Chapter I-IV bisa di klik pada tags 'Series'.
---
Laila
Pernah gak merasa kalau kita punya segala yang kita inginkan, seperti sahabat yang selalu ada, materi yang tercukupi sampai kekasih terbaik dalam hidup kita. Tapi di sisi lain, timbul perasaan bahwa semua itu kemungkinan besar tidak bisa kita miliki selamanya?
Perasaan itulah yang kini menyelimutiku.
Aku seakan kembali menemukan warna hidupku semenjak dua tahun lalu. Saat pertama kali berjumpa dengannya di sebuah kafe yang terletak persis di tepi jalan besar Gejayan. Gabungan warna indah yang mengisi hitam-putih hidupku sampai detik ini. Dan mungkin hanya sampai beberapa bulan berikutnya.
“Permisi mbak, saya mau ngambil itu,” suara tersebut menyadarkanku. Aku mundur beberapa langkah dan tersenyum ke pemilik suara. Aku sedang berada di sebuah supermarket. Melakukan kebiasaanku selama hidup di kota pelajar ini tiap awal bulan tiba; belanja bulanan.
Entah berapa lama aku termenung di depan etalase bodyshop itu. Pikiranku kerap mundur pada malam perayaan satu tahun kafe milik Nadine. Saat aku turun dari stage, aku mendapati tatapan itu. Tatapan yang menjadi ciri khasnya kala memproyeksikan pertanyaan, ‘kamu kenapa?’. Namun ia tahu aku tak akan menjawabnya. Jadi, saat aku menempati kursiku, ia langsung mengenggam tanganku. Erat. Aku tahu apa yang ada dipikirannya. Dan aku tahu apa yang seharusnya aku ucapkan.
Tapi aku tidak bisa.
Setelah membayar belanjaan dan berjalan menuju tempat parkir, ponselku berdering. Nama dari seseorang yang sangat aku kenal—dan aku cintai, tampak pada layar.
“Kamu dimana?” tanya suara di seberang telefon.
“Waalaikumsalam,” jawabku.
“Eh, iya, assalamualaikum.” Aku tersenyum sejenak sebelum mengulangi kata yang sama.
“Pelan-pelan aja. Tarik nafas. Cuci muka dulu. Makan siang. Kalau udah beres semua, baru telfon aku lagi.”
“Makan siang? Sarapa... Eh, udah jam 12an yah hehehe,” dia cengengesan. Sedangkan aku hanya meresponnya dengan seutas senyum. Bukan hal baru kalau di hari minggu ia bangun sebegini siangnya.
“Oh iya, kamu berangkat ke Solo jam berapa?”
“Kata Dian sih jam dua, kumpul di kosku,” jawabnya.
“Tau banget aku kenapa Dian minta berangkat jam segitu. Personil bandnya kebo semua sih,” sambungku tertawa kecil dan diikuti respon yang sama dari lawan bicaraku.
Setelah terdiam beberapa saat, aku menarik nafas sejenak, “Kamu tuh, Ndre, hobi banget sih bangun jam segini? Aku udah kemana-mana, Ndre, sekarang aku baru selesai belanja bulanan di Amplaz. Udah, nggak usah nanya, ‘kenapa nggak nungguin aku?’. Kelamaan kalau aku nunggu kamu bangun. Setelah ini aku langsung pulang. Sekarang kamu cuci muka, shalat duhur dulu terus makan!”
Aku senang melakukannya. Tentu aku tak pernah bosan, meskipun harus misuh-misuh tiap akhir pekan. Anggap saja ini caraku menunjukan rasa sayangku padanya. Tiap orang punya caranya sendiri dalam menunjukan rasa sayangnya, bukan?
Aku juga hafal dengan kebiasaannya menjauhkan ponsel dari telinga kala aku menasehatinya. Jadi, saat tak terdengar suara apapun setelah ‘ceramah’-ku tadi, aku tahu ia tak mendengarkan dan kalau sudah begini, maka akan ada ‘ceramah’ bagian dua.
Baru aku membuka mulut untuk melanjutkan perkataanku, terdengar suara darinya. Suaranya begitu tenang sehingga aku sedikit tersentak mendengarnya. Ia berkata, “Iya sayang.”
---
“Lama amet, bu. Eike udah mau mati kelaperan, bo,” ujar Nadine kala aku membuka pintu kamar kos. Ucapannya itu dipertegas dengan apa yang sedang ia lakukan; memakan satu bucket ice cream oreo.
Nadine ada di kamarku sejak semalam. Ia datang dengan setumpuk cerita mengenai cowok yang sedang mencoba mendekatinya. Mulai dari hal yang ia sukai, sampai yang membuatnya ‘ilfeel’ terhadap cowok itu, ia curahkan semuanya hingga tak sadar bahwa malam semakin larut dan ia memutuskan menginap di tempatku.
“Maaf, maaf, tadi sempet telfonan dulu sama Andre. Ini udah gue beliin makanan favorit lo, ayam geprek bu rum,” kataku sembari menaruh dua kantung belanja di meja yang terletak di hadapan tempat tidur. Nadine cengar-cengir mendengarnya. Sungguh, aku sedikit kasihan pada tiap cowok yang mencoba membuat Nadine terkesan dengan membawanya ke restoran pizza atau tempat fancy lainnya, padahal mengajak dia makan di ayam geprek bu rum adalah pilihan yang lebih baik dibanding itu semua. Nadine nggak mungkin bisa nolak ajakan satu ini.
“Bu Rum yang dimana? Gue nggak mau makan selain yang di Demangan,” protesnya.
“Sumpah ya, ini orang katanya kelaperan, tapi masih aja nanya gitu. Lagian kenapa sih harus yang di sana? Di sekitar sini juga ada, kan?” ujarku kesal.
“Gini ya, Laila Indrayanti,” ia membetulkan posisi duduknya. Menegakkan punggung, serta menaruh bucket es krim di antara dua kaki yang bersila. “Nggak semua cabang tempat makan punya rasa yang sama, meskipun dipayungi satu nama. Gue pernah coba Bu Rum yang di tempat lain, rasanya beda, La. Mulai dari ayam sampai sayurannya. Dan lo tau alasan gue bangun kafe di daerah sana? Salah satunya biar gue nggak terlalu jauh buat beli geprek itu, La,” jelasnya panjang lebar.
Yah, seperti itu Nadine kalau sudah suka dengan sesuatu, khususnya tempat makan. Seperti nggak mau makan bubur selain di tukang bubur belakang kampus. Atau bakmie jawa di dekat kosku. Ayam geprek bu rum hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak hal ribet ala Nadine. Aku melihat itu sebagai satu hal yang lucu, meski terkadang tampak menyebalkan.
“Bawel, Nad,” aku terkekeh sambil mengeluarkan beberapa barang dari kantung belanja. “Udah, katanya laper tapi masih ngemilin es krim aja. Eh, by the way, itu es krim siapa yang lo makan?” lanjutku.
“Ya punya lo, Laila. Gue ambil dari kulkas di dapur saking lapernya. Terus gue liat ada es krim oreo di dalam plastik dengan tulisan ‘Laila’, yaudah gue ambil, hehe. Maaf ya, gue bilangnya belakangan,” ucapnya diikuti satu suap sendok es krim ke mulutnya.
“Nad, lo lupa?” aku menghentikan kegiatanku dan berbalik arah. Mataku menatap Nadine lekat.
“Apaan?” gerakannya pun tertahan kala pipinya menggembung karena es krim di dalamnya. Ia menaikkan satu alisnya dan menatapku heran.
Aku menarik nafas sejenak. “Di kost ini, kan, ada dua nama Laila. Lo lupa itu?”
Nadine menelan es krim yang tertahan di rongga mulutnya. Tatapannya terpaku pada diriku yang mematung tanpa ekspresi. Kini mulutnya sedikit menganga serta mimik muka herannya berubah menjadi panik.
Nadine menepuk dahinya, “Mampus, gue lupa.”
“Gimana dong, La? Duh, ini udah mau abis lagi. La, gimana ini?” ia nampak gusar sehingga tak bisa diam, membuat sprei kasurku berantakan.
Aku mengangkat kedua bahu sambil tersenyum tipis.
“Aduh, gue gantiin aja kali ya? Orangnya yang di kamar atas itu, kan? Duh, La, gue nggak enak ini, mana nggak kenal lagi. Iiiih gimana dong? Jangan diem aja kenapa, La?!” ia semakin panik. Hal itu membuatku tak kuasa melihatnya dan mulai menahan tawa.
Nadine melihatku sejenak, lalu hanya butuh beberapa detik sebelum sadar bahwa aku mengerjainya.
“LAILA RESEEEE!! AWAS YA!!” tawaku pecah. Kemudian Nadine beranjak dari duduknya. Melompat ke arahku yang tak bisa menghindar karena perutku sakit efek terlalu banyak tertawa. Nadine menangkapku, lalu jemarinya dengan lihai menggelitik pinggangku. Ia tahu bahwa itu merupakan titik lemahku. Maka tawaku semakin tak terkontrol akibatnya.
“Hahahahaha, Nadiiiine!! Ampuuun, hahahaha.” Aku mencoba menahan gerakan tangannya yang berpindah-pnidah menghindari sergahan tanganku. “Udah heey, hahaha. Inget ini sahabat lo, Naaaad.”
“Bodo amat. Kita resmi jadi musuh sampai 5 menit ke depan.” Aku tahu ia tak mendengarkan, ia malah mempercepat gerakan menggelitiknya.
“Gilaaaaa, bisa mati ketawa gueeeee, hahahahahahaha.”
“BODOOO!!”
---
Aku tengah berada di sebuah kafe. Terduduk dengan laptop terbuka di hadapanku. Memantulkan cahayanya yang tepat mengenai wajahku. Aku menahan dagu dengan kedua lenganku, memerhatikan sang pemilik kafe sibuk menyiapkan pesanan customer. Aku tersenyum melihatnya. Bagaimana tangannya begitu cekatan dalam mengoperasikan mesin espresso, serta bibirnya yang tak lelah berkomunikasi dengan pegawainya. Padahal kafe ini sudah punya cukup barista untuk melayani pelanggan, namun terkadang ia terjun langsung ke dalamnya, menjadi sosok owner serta leader dari kafe yang dahulu hanya bisa ia bangun dalam mimpi.
Begitulah Nadine, seorang pekerja keras hingga ia dapat mewujudkan mimpinya. Walau tidak besar, namun suasana yang disajikan mampu membuat beberapa orang kembali lagi karena merasa nyaman –atau karena pemiliknya cantik, selain memang kopi di sini nikmat.
Dengan bar di bagian tengah ruangan, kemudian mini stage berada di sisi timur dari bar. Dinding kafe berupa bata abu yang terpasang rapih dan ditimpa mural di beberapa bagian. Sebuah kaca besar terdapat dibagian depan kafe dengan tulisan ‘Nadi Cafe’ terpampang. Membuat siapa pun yang lewat bisa melihat segala aktifitas yang dilakukan di dalam kafe, begitu pula sebaliknya. Dan yang aku suka ialah kondisi di sini pada malam hari, Nadine memasang lampu pijar sebagai lampu mayoritas kafe ini. Menjadikan suasana sedikit redup tapi tidak mengurangi jarak pandang orang di dalamnya. Hal itu mempunyai nilai tambah sendiri bagiku.
Aku pernah menanyakan kenapa ia memilih nama kafe seperti yang sekarang tertulis di kaca besar itu? Ia hanya menjawab bahwa nama itu kalau diucapkan berulang-ulang secara cepat maka akan terdengar seperti namanya. Yang membuatku menggelengkan kepala mendengarnya.
Namun, kalau ada orang lain bertanya, maka ia akan menjawab, “Karena memiliki sebuah kafe sendiri seperti udah terdapat dalam nadi saya, sehingga saya rasa nama ini pantas mewakili apa yang saya rasakan.” Mendengar itu aku hanya menahan tawa karena aku tahu makna sesungguhnya dibalik pemilihan nama ‘Nadi Cafe.’
“Babe? Kok bengong?” aku tersentak ketika Nadine menyentakkan jarinya tepat di mukaku.
“Eh, engga, kok. Gue tadi ngeliatin lo aja. Seneng ngeliat lo keliatan sibuk gitu, jadi aura positif lo keluar, Nad, nggak keliatan galau terus,” jawabku.
“Yah, bisa dibilang ini salah satu cara gue biar nggak terus kepikiran Alfa sialan,” ujarnya sambil menempati kursi yang berhadapan denganku. “By the way, gimana nulis lo? Udah selesai?” lanjutnya.
Aku melirik layar laptop yang menampilkan laman kosong Microsoft Word dengan kursor yang berkedip. Tak ada satu kata pun di sana.
“Coba gue liat,” Nadine mencondongkan badannya.
Dengan cepat aku menutup laptopku. “Enggak, Nad, jelek tulisan gue,” ucapku berbohong, membuat Nadine kembali pada posisi semula.
“La, lo emang bisa ngerjain gue kayak tadi siang, tapi untuk yang satu ini, lo nggak bisa ngehobongin gue,” ia mendengus pelan. “Gue udah sering baca tulisan lo dan nggak ada satu pun yang jelek. Lo kenapa, La? Apa yang mengganggu lo?”
Instingnya selalu tepat untuk hal seperti ini dan aku tak bisa mengelak. Aku menatap kosong ke arah laptopku yang tertutup. Menengguk hot cappuccino dari cangkirnya, lalu melirik Nadine kembali.
“Kenapa, La? Tentang Andre?” lagi. Tebakannya tepat. Jujur, aku belum pernah cerita mengenai hal ‘ini’ kepada orang lain, selain kakak ku, bahkan Nadine sekali pun. Meski tak seharusnya aku berlaku begini. Maksudku, aku yakin Nadine mampu menjaga apa yang aku ceritakan, karena itu lah ia kuberi julukan ‘secret keeper’, karena telah banyak aibku yang kubagi dengannya. Tapi tidak.. Umm, belum untuk yang satu ini. Aku belum siap sampai detik ini. Aku pikir sudah waktunya aku membagi sedikit bebanku kepada Nadine.
Aku merespon dengan anggukan lemah. Nadine menjulurkan tangannya dan menggenggam tanganku erat. Persis apa yang Andre lakukan pada malam itu. Apa yang ia lakukan menyadarkanku bahwa aku punya orang-orang yang sayang dan menaruh perhatian padaku. Seharusnya aku bersyukur, bukan malah mengabaikannya.
“Nggak apa-apa kalau lo belum mau cerita,” ia mengusap punggung tanganku. “Tapi kalau lo butuh seseorang yang setia mendengarkan cerita lo selama seharian penuh ditemani dua bucket es krim dan satu plastik cadburry serta ayam geprek bu rum, lo tau harus ke siapa.” Kalimatnya membuatku tak mampu untuk tidak tersenyum. Aku tau dia akan begitu, she’s always do that.
Sejurus kemudian ia beranjak dari kursinya, bersiap kembali ke belakang bar. Langkahnya mulai meninggalkan meja tempat kami berbicang sebelum ia menghentikan langkahnya karena namanya ku panggil. Ia berbalik arah dan aku berkata, “Nad, gue boleh minta tolong lo? For being my secret keeper, again?” Ia mengangguk dan tersenyum.
---
“Mbak Nadine, ini kita nggak apa-apa pulang duluan?”
“Iya, nggak apa-apa, ini paling sebentar lagi kita selesai kok.”
“Oke deh, aku sama Key pulang duluan ya, Mbak. Mari mbak Laila.”
“Take care, Put, Key,” Nadine melambai ke arah Putra dan Key –pegawai Nadine, yang telah menutup pintu masuk dari luar. Aku balas dengan tersenyum tipis pada keduanya.
“So,” ia menyesap gelas berisi americano. “Anything else you want to talk?”
Aku melirik jam tanganku. Pukul satu lewat lima belas. Aku mendengus pelan, lalu meminum cappucino-ku yang ketiga.
“Its okay babe, santai aja. Gue masih sanggup dengerin sampai ayam berkokok nanti kok,” ia mengerling ke arahku dan kubalas senyum getir.
“Gue,” aku menahan kalimatku. Menarik nafas dalam. Nadine mencondongkan sedikit badannya. “Laper, Nad.”
Nadine melempariku dengan tisu yang telah tergumpal. Tisu yang kugunakan untuk menahan air mataku agar tak jatuh membasahi permukaan meja. Kurasa berjam-jam dihabiskan dengan menceritakan kisahku tidak hanya membuat otak dan hati terkuras, melainkan dapat menimbulkan gejolak pada perut.
Kami berakhir di gudeg bromo tak jauh dari daerah kafe milik Nadine. Gudeg ini tergolong unik karena baru buka ketika dini hari. Meskipun begitu, antrean pembeli gudeg bromo selalu panjang. Menandakan kehidupan Jogja tak pernah mati baik siang maupun malam hari.
“Eh, gue penasaran deh, gue kok jarang ngeliat lo main handphone tadi? Nggak chatting sama Andre?” ucap Nadine sambil menyantap gudegnya.
“Dia lagi ada gigs di Solo sama Alchemy. Dia minta gue buat ikut sih, tapi gue bilang lagi mau girlie time dulu sama lo,” aku tersenyum.
“Ampun deh yang pacarnya anak band,” ia terkekeh. “Bisa kali duet di kafe gue. Tarik si Andre ke jazz tuh.”
“Eh, jangan salah, dia bisa kali main jazz,” responku cepat.
“Serius lo?” Aku mengangguk. Andre memang berbakat dalam bermusik.
“Gue sih mau aja tampil di kafe lo sama Andre. Bedanya gue masih bisa dibayar sama owner-nya cuma pakai dua scope gelato, tapi kalau Andre kurang tau deh, harus diskusi sama manajernya dulu,” candaku.
“Yeee gitu amat sama teman sendiri,” kita tertawa bersama sebelum kembali tenggelam dalam kunyahannya masing-masing.
“Eh, La, tentang cerita lo tadi,” Nadine kembali membuka percakapan.
“Hmmm?”
“Gue jadi kepikiran sama gue sendiri,” Nadine menaruh sendoknya, lalu menatap ke arah antrean sebelum kembali kepadaku. “Lo tau kenapa gue lebih milih buka kafe di sini dibandingkan di Bandung?”
“Waktu itu lo pernah bilang kalau pasarnya lebih bagus di Jogja daripada Bandung, kan? Dan sama kayak gue, lo masih mau merantau. Perbedannya cuma di alasannya doang sih. Lo nggak pulang demi kerjaan, merajut mimpi lo. Sedangkan gue? Gue hanya pecundang yang mencoba kabur dari kenyataan.” Aku merasakan tangan Nadine kembali menggenggam tanganku.
“Hey, babe, i wanna tell you something. Oke, kalau dibilang pasar di sini lebih baik. Tapi sebenarnya gue punya pertimbangan lain. Guess what? Gue menghindari Alfa, La,” ia tertahan. “Gue nggak sekuat itu, La. Gue rindu rumah, tapi gue juga nggak bisa kalau harus terus menerus ketemu Alfa. Gue tau dia, La. Kalau gue buka kafe di sana, gak ada alasan baginya untuk gak datang ke tempat gue. Gue cuma... Gue cuma belum bisa maafin dia. Gue belum bisa damai sama masalah gue sendiri, La. Meskipun banyak cowok yang coba deketin gue, tapi jujur, belum ada yang bisa gantiin posisi Alfa dan begonya gue masih bisa galau setelah apa yang pernah dia perbuat.
Seharusnya gue yang dengerin cerita lo, tapi sekarang malah gue yang cerita. Meskipun apa yang gue alamin masih nggak sebanding dengan beban yang lo tanggung, lo harus coba berdamai sama masalah lo, La.” Ia terisak, namun masih tampak untuk mengendalikannya.
“Its okay, Nad, anggap aja malam ini jadi malam jujur-jujuran kita,” jawabku dengan senyum, serta kini giliran tanganku terjulur untuknya. Tuk meresapi apa yang ia rasakan.
---
Aku merebahkan diriku ke atas kasur, menerawang langit-langit kamar dengan pikiran berkecamuk. Berdamai dengan masalah sendiri. Teringat aku pada perkataan Nadine tadi. Aku sudah mencobanya berkali-kali, dengan presentase keberhasilan nol persen.
Aku terlampau sering merasakan kehilangan. Bahkan, aku sudah menganggap kehilangan seperti nama tengahku sendiri. Jadi tiap kali aku merasakannya, aku tak tahu kata apa yang tepat mendefinisikannya, seperti tak ada apa-apa, tanpa kesedihan, tanpa air mata berarti.
Namun kali ini berbeda, orang yang kini mewarnai hari-hariku ialah orang yang kuharpkan berakhir jauh lebih baik dari sebelumnya. Namun aku tersadar, harapan itu hanya sebatas harapan belaka, tak nampak akan jadi nyata, bahkan hanya untuk kemungkinan sekali pun.
Tring.
Ponselku berbunyi, nama Andre terpampang di pop up message Line.
“Still awake?”
Ku tatap pesan itu cukup lama. Sampai akhirnya memutuskan untuk menekan tombol kunci dan meletakkan ponsel di sebelahku.
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, dan tanpa sadar air mataku telah membasahi sekujur pipiku. Aku menarik boneka panda pemberian Andre pada perayaan tanggal jadi hubungan kita yang pertama tahun lalu ke dalam dekapanku, lalu aku mengucap lirih, “Ndre, maafin aku.”
to be continued
Lumayan, lanjutin ceritanya, semangat :))
ReplyDeleteSiap. Terima kasih atas komentarnya (termasuk di chapter lain). :))
Delete