source: google.com |
Time flies. Kira-kira itulah yang gue rasakan. Gak kerasa kalau sekarang gue udah memasuki tahun ketiga dari empat tahun (amin) rencana perkuliahan gue. Sebagai anak rantau dan gak ada keluarga di perantauan, hanya ada dua pilihan yang bisa gue ambil; ngekos dan ngontrak. Gue pilih yang pertama.
Dalam rentang waktu tiga tahun ini, gue hanya satu kali pindah kos, tepatnya pada pertengahan tahun 2015. Setelah itu--sampai detik ini, gue masih betah berada di kos yang kini gue tempati. Dan dalam rentang waktu tiga tahun ini pula secara gak sadar gue memerhatikan kebiasaan serta tingkah laku anak kos dan hal demikian juga tertanam dalam diri gue. Seperti makan enak pada awal bulan, tapi nyediain kotak berisi obat maagh pada akhir bulan. Atau menambahkan air pada sabun cair yang mau habis, agar tetesan sabun terakhir bisa keluar. Atau juga kebiasaan anak kos yang dalam satu hari lebih banyak mandinya dibanding makannya.
Namun, dibalik penderitaan tadi, banyak hal yang dapat gue petik selama gue menjadi anak kos. Apa yang akan gue jabarkan adalah berdasarkan pengalaman serta opini gue. Jadi andai kata ada perbedaan pengalaman atau pendapat, harap dimaklumi. Karena apa yang kita rasakan sebagai anak kos berbeda-beda. Berikut beberapa hal yang gue dapat selama menjadi anak kos. Enjoy!
1. Adaptasi dengan lingkungan baru
Saat pertama kali menjajakan kaki di kos baru, itu rasanya seperti idul fitri atau dengan kata lain, merasa suci. Gak tau harus mulai dari mana. Gak kenal siapa-siapa, bahkan tetangga kiri dan kanan kamar gue sekalipun. Maka dari itu gue berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kos gue. Gue mulai SKSD—bukan SNSD, sama tetangga kos. Saling lempar senyum awkward kalau berpapasan. Tapi lambat laun, yang tadinya hanya diawalai dari basa-basi sampah serupa, “Mas, maaf, ini kalau mau gabung wifi bilang ke siapa ya?”, dan seiring berjalannya waktu dalam tiap obrolan akan terselip kata-kata mutiara seperti jancuk dan teman-temannya.
Namun semua kembali ke pribadi masing-masing, bagaimana cara diri sendiri beradaptasi dengan lingkungan kos. Karena para penghuni kos sejatinya adalah teman terdekat dalam keseharian kita. Kos gue yang dulu itu merupakan kos dua lantai dengan bentuk letter L. Kamar gue di lantai atas. Dimulai dari seperti bayi yang baru lahir yang nggak tau apa-apa, lama kelamaan gue dan beberapa anak kos lantai atas membentuk aliansi kos lantai atas, yang bermaterikan anak kos lantai atas yang sering main bareng.
Kita bukannya diskriminasi sama anak lantai bawah, tapi ini persoalan arogansi lantai aja. Kita ingin membuktikan bahwa ikatan kekeluargaan anak kos lantai atas sangat kuat. Meskipun ujung-ujungnya bubar juga karena satu per satu mulai pindah. Ironisnya, di saat anak-anak lantai atas mulai keluar karena berbagai macam alasan, komposisi anak lantai bawah masihlah tetap. Gue curiga anak lantai bawah membuat semacam gerakan bawah tanah untuk memutus ikatan anak lantai atas. Sebuah teori yang masih menjadi misteri hingga kini.
2. Tau kebiasaan orang lain
Setelah melewati tahap adaptasi, akan tiba saatnya kita tau kebiasaan para penghuni kos dengan sendirinya. Seperti di kos gue yang sekarang, gue hafal betul setiap malam penghuni kamar sebelah gue selalu mematikan tiap lampu teras sebelum tidur. Hemat listrik, katanya.
Contoh lain yaitu ketika gue tau ternyata ada anak kos yang menyetel lagu santai sebagai nada alarm. Gue tau ini karena lokasi kamar di kos gue berdekatan, jadi gue bisa mendengar alarm dari banyak sumber tiap pagi. Pada lazimnya orang kerap menggunakan lagu atau musik dengan nada yang keras sebagai nada alarm, tapi yang satu ini beda. Ia lebih memilih I Remember-nya Mocca sebagai nada alarm miliknya. Gue sempat ketawa saat pertama kali mendengarnya. Bahkan, gue mencibir kalau ia gak akan bisa bangun dengan lagu seperti itu. Sampai gue tersadar bahwa gue kebangun gara-gara dengar ada yang nyetel lagu Mocca di pagi hari...
3. Tau cara bertahan hidup
Percayalah, bahwa anak kos dapat menjadi orang paling kreatif di dunia pada saat-saat tertentu (baca: kepepet). Beberapa dari contohnya sudah gue sebutkan di awal. Ditambah dengan orang yang pada mulanya tidak bisa origami, mendadak mahir dalam seni melipat pasta gigi yang isinya sudah sangat memprihatinkan agar bisa digunakan.
Jujur, sebelum gue ngekos gue cuma tau satu fungsi dari magic jar, yaitu menanak nasi. Namun, ternyata nama magic jar bukanlah hanya sekedar nama. Magic jar benar-benar magic, like literally. Seketika semua kebutuhan gue dapat tercover dengan adanya magic jar. Seperti menemukan kepingan puzzle yang hilang dari hidup gue. Mulai dari masak mie sampai ngangetin rendang kiriman orang tua, gue lakukan di magic jar. Slogan ‘magic jar for lyfe’ pun tersemat dalam diri gue.
Tapi, seperti sudah ditakdirkan bahwa kebahagiaan dan anak kos bukanlah jodoh, maka secepat itulah kebahagiaan gue direnggut. Magic jar yang gue gunakan terpaksa gue kirim balik ke rumah karena adanya UUD Kos yang mematok biaya tambahan sebesar 25 ribu bagi penghuni kos yang ketauan membawa magic jar. Dan gue salah satu korbannya. Shit.
4. Mandiri
Mandiri merupakan hal pertama yang harus disadari ketika memutuskan merantau jauh dari keluarga dan memilih menjadi anak kos. Karena atas dasar inilah kita sebagai anak kos mampu bertahan hidup.
Kehidupan anak kos memang tidak bisa disamakan dengan ketika di rumah. Saat di rumah, ketika kita bangun kesiangan maka orang tua atau siapapun yang ada di rumah mungkin membantu membangunkan kita dan mencegah kita terlambat ke kampus, namun ketika kita ngekos dan gak mampu untuk bangun pagi dengan sendirinya, maka yang terjadi adalah akan adanya sebuah pesan terror jam 3 pagi kepada salah satu teman kita dengan isi, “Bro, kalau nanti gue kesiangan terus gak masuk tolong tipsen ya, susah tidur nih gue.” Nah, loh.
Mungkin banyak dari anak kos yang sebelum ngekos merupakan anak manja atau males-malesan, tapi setelah menjadi anak kos ia menjadi seorang yang rajin dan berbeda. Tapi, satu yang perlu dicatat ialah saat anak kos pulang ke rumahnya, maka ia akan kembali menjadi anak yang manja. Semandiri apapun dia. Hal ini dikarenakan feel saat di rumah dan di kosan berbeda. Juga, karena anak kos tau, surga seperti itu tak akan bertahan lama.
5. Punya berbagai kisah menarik
Beda kos, beda pula cerita yang mengiringinya. Mulai dari anak-anaknya, keseruan di dalamnya, tingkat rese ibu kosnya sampai ke kisah mistis di dalamnya. Berbagai contoh pengalaman gue di atas adalah hanya sepersekian saja dari banyaknya hal yang gue alami selama menjadi anak kos. Dan gue akan menceritakan kembali pengalaman ini kepada anak cucu gue kelak.
Mungkin pada saatnya tiba, kala gue rindu dengan Jogja, gue mengajak anak-anak gue mengunjungi tempat tinggal ayahnya semasa kuliah. Dan disaat-saat seperti itu gue berharap anak-anak gue nggak bertanya, “Oh, jadi di sini tempat kita dibuat, Yah?”
---
Nah, itu segelintir cerita gue mengenai hal-hal yang gue dapatkan selama menjadi anak kos. Dan cerita gue masih akan bertambah mengingat gue masih punya satu tahun masa studi di tanah rantau ini. Mungkin beberapa dari kalian punya kisah (penderitaan) yang sama, atau bahkan nggak ada kesamaan sama sekali, tak apa, itu merupakan sesuatu yang biasa. Karena perbedaan lah yang membuat anak kos menjadi satu kesatuan utuh. Oke, Jaka Sembung bawa golok emang.
Buat kalian yang mau membagi pengalaman sebagai anak kos, bisa ditulis di kolom komentar di bawah. Gue pamit undur diri. Ciao!
0 comments:
Post a Comment