Monday, April 24, 2017

Chapter VI - Between Past and Future


Chapter I-V bisa di klik pada tags 'Series'.
 ---

2 years later

Andre

Banyak peristiwa besar yang terjadi dalam semalam, kemudian merubah hidup mereka yang bersangkutan dengan peristiwa itu setelahnya. Seperti kisah para creator saat ciptaannya berbuah manis. Berawal dari puluhan, ratusan hingga ribuan kali percobaan dan pada akhirnya menghasilkan satu keberhasilan. Keberhasilan yang menutupi kisah perjuangan dibaliknya. Keberhasilan yang menasbihkan nama mereka ke dalam daftar manusia berhasil.

Cerita serupa juga terjadi pada gue, namun yang membedakan gue dengan creators itu ialah mereka mengawali kisah dengan kegagalan, lalu berakhir dengan luar biasa. Sedangkan kisah gue diawali dengan hal-hal indah dan hanya dalam semalam kisah tersebut berubah menjadi mimpi paling buruk selama hidup gue.

Dering ponsel menyadarkan gue dari lamunan terkait masa itu. Panggilan dari Ivan, adik gue.

“Halo,” gue membuka percakapan.

“Lagi dimana, Bang?” Tanyanya tanpa basa-basi.

“Di kafe, kenapa?”

“Lagi ada siapa?”

“Berdua sama Rama, kenapa?” Satu pertanyaan lagi keluar dari bibirnya, gue berniat mendaftarkan dia ke redaksi surat kabar lokal sebagai wartawan.

“Sip! Gue ke sana ya, Bang! Jangan pergi dulu!” Ujarnya penuh semangat. Niat mendaftarkannya sebagai wartawan pun gue urungkan.

Ivan mematikan sambungan telfon. Gue meletakkan ponsel pada tempat semula. Meraih gelas berisi kopi dan menyeruputnya perlahan.

“Ivan?” Tanya Rama disusul kepulan asap yang keluar dari rongga mulutnya. Gue jawab pertanyaan tadi dengan anggukan lemah.

“Ke sini?” Gue mengulangi hal yang sama. 

“Mau ada yang diobrolin sama lo kayaknya. Semangat banget dia pas tau ada lo di sini,” ujar gue.

“Paling cewek lagi,” sahut Rama kembali menghisap vape dari genggamannya.

“Iya kali,” ucap gue singkat.

“Lemes amat lo.”

“Kapan lo liat gue semangat?”

“Pas di panggung,” Rama tersenyum tipis. “Meskipun gue tau itu bukan 100 persen semangat manggung, tapi cuma ajang buat lo numpahin emosi yang kerap lo tahan.”

Gue meresponnya dengan diam. Apa yang barusan ia katakan ada benarnya. Panggung adalah satu-satunya tempat bagi gue untuk melampiaskan penderitaan gue. Dan Rickenbacker kesayangan gue merupakan media yang tepat untuk menyalurkan penderitaan tersebut keluar lalu menguap bersama musik yang berdentam dari sound, serta riuh-remah penonton ketika ikut bersuara mengikuti vokal dari Rama.

“Bang Andre sama Bang Rama ada di tempat biasa,” terdengar sayup suara Ben, barista di sini, menyebut nama gue dan Rama, menandakan bahwa Ivan telah sampai.

Gue bisa melihat Ivan berjalan ke arah kami dari pintu kaca yang menghubungkan bagian luar--smoking area, dengan bagian dalam kafe. Raut wajahnya terlihat sumringah. Senyum yang tersungging dari bibirnya selama ia berjalan malah membuat dia terlihat seperti seseorang yang kehilangan akal. Timbul pikiran menghubungi Ibu lalu mengatakan untuk mencoret nama Ivan Rizki Dwiputra dari daftar nama kartu keluarga.

“ASSALAMUALAIKUM ABANG-ABANG SEMUA!” Ia membentangkan kedua tangannya tepat setelah membuka pintu kaca. Teriakannya sungguh memekikan telinga. Gue menjawab salamnya lirih.

“Berisik tai,” umpat Rama.

“Hehehehe, ya maaf, Bang. Lagi semangat nih.” Ivan menempati kursi kosong di sebelah gue.

“Gue tebak, pasti ada hubungannya sama cewek nih kalau semangat begini,” ujar Rama sembari menyesap kopinya yang mulai dingin.

“Hehehe, emang segitu keliatannya, ya?” Ivan nggak berhenti cengengesan. Kalau dia sudah seperti ini dan kita sedang berada di tempat ramai, gue kerap mencabut status dia sebagai adik kandung.

“Karena lo kayak orang bego, Dek, kalau udah berhubungan sama cewek,” sambung gue. Ivan tetap tertawa. Gue mau lempar tisu ke dalam mulutnya.

“Udah, gue tau tujuan lo ke sini. Mana coba fotonya, biar gue liat orangnya gimana,” sahut Rama sembari menjulurkan tangannya.

“Bentar, Bang,” Ivan mengeluarkan ponselnya dan ia mulai tenggelam dengan aktifitas mencari foto ‘gebetannya’ tersebut. “Nih.” Ia menyerahkan ponsel kepada Rama.

Rama menatap layar ponsel lekat. Matanya memicing memerhatikan foto yang diberikan Ivan. Ia berulang kali mengernyitkan dahi, juga jemarinya tak henti mengelus janggut lebatnya berulang-ulang. Seolah ia sedang berpikir keras.

“Si kampret, ini mah Nabela,” ujar Rama.

Ivan melotot. Gue spontan tertawa.

Gue hafal betul siapa Rama. Seorang womanizer merangkap playboy yang sudah terkenal sejak SMA. Gue rasa nggak ada cewek cantik yang nggak dikenal Rama. Dan bagi kami, personil Alchemy, serta beberapa orang yang kenal dekat dengannya, termasuk Ivan, bukan suatu  hal yang asing apabila tahu bahwa ia kerap ‘tidur’ dengan beberapa dari mereka. Pesona serta auranya sebagai frontman dari Alchemy mampu membius gadis-gadis tersebut. Hal ini menjadikan Rama sebagai ‘guru’ oleh Ivan dalam hal wanita. Namun, apabila Ivan mengikuti jejak guru sablengnya tersebut, maka gue sungguh-sungguh untuk menurunkan kastanya sebagai seorang adik.

Butuh beberapa saat bagi Rama untuk menyadari alasan gue tertawa serta arti dari tatapan Ivan kepadanya. Lalu ia menepuk jidatnya dan mulai tertawa.

“Tenang, Van, gue cuma pernah liat foto dia di instagram UI cantik, kok. Kalem, kalem, hahaha,” tawanya mengeras. Perut gue bahkan mulai sakit karena terus-menerus tergelak. Ivan mengalihkan tatapan jengkelnya ke gue. Seakan menyuruh gue untuk diam dan tidak ikut-ikutan memojokkannya.

Ivan menatap tajam Rama dan masih tanpa suara. Ia masih belum sepenuhnya percaya pada kata-kata Rama. Ia nggak sepenuhnya salah kalau bersikap begitu, andai gue ada di posisi Ivan pun gue nggak akan gampang percaya dengan apa yang Rama katakan.

“Yeee si tai, beneran gue nggak kenal, cuma tau doang. Cantik emang anaknya, ya masih cocok lah kalau sama lo,” jelas Rama sambil menyeka air matanya yang keluar akibat tawa tadi.

“Mana coba, Dek, gue mau liat,” gue meraih ponsel yang diserahkan Ivan. Gue tatap foto itu sejenak. Cantik. Banget. Itu yang pertama terlintas dipikiran gue. Ivan melihat gue, menunggu tanggapan dari kakaknya. Tawa Rama mulai mereda.

“Ini bukannya yang waktu itu lo omongin, Ram? Pas abis manggung di Semarang itu loh.” Gue mengucapkannya dengan menahan tawa. Ivan terbelalak, sedangkan tawa Rama kembali pecah.

“Jahat bener lo sama adik sendiri,” Rama memegangi perutnya yang bergejolak. Ivan nampak mulai pasrah sebagai pihak yang tersudutkan. Dan memang sudah seharusnya seperti itu. Pasrah dalam menjadi target bulan-bulanan dari kakaknya beserta teman-temannya.

“Bercanda, Dek, cantik kok,” gue meletakkan ponsel itu di atas meja sambil tersenyum padanya. “Ini lo baru mau kenalan atau emang udah deket?” Tanya gue mencoba serius.

“Udah lumayan deket bang,” suaranya masih terdengar layu.

“Lemes amat woy! Becanda doang kampret. Gue beneran kagak kenal sama dia,” Rama melempar tisu yang tergumpal pada Ivan. Mendengar hal itu secara perlahan senyum di wajahnya timbul kembali dan ia mulai terkekeh.

“Kan, begonya kumat,” tambahku.

---

Setelah Ivan meninggalkan kami berdua kembali, aku terhanyut dalam kesunyian panjang. Kesunyian dalam hati yang lahir dua tahun lalu dan mendekam di dalamnya hingga kini.

“Perasaan baru kemarin dia curhat ke gue tentang hubungannya sama Laura, sekarang udah nunjukin foto yang baru aja,” dengan bersandar pada dinding, Rama mengulangi kegiatannya mengepulkan asap ke ruang kosong di langit-langit. Matanya menatap kumpulan asap itu.

“3 bulan lalu kalau nggak salah. Gue inget karena dia terus-terusan nanyain lo. Bawelnya minta ampun itu anak,” gue terseyum getir.

“Dia aja udah nemuin destinasi selanjutnya. Lo sendiri gimana?” Rama mengubah pandangannya ke gue.

Telak. 

Gue tatap Rama tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Pertanyaan tadi cukup menohok hati gue.

“Udah 2 tahun, bukan? Mau sampai kapan?” Terusnya.

Gue membuang muka. Memerhatikan customer yang datang dan sibuk dengan aktifitas masing-masing di mejanya. Sudah dua tahun. Gue bahkan nggak menyadari kalau waktu berjalan sedemikian cepatnya. Namun, rasa sakit itu masih terasa seperti kemarin.

“Entahlah, Ram. Baru juga dua tahun. Sejauh ini masih nggak ada yang berubah,” gue berbicara tanpa memandangnya.

“Asal lo tau, Ndre, tiap kali Ivan curhat masalah kehidupan cintanya sama gue, sebenarnya gue pun nggak bisa ngasih banyak saran. Dia mungkin cuma ngeliat dari gue sebagai orang yang tau banyak karakteristik perempuan, tapi level percintaan gue masih jauh di bawah lo. Maksud gue, kalau mau ngomongin hubungan yang serius sama satu wanita, lo orang yang tepat, bukan gue,” jelas Rama. Bibir gue masih terkatup.

Lagi. Kata-kata yang meluncur dari mulutnya sebagian besar adalah kenyataan. Walaupun ia tahu mengenai seluk beluk wanita, tapi ia tak pernah menjalani hubungan yang serius. Rekor terlama ia berpacaran yaitu saat SMA dengan manajer kami, Dian. Setelahnya ia hanya berapacaran tidak pernah lebih dari satu semester, atau bahkan hanya sekedar one night stand.

Sudah dua tahun sejak hari itu. Hari dimana ia mulai menghilang. Hari saat Laila Indrayanti, seseorang yang sangat gue sayangi pergi tanpa meninggalkan kabar satupun. Pada awalnya gue mengira ia hanya sedang pergi ke suatu tempat dan ponselnya tertinggal, hingga lupa menghubungi gue. Namun, kabar darinya tak kunjung datang sampai beberapa hari ke depan. Sampai akhirnya gue tersadar bahwa dia telah berada di luar lingkaran hidup gue.

Panik? Jelas.

Gue terus mencari keberadaannya, hingga detik ini. Meskipun intensitasnya kini berkurang. Tapi hasilnya tetap nihil. Ia seperti hilang ditelan bumi. Dia tidak memperbaharui isi dari tiap sosial media yang dia punya selama dua tahun terakhir. Termasuk saat instagram memperkenalkan fitur stories mereka, ia tidak pernah menggunakannya.

Padahal gue selalu menunggu untuk itu.

Setidaknya untuk sekedar tahu bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja.

Gue pun sempat punya pikiran bahwa ia menjadi korban penculikan dan pembunuhan. Bukannya gue berharap kalau hal itu benar terjadi, tapi saat seseorang menghilang secara tiba-tiba dan tidak ada kabar lagi setelahnya, apakah mempunyai pikiran demikian termasuk naif? Gue beropini itu masih masuk diakal. Atau jika tidak, mungkin gue yang perlahan menjadi gila karenanya.

Saban hari gue menghabiskan waktu dengan browsing dan menonton berita. Mata gue terfokus tiap berita kriminal ditayangkan. Membaca tiap headline dan running text. Berjaga-jaga andai ada berita mengenai seorang wanita berumur dua puluh lima tahun tewas dibunuh setelah sebelumnya diperkosa dan jasadnya dibuang di pinggir jalan tol, di sana. Kabar tersebut tak urung tersiar. Setelah gue menampar diri sendiri, gue mencoba membuang pikiran busuk ini dan berdoa untuk keselamatan Laila dimanapun ia berada.

Saat gue bertanya kepada kawan dekatnya, Nadine, ia menampik kalau tahu keberadaan Laila, sahabatnya dan, ugh, mantan? Atau masih pacar gue? Entah bagaimana gue menyebutnya. Kami tidak berpisah selayaknya sepasang kekasih memutuskan hubungan. Tapi dengan kepergiannya yang tiba-tiba tanpa meninggalkan sepatah kata, gue pun nggak yakin kalau ini bisa disebut ‘putus’.

Dan sebagian dari hati gue yang masih bertahan dengan kondisi ini mengatakan bahwa Laila masihlah milik gue. Mesikpun sisi lainnya sedikit demi sedikit kehilangan kesabaran akan penantian yang tak berujung ini.

Gue sadar kalau gue nggak segitu bego dalam urusan cewek. Gue tahu Nadine selalu menghindar acap kali gue bertanya mengenai Laila. Gue cuma bego dalam usaha menyampaikan apa yang ada dipikiran gue kepada seseorang. Dan saat orang tersebut nggak mau memberitahu apa yang terjadi, gue berhenti bertanya kepadanya karena kerap timbul perasaan nggak enak. Ini menjadi ketololan gue yang lain. 

Hal tersebut sering terjadi saat dulu gue dan Laila masih bersama. 

Huh, masih bersama... Kata itu terdengar aneh bagi gue.

Dulu, Laila selalu menghindar apabila gue bertanya mengenai hal yang sedang tidak mau dia bahas dan gue selalu menerima itu. Termasuk dengan yang dilakukan Nadine kepada gue, sampai gue memutuskan untuk nggak lagi bertanya padanya. 

Setelahnya, ia terlihat mencoba membantu gue dalam berbagai hal—mungkin untuk menambal perasaan nggak enak ke gue, juga termasuk saat gue memutuskan untuk membangun kafe yang gue idamkan. Nadine turut serta dalam proses pembangunannya. Ia banyak memberi masukan dari segi manajemen serta pelayanan, karena ia punya pengalaman lebih dulu di bidang yang sama. Juga kebetulan terdapat kesamaan dari konsep kafe kami, yaitu terdapat live music di dalamnya.

Kafe yang gue bangun ini dulu sering gue diskusikan dengan Laila. Gue mengatakan bahwa suatu saat nanti gue akan membangun sebuah kafe yang merepresentasikan pertemuan kami pertama kali. 

“La, setelah lulus nanti, aku rencananya mau bikin kafe sendiri deh di Serang,” ucap gue saat gue dan Laila duduk berhadapan di sebuah kedai kopi asal Amerika yang terletak di pelataran gedung bioskop tepi jalan Urip Sumoharjo pada penghujung tahun 2014 lalu.

“Sejak kapan kamu punya pikiran itu?” Ujarnya sambil meminum caramel macchiato miliknya.

“Sejak pertemuan kita pertama kali. Entah kenapa aku merasa punya utang budi ke semua kafe-kafe yang ada. Karena adanya mereka, kita bisa bertemu di salah satu diantaranya,” gue menatap tepat pada titik bola mata indahnya. Mata teduh yang selalu membuat jiwa gue merasa tenang.

“Kamu bisa nggak lebay gak, Ndre?” Ia terkekeh.

“Ini serius, La. Lagi pula di kotaku masih jarang kafe yang benar-benar kafe. Maksudku yang menyediakan kopi signature-nya sendiri. Yang benar-benar enak buat catching up sama teman lama, pacar, gebetan ataupun selingkuhan.”

“Jadi kamu mau bikin kafe buat ketemu sama selingkuhan kamu?” Entah kenapa dari omongan gue yang panjang tadi, ia hanya menangkap bagian akhirnya saja.

“Eng...”

“Hayo ngaku!”

“Buk...”

“Ngaku gak?”

“La...”

“Apa?!”

“Denger-denger diskon akhir tahun di Amplaz udah mulai, ya? Mau belanja?”

Hening.

Selang beberapa lama, Laila ketawa dengan kerasnya. Membuat beberapa pengunjung lain menoleh ke meja kami.

“Kamu tuh, ada aja pikirannya. Niat aku cuma mau bercandain kamu. Aku seneng aja ngeliat muka kamu yang kalau nggak salah tapi aku salahin tuh lucu jadinya,” ucapnya masih dengan tertawa, namun kali ini satu tangannya menutupi mulutnya. Ketawa cantik kalau kata orang-orang. Padahal, sesaat lalu caranya tertawa udah mirip nenek lampir. Tapi ia cepat sadar kalau sedang berada di tempat umum. Jaga image, katanya. Tawa nenek lampir tadi cuma terlihat saat kami sedang berduaan saja.

“Hahaha, iya tau kok kamu cuma bercanda. Udah hafal juga aku,” gue pun ikut tertawa. Menghargai candaannya demi keselamatan jiwa.

Laila yang masih tertawa dengan tangan memegang cup caramel macchiato-nya tiba-tiba menghentakkan cup tersebut ke meja dengan cukup keras. Tawanya terhenti. Mata indahnya berubah menjadi mata nenek lampir sungguhan dan menatap tajam menghunus bola mata gue. Auranya berubah hanya dalam hitungan detik. Ia membuka mulutnya, “Tapi ajakan belanja kamu tadi bukan bercandaan, kan?” Gue nelen ludah.

---

“WOY!”

“Wah, gila ini orang.”

“Bang, gimana nih? Panggil ustadz aja? Kayaknya kesurupan deh.”

Gue terperangah mendapati Rama, Ben, Fajar, Alika, Richard bahkan Ivan yang tadi sempat pergi, sekarang tengah berada di hadapan gue dengan masing-masing melayangkan tatapan heran.

“Ada apa nih rame-rame?” Tanya gue.

“Wah, sadar juga nih orang, kirain udah gila,” sahut Richard.

“Kenapa sih?” Jawab gue polos.

“Oy kampret, gue udah panik tadi. Lo bengong lama banget, gue kasih cipratan air lo nggak sadar. Gue goyang-goyangin juga nggak sadar. Terus gue panggil Ben, Fajar sama Alika buat bantu, masih nggak sadar juga. Gue minta bantuan di grup Alchemy yang bisa dateng si tai Richard doang. Akhirnya gue nyuruh Ivan buat balik lagi biar jadi saksi kalau kakaknya udah gila,” jelas Rama panjang lebar.

“Kampret, gue udah dateng masih aja dikatain,” timpal Richard.

“Eh? Serius? Duh, maaf-maaf jadi ngerepotin kalian gini,” gue menggaruk bagian belakang kepala sambil memasang muka nggak enak kepada mereka. Apa selama itu gue melamun? Apakah hanya gegara seorang perempuan bisa menghancurkan mental gue?

Rama mengambil tempat di sebelah gue, lalu melingkarkan lengannya melewati leher. “Take it easy, bro. Jangan lo jadiin beban. Percaya aja kalau ini memang udah bagian dari rencana Tuhan. Dan percaya bahwa suatu saat nanti datang seseorang yang bisa menggantikan posisi Laila di hati lo. Lo punya kita, Ndre,” ia berhenti sejenak, matanya menyapu mereka yang berdiri di hadapan kami. “Kalau gue atau anak-anak Alchemy nggak bisa bantu, masih ada Ben, Fajar sama Alika yang stand by di kafe. Gue tau si Ivan nggak bisa diandelin buat masalah kayak gini, tapi setidaknya sosok dia nyata, Ndre. Dan yang pasti lo nggak sendirian.”

“Nyesel gue dateng, Bang,” sesal Ivan mendengar perkataan Rama.
   
Gue tersenyum. Kembali ia berkata benar. Gue rasa Rama lah yang seharusnya dikira kesurupan, karena hari ini apa yang ia katakan banyak benarnya.

Gue nggak sendirian. Meskipun gue ragu akan perkataan Rama tadi yang membawa nama Tuhan padahal ia sendiri termasuk orang yang tidak taat beragama. Namun ketika gue menatap mereka yang kini berdiri di sekeliling gue dengan raut wajah khawatir, gue sadar mungkin sudah seharusnya gue berdamai dengan masa lalu dan mulai menyusun rencana ke depan serta menapakinya dengan perlahan.

“Mau dilepasin di panggung aja? Biar lo nggak gila beneran,” ajak rama yang segera gue iyakan.

---

Berbeda dengan kafe milik Nadine yang memilih menampilkan live music berupa penampilan akustik, gue lebih kepada penampilan band bagi siapa saja yang mau mengisi. Termasuk Alchemy yang kerap tampil di kafe ini yang ternyata mampu menarik minat pengunjung lebih banyak.

“Mau main apa?” Ujar gue sambil mempersiakan amplifier. Richard bersiap pada posisinya dibalik drum. Begitu pula dengan Rama bersama gitarnya.

Yellow Ledbetter-nya Pearl Jam, gimana?”

“Mainkan!” Sahut Richard dari belakang.

---

Mungkin gue harus merelakan Laila.

Mungkin.

Tapi, apakah gue sanggup?

to be continued


Saturday, April 1, 2017

Chapter V - Doubt




Chapter I-IV bisa di klik pada tags 'Series'.

---
Laila

Pernah gak merasa kalau kita punya segala yang kita inginkan, seperti sahabat yang selalu ada, materi yang tercukupi sampai kekasih terbaik dalam hidup kita. Tapi di sisi lain, timbul perasaan bahwa semua itu kemungkinan besar tidak bisa kita miliki selamanya?

Perasaan itulah yang kini menyelimutiku.

Aku seakan kembali menemukan warna hidupku semenjak dua tahun lalu. Saat pertama kali berjumpa dengannya di sebuah kafe yang terletak persis di tepi jalan besar Gejayan. Gabungan warna indah yang mengisi hitam-putih hidupku sampai detik ini. Dan mungkin hanya sampai beberapa bulan berikutnya.

“Permisi mbak, saya mau ngambil itu,” suara tersebut menyadarkanku. Aku mundur beberapa langkah dan tersenyum ke pemilik suara. Aku sedang berada di sebuah supermarket. Melakukan kebiasaanku selama hidup di kota pelajar ini tiap awal bulan tiba; belanja bulanan.

Entah berapa lama aku termenung  di depan etalase bodyshop itu. Pikiranku kerap mundur pada malam perayaan satu tahun kafe milik Nadine. Saat aku turun dari stage, aku mendapati tatapan itu. Tatapan yang menjadi ciri khasnya kala memproyeksikan pertanyaan, ‘kamu kenapa?’. Namun ia tahu aku tak akan menjawabnya. Jadi, saat aku menempati kursiku, ia langsung mengenggam tanganku. Erat. Aku tahu apa yang ada dipikirannya. Dan aku tahu apa yang seharusnya aku ucapkan.

Tapi aku tidak bisa.

Setelah membayar belanjaan dan berjalan menuju tempat parkir, ponselku berdering. Nama dari seseorang yang sangat aku kenal—dan aku cintai, tampak pada layar.

“Kamu dimana?” tanya suara di seberang telefon. 

Waalaikumsalam,” jawabku.

“Eh, iya, assalamualaikum.” Aku tersenyum sejenak sebelum mengulangi kata yang sama.

“Pelan-pelan aja. Tarik nafas. Cuci muka dulu. Makan siang. Kalau udah beres semua, baru telfon aku lagi.”

“Makan siang? Sarapa... Eh, udah jam 12an yah hehehe,” dia cengengesan. Sedangkan aku hanya meresponnya dengan seutas senyum. Bukan hal baru kalau di hari minggu ia bangun sebegini siangnya.

“Oh iya, kamu berangkat ke Solo jam berapa?”

“Kata Dian sih jam dua, kumpul di kosku,” jawabnya.

“Tau banget aku kenapa Dian minta berangkat jam segitu. Personil bandnya kebo semua sih,” sambungku tertawa kecil dan diikuti respon yang sama dari lawan bicaraku.

Setelah terdiam beberapa saat, aku menarik nafas sejenak, “Kamu tuh, Ndre, hobi banget sih bangun jam segini? Aku udah kemana-mana, Ndre, sekarang aku baru selesai belanja bulanan di Amplaz. Udah, nggak usah nanya, ‘kenapa nggak nungguin aku?’. Kelamaan kalau aku nunggu kamu bangun. Setelah ini aku langsung pulang. Sekarang kamu cuci muka, shalat duhur dulu terus makan!”

Aku senang melakukannya. Tentu aku tak pernah bosan, meskipun harus misuh-misuh tiap akhir pekan. Anggap saja ini caraku menunjukan rasa sayangku padanya. Tiap orang punya caranya sendiri dalam menunjukan rasa sayangnya, bukan?

Aku juga hafal dengan kebiasaannya menjauhkan ponsel dari telinga kala aku menasehatinya. Jadi, saat tak terdengar suara apapun setelah ‘ceramah’-ku tadi, aku tahu ia tak mendengarkan dan kalau sudah begini, maka akan ada ‘ceramah’ bagian dua.

Baru aku membuka mulut untuk melanjutkan perkataanku, terdengar suara darinya. Suaranya begitu tenang sehingga aku sedikit tersentak mendengarnya. Ia berkata, “Iya sayang.”

---

“Lama amet, bu. Eike udah mau mati kelaperan, bo,” ujar Nadine kala aku membuka pintu kamar kos. Ucapannya itu dipertegas dengan apa yang sedang ia lakukan; memakan satu bucket ice cream oreo.

Nadine ada di kamarku sejak semalam. Ia datang dengan setumpuk cerita mengenai cowok yang sedang mencoba mendekatinya. Mulai dari hal yang ia sukai, sampai yang membuatnya ‘ilfeel’ terhadap cowok itu, ia curahkan semuanya hingga tak sadar bahwa malam semakin larut dan ia memutuskan menginap di tempatku.

“Maaf, maaf, tadi sempet telfonan dulu sama Andre. Ini udah gue beliin makanan favorit lo, ayam geprek bu rum,” kataku sembari menaruh dua kantung belanja di meja yang terletak di hadapan tempat tidur. Nadine cengar-cengir mendengarnya. Sungguh, aku sedikit kasihan pada tiap cowok yang mencoba membuat Nadine terkesan dengan membawanya ke restoran pizza atau tempat fancy lainnya, padahal mengajak dia makan di ayam geprek bu rum adalah pilihan yang lebih baik dibanding itu semua. Nadine nggak mungkin bisa nolak ajakan satu ini. 

“Bu Rum yang dimana? Gue nggak mau makan selain yang di Demangan,” protesnya.

“Sumpah ya, ini orang katanya kelaperan, tapi masih aja nanya gitu. Lagian kenapa sih harus yang di sana? Di sekitar sini juga ada, kan?” ujarku kesal.

“Gini ya, Laila Indrayanti,” ia membetulkan posisi duduknya. Menegakkan punggung, serta menaruh bucket es krim di antara dua kaki yang bersila. “Nggak semua cabang tempat makan punya rasa yang sama, meskipun dipayungi satu nama. Gue pernah coba Bu Rum yang di tempat lain, rasanya beda, La. Mulai dari ayam sampai sayurannya. Dan lo tau alasan gue bangun kafe di daerah sana? Salah satunya biar gue nggak terlalu jauh buat beli geprek itu, La,” jelasnya panjang lebar.

Yah, seperti itu Nadine kalau sudah suka dengan sesuatu, khususnya tempat makan. Seperti nggak mau makan bubur selain di tukang bubur belakang kampus. Atau bakmie jawa di dekat kosku. Ayam geprek bu rum hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak hal ribet ala Nadine. Aku melihat itu sebagai satu hal yang lucu, meski terkadang tampak menyebalkan.

“Bawel, Nad,” aku terkekeh sambil mengeluarkan beberapa barang dari kantung belanja. “Udah, katanya laper tapi masih ngemilin es krim aja. Eh, by the way, itu es krim siapa yang lo makan?” lanjutku.

“Ya punya lo, Laila. Gue ambil dari kulkas di dapur saking lapernya. Terus gue liat ada es krim oreo di dalam plastik dengan tulisan ‘Laila’, yaudah gue ambil, hehe. Maaf ya, gue bilangnya belakangan,” ucapnya diikuti satu suap sendok es krim ke mulutnya.

“Nad, lo lupa?” aku menghentikan kegiatanku dan berbalik arah. Mataku menatap Nadine lekat.

“Apaan?” gerakannya pun tertahan kala pipinya menggembung karena es krim di dalamnya. Ia menaikkan satu alisnya dan menatapku heran.

Aku menarik nafas sejenak. “Di kost ini, kan, ada dua nama Laila. Lo lupa itu?”

Nadine menelan es krim yang tertahan di rongga mulutnya. Tatapannya terpaku pada diriku yang mematung tanpa ekspresi. Kini mulutnya sedikit menganga serta mimik muka herannya berubah menjadi panik.

Nadine menepuk dahinya, “Mampus, gue lupa.”

“Gimana dong, La? Duh, ini udah mau abis lagi. La, gimana ini?” ia nampak gusar sehingga tak bisa diam, membuat sprei kasurku berantakan.

Aku mengangkat kedua bahu sambil tersenyum tipis.

“Aduh, gue gantiin aja kali ya? Orangnya yang di kamar atas itu, kan? Duh, La, gue nggak enak ini, mana nggak kenal lagi. Iiiih gimana dong? Jangan diem aja kenapa, La?!” ia semakin panik. Hal itu membuatku tak kuasa melihatnya dan mulai menahan tawa.

Nadine melihatku sejenak, lalu hanya butuh beberapa detik sebelum sadar bahwa aku mengerjainya.

“LAILA RESEEEE!! AWAS YA!!” tawaku pecah. Kemudian Nadine beranjak dari duduknya. Melompat ke arahku yang tak bisa menghindar karena perutku sakit efek terlalu banyak tertawa. Nadine menangkapku, lalu jemarinya dengan lihai menggelitik pinggangku. Ia tahu bahwa itu merupakan titik lemahku. Maka tawaku semakin tak terkontrol akibatnya.

“Hahahahaha, Nadiiiine!! Ampuuun, hahahaha.” Aku mencoba menahan gerakan tangannya yang berpindah-pnidah menghindari sergahan tanganku. “Udah heey, hahaha. Inget ini sahabat lo, Naaaad.”

“Bodo amat. Kita resmi jadi musuh sampai 5 menit ke depan.” Aku tahu ia tak mendengarkan, ia malah mempercepat gerakan menggelitiknya.

“Gilaaaaa, bisa mati ketawa gueeeee, hahahahahahaha.”

“BODOOO!!”

---

Aku tengah berada di sebuah kafe. Terduduk dengan laptop terbuka di hadapanku. Memantulkan cahayanya yang tepat mengenai wajahku. Aku menahan dagu dengan kedua lenganku, memerhatikan sang pemilik kafe sibuk menyiapkan pesanan customer. Aku tersenyum melihatnya. Bagaimana tangannya begitu cekatan dalam mengoperasikan mesin espresso, serta bibirnya yang tak lelah berkomunikasi dengan pegawainya. Padahal kafe ini sudah punya cukup barista untuk melayani pelanggan, namun terkadang ia terjun langsung ke dalamnya, menjadi sosok owner serta leader dari kafe yang dahulu hanya bisa ia bangun dalam mimpi.

Begitulah Nadine, seorang pekerja keras hingga ia dapat mewujudkan mimpinya. Walau tidak besar, namun suasana yang disajikan mampu membuat beberapa orang kembali lagi karena merasa nyaman –atau karena pemiliknya cantik, selain memang kopi di sini nikmat.

Dengan bar di bagian tengah ruangan, kemudian mini stage berada di sisi timur dari bar. Dinding kafe berupa bata abu yang terpasang rapih dan ditimpa mural di beberapa bagian. Sebuah kaca besar terdapat dibagian depan kafe dengan tulisan ‘Nadi Cafe’ terpampang. Membuat siapa pun yang lewat bisa melihat segala aktifitas yang dilakukan di dalam kafe, begitu pula sebaliknya. Dan yang aku suka ialah kondisi di sini pada malam hari, Nadine memasang lampu pijar sebagai lampu mayoritas kafe ini. Menjadikan suasana sedikit redup tapi tidak mengurangi jarak pandang orang di dalamnya. Hal itu mempunyai nilai tambah sendiri bagiku.

Aku pernah menanyakan kenapa ia memilih nama kafe seperti yang sekarang tertulis di kaca besar itu? Ia hanya menjawab bahwa nama itu kalau diucapkan berulang-ulang secara cepat maka akan terdengar seperti namanya. Yang membuatku menggelengkan kepala mendengarnya.

Namun, kalau ada orang lain bertanya, maka ia akan menjawab, “Karena memiliki sebuah kafe sendiri seperti udah terdapat dalam nadi saya, sehingga saya rasa nama ini pantas mewakili apa yang saya rasakan.” Mendengar itu aku hanya menahan tawa karena aku tahu makna sesungguhnya dibalik pemilihan nama ‘Nadi Cafe.’

Babe? Kok bengong?” aku tersentak ketika Nadine menyentakkan jarinya tepat di mukaku.

“Eh, engga, kok. Gue tadi ngeliatin lo aja. Seneng ngeliat lo keliatan sibuk gitu, jadi aura positif lo keluar, Nad, nggak keliatan galau terus,” jawabku.

“Yah, bisa dibilang ini salah satu cara gue biar nggak terus kepikiran Alfa sialan,” ujarnya sambil menempati kursi yang berhadapan denganku. “By the way, gimana nulis lo? Udah selesai?” lanjutnya.

Aku melirik layar laptop yang menampilkan laman kosong Microsoft Word dengan kursor yang berkedip. Tak ada satu kata pun di sana.

“Coba gue liat,” Nadine mencondongkan badannya. 

Dengan cepat aku menutup laptopku. “Enggak, Nad, jelek tulisan gue,” ucapku berbohong, membuat Nadine kembali pada posisi semula.

“La, lo emang bisa ngerjain gue kayak tadi siang, tapi untuk yang satu ini, lo nggak bisa ngehobongin gue,” ia mendengus pelan. “Gue udah sering baca tulisan lo dan nggak ada satu pun yang jelek. Lo kenapa, La? Apa yang mengganggu lo?”

Instingnya selalu tepat untuk hal seperti ini dan aku tak bisa mengelak. Aku menatap kosong ke arah laptopku yang tertutup. Menengguk hot cappuccino dari cangkirnya, lalu melirik Nadine kembali.

“Kenapa, La? Tentang Andre?” lagi. Tebakannya tepat. Jujur, aku belum pernah cerita mengenai hal ‘ini’ kepada orang lain, selain kakak ku, bahkan Nadine sekali pun. Meski tak seharusnya aku berlaku begini. Maksudku, aku yakin Nadine mampu menjaga apa yang aku ceritakan, karena itu lah ia kuberi julukan ‘secret keeper’, karena telah banyak aibku yang kubagi dengannya. Tapi tidak.. Umm, belum untuk yang satu ini. Aku belum siap sampai detik ini. Aku pikir sudah waktunya aku membagi sedikit bebanku kepada Nadine.

Aku merespon dengan anggukan lemah. Nadine menjulurkan tangannya dan menggenggam tanganku erat. Persis apa yang Andre lakukan pada malam itu. Apa yang ia lakukan menyadarkanku bahwa aku punya orang-orang yang sayang dan menaruh perhatian padaku. Seharusnya aku bersyukur, bukan malah mengabaikannya.

“Nggak apa-apa kalau lo belum mau cerita,” ia mengusap punggung tanganku. “Tapi kalau lo butuh seseorang yang setia mendengarkan cerita lo selama seharian penuh ditemani dua bucket es krim dan satu plastik cadburry serta ayam geprek bu rum, lo tau harus ke siapa.” Kalimatnya membuatku tak mampu untuk tidak tersenyum. Aku tau dia akan begitu, she’s always do that.

Sejurus kemudian ia beranjak dari kursinya, bersiap kembali ke belakang bar. Langkahnya mulai meninggalkan meja tempat kami berbicang sebelum ia menghentikan langkahnya karena namanya ku panggil. Ia berbalik arah dan aku berkata, “Nad, gue boleh minta tolong lo? For being my secret keeper, again?” Ia mengangguk dan tersenyum.

---

“Mbak Nadine, ini kita nggak apa-apa pulang duluan?”

“Iya, nggak apa-apa, ini paling sebentar lagi kita selesai kok.”

“Oke deh, aku sama Key pulang duluan ya, Mbak. Mari mbak Laila.”

Take care, Put, Key,” Nadine melambai ke arah Putra dan Key –pegawai Nadine, yang telah menutup pintu masuk dari luar. Aku balas dengan tersenyum tipis pada keduanya.

So,” ia menyesap gelas berisi americano. “Anything else you want to talk?

Aku melirik jam tanganku. Pukul satu lewat lima belas. Aku mendengus pelan, lalu meminum cappucino-ku yang ketiga.

Its okay babe, santai aja. Gue masih sanggup dengerin sampai ayam berkokok nanti kok,” ia mengerling ke arahku dan kubalas senyum getir.

“Gue,” aku menahan kalimatku. Menarik nafas dalam. Nadine mencondongkan sedikit badannya. “Laper, Nad.”

Nadine melempariku dengan tisu yang telah tergumpal. Tisu yang kugunakan untuk menahan air mataku agar tak jatuh membasahi permukaan meja. Kurasa berjam-jam dihabiskan dengan menceritakan kisahku tidak hanya membuat otak dan hati terkuras, melainkan dapat menimbulkan gejolak pada perut.

Kami berakhir di gudeg bromo tak jauh dari daerah kafe milik Nadine. Gudeg ini tergolong unik karena baru buka ketika dini hari. Meskipun begitu, antrean pembeli gudeg bromo selalu panjang. Menandakan kehidupan Jogja tak pernah mati baik siang maupun malam hari.

“Eh, gue penasaran deh, gue kok jarang ngeliat lo main handphone tadi? Nggak chatting sama Andre?” ucap Nadine sambil menyantap gudegnya.

“Dia lagi ada gigs di Solo sama Alchemy. Dia minta gue buat ikut sih, tapi gue bilang lagi mau girlie time dulu sama lo,” aku tersenyum.

“Ampun deh yang pacarnya anak band,” ia terkekeh. “Bisa kali duet di kafe gue. Tarik si Andre ke jazz tuh.”

“Eh, jangan salah, dia bisa kali main jazz,” responku cepat.

“Serius lo?” Aku mengangguk. Andre memang berbakat dalam bermusik.

“Gue sih mau aja tampil di kafe lo sama Andre. Bedanya gue masih bisa dibayar sama owner-nya cuma pakai dua scope gelato, tapi kalau Andre kurang tau deh, harus diskusi sama manajernya dulu,” candaku.

“Yeee gitu amat sama teman sendiri,” kita tertawa bersama sebelum kembali tenggelam dalam kunyahannya masing-masing.

“Eh, La, tentang cerita lo tadi,” Nadine kembali membuka percakapan.

“Hmmm?”

“Gue jadi kepikiran sama gue sendiri,” Nadine menaruh sendoknya, lalu menatap ke arah antrean sebelum kembali kepadaku. “Lo tau kenapa gue lebih milih buka kafe di sini dibandingkan di Bandung?”

“Waktu itu lo pernah bilang kalau pasarnya lebih bagus di Jogja daripada Bandung, kan? Dan sama kayak gue, lo masih mau merantau. Perbedannya cuma di alasannya doang sih. Lo nggak pulang demi kerjaan, merajut mimpi lo. Sedangkan gue? Gue hanya pecundang yang mencoba kabur dari kenyataan.” Aku merasakan tangan Nadine kembali menggenggam tanganku.

“Hey, babe, i wanna tell you something. Oke, kalau dibilang pasar di sini lebih baik. Tapi sebenarnya gue punya pertimbangan lain. Guess what? Gue menghindari Alfa, La,” ia tertahan. “Gue nggak sekuat itu, La. Gue rindu rumah, tapi gue juga nggak bisa kalau harus terus menerus ketemu Alfa. Gue tau dia, La. Kalau gue buka kafe di sana, gak ada alasan baginya untuk gak datang ke tempat gue. Gue cuma... Gue cuma belum bisa maafin dia. Gue belum bisa damai sama masalah gue sendiri, La. Meskipun banyak cowok yang coba deketin gue, tapi jujur, belum ada yang bisa gantiin posisi Alfa dan begonya gue masih bisa galau setelah apa yang pernah dia perbuat.

Seharusnya gue yang dengerin cerita lo, tapi sekarang malah gue yang cerita. Meskipun apa yang gue alamin masih nggak sebanding dengan beban yang lo tanggung, lo harus coba berdamai sama masalah lo, La.” Ia terisak, namun masih tampak untuk mengendalikannya.

Its okay, Nad, anggap aja malam ini jadi malam jujur-jujuran kita,” jawabku dengan senyum, serta kini giliran tanganku terjulur untuknya. Tuk meresapi apa yang ia rasakan.

---

Aku merebahkan diriku ke atas kasur, menerawang langit-langit kamar dengan pikiran berkecamuk. Berdamai dengan masalah sendiri. Teringat aku pada perkataan Nadine tadi. Aku sudah mencobanya berkali-kali, dengan presentase keberhasilan nol persen.

Aku terlampau sering merasakan kehilangan. Bahkan, aku sudah menganggap kehilangan seperti nama tengahku sendiri. Jadi tiap kali aku merasakannya, aku tak tahu kata apa yang tepat mendefinisikannya, seperti tak ada apa-apa, tanpa kesedihan, tanpa air mata berarti.

Namun kali ini berbeda, orang yang kini mewarnai hari-hariku ialah orang yang kuharpkan berakhir jauh lebih baik dari sebelumnya. Namun aku tersadar, harapan itu hanya sebatas harapan belaka, tak nampak akan jadi nyata, bahkan hanya untuk kemungkinan sekali pun.

Tring.

Ponselku berbunyi, nama Andre terpampang di pop up message Line.

“Still awake?”

Ku tatap pesan itu cukup lama. Sampai akhirnya memutuskan untuk menekan tombol kunci dan meletakkan ponsel di sebelahku.

Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, dan tanpa sadar air mataku telah membasahi sekujur pipiku. Aku menarik boneka panda pemberian Andre pada perayaan tanggal jadi hubungan kita yang pertama tahun lalu ke dalam dekapanku, lalu aku mengucap lirih, “Ndre, maafin aku.”

 to be continued