source: genesistransformation.files.wordpress.com |
Akhir-akhir ini gue sedang sibuk bermain dengan kopi. Bukan, bukan karena gue nggak punya teman manusia lain sehingga gue memutuskan untuk berteman baik dengan kopi (which is juga menyenangkan), melainkan karena gue kembali merasakan perasaan yang sama seperti ketika gue bertemu dengan dunia tulis menulis dulu. Atau secara singkat; gue jatuh cinta dengan kopi.
Sebetulnya gue udah lama gemar minum kopi, tapi hanya sebatas itu saja; seorang penikmat kopi. Namun sejak gue mencoba mencari tahu lebih dalam tentang kopi, mulai dari bentuk ceri hingga tersaji dalam gelas, rasa itu mulai timbul. Rasa ingin tahu lebih dan lebih lagi tentang kopi. Berbagai pertanyaan tak henti bersua di dalam kepala gue, seperti kenapa rasa antar biji kopi bisa sedemikian berbeda? Kenapa ada kopi yang memiliki rasa selayaknya teh? Padahal jelas-jelas itu kopi? Kenapa suhu berpengaruh pada metode filter, dan banyak kenapa-kenapa lain yang singgah di kepala dan menunggu antrian untuk diutarakan.
Sejak itu pula gue memulai kembali kebiasaan lama yang sempat terhenti, keliling kedai kopi di Jogja untuk menikmati kopi mereka dan bercengkrama dengan mereka yang meraciknya. Semakin gue mendalami kopi dan semakin intensnya gue mengunjungi kedai kopi, gue turut memerhatikan pengunjung lain yang juga datang ke kedai tersebut. Apa yang mereka pesan, apa yang mereka kerjakan atau lakukan dan bersama siapa mereka menghabiskan waktunya--juga secangkir kopi, di kedai kopi tersebut.
Sebuah pernyataan pernah dilontarkan oleh Ben, karakter dari film Filosofi Kopi, yang mengatakan bahwa kopi yang nikmat akan bertemu dengan penikmatnya sendiri. Gue percaya itu. Gue percaya kalau ada orang yang datang ke kedai kopi hanya untuk mencicipi espresso-nya. Ada orang yang tidak suka kopi yang terlalu pahit sehingga ia lebih memilih cappuccino atau latte. Ada yang suka berbagai single origin dengan seduhan filter dan mencoba menikmati keanekaragaman rasanya. Dan ada juga yang suka kopi tubruk dengan pisang goreng dan sebatang rokok sebagai pelengkapnya.
Entah apapun yang dipesan, semua kembali kepada selera serta lidah orang itu sendiri. Setiap kopi punya penikmatnya sendiri. Setiap hati pasti punya pasangannya sendiri. Tiap gue mendengar orang berkata, "Ah, kopinya nggak enak. Pahit banget." Di situ gue berpikir kalau itu bukan salah kopinya, karena gue percaya kopi tidak pernah salah. Bisa jadi yang menurut dia pahit, dapat terasa enak di lidah gue. Mungkin kalau ia mencoba 'kopi manis' seperti cappuccino, mungkin ia akan berpendapat sebaliknya, "Ini dia! Ini baru enak." Karena kopi tidak pernah salah, ia hanya belum berjumpa dengan penikmatnya saja. Selayaknya hati, hati tidak pernah salah, ia hanya belum berjumpa dengan takdir sejatinya saja.
Keinginan gue sebagai penikmat kopi perlahan merangsek ingin menjadi bagian dari mereka yang berdiri di belakang bar dengan dedikasi tinggi serta apron yang melekat di tubuhnya. Mimpi gue sudah berada jauh di depan sana, tapi untuk mencapai hal itu gue menyadari bahwa gue masih perlu banyak belajar. Belajar untuk lebih menghargai kopi, dan menghargai pembuatnya, serta mereka yang pertama kali menanam tanaman kopi di perkebunan sana.
Tulisan ini dibuat berdasarkan kecintaan gue terhadap kopi yang semakin bertambah belakangan ini. Gue yakin pada secangkir kopi, selain terdapat kafein, di situ juga mengandung cinta pada tiap tetesnya. Cinta yang kelak mempertemukan kopi dengan penikmatnya. Siapa tahu juga mempertemukan antar penikmatnya. Di sebuah kedai kopi kecil. Dan membangun cerita bersama. Dengan secangkir kopi digenggaman masing-masing.
0 comments:
Post a Comment