Sunday, March 5, 2017

Chapter III - Memories



Chapter II - can read here

---

Ada yang mengatakan bahwa tidak perlu sebuah alasan untuk jatuh cinta pada seseorang, namun hanya butuh satu alasan untuk membuat cinta itu pergi.

Kira-kira begitulah yang pernah gue rasakan. Mencintai seseorang, memperjuangkannya, menahannya berkali-kali ketika hubungan itu sedang diujung tanduk, dan dikarenakan suatu goncangan, segala hal tersebut seakan tak pernah terjadi. Seperti sirna begitu saja.

Gue bukan termasuk cowok yang handal dalam membangun serta menjalani hubungan tertentu, khususnya dengan wanita. Bahkan sampai umur gue menyentuh angka 23, gue hanya dua kali mengalami apa yang dinamakan jatuh cinta. Satu diantaranya ialah ketika hati gue terpaku pada seorang cewek bernama, Rara.

Gue kenal Rara sejak duduk di bangku SMP, hingga kebetulan kita diterima di sekolah menengah atas yang sama. Meskipun begitu, gue dan Rara gak terlalu akrab. Gue hanya bertukar senyum jika sedang berpapasan dengannya, itu pun sesekali. Tanpa kata. Tanpa suara.

Bagi gue, Rara termasuk cewek yang manis dan, ya, dia juga berparas anggun. Sangat. Gue berani bertaruh mayoritas cowok di sekolah gue berharap dapat menjadi kekasihnya. Ia memiliki rambut lurus sebahu. Kulitnya putih tapi tidak lebih putih dari gue—yang mana hal ini selalu jadi perdebatan kita pada masa pacaran, kulit siapa yang lebih putih. Hidungnya mancung bak keturunan Arab. Kepribadiannya hangat, dan sifatnya periang. Tak ayal ia memiliki banyak teman dan dapat dikatakan masuk dalam kategori cewek populer di SMA. 

Pribadi Rara yang demikian ideal sangat kontras dengan gue yang cenderung pendiam. Gue lebih suka mengasingkan diri di dalam kelas ketika jam istirahat tiba. Membenamkan wajah ke meja dengan earphone terselip ditelinga. Gendang telinga gue lebih cocok menangkap dentuman musik rock yang keras dibanding riuhnya suasana sekolah kala itu.

Rara merupakan seorang pisces dan fanatik warna biru. Hampir segala yang ia punya berwarna seperti warna dasar awan tersebut. Mulai dari ikat rambut, tas, kaos kaki, tempat pensil, kotak makan, sampai kendaraan yang ia gunakan semuanya berwarna biru. Andai Mendikbud membebaskan peraraturan berseragam, gue yakin seragam putih abu-abu khas SMA segera berubah menjadi biru-biru khas Rara.

“Ndre, mau pulang bareng nggak?” suara itu mengagetkan gue yang sedari tadi kebosanan setengah mati menunggu angkutan umum yang tak kunjung tiba. Suara itu, gue tau siapa pemiliknya dan di hadapan gue tengah berhenti Honda Jazz berwarna biru metalik dengan kaca penumpang diturunkan. Memperlihatkan orang dibalik kemudi mencondongkan badannya ke arah kaca yang terbuka, dan mengadah kepada pria yang sedang melihat balik ke arahnya dengan mulut sedikit terbuka.

“Hoi! Jangan bengong gitu kenapa? Masih siang nanti kesambet lagi,” dia cekikikan. Gue sedang bertanya-tanya sendiri, ini serius seorang Rara ngajak gue pulang bareng? Terkadang gue malas bawa kendaraan ke sekolah, salah satu faktornya ialah gue belum punya izin resmi berkendara. Tapi banyak dari anak kelas satu pada saat itu –bahkan sampai sekarang, yang sudah membawa kendaraan sendiri, termasuk cewek yang masih menatap gue dari dalam mobilnya, menunggu jawaban gue atas ajakannya.

“Gausah, Ra, ngerepotin,” gue menolak ajakan Rara dengan halus.

“Yee, santai aja kali, Ndre. Rumah lo, kan, searah juga sama jalan pulang gue. Udah gapapa, masuk, Ndre,” tanpa menunggu jawaban lagi dari gue, Rara membukakan pintu dari dalam. Duh, cowok macam apa yang udah ditawarin pulang bareng sama cewek, pintunya juga dibukain sama cewek itu pula? Gue pasrah dan mengiyakan ajakan (paksa) Rara. Gue menyadari adanya tatapan menyelidik dari beberapa anak yang juga sedang menunggu kendaraan umum ketika melihat mobil Rara berhenti tepat di depan gue dan gue masuk ke dalamnya. Pikiran gue mulai membentuk skenario dengan merepresentasikan tatapan sinis mereka yang seakan mengatakan, “Itu, kan mobil Rara? Loh, Andre kok masuk sana? Wah, jangan-jangan ada apa-apa nih.” 

Sepanjang perjalanan tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir masing-masing. Hanya suara Paul McCartney yang terdengar melalui perangkat audio yang tersambung dengan ponsel milik Rara. Gue lebih banyak mengamati jalanan dari jendela samping dan sesekali bermain ponsel hanya sekedar untuk menghilangkan kecanggungan yang gue rasakan. Sedangkan fokus Rara masih pada jalanan walau menyetir dengan tangan kiri yang sesekali menghentakan jemarinya ke gagang kemudi, serta lengan kanan yang bertumpu pada pintu sebelah kanan. Gue cukup heran, cewek di sebelah gue ini kalau di sekolah hyperactive banget, tapi, kok, sampai setengah perjalanan kelihatannya anteng begini.

“Ndre, gimana perkembangan band lo?” Rara akhirnya membuka percakapan. Gue mengalihkan pandangan ke Rara. Menatap keheranan. Dia tau band gue? Rara menangkap kebingungan di wajah gue. Ya, gue bego dalam menyembunyikan ekspresi muka gue dalam merespon perkataan atau tindakan orang lain. Termasuk dalam berbohong. Sejak ketauan berbohong sama nyokap waktu umur gue delapan tahun gara-gara nggak ngaku kalau yang mecahin vas bunga kesayangan nyokap itu gue, gue nggak pernah lagi berbohong. Padahal waktu itu nyokap juga nggak marah.

“Abang—panggilan gue kalau di rumah, ekspresi muka Abang tuh nggak bisa nipu Ibu kalau Abang berbohong. Abang ngaku aja deh, Ibu nggak marah kok.” Gue tau betapa berharganya vas itu bagi Ibu. Vas bunga berwarna ungu tanpa motif. Bagi orang lain, mungkin vas itu hanyalah sebuah vas bunga biasa, seperti jutaan vas bunga lainnya yang dijual di pasaran. Tapi vas ungu yang kerap dipoles ibu sebulan sekali itu berbeda, karena merupakan kado ulang tahun dari almarhum sahabat ibu sejak SMA dan gue nggak sengaja membuat bentuknya terbagi menjadi puluhan, bahkan ratusan kepingan kecil ketika sedang bermain bersama Ivan, adik gue. Meskipun begitu, suara Ibu sangat tenang dan nggak terdengar ada emosi di sana. Gue langsung memeluk ibu sembari menangis meminta maaf. Itu adalah kebohongan gue pertama dan terakhir yang pernah gue lakukan.

Juga pada saat itu, Rara mendeteksi gue yang keheranan kemudian ia tertawa geli. “Kenapa sih lo? Gausah heran gitu kali. Lagian band lo juga terkenal kok.”

“Eh, bukan gitu.. Eng.. Gimana, ya,” gue menggaruk bagian belakang kepala gue. Semakin gue terlihat kebingungan, tawa Rara semakin menjadi. Tapi itu juga lah yang membuat suasana di dalam mobil mencair.

“Gue kira nggak ada yang sadar kalau gue ada di band,” tawa Rara mereda. Ia menatap gue sebentar sambil mengrenyitkan dahi, menunggu kelanjutan perkataan gue. “Maksud gue, kan diantara kita yang terkenal, ya, paling Rama, Bram, sama Richard doang sih.”
“Kok gitu?”

“Eng... Lo sadar nggak sih mereka enerjik gitu kalau perform? Terus style mereka, ya, anak band banget. Keren. Ganteng. Ditilik dari tingkat kepopulerannya juga anak-anak cewek lebih banyak yang nge-fans sama mereka, terutama Rama,” keheningan menyeruak diantara kita. “Lagian, anak-anak sekarang jarang ada yang melirik posisi bassis. Yang mereka lihat cuma frontman dari suatu band itu aja.” Tukas gue.

Rara manggut-manggut. “Lagi pula lo juga, sih. Musik kalian keras gitu tapi pembawaan lo santai banget. Personil lain jingkrak-jingkrak, lari ke sana kemari, sedangkan bagian tubuh lo yang keliatan lincah cuma jari-jari lo doang, badan lo diem aja. Tapi lucu sih ngeliatnya,” Rara sekilas melirik tersenyum. Ternyata dia memperhatikan gue kalau lagi perform. Terlalu banyak kejutan muncul siang ini.

“Udah, jangan kaget terus gitu ah, Ndre. Muka lo itu loh, jadi lucu,” ia kembali tertawa, memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapih. “Gini-gini yang duduk di sebelah lo salah satu penggemar band lo kali.”

“Eh?” another suprieses has come. Rara melirik gue kembali sambil memanikan alisnya naik turun, menandakan bahwa ia bersungguh-sungguh.

Rock-nya kalian itu ngingetin gue sama Foo Fighters. Jadi musiknya masih bisa diterima banyak orang, bahkan bagi orang yang nggak suka genre rock sekali pun. Kayaknya masa depan band lo cerah deh.”

Sisa perjalanan dihabiskan dengan gue mendongeng mengenai awal muda band ini terbentuk. Berawal dari ide iseng Richard untuk turut serta dalam acara tahunan sekolah, hingga akhirnya lahir sebuah ‘band nggak serius’ bernama Alchemy. Nama yang dirasa cukup pas untuk sebuah band beraliran heavy rock yang diisi empat orang anak IPA. Dengan gue sebagai personil terakhir yang bergabung. Itu pun karena gue nggak tega ngeliat Rama, seorang rising star di sekolah gue karena suaranya yang mirip Jon Bon Jovi, terus memohon gue untuk bergabung dengan tampang memelas. Bahkan ia menawarkan gue berbagai hal, termasuk mentraktir gue jajan di kantin selama sebulan. Gue akhirnya bergabung dengan sukarela dan mengatakan gak perlu repot-repot jajanin gue di kantin selama sebulan, cukup 2 minggu aja. Gue dijitak setelahnya.

Rama bertindak begitu bukan tanpa alasan, gue pernah menjadi juara satu dalam sebuah kejuaraan bass yang gue sendiri gak ngerasa pernah daftar. Semua itu kerjaan Ibu yang secara sepihak mendaftarkan nama anaknya—gue emang ogah untuk ikut lomba atau apapun itu, dan baru diberitau kalau gue akan mengikuti lomba ketika secara tiba-tiba Ibu mengajak gue pergi ke suatu mall dengan membawa bass. Gue yang kala itu berumur 14 tahun dan berpikir kalau Ibu mau nukar bass yang gue bawa dengan sebuah bass baru—karena di mall itu ada toko musik besar, maka mengikuti perintah Ibu.

Namun saat melihat seorang anak semuran gue sedang bermain bass di atas panggung dengan tiga orang dewasa duduk beberapa meter di hadapan panggung dengan meja bertulisan ‘judges’, gue tau pikiran gue salah. Ibu menyeringai iblis ke arah gue. Gue nelen ludah. Lima belas menit berikutnya giliran gue yang berada di panggung itu. Mengikuti lomba. Tanpa persiapan. Memainkan apa pun yang gue bisa; aksi solo Billy Sheehan, yang pernah gue tonton dan gue kulik ulang.

Gue yang gak punya ekspektasi apa-apa ternyata keluar sebagai pemenang. Gue melirik Ibu yang memberikan standing applause ketika prosesi penyerahan piala kepada anaknya. Terlihat air mata ibu mengaliri pipi putihnya. Dan gue mengangkat piala ke arah Ibu dengan seutas senyuman.

Pertimbangan gue menolak ajakan Rama lainnya ialah gue malas menjadi pusat perhatian. Dengan Rama sebagai frontman, sudah dapat dipastikan band ini akan cukup menyita perhatian. Benar saja, penonton menyukai performance kami pada event tahunan sekolah tersebut, sehingga membuat Rama berpikir ulang untuk menjadikan Alchemy lebih serius lagi.

Transformasi Alchemy dari ‘band nggak serius’ menjadi ‘band sungguhan’ membuat Rama harus mencari seorang manajer untuk mengatur segala keperluan band. Seorang bernama Dian dipilih menempati posisi itu. Dian bukan orang baru bagi Rama, juga bagi kami. Dia salah satu mantan pacar Rama yang bisa ‘menjinakkan’ Rama dari kelakuan nakalnya. Dian merupakan cewek yang tegas dan teliti, serta punya kemampuan mengatur segala sesuatu dengan baik, bahkan mengatur Rama.  Berdasarkan pertimbangan itu dan ketersediaan Dian pribadi, ia resmi mengisi posisi manajer Alchemy. Selain itu, ia juga berperan  sebagai Ibu dari anak-anak. Khususnya Rama. Dan menjadi sahabat gue pada akhirnya.

Selama gue bercerita, tak sepatah kata pun terucap dari bibir Rara. Ia hanya sesekali menganggut dengan segurat senyuman. She was a good listener.

“Padahal lo pendiam banget ya, Ndre. Tapi kalau lagi cerita panjang lebar gitu lucu juga ngeliatnya,” dia terkekeh. Sementara gue tertunduk dan merasa bahwa apa yang barusan gue lakukan itu bukan gue banget.

Di luar dugaan, ternyata Rara masih ingat jalan menuju rumah gue. Saat SMP dulu, kita memang pernah berada dalam satu kelompok kecil berjumlah lima orang yang diberi tugas enterpreneur. Kebetulan Ibu punya usaha catering dan bakery, sehingga kita memutuskan membuat kue di rumah gue. Gue cukup kagum karena setelah tiga tahun setelah pengerjaan tugas kelompok itu, Rara ingat tiap kelok jalanannya.

Setelah gue menutup pintu dari luar, dan mengucapkan terima kasih, hubungan kami terasa semakin akrab. Rara, yang entah kenapa, sering cerita mengenai berbagai hal ke gue. Sampai cerita cintanya dengan salah seorang kakak kelas yang pada saat itu sedang memburuk hingga akhirnya kandas.

Berbeda dengan Dian, yang gue anggap murni sebagai sahabat juga Ibu Alchemy yang kerap menasehati anak-anaknya. Gue merasakan sesuatu yang lain pada diri Rara. Sesuatu yang membuat gue berpikir kalau gue pengin hubungan ini lebih dari teman. Pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, gue jatuh cinta lagi.

Hingga pada tahun kedua di SMA, gue, Andre Pratama, berhasil membuat seorang Indira Andjani menjadi penumpang setia Blacky—skuter matic kesayangan gue. Dan menghentikan ocehan Rama, Bram serta Richard yang kerap ‘menghina’ gue sebagai ‘anak band yang belum pernah pacaran.’

“Main bass jago, main cewek cupu,” kata Rama dengan posisi bersandar pada sebuah sofa di ujung ruangan.

“Anjir, gue bukan player macam lo, Ram.”

“Andre kan homo, Ram,” timpal Richard yang masih duduk di belakang drum.

“Wei! Sembarangan!” gue menampik.

“Muka ganteng, skill bass 11-12 sama Steve Harris, tapi tetep jomblo? Fix lo homo,” Bram melepas strap gitar dan menaruhnya pada holder yang terletak tak jauh dari sofa tempat Rama duduk.

“Jauh gila gue dibandingin sama doi,” sergah gue. “Yee, aminin aja, Nyet. Do’a dari gue itu,” Bram melanjutkan.

“Iya bawel, amin.”

“Sumpah, Bram, lo barusan ngomong Andre ganteng malah keliatannya lo yang homo,” sahut Rama dan diikuti tawa dari kami bertiga, kecuali Bram yang merasa salah ngomong.

“Dian tuh jomblo, deketin sana. Cocok, Ndre, sama lo. Sama-sama kalem. Yang model macan liar aja bisa takluk, gimana yang diem kayak lo,” Richard mengerling ke arah Rama yang disusul lemparan tas ke pemilik suara.

Asu, tas gue itu, sembarangan lempar aja,” Bram mengambil tasnya yang melayang jauh. Kembali tawa pecah di studio itu.

“Enggak lah, Chard, dia kan udah gue anggep sahabat gue sendiri sekaligus jadi Ibu buat kita juga, kan.”

“Jadi lo nggak mau incest, Ndre?” goda Rama.

“Otak lo rusak, Ram.”

“Ndre, cuma ada dua kategori cowok di dunia ini; homo dan Rama. Kalau lo kelamaan jomblo, lo bisa masuk kategori pertama tau,” sahut Richard kembali.

Wait, kok Rama?” tanya gue heran.

“Brengsek maksudnya, Ndre. Gue banget kan itu,” jawabnya dengan santai sembari mengacungkan jempolnya ke atas.

“Cah gendeng, brengsek kok bangga,” tawa kembali mengudara di ruangan kedap suara itu. Begitulah percakapan yang terjadi tiap kali kita latihan. Selalu ada pembicaraan mengenai kenapa gue masih jomblo dan hinaan-hinaan lainnya.

Namun ketika tersiar kabar bahwa cewek tercantik di sekolah merubah status single menjadi in relationship di Facebook-nya dan nama gue terpampang di sana, mereka terdiam. Khususnya Bram yang sempat menaruh hati pada Rara, namun kala itu harus gigit jari menerima kenyataan pahit. Terlalu pahit mungkin.

Sorry, Bram, she’s mine now,” gue mengucapkannya sembari merangkul Rara ketika mengajaknya menyaksikan Alchemy latihan.

“Mampus, mupeng parah itu muka,” ujar Rama diikuti tawa dari lainnya.

“Eh, tapi lo harus jagain Andre baik-baik sih, Ra.”

Rara menatap tajam ke arah Richard, pun gue yang khawatir kalau Richard bakal ngomong macem-macem. “Kenapa gitu?” Rara bersuara.

“Waktu itu si Bram pernah bilang kalau Andre ganteng, hati-hati aja lo ditikung sama Bram.”

“Bangsat,” umpat Bram singkat, namun cukup membuat tawa kembali pecah.

Pada momen itu, kali pertama gue merasakan sensasi dari balas dendam akibat selalu ‘dihina’ selama ini. Kejam, namun melegakan.

---

“Ra, harus banget, ya, kita menghadapi ini?” pada suatu malam, di sofa ruang tamu kediaman Rara, gue duduk berdampingan dengan tuan rumah. Dengan kepala tertunduk, menatap gelas kosong yang tadinya berisi hot choco hazelnut buatan Rara. Menyadari tantangan berat yang akan kita hadapi.

“Udah, Ndre, we can make it through, kok. Trust me.. Nope, believe in our love, Ndre,” Rara menyandarkan kepalanya ke bahu gue. “Kita harus yakin kalau bisa ngelewatin semua ini, Ndre. Toh, kalau hubungan kita masih berlanjut sampai kamu selesai kuliah nanti, kita bakal jadi pasangan hebat. Berhasil ngelewatin LDR selama.. Umm.. 4 years, maybe?” Dia berusaha menenangkan gue. Tapi entah kenapa gue terfokus pada kata-kata, ‘kalau hubungan kita masih berlanjut’ yang dilontarkan Rara. Kalau, ya, Ra. Kalau.

Malam itu adalah malam terakhir gue sebelum berangkat merantau. Juga pertanda awal dari hubungan jarak jauh gue dan Rara. Malam yang dihabiskan dengan sedikit kata-kata, namun seiring berjalannya jarum jam menuju malam yang kian larut, genggaman tangan kita semakin erat

---
Gue sering dengar perkataan bahwa sesuatu yang berlebihan itu dapat memicu hal negatif muncul, overthinking salah satunya. Anthony Hopkins pernah mengatakan, We are dying from overthinking. We are slowly killing ourselves by thinking about everything. Think. Think. Think. You can never trust the human mind anyway. It's a death trap. Perasaan itu muncul setelah setahun menjalani LDR dengan Rara. Gue merasa bahwa ada yang berbeda dari Rara, perbedaan yang jelas terasa adalah ia menjadi lebih posesif dari sebelumnya.

Setelah lulus SMA, personil Alchemy sepakat untuk fokus pada pendidikan terlebih dahulu. Alchemy gak bubar, cuma intensitas manggungnya saja yang berkurang. Kami hanya tampil ketika ada jadwal kosong secara serempak atau saat libur semesteran. Gue, Bram dan Dian mengemban ilmu di satu universitas yang sama di Yogyakarta. Dan bagi orang kayak gue, gak gampang buat mencari teman baru yang cocok. Maka dari itu sejak masa orientasi dimulai sampai seterusnya kita bertiga selalu bareng. Cause they all i got. Setidaknya itu yang gue rasa.

Begitu pun dengan Dian, Rara jelas paham posisi Dian di Alchemy, seorang manajer band dan bisa dikatakan gue cukup dekat dengannya—bahkan sebelum Rara jadi pacar gue. Tapi entah apa yang ada dipikiran Rara ketika setelah satu tahun menjalani LDR, dia mencoba membatasi hubungan gue dengan Dian yang pada kenyataannya memang hanya sebatas sahabat. Dan hubungan kita nggak berubah semenjak SMA, pula dengan Bram.

“Kamu coba jangan sering-sering pergi sama Dian, aku nggak suka,” tukas Rara kala kita berbincang melalui telfon. Selama menjalani hubungan jarak jauh ini, gue selalu jujur akan bilang mau pergi kemana, juga dengan siapa. “Kita ini LDR, Ndre, kamu tega di sana sering banget pergi sama Dian, sedangkan pacar kamu aja cuma bisa ketemu 4 bulan sekali.”

“Tapi kan aku biasanya pergi sama Bram juga, kita pergi bertiga, Ra.”

“Tetep aku nggak suka, Ndre, tolong ngertiin aku.” Saat Rara berkata seperti itu justru gue bertanya pada diri gue sendiri, sebenarnya siapa yang harus ngertiin siapa? Gue, Dian, dan Bram bukan hanya sebatas rekan band, tapi mereka udah gue anggap bagian dari keluarga gue sendiri. Andai Richard dan Rama ada di sini, pasti kita selalu pergi berlima.

Pembicaraan itu kerap terulang dan menjadi topik utama acap kali kita berdebat. Dia tetap memaksa gue membatasi diri dengan Dian. Sedangkan gue tetap dengan apa yang gue anggap benar; gue dan Dian hanya sebatas sahabat. Tidak lebih. Rara yang dulu pernah menjadi pendengar setia gue kala mendongeng, namun saat kita meributkan hal itu, ia sama sekali tak mendengarkan.  

Rara mengira gue menaruh hati pada Dian karena gue selalu menolak menjauhinya, she already has overthinking about it. Sehingga ia memutuskan hubungan kita secara sepihak. Padahal hubungan itu sudah berusaha gue pertahankan mati-matian. Namun semuanya terasa percuma, keinginan Rara untuk putus lebih besar dari harapan gue akan hubungan ini dapat bertahan lebih lama. Tak lama setelah kita putus, gue dengar kabar bahwa Rara telah menemukan pengganti gue.

Sedangkan gue sampai setahun berikutnya masih tetap sendiri. Dian, masih tetap sahabat gue dan ia berpacaran dengan teman satu jurusannya. Apa yang pernah ditakutkan Rara gak pernah terjadi. Malah gue sempat bertanya sendiri mengenai keputusan yang pernah Rara buat. Sebenarnya siapa yang main hati?

Gue menyadari siklus yang terjadi selama gue berhubungan dengan Rara, mulai dari kita kenalan sampai putus dikemudian hari. Kurang lebih seperti ini; kita berteman, berevolusi menjadi sahabat, teman curhat, tempat cerita, you name it, and we broke our bestfriend lines and become a lover, kita putus, dan seketika menjadi orang asing bagi satu sama lain.

Sederhananya, berawal dari teman, dan berakhir seperti dua orang yang tak pernah kenal sebelumnya.

Hal itu yang merubah mindset gue kalau gue gak mau lagi ngejalanin hubungan dengan seorang yang gue kenal sebelumnya.

Gue berharap kisah cinta gue berikutnya berawal dari pertemuan dengan seorang gadis di bandara. Kebetulan gue sudah memperhatikan dia sejak duduk di boarding room, memohon kepada Tuhan agar kita berada pada satu pesawat yang sama dan bom! Ternyata gadis tersebut duduk di sebelah gue dan kita saling lempar pertanyaan template seperti, ‘Kamu mau ngapain di Jojga?’, ‘Oh, kuliah dimana?’, “Di jurusan apa?’, kemudian suasana menjadi cair sehingga tanpa sadar pesawat sudah landing di Jogja. Melanjutkan obrolan pada saat baggage claim dan tepat sebelum berpisah kita saling bertukar kontak.

Tak lama setelah itu kita sepakat untuk bertemu kembali. Pertemuan pertama yang berujung pada lahirnya pertemuan-pertemuan berikutnya. Sampai gue memberanikan diri menyatakan cinta. Kita jadian. Kita bertengkar layaknya pasangan lain. Kemudian putus dan kembali menjadi stranger for each other. Berawal dari orang asing, dan berakhir demikian sama. Setidaknya lebih baik karena gak harus merasa kehilangan pacar dan teman pada saat bersamaan.

Namun, tampaknya imaji gue tersebut sulit untuk menjadi nyata. Pertama, gue berpendapat bahwa cerita serupa hanya dapat terjadi di dunia film atau novel. Kedua, gue selalu duduk berdampingan dengan bapak-bapak atau ibu-ibu ketika bepergian dengan menggunakan pesawat. Dan terakhir, gue nggak punya cukup keberanian untuk berkenalan langsung dengan orang asing, apalagi dengan perempuan.

Tapi roda kehidupan terus berputar. Gue juga percaya bahwa ada saatnya setiap orang dipertemukan dengan orang yang tepat bagi hidupnya. Walaupun untuk menuju orang yang tepat tersebut, terkadang butuh berkali-kali singgah pada hati yang salah. Dan mengalami banyak pengalaman pahit. 

Selayaknya sebuah pemberhentian terakhir setelah berkelana cukup lama. Sebuah rumah bagi hatinya, bukan lagi hanya tempat singgah sementara. Dermaga terakhir tempat hati tuk berlabuh. Gue yakin tiap orang akan berjumpa dengan momen terbaiknya. Cepat atau lambat.

Biasanya momen seperti itu datang tidak dengan sendirinya, melainkan ada turut campur semesta di dalamnya, baik kita sadari maupun tidak. Bahkan semesta memegang pernanan penting dalam hidup gue. Ia mampu memperlihatkan bagaimana keajaibannya mampu merubah jalan hidup dua insan manusia sekaligus. Bagaimana ia bisa menyatukan gue dengan dia.

to be continued

2 comments:

  1. Part 1 sm 2 bagus sih, cuma part 3 kurang greget bacanya. Tingkatkan lagi, semangat :)

    ReplyDelete