Friday, July 21, 2017

Chapter X - Bonjour, France



Chapter I-IX bisa dibaca di sini

---

Laila

Prancis, 2015

Aku terbangun di sofa ruang tengah dengan kepala sedikit pening. Aku rasa, aku masih terkena jetlag meski sudah berada di sini selama dua hari. Ditambah, kondisi apartemen ini lebih layak dijadikan tempat syuting film hantu dibanding tempat singgah ketika pertama aku tiba, dan baru selesai kubersihkan siang hari tadi sehingga membuat energiku terkuras habis yang membuat aku tertidur di sofa sejak siang sampai menjelang malam hari.

Di perjalanan, Mas Fahri sudah mewanti kepadaku perihal kondisi apartemennya yang mengkhawatirkan. Aku menanggapinya dengan santai, ku pikir seorang berpenampilan necis sepertinya tak mungkin seburuk itu dalam mengurus tempat tinggalnya. 

Hingga kami sampai di depan pintu, Mas Fahri kembali meyakinkan agar aku tidak sampai shock melihat berbagai barang berserakan dimana-mana.

“Ini orang lebay banget sih,” batinku waktu itu. Aku mengangguk yakin. Mas Fahri memasukan kunci ke lubang pintu, memutarnya perlahan hingga bunyi ‘krek’ terdengar menegangkan. Ia mendorong pintunya dengan pelan, leherku mendongak tak sabar memastikan perkataannya.

“ASTAGFIRULLAH!”

Aku tercengang. Mataku terbuka selebar-lebarnya, mulutku pun tanpa sadar sedikit menganga. Aku menatap Mas Fahri dengan mata memicing. Ia tertawa kecil dengan tatapan kan-udah-aku-bilang miliknya.

Aku tak menyangka hari pertamaku di negeri yang menjadi salah satu destinasi wajib di Eropa bisa seburuk ini. Pakaian kotor bertebaran disembarang tempat. Makanan yang belum dibuang sebelum Mas Fahri pulang ke Indonesia—yaitu dua minggu lalu, masih ada di posisi sama seperti sebelum ditinggalkan. Sampah makanan ringan serta kaleng minuman tergeletak begitu saja di meja depan televisi, bahkan hingga jatuh ke kolong meja.

Tak sampai di situ, kondisi serupa juga terpampang di dua kamar apartemen ini. Entah karena malas membersihkan salah satu kamar, sehingga Mas Fahri memilih tidur di kamar lain dan membuat kondisi sama buruknya di kamar itu atau memang sebelumnya tempat ini merupakan war zone bagi tentara Prancis. Aku tak habis pikir.

“Maaf ya, La, kemarin aku lagi ngerasa stres. Jadi nggak sempat membereskan ini semua.” Iya, Mas, aku juga stres karena harus berpisah dengan orang yang seharusnya mengenakan cincin yang sama denganku pada kondisi ini. Tapi seharusnya kamu juga mikir dong, Mas, kalau dalam waktu dekat akan ada perempuan yang menetap di sini untuk waktu yang tidak ditentukan.

Aku tak menyuarakan yang satu itu.

Setelah menempuh perjalanan selama hampir satu hari dari Jakarta menuju Marseille, kemudian ekstra enam puluh menit lagi perjalanan dengan TGV ke tempat tujuan akhir,  Avignon, menjadikan tulang-tulang ditubuhku seakan terlepas semua. Hal ini membuat kekesalanku terhadap kondisi apartemen yang mengenaskan tersumbat sementara. Aku hanya menyingkap pakaian Mas Fahri yang berhamburan di atas kasur, lalu membanting tubuh ke kasur dan segera memejamkan mata. 

Belum banyak aktiftas yang kulakukan selain membersihkan ruangan mengerikan ini. Namun tadi pagi tetangga sebelah barat apartemen kami, Leroy Devaux, datang dengan membawakan croissant terenak yang pernah aku makan. Ia tinggal bersama istrinya, Nathalie Devaux.

Melalui perbincangan singkat, aku mengetahui ternyata ia mempunyai boulangerie, atau toko kue, di Cannes, kota sebelah tenggara Avignon. Toko kue itu kini dikelola oleh putranya dan mereka tinggal di Avignon sejak 8 tahun lalu, membuka usaha home bakery lalu menjualnya dengan sistim door to door. Pelanggannya tak banyak, tapi mereka pelanggan yang setia karena rasa croissant atau baguette yang ditawarkan Leroy tak mungkin ditolak lidah mereka.

“Saya bisa sedikit bahasa Indonesia,” ujarnya dengan aksen khas bule yang mencoba pelafalan bahasa Indonesia. “Fakhri yang mengajarkan saya.” Aku tertawa pada caranya menyebut nama ‘Fahri’. Menurutku itu cukup lucu.

Leroy, pria 60 tahun yang kerap mengenakan flat cap tuk menutupi rambut putihnya, memiliki kontur wajah kotak dengan kumis putih yang menutupi setengah dari bibir atasnya. Tubuh tambunnya mungkin diakibatkan banyaknya alkohol yang ia konsumsi. Kepribadiannya hangat, sehingga saat berbincang dengannya aku merasa seperti seorang anak yang merindukan pembicaraan dengan ayahnya. Dan aku memang merindukan itu.

Leroy sadar aku belum menguasai bahasa Prancis sehingga dengan berbaik hati ia mengajakku bicara menggunakan bahasa Indonesia meskipun dengan cara bicaranya yang lucu dan terpatah-patah.

“Istri anak saya cantik seperti kamu,” ucapnya sambil tertawa renyah. Aku tersipu mendengarnya.

Obrolan terhenti mengingat masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan. Leroy berjanji akan memberi kami kue buatannya selama seminggu ke depan, lalu minggu berikutnya kami harus membayar kue miliknya seharga dua minggu. Ia berlalu sambil tertawa meninggalkanku yang pula tergelak di ambang pintu.

Pasca seluruh pekerjaan rumah beres, aku beranjak ke dapur untuk menyeduh teh. Mungkin dengan ini pusing di kepalaku bisa reda.

Aku berjalan menuju balkon dengan tangan menggenggam secangkir teh hangat. Langit jingga mulai takluk pada warna biru tua. Beberapa bangunan sudah menyalakan lampu menandakan gelap segera tiba. Aku memposisikan kedua lenganku di atas pagar pembatas dengan sesekali menyesap teh dari gelas yang ku pegang.

Aku melirik arloji. 20.15.

Sebentar lagi Mas Fahri pulang. Aku melihat orang berlalu-lalang di bawah sana dari posisiku di lantai empat. Rue—jalan, Viala masih nampak ramai dengan aktifitas orang-orangnya, begitu juga Jalan Republik di sebelah kananku yang sepanjang jalannya banyak ditemui berbagai macam toko, mulai dari sepatu hingga tas. Mungkin lain hari aku berbelanja di salah satu toko itu.

Aku suka melihat kondisi jalanan yang didominasi manusia, bukan mesin. Aku juga suka bagaimana orang-orang di sini dapat berjalan dengan tenang di trotoar tanpa harus khawatir mendapat teguran dari pengendara motor yang mencoba mencari ‘jalur alternatif’ akibat dari jalan utama yang sesak.

Aku teringat ketika aku sedang berjalan santai di daerah Sudirman. Kala itu aku sibuk dengan ponselku dan hanya sesekali melirik ke depan untuk memastikan tidak menabrak siapapun. Aku yang juga menggunakan earphone tiba-tiba terdengar bunyi nyaring secara samar. Lalu ku lepas satu earphone ku dan suara nyaring itu semakin memekakkan telinga. Aku berbalik arah dan mendapati pengendara motor dengan wajah geram terus menekan klakson.

“Woy Mbak! Budek ya? Minggir, gua mau lewat!”

Lah? Siapa lo berani nyuruh gue buat menepi dari trotoar? Argh, ingin berkata kasar! Umpatku kala itu, dalam hati.

Aku memberinya jalan. Saat ia tepat melewatiku, ia menoleh dan memberi tatapan yang entah aku artikan apa, mungkin ‘nah gitu dong dari tadi kek’ yang aku balas dengan pandangan sinis.

Melihat kondisi di sini tidak seperti di Indonesia, sepertinya aku bisa merasakan menjadi pejalan kaki seutuhnya yang belum pernah aku rasakan di Jakarta.

Berbicara mengenai Jakarta dan Indonesia, pikiranku langsung merujuk satu nama; Andre. Andre apa kabar ya?  Sekarang di Indonesia pukul tiga sore, hmm mungkin ia sedang bersiap menunaikan ibadah shalat ashar. Andre nyariin aku nggak ya? Kalau iya, mungkin segala cara ia usahakan untuk mencari keberadaanku. Kalau enggak, ah, aku nggak yakin dengan satu itu. Aku jahat ya, Ndre, udah ninggalin kamu gitu aja tanpa kejelasan? Bahkan tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Aku bahkan mempertanyakan ulang keputusanku, ini demi kebaikan kita, atau hanya aku? Aku nggak tahu, Ndre, sekarang aku merasa udah gila karena pikiranku terus berbicara mengenai ini.

“Kalau melamun terus di situ, nanti bisa kesambet loh.”

Aku menoleh. Mas Fahri.

Aku memutar badan, punggungku bersandar pada pagar pembatas. “Barusan pulang, Mas?”

“Enggak sih, 5 menit lalu kayaknya, ngeliatin kamu bengong dulu,” ucapnya sambil menaruh  kotak hitam di atas meja depan televisi. “Sini, La, makan dulu. Pasti belum makan, kan?”

Benar. Perutku berontak mendengar kata ‘makan.’

Aku mendekat ke sofa tempat Mas Fahri duduk. Aku tertegun ketika melihat meja penuh dengan sushi. California rolls dengan tepung ayam dan udang, salmon rolls yang menggiurkan, lalu ada yang dinamakan rouleaux de printemps, semacam lumpia yang di dalamnya terdapat udang, wortel hingga sayuran namun dengan kulit yang lebih tipis cenderung transparan. Kemudian ada sushi yang di bagian atas dan bawahnya terdapat kiwi untuk makanan penutupnya.

“Mas, ini kita nggak lagi ngadain syukuran seapartemen, kan?”

Ia menatapku sejenak, lalu terbahak.

“Ini bukan porsi kamu ya? Désolé alors. Semisal nggak habis, ditaruh kulkas aja buat besok sarapan, maaf ya sekali lagi.” Aku memaklumi. Mas Fahri belum tahu banyak tentang aku—makanan kesukaanku, hobiku, apa yang aku benci, termasuk ini, seberapa banyak kapasitas makanan yang mampu masuk ke lambungku. Aku nggak takut gemuk, bahkan aku sering makan tanpa mengkhawatirkan kondisi perutku, tapi ‘sering’ bukan berarti porsinya ‘banyak’, untuk kasus ini...just too much

Beda cerita kalau Andre yang menyodorkan makanan sebanyak itu untukku, aku nggak berani jamin esok hari keberadaannya masih eksis di dunia ini.

Aku memegang sumpit dan mengambil satu yang menurutku paling enak. Aku lahap satu itu. Enak. Aku ambil yang lain. Enak juga. Sumpitku bergerak ke arah lain. Ini juga enak. Coba yang di sebelah sana. Sial, enak. Bahaya kalau terus begini.

Tanpa kusadari Mas Fahri ternyata belum mengambil satu makanan pun. Ia terpaku menatapku sambil menahan tawanya.

“Mas, jangan diliatin gitu ah.” Aku menaruh sumpit di meja, melirik ke arahnya sambil mengunyah dengan tanganku ku tempatkan menutupi mulutku.

“Tadi shock liat porsinya, sekarang malah kayaknya kamu yang mau ngehabisin sendiri.”

“Abis enak. He he he he he he he he,” kataku malu-malu. “Beli dimana sih ini, Mas?”

“Sushi Ball di Saint-Etienne, nanti kapan-kapan kita makan di sana.”

Aku terdiam sejenak. “Saint-Etienne, Mas? Bukannya itu jauh ya?”

Mas Fahri menepuk keningnya. “Bukan kotanya, di dekat sini ada Jalan Saint-Etienne, tadi sekalian lewat kok, La.”

“Oooooh, kirain, he he he,” tawaku canggung.

Akhirnya 3/4 porsi sushi tadi masuk dengan penuh penyesalan ke dalam perutku. Setelah tak ada suhsi tersisa rasa bersalahku muncul melihat Mas Fahri hanya makan sedikit padahal seharusnya ia yang banyak makan setelah seharian bekerja. Aku meminta maaf berkali-kali, sungguh, yang tadi itu khilaf, Mas Fahri berkata tak apa sama banyaknya.

Oh ya, aku belum berbicara tentang Mas Fahri, pria yang baru menginjak usia kepala tiga, yang berarti sama dengan Mbak Aya yaitu berjarak 7 tahun denganku. Rambutnya hitam bergelombang dan mempunyai lesung pipi yang tertanam di kedua pipinya. Raut wajahnya keras menggambarkan ia seorang tegas padahal hatinya lembut. Ia lulusan Universitas Sorbonne di Paris dan kini bekerja sebagai akuntan di Marseille.

Sewaktu di pesawat aku pernah menanyakan hal ini padanya. “Mas, kenapa kerja di Marseille tapi tinggal di Avignon? Aku ngeliat di Google Maps jaraknya satu jam perjalanan. Apa nggak capek?”

Dia menatapku, nampak ragu untuk menjawab pertanyaan tadi. Namun akhirnya ia menjelaskan kalau sedari masa kuliah dulu ia ingin tinggal di Avignon bersama Florencia, mantan kekasihnya yang berkebangsaan Belanda. Ia jatuh cinta dengan Avignon sewaktu liburan musim panas tahun ketiga ia di Sorbonne. Mas Fahri suka suasana abad pertengahan yang menjadi ciri khas dari Avignon. Banyak kastil masih berdiri dengan angkuh menampakkan kegagahannya telah merebut hatinya. Sejak saat itu Mas Fahri dan Florencia menetapkan bahwa Avignon adalah tujuan akhir mereka.

Setelah menabung pada masa awal-awal bekerja di Paris, ia akhirnya sanggup membeli satu apartemen sederhana di Rue Viala, yaitu apartemen yang kami tempati sekarang. Lalu ia pindah ke satu kantor yang bertempat di Marseille--sampai sekarang, sedangkan Florencia sempat bekerja di biro hukum di Avignon. Ia tak keberatan dengan perjalanan super pagi, dan pulang malam hari. Karena tinggal di Avignon adalah keinginannya, jadi ia tak merasa itu sebuah masalah besar.

“Awalnya sih kerasa banget capeknya, La, tapi mungkin karena udah terbiasa, jadi rasa capek di perjalanan udah nggak kerasa banget kayak dulu.”

Aku mangut-mangut. Berhubung dia menyinggung tentang Florencia, aku turut penasaran dengan kisah mereka. Mas Fahri garuk-garuk bagian belakang kepalanya mendengar keingintahuanku.

“Yaaa, we broke up, La, gimana lagi? Dia nggak habis pikir sama pikiran orang tua aku yang dengan mudahnya mengakhiri hubungan kami yang udah bertahun-tahun. Bahkan kalau masalahnya agama, Floren udah bersedia untuk pindah. Akhirnya dia blame aku karena aku nggak bisa nolak keinginan Mama, dia ngira aku udah cinta mati sama kamu jadi dia berpikir itu bukan maunya Mama, tapi mauku,” ia menghentikan kalimatnya untuk menarik nafas sejenak. “Yaudah, kita berantem hebat, putus dan dia milih pulang ke Belanda. Jujur, aku stres, La, karena kita pacaran udah lama tapi harus berakhir dengan seperti ini.” Roman wajahnya menunjukkan kesedihan yang nyata. Saat itu juga, Andre melintas dipikiranku. Dan mungkin kondisi apartemen yang sangat sangat berantakan itu tak lepas dari masalah yang Mas Fahri alami sendiri.

“Kamu sendiri gimana, La?” Aku tersentak.

“Kalau nggak salah, bukannya kamu juga punya pacar ya? Artis, kan?” Ia bertanya lagi.

“Iya, Mas, tapi...,” aku ragu untuk mengatakan itu.

“Tapi?” Nada bicaranya agak ditekan dan ia menaikkan satu alisnya.

Aku menarik nafas panjang. Sepertinya perjalanan panjang di udara saja masih belum cukup menguras tenagaku.

“Aku nggak seperti Mas, aku pergi tanpa pamit.” Itu dia. Kalimat pertama sudah dilontarkan, kalau sudah begini maka harus kuteruskan.

Tak ada perubahan ekspresi pda roman Mas Fahri. Aku melanjutkan kisahku.

“Aku terlalu pengecut untuk bilang mengenai ini sama Andre.” Aku melengos, menatap kabin pesawat memerhatikan pramugari yang sibuk menawarkan makanan kepada tiap penumpang.

Selesai mendongeng timbul perasaan lega. Aku merasa seperti curhat dengan Mbak Aya, mungkin faktor kesamaan umur diantara mereka berdua yang menjadikan aku nyaman dengannya. Sejak saat itu aku dan Mas Fahri lebih condong ke abang-adik daripada suami istri.

---

Hari-hari berikutnya di Avignon aku gunakan untuk menyisiri tiap sudut kota ini. Aku mengunjungi berbagai tempat, diantaranya Palais des Papes, sebuah istana peninggalan abad pertengahan yang terdiri dari balai kota hingga teater. Berada di tengah halaman istana seakan menarik ragaku mundur ke ratusan tahun lalu menuju masa dimana Paus Benedict III mulai membangun istana sebagaimana yang terpampang di hadapanku ini. Aku takjub melihat bagaimana megahnya dua belas tower batu yang melintangi istana ini. Kemudian di lain hari aku pergi ke Pont d’Avignon, jembatan abad pertengahan yang terkenal di barat laut pusat kota Avignon. Jembatan ini membentang di atas sungai Rhône dan memiliki panjangnya sekiar 900 meter. Aku datang pada sore hari ketika langit nampak keemasan memamerkan keindahannya, berada di sini tanpa mengunggah fotoku ke media sosial sungguh menyiksa.

Namun dari beberapa tempat yang aku kunjungi, aku punya dua lokasi yang menjadi destinasi favoritku. Pertama Rocher des Doms, taman yang terletak di utara Avignon. Di salah satu sudut taman ini terdapat pohon pinus yang berjejer rapih. Rerimbuan pohon menjadi nilai plus karena membuat suasana menjadi sejuk. Tidak jauh dari deretan pohon itu terdapat bangku taman yang biasa aku hampiri untuk menulis atau duduk sembari menyantap makanan ringan melihat orang-orang menikmati harinya.

Kedua ialah Rue des Teinturies, sebuah surga kecil di Avignon. Jalan ini dipenuhi berbagai restoran, kafe hingga teater dan di sisi satunya mengalir sungai Sorgue, yaitu sungai kecil yang di ujungnya terdapat kincir air yang menambah kesan pedesaan di jalan ini. Pohon rimbun sepanjang jalan ini menambah kesan nyaman ketika hendak menyusuri Rue des Teinturies. Aku senang duduk di pembatas batu tepi sungai Sorgue dekat kincir air dengan laptop terbuka di pangkuanku. Biasanya aku menulis sembari mengenakan earphone untuk mendengar lantunan musik akustik, namun kala duduk di sini, telingaku terbuka lebar mendengarkan gemericik air yang secara tak langsung menjadi lagu latar bagi jari-jariku menari di atas keyboard.

Setelah menelusuri kota ini, aku menjadi paham mengapa Mas Fahri memilh Avignon sebagai tempat tinggalnya. Mengapa ia rela bolak-balik ke Marseille dan tidak menetap di sana. Aku mengerti setelah kakiku melangkah lebih jauh, mataku menatap lebih banyak, dan hatiku merasakan lebih dalam keseluruhan dari kota ini.

“If you are coming to visit Provence, don't stop in Avignon! Once here, like a siren, the city will entrance you and you won't want to leave!”

Aku merasakan hal yang sama seperti yang Mas Fahri rasakan.

Aku jatuh cinta dengan kota ini.

Namun aku di sini bukan bersama orang yang aku cintai.

I wish you were here, Ndre.

to be continued

Friday, July 7, 2017

Chapter IX - A Truth



Chapter sebelumnya dapat dibaca di sini

---

Laila

Aku terbangun dari tidurku. Bersiap menjalani hari baru dengan perasaan lama. Rasa bersalah dan menyesal yang tak bisa dilupakan, bahkan untuk mencoba sekali pun.

Aku duduk di tepi ranjang dengan rambut berantakan. Aku heran dengan mereka—perempuan, yang gemar mengunggah foto mereka mendusin di Instagram dan mendapati wajah mereka sudah dihiasi make up tipis juga rambut yang begitu tertata. Sedangkan aku? Rambut acak-acakan, muka beler seakan semalam habis menenggak berbotol alkohol serta kaos yang kugunakan kerap melorot mempersilakan bahu diterpa matahari yang menyusup dari balik tirai.

Setelah memastikan nyawaku terkumpul, aku bangkit dari ranjang, melakukan streching ringan untuk meregangkan otot tubuhku.

“Another day, another pain, old mistakes, same feeling,” desisku berulang kali dalam pemanasan dengan mata terpejam.

Kegiatan ini berlangsung selama 5 menit. Aku berjalan gontai menuju pintu. Aku melihat jam di ruang tengah menunjukkan pukul setengah 10. Hmmm, lebih cepat satu jam dari biasanya.

“Eh, Si Kebo udah bangun,” sambut Mbak Aya, kakakku, yang sedang menonton televisi dengan gelas berisi teh digenggamannya. Ia menoleh ke belakang saat tahu pintu kamarku terbuka.

Aku mengabaikannya. Aku bawa langkah yang kian berat ini menuju sofa tempat Mbak Aya duduk, mata Mbak Aya mengamati gerakanku yang super lamban hingga aku membanting bokongku di sofa dan menaruh lenganku di pinggirannya, kemudian memposisikan kepalaku di atas lenganku. Mataku terpejam kembali.

“Eleh eleeeeh,” suara Mbak Aya melengking. “Baru juga bangun malah langsung tidur lagi. Ini mah pindah tempat doang namanya!” cerocosnya. Aku balas dengan gumaman.

“Bangun, Lailaaa!” Mbak Aya melempar bantal yang ada di pangkuannya kepadaku.

“Ih, apasih mbaak! Orang masih ngantuk juga!” ujarku kesal tanpa membuka mata.

“Mbak udah senang kamu bisa bangun pagi, walaupun nggak bisa dibilang pagi juga, sih. Eh, ternyata masih mau tidur juga. Bangun geura ih, katanya mau ke ngajak Mbak ke kafe.”

“Iya ih, kafenya juga tutupnya masih lama. Masih ngantuk, Mbak, semalam tidur larut soalnya,” balasku semakin gondok.

“Makanya kosongin itu pikiran. Kamu lagi stres sih jadi tidurnya larut terus. Ini mumpung Mbak lagi di sini jadi bisa ngomelin kamu,” aku nggak tahan lagi mendengar omelan Mbak Aya. Aku membuka mata, membenarkan posisi dudukku dan kupasang muka cemberut dengan pandangan ke arah televisi yang menayangkan Ant Man di HBO.

“Tong cemberut kitu ah. Kayak anak kecil aja kamu mah, La, udah tua juga,” kata terakhirnya membuatku mengalihkan mata ke arahnya. “Cie sadar kalau dibilang tua.” Ia tergelak. Ingin rasanya kucengkram lehernya agar ia diam.

“Nih, La, minum teh dulu biar enakan paginya,” Mbak Aya menyodorkan gelasnya. Awalnya aku enggan menerimanya karena masih kesal, tapi aku teringat semenjak bangun tadi aku belum minum dan kini tenggorokanku terasa kering.

Kekesalanku memudar setelah air teh mengaliri tenggorokanku. Benar apa yang ia katakan, aku merasa lebih rileks. “Mbak, Kenji mana?” ku sudahi pertengkaran pagi hari dan mencoba membangun percakapan normal dengan bertanya tentang Kenji, keponakanku.

“Lagi anteng sama Bi Asih di halaman belakang,” Kenji Satria Rahardja. Anak lelaki tampan Mbak Aya yang berusia 6 tahun. Nama Kenji diberikan karena ia lahir di Negeri Sakura. Mbak Aya tinggal di Jepang sejak 9 tahun lalu. Suaminya, Mas Angga, merupakan seorang pengajar mata kuliah Bahasa Indonesia di Tokyo University of Foreign Studies.

Mbak Aya tinggal di Setagaya, salah satu distrik di Toyko dan membuka usaha kedai kopi kecil-kecilan yang turut menjual makanan Indonesia, juga tempat tinggal bagi mahasiswa yang kuliah di Jepang.

Sebelum semesta mempertemukan aku dengan Andre, aku beberapa kali mengunjungi Mbak Aya. Bisa dibilang, rumah Mbak Aya merupakan escape plan ku dari segala tekanan yang aku terima, baik dari perkuliahan maupun dari Ibu.

Menulis di Kinuta Park adalah aktifitas mayorku jika sedang menetap di sana. Sungguh, tak ada tempat yang begitu mudahnya mendatangkan inspirasi selain Kinuta Park. Taman yang begitu indah dalam segala musim, khususnya ketika sakura mulai mekar. Aku merasa Tuhan berbaik hati memberikanku kesempatan menikmati bagian kecil dari Surga-Nya ketika duduk di bawah pohon sakura dan melihat daun merah muda berguguran karena menerima sentuhan lembut angin. Dan saat momen itu tiba, aku tak acuh lagi dengan laptop di pangkuanku, atau apapun itu yang membawaku ke sana.

Mbak Aya tiba di Indonesia 4 hari silam. Setelah pertemuan terakhirku yang tidak-terlalu-berjalan-baik dengan Andre, aku acap menghubungi Mbak Aya tuk mengatakan betapa gegabahnya aku dalam mengambil keputusan itu.

Sejujurnya, aku ingin ke sana, ke kediaman Mbak Aya. Akan tetapi sepulangnya aku dari Prancis dan mendapati apa yang aku harapkan urung menjadi nyata, keputusan pergi ke Jepang malah semakin menasbihkan diriku sebagai pengecut yang terus lari dari masalahnya.

Alhasil tak hentinya aku menghubungi Mbak Alya melalui media sosial. Karena merasa gusar terus menerus mendengar keluhanku, Mbak Aya memutuskan pulang ke Jakarta, membawa Kenji dan menitipkan kedainya pada mahasiswa yang tinggal di rumahnya.

“Mereka nggak kerepotan tuh, Mbak, diberi tanggung jawab buat ngurus keseluruhan kedai?” tanyaku sewaktu menjemput Mbak Aya di bandara.

“Ah, mereka udah biasa kok. Lagi pula, sebagai imbalannya Mbak memotong biaya sewa tempat tinggal untuk bulan berikutnya. Mahasiswa mana sih yang nggak suka kosannya dikasih diskon setengah harga?”  jawabnya enteng.

---

 “Tanteh...tanteh, mau kemanah?” suara itu menyambutku ketika aku keluar kamar dengan pakaian rapih. Kenji melihatku dengan mata bulatnya yang berwarna cokelat muda. Aku suka caranya berbicara karena selalu ada huruf ‘h’ mengekor di belakangnya.

Aku berjongkok agar sejajar dengannya. “Tante pergi ke dokter sebentar sama Bunda,” dustaku seraya mengusap rambutnya yang lurus.

“Kenji, kamu di rumah dulu ya sama Bi Asih, Bunda kelur bentaaar aja,” Mbak Aya yang baru selesai berhias menghampiri Kenji yang berada di dekatku. Kenji tergolong anak cerdas dan tidak rewel. Ia tak keberatan jika harus ditinggal di rumah bersama Bi Asih. Toh, ia sibuk bermain dengan mainannya yang menumpuk di salah satu kamar meskipun keluargnya jarang pulang ke Indonesia.

“Tapih, tapih, pulangnyah beliin popkoln yah?” dan itu syarat kedua Kenji--dibelikan popcorn. Aku melihat Mbak Aya yang tersenyum padaku. Sudah pasti Kenji menyukai popcorn karena Bundanya termasuk maniak cemilan yang biasa disantap ketika menonton film tersebut.

Aku mengacungkan jempol pada Kenji, sedangkan Bundanya merunduk untuk mencium keningnya.

Kafe tempat kami tuju berada di daerah Kemang, tak jauh dari rumah kami di Cilandak. Aku senang dengan design interior kafe ini; didominasi warna hitam yang dilengkapi kursi, meja dan bar berbahan kayu. Kami mengambil tempat duduk di sudut ruangan dekat kaca besar yang mempersilakan sinar matahari masuk memberi cahaya natural ke seluruh ruangan.

“Jadi, gimana? Kamu sama Andremu?” tanya Mbak Aya tanpa basa-basi seraya menyeruput cappuccino-nya.

Ia terbelalak sebelum aku menjawab pertanyaannya. “Gila, enak banget cappuccino-nya! Pakai house blend apa, ya, mereka? Duh, La, asli enak banget! Kira-kira mereka mau kirim ke Jepang nggak, ya?” girang Mbak Aya. Aku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum.

“Ah, nanti aja deh biar Mbak tanya, sekarang kamu dulu,” ia menaruh cangkirnya, menegakkan punggung dan melipat tangan di atas meja. Ia dalam posisi siap untuk mendengarkan.

Aku bersandar pada kursi, menatap tepat pada pupil mata Mbak Aya, lalu menghela nafas.

“Nggak gimana-gimana, Mbak. Setelah malam itu kita nggak pernah ketemu lagi. Bahkan saling mengirim kabar via media sosial pun tidak. Aku merasa...merasa bahwa pada malam itu seakan tak ada kejadian apa-apa. Kita kembali ke kehidupan masing-masing. Kehidupan sebelum kita bertemu, lagi. Dia dengan band dan kafenya, sedangkan aku dengan kebiasaanku dulu; mengikuti kegiatannya lewat akun kedua instagramku. Beruntung dia punya ratusan ribu pengikut, sehingga tak mungkin mengenali siapa yang mengikuti dia,” aku berhenti sementara tuk menyesap kopiku, Malabar Natural—kopi kesukaan Andre.

Mbak Aya tak akan bersuara sebelum aku menyelesaikan ocehanku, maka aku melanjutkan, “Aku nggak tau apa yang ada dipikiran dia sekarang. Dia berhak merasa apa saja kepadaku—marah, benci, ilfeel. Apapun. Mbak, apa ada yang bisa melebihi ini? Saat kita merasa lega karena mengutarakan sesuatu, namun menyakitkan pada saat bersamaan.”

Aku memutar-mutar gelasku.

“Terkadang aku turut menyalahkan Ayah dan Ibu. Terutama Ayah, pikiran Ibu jadi bebal karena tindakannya yang meninggalkan kita untuk...,” ku raih tisu dari dalam tasku. Aku terisak. Air mataku menggenang spontan. “Untuk tinggal bersama perempuan sialan itu. Saat itu Mbak Aya sudah berpacaran dengan Mas Angga dan Ibu menyetujui hubungan kalian, karena kalian telah menjalin hubungan sejak SMA—dimana suasana sangat baik-baik saja masa itu. Sedangkan aku? Aku yang baru memasuki SMP harus terus hidup di bawah sifat protektif Ibu, terutama dalam berteman dengan lelaki. Bahkan...bahkan sampai Ibu meninggal. Sehingga aku harus meninggalkan Andre dan bersanding dengan lelaki pilihan Ibu, walaupun kita nggak saling mencintai.” Air mata Mbak Aya nampak memenuhi tepian matanya, bersiap untuk jatuh.

“Aku ingin mengutuk kebebalan Ibu. Aku tau Ibu trauma setelah Ayah pergi. Aku tau Ibu ingin aku tidak merasakan penderitaan yang sama, meskipun aku mendapat penderitaanku sendiri. Kalau Ibu tidak bersimpuh memohon padaku mengikuti kemauannya, aku nggak mungkin ninggalin Andre. Kalau Ibu tak mengatakan itulah permintaan terakhirnya, bahwa ia ingin melihatku menikah dengan pria pilihannya...aku...” nafasku tercekat selama beberapa saat. Mbak Aya menyapu lenganku dengan tangannya.

Entah apa yang Tuhan inginkan dariku. Ia selalu mengujiku dengan memberi pilihan sulit yang mampu menguras emosiku untuk menentukan mana yang terbaik.

Andre dan Ibu. Salah satu contoh ujian yang Ia berikan. Aku harus memilih antara dua orang terpenting dalam hidupku.

Aku menemukan warna hidupku kembali semenjak berjumpa dengan Andre. Ia mampu memberikan secercah cahaya terhadap jalan ke depanku yang selama ini kelam. Namun, aku terlambat. Aku membuang kesempatan emas yang sempat Ibu berikan kepadaku; memilih lelaki. Kesempatan yang selama ini tak diberikannya padaku.

Hanya dua. Dan dua pria yang singgah dihidupku sebelum Andre tak mampu membuat Ibu memberikan restunya. Sehingga ia lekas memilihkanku pendamping yang menurutnya tepat, tapi tidak bagiku.

Jikalau ditanya, ‘Kenapa Andre nggak diperjuangin?’, jika ada yang bisa melunakkan kedegilan Ibuku, maka aku bersedia melakukan apapun yang ia inginkan. Selama masih dalam batas wajar. Dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Andre.

Dan memilih Andre tanpa memikirkan Ibu? Aku semakin tak mampu. Aku paham Ibuku sangat keras kepala sehingga membuatku naik pitam dibeberapa kesempatan. Tapi beliau Ibuku. Seseorang yang mengandung dan menjagaku sembilan bulan lamanya dalam rahimnya, dan orang yang merawat, membiayai, serta mendidikku sampai umurku dua puluh tiga tahun. Ibu tetaplah Ibu. Sepahit apapun peringainya, tetaplah mustahil bagiku membalas semua hal yang telah ia berikan padaku.

Lagi pula, sejak kami—aku dan Mbak Aya, tahu Ibu divonis terkena kanker, durhakalah aku sebagai anak kalau ikut serta membuat sakit perasaannya dalam mengindahkan permohonan itu.

Aku tahu, terlalu sulit untuk memilih antar dua orang yang sejatinya dapat memberi kesempurnaan dalam kehidupanku.

Lidahku acap kelu untuk mengatakan perihal ini kepada Andre. Beban ini menjadi mimpi buruk yang datang tiap malam. Tentang bagaimana reaksi Andre jika mendengar pengakuanku, dari mulai yang buruk hingga ke paling buruk.

Aku bergidik membayangkannya. Maka aku putuskan untuk bungkam dan akan kuutarakan hingga saatnya tepat. Dan ternyata aku salah. Tak ada saat tepat. Tak ada hati yang utuh ketika ditinggalkan pemiliknya sekalipun berkata bahwa ini adalah yang terbaik.

Yang terbaik tak mungkin pergi.

Ia akan bertahan dan memikirkan jalan keluar bersama. Bukan sepihak dan kabur selayaknya pecundang.

“Laila, kamu wanita kuat. Jujur, Mbak nggak mengalami hal seperti kamu di usia yang sama. Tapi Mbak salut sama kamu, Laila. Secara perlahan kamu mampu melewati cobaan ini. Hatimu menjadi kian teguh karena rentetan peristiwa yang kamu lalui. Percaya bahwa ini bagian dari proses..proses menuju akhir yang bahagia,” kata Mbak Aya selembut mungkin. “Dan percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan yang terbaik bagi kamu, La.”

Tuhan telah menyiapkan yang terbaik.

Aku tahu, terlalu angkuh jika turut menyalahkan-Nya. Tapi aku merasa labirin ujian yang aku hadapi kini semakin menyempit, hingga raga dan jiwaku terhimpit. Aku tak merasa ada pintu keluar di sana. Apakah memang ini yang dikatakan terbaik?

Kami terdiam sesaat. Mbak Aya masih menatapku. Aku melihat cangkir kopi di meja.

“Satu lagi, Mbak,” aku mengangkat dagu. “Aku merasa bersalah pada dua orang; Andre dan Mas Fahri—mantan suamiku.”

Kening Mbak Aya berkerut.

“Pada awalnya kami emang nggak saling mencintai. Tapi...semakin lama ia menunjukkan kalau perasaannya padaku berubah. Bahkan ia mulai menyinggung perihal anak, padahal sejak awal kami sepakat bahwa pernikahan ini hanya sementara dan tidak memiliki anak.”

Mbak Aya terkesiap mendengarnya. Aku memang belum membagi mengenai bagian ini pada siapapun.

“Aku nggak bodoh, Mbak. Meski hatiku mati sejak meninggalkan Andre, tetapi aku masih bisa ada sesuatu yang sedang diusahakan Mas Fahri. Terutama menjelang kami berpisah. Aku kira aku mengubur harapannya agar aku bertahan. Keseluruhan hatiku mengatakan Andre lah tempatku pulang dan menetap.”

Meski sempat tercengang, Mbak Aya mampu menguasai rautnya dalam sekejap. Ia tidak banyak berbicara, karena memang bukan itu yang aku butuhkan. Aku hanya butuh didengarkan, tidak ada yang lebih mengerti hal ini selain Mbak Aya.

Ia memberiku waktu untuk beristirahat, beranjak menuju bar meninggalkanku sendiri. “Mbak mau tanya perihal pengiriman house blend mereka sama Masnya.”

Aku menumbukkan pandangan pada deretan pohon di luar kaca besar. Pikiranku berkelut dengan gambaran ‘what if’ di dalamnya. Bagaimana kalau Andre benar-benar nggak mau bertatap muka lagi denganku? Sampai bagaimana kehidupan Mas Fahri setelah kami bercerai—apakah kembali seperti sebelum kami menikah atau lebih buruk?

“Alhamdulillah bisa. Masalah ongkos kirim mah gampang. Anak-anak pasti bakal suka deh,” suara Mbak Aya memecah lamunanku. Ia kembali menempati posisinya.

Mbak Aya menghela nafas. “Sekarang kamu jangan begadang lagi deh. Kasihan fisik sama batinmu kalau begini terus. Udah deh, kalau mau nonton Blue Jay sama Eternal Shine of the Spotless Mind nggak usah mulai jam 10. Bisa, kan, nonton dua film itu siang-siang? Lagi pula, nggak bosen apa nonton itu terus?”

Aku tersenyum getir.

“Nggak pernah bosen kayaknya, Mbak. Aku sebenarnya pengin reaksi Andre pas pertama melihat aku sama kayak reaksi Jim melihat Amanda setelah bertahun-tahun nggak ketemu. He said, ‘Hai’, walau dengan senyum canggung,” senyumku tersimpul karena membayangkan adegan film Blue Jay itu benar terjadi dalam kisahku. “Atau karena our first meeting not going well, aku berharap bisa menghapus memoriku seperti Clementine menghilangkan ingatan tentang Joel dari pikirannya.”

Aku mengangkat bahu sembari menggelengkan kepala. Merasa bodoh karena menggambarkan reka ulang adegan dua film tersebut dalam khayalanku dengan aku dan Andre sebagai tokoh utamanya.

“Tapi pada akhirnya, baik Jim dan Amanda serta Joel dan Clementine saling melempar senyum juga tawa, kan? Meskipun ada air mata yang mengiringi mereka.”

Aku terperangah. Mbak Aya tersenyum melihatku.

Semoga aku mendapati akhir yang sama seperti mereka.

Semoga.

“Udah yuk, kasihan Kenji ditinggal kelamaan,” Mbak Aya berdiri dari kursinya seraya mengemas barangnya ke dalam tas. “Eh, ke XXI Kemang dulu deh. Mumpung dekat.” Lanjutnya.

Aku mendongak keheranan. “Ngapain? Emang ada film seru?”

“Loh, siapa yang bilang mau nonton? Mbak cuma mau beli popcorn kok,” ujarnya. Aku melongo. Ia tersenyum.

“Kenapa nggak di minimarket aja sih?” protesku.

Mbak Aya telah selesai memasukkan barangnya. Ia mematung di depanku. Merunduk sedikit lalu menempelkan telunjuknya ke hidungku. “Karena nggak ada popcorn caramel yang lebih enak dari punyanya XXI, Laila,” ujarnya sambil berlalu melewatiku.

“Dasar maniak!!!” Aku sedikit meninggikan suaraku. Mbak Aya menoleh sembari memeletkan lidah. Aku terkekeh melihatnya.

---

Di perjalanan pulang aku hanya duduk diam mengamati jalanan. Sedangkan Mbak Aya menyetir dengan tangan kanan pada kemudi dan tangan kiri yang berulang kali menggerus popcorn caramel dari cup holder di bagain tengah. Dua cup popcorn caramel dan satu salty popcorn large size untuk di rumah masih terbungkus rapih dalam plastik di kursi  belakang.

“Mbak,” sahutku tanpa melihatnya.

“Hmm?”

“Makasih ya,” tatapanku berpindah ke arah Mbak Aya. Ia tersenyum dan mengacak rambutku.

“Mbak! Kotor ih! Abis makan popcorn juga!” kesalku seraya menghentikan gerakan tangannya di kepalaku. Ia malah tertawa tapi tidak menyudahi aktifitasnya.

“Kamu itu,” ia menaruh tangannya pada kemudi. Aku merapihkan rambutku. Bibirku mengerut kesal. “Adikku yang paling kuat. Yang paling teguh hatinya. Paling ceria peringainya, jadi sudahi sedihmu, La. Mbak selalu berdoa yang terbaik untukmu. Mbak percaya akan akhir yang bahagia. Kamu juga harus tanamkan kepercayaan itu dalam hatimu.” Ia mengerling melontarkan seringai.

Kerut dibibirku digantikan oleh senyuman.

Ya, aku harus percaya,

akan akhir yang indah,

Percaya...

Harus.

Dan berbicara mengenai masa sulitku ketika harus terpisah dari Andre dan hidup dengan seseorang yang tak saling mencintai. Proyektor memoriku seakan memutar kisah itu, kisah ketika aku berada di negeri yang disebut banyak orang negeri yang romantis, tapi aku jalani dengan hati teriris tiap harinya, yaitu Prancis.
to be continued