri, termasuk cewek yang masih menatap gue dari dalam mobilnya, menunggu jawaban gue atas ajakannya.

“Gausah, Ra, ngerepotin,” gue menolak ajakan Rara dengan halus.

“Yee, santai aja kali, Ndre. Rumah lo, kan, searah juga sama jalan pulang gue. Udah gapapa, masuk, Ndre,” tanpa menunggu jawaban lagi dari gue, Rara membukakan pintu dari dalam. Duh, cowok macam apa yang udah ditawarin pulang bareng sama cewek, pintunya juga dibukain sama cewek itu pula? Gue pasrah dan mengiyakan ajakan (paksa) Rara. Gue menyadari adanya tatapan menyelidik dari beberapa anak yang juga sedang menunggu kendaraan umum ketika melihat mobil Rara berhenti tepat di depan gue dan gue masuk ke dalamnya. Pikiran gue mulai membentuk skenario dengan merepresentasikan tatapan sinis mereka yang seakan mengatakan, “Itu, kan mobil Rara? Loh, Andre kok masuk sana? Wah, jangan-jangan ada apa-apa nih.” 

Sepanjang perjalanan tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir masing-masing. Hanya suara Paul McCartney yang terdengar melalui perangkat audio yang tersambung dengan ponsel milik Rara. Gue lebih banyak mengamati jalanan dari jendela samping dan sesekali bermain ponsel hanya sekedar untuk menghilangkan kecanggungan yang gue rasakan. Sedangkan fokus Rara masih pada jalanan walau menyetir dengan tangan kiri yang sesekali menghentakan jemarinya ke gagang kemudi, serta lengan kanan yang bertumpu pada pintu sebelah kanan. Gue cukup heran, cewek di sebelah gue ini kalau di sekolah hyperactive banget, tapi, kok, sampai setengah perjalanan kelihatannya anteng begini.

“Ndre, gimana perkembangan band lo?” Rara akhirnya membuka percakapan. Gue mengalihkan pandangan ke Rara. Menatap keheranan. Dia tau band gue? Rara menangkap kebingungan di wajah gue. Ya, gue bego dalam menyembunyikan ekspresi muka gue dalam merespon perkataan atau tindakan orang lain. Termasuk dalam berbohong. Sejak ketauan berbohong sama nyokap waktu umur gue delapan tahun gara-gara nggak ngaku kalau yang mecahin vas bunga kesayangan nyokap itu gue, gue nggak pernah lagi berbohong. Padahal waktu itu nyokap juga nggak marah.

“Abang—panggilan gue kalau di rumah, ekspresi muka Abang tuh nggak bisa nipu Ibu kalau Abang berbohong. Abang ngaku aja deh, Ibu nggak marah kok.” Gue tau betapa berharganya vas itu bagi Ibu. Vas bunga berwarna ungu tanpa motif. Bagi orang lain, mungkin vas itu hanyalah sebuah vas bunga biasa, seperti jutaan vas bunga lainnya yang dijual di pasaran. Tapi vas ungu yang kerap dipoles ibu sebulan sekali itu berbeda, karena merupakan kado ulang tahun dari almarhum sahabat ibu sejak SMA dan gue nggak sengaja membuat bentuknya terbagi menjadi puluhan, bahkan ratusan kepingan kecil ketika sedang bermain bersama Ivan, adik gue. Meskipun begitu, suara Ibu sangat tenang dan nggak terdengar ada emosi di sana. Gue langsung memeluk ibu sembari menangis meminta maaf. Itu adalah kebohongan gue pertama dan terakhir yang pernah gue lakukan.

Juga pada saat itu, Rara mendeteksi gue yang keheranan kemudian ia tertawa geli. “Kenapa sih lo? Gausah heran gitu kali. Lagian band lo juga terkenal kok.”

“Eh, bukan gitu.. Eng.. Gimana, ya,” gue menggaruk bagian belakang kepala gue. Semakin gue terlihat kebingungan, tawa Rara semakin menjadi. Tapi itu juga lah yang membuat suasana di dalam mobil mencair.

“Gue kira nggak ada yang sadar kalau gue ada di band,” tawa Rara mereda. Ia menatap gue sebentar sambil mengrenyitkan dahi, menunggu kelanjutan perkataan gue. “Maksud gue, kan diantara kita yang terkenal, ya, paling Rama, Bram, sama Richard doang sih.”
“Kok gitu?”

“Eng... Lo sadar nggak sih mereka enerjik gitu kalau perform? Terus style mereka, ya, anak band banget. Keren. Ganteng. Ditilik dari tingkat kepopulerannya juga anak-anak cewek lebih banyak yang nge-fans sama mereka, terutama Rama,” keheningan menyeruak diantara kita. “Lagian, anak-anak sekarang jarang ada yang melirik posisi bassis. Yang mereka lihat cuma frontman dari suatu band itu aja.” Tukas gue.

Rara manggut-manggut. “Lagi pula lo juga, sih. Musik kalian keras gitu tapi pembawaan lo santai banget. Personil lain jingkrak-jingkrak, lari ke sana kemari, sedangkan bagian tubuh lo yang keliatan lincah cuma jari-jari lo doang, badan lo diem aja. Tapi lucu sih ngeliatnya,” Rara sekilas melirik tersenyum. Ternyata dia memperhatikan gue kalau lagi perform. Terlalu banyak kejutan muncul siang ini.

“Udah, jangan kaget terus gitu ah, Ndre. Muka lo itu loh, jadi lucu,” ia kembali tertawa, memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapih. “Gini-gini yang duduk di sebelah lo salah satu penggemar band lo kali.”

“Eh?” another suprieses has come. Rara melirik gue kembali sambil memanikan alisnya naik turun, menandakan bahwa ia bersungguh-sungguh.

Rock-nya kalian itu ngingetin gue sama Foo Fighters. Jadi musiknya masih bisa diterima banyak orang, bahkan bagi orang yang nggak suka genre rock sekali pun. Kayaknya masa depan band lo cerah deh.”

Sisa perjalanan dihabiskan dengan gue mendongeng mengenai awal muda band ini terbentuk. Berawal dari ide iseng Richard untuk turut serta dalam acara tahunan sekolah, hingga akhirnya lahir sebuah ‘band nggak serius’ bernama Alchemy. Nama yang dirasa cukup pas untuk sebuah band beraliran heavy rock yang diisi empat orang anak IPA. Dengan gue sebagai personil terakhir yang bergabung. Itu pun karena gue nggak tega ngeliat Rama, seorang rising star di sekolah gue karena suaranya yang mirip Jon Bon Jovi, terus memohon gue untuk bergabung dengan tampang memelas. Bahkan ia menawarkan gue berbagai hal, termasuk mentraktir gue jajan di kantin selama sebulan. Gue akhirnya bergabung dengan sukarela dan mengatakan gak perlu repot-repot jajanin gue di kantin selama sebulan, cukup 2 minggu aja. Gue dijitak setelahnya.

Rama bertindak begitu bukan tanpa alasan, gue pernah menjadi juara satu dalam sebuah kejuaraan bass yang gue sendiri gak ngerasa pernah daftar. Semua itu kerjaan Ibu yang secara sepihak mendaftarkan nama anaknya—gue emang ogah untuk ikut lomba atau apapun itu, dan baru diberitau kalau gue akan mengikuti lomba ketika secara tiba-tiba Ibu mengajak gue pergi ke suatu mall dengan membawa bass. Gue yang kala itu berumur 14 tahun dan berpikir kalau Ibu mau nukar bass yang gue bawa dengan sebuah bass baru—karena di mall itu ada toko musik besar, maka mengikuti perintah Ibu.

Namun saat melihat seorang anak semuran gue sedang bermain bass di atas panggung dengan tiga orang dewasa duduk beberapa meter di hadapan panggung dengan meja bertulisan ‘judges’, gue tau pikiran gue salah. Ibu menyeringai iblis ke arah gue. Gue nelen ludah. Lima belas menit berikutnya giliran gue yang berada di panggung itu. Mengikuti lomba. Tanpa persiapan. Memainkan apa pun yang gue bisa; aksi solo Billy Sheehan, yang pernah gue tonton dan gue kulik ulang.

Gue yang gak punya ekspektasi apa-apa ternyata keluar sebagai pemenang. Gue melirik Ibu yang memberikan standing applause ketika prosesi penyerahan piala kepada anaknya. Terlihat air mata ibu mengaliri pipi putihnya. Dan gue mengangkat piala ke arah Ibu dengan seutas senyuman.

Pertimbangan gue menolak ajakan Rama lainnya ialah gue malas menjadi pusat perhatian. Dengan Rama sebagai frontman, sudah dapat dipastikan band ini akan cukup menyita perhatian. Benar saja, penonton menyukai performance kami pada event tahunan sekolah tersebut, sehingga membuat Rama berpikir ulang untuk menjadikan Alchemy lebih serius lagi.

Transformasi Alchemy dari ‘band nggak serius’ menjadi ‘band sungguhan’ membuat Rama harus mencari seorang manajer untuk mengatur segala keperluan band. Seorang bernama Dian dipilih menempati posisi itu. Dian bukan orang baru bagi Rama, juga bagi kami. Dia salah satu mantan pacar Rama yang bisa ‘menjinakkan’ Rama dari kelakuan nakalnya. Dian merupakan cewek yang tegas dan teliti, serta punya kemampuan mengatur segala sesuatu dengan baik, bahkan mengatur Rama.  Berdasarkan pertimbangan itu dan ketersediaan Dian pribadi, ia resmi mengisi posisi manajer Alchemy. Selain itu, ia juga berperan  sebagai Ibu dari anak-anak. Khususnya Rama. Dan menjadi sahabat gue pada akhirnya.

Selama gue bercerita, tak sepatah kata pun terucap dari bibir Rara. Ia hanya sesekali menganggut dengan segurat senyuman. She was a good listener.

“Padahal lo pendiam banget ya, Ndre. Tapi kalau lagi cerita panjang lebar gitu lucu juga ngeliatnya,” dia terkekeh. Sementara gue tertunduk dan merasa bahwa apa yang barusan gue lakukan itu bukan gue banget.

Di luar dugaan, ternyata Rara masih ingat jalan menuju rumah gue. Saat SMP dulu, kita memang pernah berada dalam satu kelompok kecil berjumlah lima orang yang diberi tugas enterpreneur. Kebetulan Ibu punya usaha catering dan bakery, sehingga kita memutuskan membuat kue di rumah gue. Gue cukup kagum karena setelah tiga tahun setelah pengerjaan tugas kelompok itu, Rara ingat tiap kelok jalanannya.

Setelah gue menutup pintu dari luar, dan mengucapkan terima kasih, hubungan kami terasa semakin akrab. Rara, yang entah kenapa, sering cerita mengenai berbagai hal ke gue. Sampai cerita cintanya dengan salah seorang kakak kelas yang pada saat itu sedang memburuk hingga akhirnya kandas.

Berbeda dengan Dian, yang gue anggap murni sebagai sahabat juga Ibu Alchemy yang kerap menasehati anak-anaknya. Gue merasakan sesuatu yang lain pada diri Rara. Sesuatu yang membuat gue berpikir kalau gue pengin hubungan ini lebih dari teman. Pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, gue jatuh cinta lagi.

Hingga pada tahun kedua di SMA, gue, Andre Pratama, berhasil membuat seorang Indira Andjani menjadi penumpang setia Blacky—skuter matic kesayangan gue. Dan menghentikan ocehan Rama, Bram serta Richard yang kerap ‘menghina’ gue sebagai ‘anak band yang belum pernah pacaran.’

“Main bass jago, main cewek cupu,” kata Rama dengan posisi bersandar pada sebuah sofa di ujung ruangan.

“Anjir, gue bukan player macam lo, Ram.”

“Andre kan homo, Ram,” timpal Richard yang masih duduk di belakang drum.

“Wei! Sembarangan!” gue menampik.

“Muka ganteng, skill bass 11-12 sama Steve Harris, tapi tetep jomblo? Fix lo homo,” Bram melepas strap gitar dan menaruhnya pada holder yang terletak tak jauh dari sofa tempat Rama duduk.

“Jauh gila gue dibandingin sama doi,” sergah gue. “Yee, aminin aja, Nyet. Do’a dari gue itu,” Bram melanjutkan.

“Iya bawel, amin.”

“Sumpah, Bram, lo barusan ngomong Andre ganteng malah keliatannya lo yang homo,” sahut Rama dan diikuti tawa dari kami bertiga, kecuali Bram yang merasa salah ngomong.

“Dian tuh jomblo, deketin sana. Cocok, Ndre, sama lo. Sama-sama kalem. Yang model macan liar aja bisa takluk, gimana yang diem kayak lo,” Richard mengerling ke arah Rama yang disusul lemparan tas ke pemilik suara.

Asu, tas gue itu, sembarangan lempar aja,” Bram mengambil tasnya yang melayang jauh. Kembali tawa pecah di studio itu.

“Enggak lah, Chard, dia kan udah gue anggep sahabat gue sendiri sekaligus jadi Ibu buat kita juga, kan.”

“Jadi lo nggak mau incest, Ndre?” goda Rama.

“Otak lo rusak, Ram.”

“Ndre, cuma ada dua kategori cowok di dunia ini; homo dan Rama. Kalau lo kelamaan jomblo, lo bisa masuk kategori pertama tau,” sahut Richard kembali.

Wait, kok Rama?” tanya gue heran.

“Brengsek maksudnya, Ndre. Gue banget kan itu,” jawabnya dengan santai sembari mengacungkan jempolnya ke atas.

“Cah gendeng, brengsek kok bangga,” tawa kembali mengudara di ruangan kedap suara itu. Begitulah percakapan yang terjadi tiap kali kita latihan. Selalu ada pembicaraan mengenai kenapa gue masih jomblo dan hinaan-hinaan lainnya.

Namun ketika tersiar kabar bahwa cewek tercantik di sekolah merubah status single menjadi in relationship di Facebook-nya dan nama gue terpampang di sana, mereka terdiam. Khususnya Bram yang sempat menaruh hati pada Rara, namun kala itu harus gigit jari menerima kenyataan pahit. Terlalu pahit mungkin.

Sorry, Bram, she’s mine now,” gue mengucapkannya sembari merangkul Rara ketika mengajaknya menyaksikan Alchemy latihan.

“Mampus, mupeng parah itu muka,” ujar Rama diikuti tawa dari lainnya.

“Eh, tapi lo harus jagain Andre baik-baik sih, Ra.”

Rara menatap tajam ke arah Richard, pun gue yang khawatir kalau Richard bakal ngomong macem-macem. “Kenapa gitu?” Rara bersuara.

“Waktu itu si Bram pernah bilang kalau Andre ganteng, hati-hati aja lo ditikung sama Bram.”

“Bangsat,” umpat Bram singkat, namun cukup membuat tawa kembali pecah.

Pada momen itu, kali pertama gue merasakan sensasi dari balas dendam akibat selalu ‘dihina’ selama ini. Kejam, namun melegakan.

---

“Ra, harus banget, ya, kita menghadapi ini?” pada suatu malam, di sofa ruang tamu kediaman Rara, gue duduk berdampingan dengan tuan rumah. Dengan kepala tertunduk, menatap gelas kosong yang tadinya berisi hot choco hazelnut buatan Rara. Menyadari tantangan berat yang akan kita hadapi.

“Udah, Ndre, we can make it through, kok. Trust me.. Nope, believe in our love, Ndre,” Rara menyandarkan kepalanya ke bahu gue. “Kita harus yakin kalau bisa ngelewatin semua ini, Ndre. Toh, kalau hubungan kita masih berlanjut sampai kamu selesai kuliah nanti, kita bakal jadi pasangan hebat. Berhasil ngelewatin LDR selama.. Umm.. 4 years, maybe?” Dia berusaha menenangkan gue. Tapi entah kenapa gue terfokus pada kata-kata, ‘kalau hubungan kita masih berlanjut’ yang dilontarkan Rara. Kalau, ya, Ra. Kalau.

Malam itu adalah malam terakhir gue sebelum berangkat merantau. Juga pertanda awal dari hubungan jarak jauh gue dan Rara. Malam yang dihabiskan dengan sedikit kata-kata, namun seiring berjalannya jarum jam menuju malam yang kian larut, genggaman tangan kita semakin erat

---
Gue sering dengar perkataan bahwa sesuatu yang berlebihan itu dapat memicu hal negatif muncul, overthinking salah satunya. Anthony Hopkins pernah mengatakan, We are dying from overthinking. We are slowly killing ourselves by thinking about everything. Think. Think. Think. You can never trust the human mind anyway. It's a death trap. Perasaan itu muncul setelah setahun menjalani LDR dengan Rara. Gue merasa bahwa ada yang berbeda dari Rara, perbedaan yang jelas terasa adalah ia menjadi lebih posesif dari sebelumnya.

Setelah lulus SMA, personil Alchemy sepakat untuk fokus pada pendidikan terlebih dahulu. Alchemy gak bubar, cuma intensitas manggungnya saja yang berkurang. Kami hanya tampil ketika ada jadwal kosong secara serempak atau saat libur semesteran. Gue, Bram dan Dian mengemban ilmu di satu universitas yang sama di Yogyakarta. Dan bagi orang kayak gue, gak gampang buat mencari teman baru yang cocok. Maka dari itu sejak masa orientasi dimulai sampai seterusnya kita bertiga selalu bareng. Cause they all i got. Setidaknya itu yang gue rasa.

Begitu pun dengan Dian, Rara jelas paham posisi Dian di Alchemy, seorang manajer band dan bisa dikatakan gue cukup dekat dengannya—bahkan sebelum Rara jadi pacar gue. Tapi entah apa yang ada dipikiran Rara ketika setelah satu tahun menjalani LDR, dia mencoba membatasi hubungan gue dengan Dian yang pada kenyataannya memang hanya sebatas sahabat. Dan hubungan kita nggak berubah semenjak SMA, pula dengan Bram.

“Kamu coba jangan sering-sering pergi sama Dian, aku nggak suka,” tukas Rara kala kita berbincang melalui telfon. Selama menjalani hubungan jarak jauh ini, gue selalu jujur akan bilang mau pergi kemana, juga dengan siapa. “Kita ini LDR, Ndre, kamu tega di sana sering banget pergi sama Dian, sedangkan pacar kamu aja cuma bisa ketemu 4 bulan sekali.”

“Tapi kan aku biasanya pergi sama Bram juga, kita pergi bertiga, Ra.”

“Tetep aku nggak suka, Ndre, tolong ngertiin aku.” Saat Rara berkata seperti itu justru gue bertanya pada diri gue sendiri, sebenarnya siapa yang harus ngertiin siapa? Gue, Dian, dan Bram bukan hanya sebatas rekan band, tapi mereka udah gue anggap bagian dari keluarga gue sendiri. Andai Richard dan Rama ada di sini, pasti kita selalu pergi berlima.

Pembicaraan itu kerap terulang dan menjadi topik utama acap kali kita berdebat. Dia tetap memaksa gue membatasi diri dengan Dian. Sedangkan gue tetap dengan apa yang gue anggap benar; gue dan Dian hanya sebatas sahabat. Tidak lebih. Rara yang dulu pernah menjadi pendengar setia gue kala mendongeng, namun saat kita meributkan hal itu, ia sama sekali tak mendengarkan.  

Rara mengira gue menaruh hati pada Dian karena gue selalu menolak menjauhinya, she already has overthinking about it. Sehingga ia memutuskan hubungan kita secara sepihak. Padahal hubungan itu sudah berusaha gue pertahankan mati-matian. Namun semuanya terasa percuma, keinginan Rara untuk putus lebih besar dari harapan gue akan hubungan ini dapat bertahan lebih lama. Tak lama setelah kita putus, gue dengar kabar bahwa Rara telah menemukan pengganti gue.

Sedangkan gue sampai setahun berikutnya masih tetap sendiri. Dian, masih tetap sahabat gue dan ia berpacaran dengan teman satu jurusannya. Apa yang pernah ditakutkan Rara gak pernah terjadi. Malah gue sempat bertanya sendiri mengenai keputusan yang pernah Rara buat. Sebenarnya siapa yang main hati?

Gue menyadari siklus yang terjadi selama gue berhubungan dengan Rara, mulai dari kita kenalan sampai putus dikemudian hari. Kurang lebih seperti ini; kita berteman, berevolusi menjadi sahabat, teman curhat, tempat cerita, you name it, and we broke our bestfriend lines and become a lover, kita putus, dan seketika menjadi orang asing bagi satu sama lain.

Sederhananya, berawal dari teman, dan berakhir seperti dua orang yang tak pernah kenal sebelumnya.

Hal itu yang merubah mindset gue kalau gue gak mau lagi ngejalanin hubungan dengan seorang yang gue kenal sebelumnya.

Gue berharap kisah cinta gue berikutnya berawal dari pertemuan dengan seorang gadis di bandara. Kebetulan gue sudah memperhatikan dia sejak duduk di boarding room, memohon kepada Tuhan agar kita berada pada satu pesawat yang sama dan bom! Ternyata gadis tersebut duduk di sebelah gue dan kita saling lempar pertanyaan template seperti, ‘Kamu mau ngapain di Jojga?’, ‘Oh, kuliah dimana?’, “Di jurusan apa?’, kemudian suasana menjadi cair sehingga tanpa sadar pesawat sudah landing di Jogja. Melanjutkan obrolan pada saat baggage claim dan tepat sebelum berpisah kita saling bertukar kontak.

Tak lama setelah itu kita sepakat untuk bertemu kembali. Pertemuan pertama yang berujung pada lahirnya pertemuan-pertemuan berikutnya. Sampai gue memberanikan diri menyatakan cinta. Kita jadian. Kita bertengkar layaknya pasangan lain. Kemudian putus dan kembali menjadi stranger for each other. Berawal dari orang asing, dan berakhir demikian sama. Setidaknya lebih baik karena gak harus merasa kehilangan pacar dan teman pada saat bersamaan.

Namun, tampaknya imaji gue tersebut sulit untuk menjadi nyata. Pertama, gue berpendapat bahwa cerita serupa hanya dapat terjadi di dunia film atau novel. Kedua, gue selalu duduk berdampingan dengan bapak-bapak atau ibu-ibu ketika bepergian dengan menggunakan pesawat. Dan terakhir, gue nggak punya cukup keberanian untuk berkenalan langsung dengan orang asing, apalagi dengan perempuan.

Tapi roda kehidupan terus berputar. Gue juga percaya bahwa ada saatnya setiap orang dipertemukan dengan orang yang tepat bagi hidupnya. Walaupun untuk menuju orang yang tepat tersebut, terkadang butuh berkali-kali singgah pada hati yang salah. Dan mengalami banyak pengalaman pahit. 

Selayaknya sebuah pemberhentian terakhir setelah berkelana cukup lama. Sebuah rumah bagi hatinya, bukan lagi hanya tempat singgah sementara. Dermaga terakhir tempat hati tuk berlabuh. Gue yakin tiap orang akan berjumpa dengan momen terbaiknya. Cepat atau lambat.

Biasanya momen seperti itu datang tidak dengan sendirinya, melainkan ada turut campur semesta di dalamnya, baik kita sadari maupun tidak. Bahkan semesta memegang pernanan penting dalam hidup gue. Ia mampu memperlihatkan bagaimana keajaibannya mampu merubah jalan hidup dua insan manusia sekaligus. Bagaimana ia bisa menyatukan gue dengan dia.

to be continued