Friday, July 7, 2017

Chapter IX - A Truth



Chapter sebelumnya dapat dibaca di sini

---

Laila

Aku terbangun dari tidurku. Bersiap menjalani hari baru dengan perasaan lama. Rasa bersalah dan menyesal yang tak bisa dilupakan, bahkan untuk mencoba sekali pun.

Aku duduk di tepi ranjang dengan rambut berantakan. Aku heran dengan mereka—perempuan, yang gemar mengunggah foto mereka mendusin di Instagram dan mendapati wajah mereka sudah dihiasi make up tipis juga rambut yang begitu tertata. Sedangkan aku? Rambut acak-acakan, muka beler seakan semalam habis menenggak berbotol alkohol serta kaos yang kugunakan kerap melorot mempersilakan bahu diterpa matahari yang menyusup dari balik tirai.

Setelah memastikan nyawaku terkumpul, aku bangkit dari ranjang, melakukan streching ringan untuk meregangkan otot tubuhku.

“Another day, another pain, old mistakes, same feeling,” desisku berulang kali dalam pemanasan dengan mata terpejam.

Kegiatan ini berlangsung selama 5 menit. Aku berjalan gontai menuju pintu. Aku melihat jam di ruang tengah menunjukkan pukul setengah 10. Hmmm, lebih cepat satu jam dari biasanya.

“Eh, Si Kebo udah bangun,” sambut Mbak Aya, kakakku, yang sedang menonton televisi dengan gelas berisi teh digenggamannya. Ia menoleh ke belakang saat tahu pintu kamarku terbuka.

Aku mengabaikannya. Aku bawa langkah yang kian berat ini menuju sofa tempat Mbak Aya duduk, mata Mbak Aya mengamati gerakanku yang super lamban hingga aku membanting bokongku di sofa dan menaruh lenganku di pinggirannya, kemudian memposisikan kepalaku di atas lenganku. Mataku terpejam kembali.

“Eleh eleeeeh,” suara Mbak Aya melengking. “Baru juga bangun malah langsung tidur lagi. Ini mah pindah tempat doang namanya!” cerocosnya. Aku balas dengan gumaman.

“Bangun, Lailaaa!” Mbak Aya melempar bantal yang ada di pangkuannya kepadaku.

“Ih, apasih mbaak! Orang masih ngantuk juga!” ujarku kesal tanpa membuka mata.

“Mbak udah senang kamu bisa bangun pagi, walaupun nggak bisa dibilang pagi juga, sih. Eh, ternyata masih mau tidur juga. Bangun geura ih, katanya mau ke ngajak Mbak ke kafe.”

“Iya ih, kafenya juga tutupnya masih lama. Masih ngantuk, Mbak, semalam tidur larut soalnya,” balasku semakin gondok.

“Makanya kosongin itu pikiran. Kamu lagi stres sih jadi tidurnya larut terus. Ini mumpung Mbak lagi di sini jadi bisa ngomelin kamu,” aku nggak tahan lagi mendengar omelan Mbak Aya. Aku membuka mata, membenarkan posisi dudukku dan kupasang muka cemberut dengan pandangan ke arah televisi yang menayangkan Ant Man di HBO.

“Tong cemberut kitu ah. Kayak anak kecil aja kamu mah, La, udah tua juga,” kata terakhirnya membuatku mengalihkan mata ke arahnya. “Cie sadar kalau dibilang tua.” Ia tergelak. Ingin rasanya kucengkram lehernya agar ia diam.

“Nih, La, minum teh dulu biar enakan paginya,” Mbak Aya menyodorkan gelasnya. Awalnya aku enggan menerimanya karena masih kesal, tapi aku teringat semenjak bangun tadi aku belum minum dan kini tenggorokanku terasa kering.

Kekesalanku memudar setelah air teh mengaliri tenggorokanku. Benar apa yang ia katakan, aku merasa lebih rileks. “Mbak, Kenji mana?” ku sudahi pertengkaran pagi hari dan mencoba membangun percakapan normal dengan bertanya tentang Kenji, keponakanku.

“Lagi anteng sama Bi Asih di halaman belakang,” Kenji Satria Rahardja. Anak lelaki tampan Mbak Aya yang berusia 6 tahun. Nama Kenji diberikan karena ia lahir di Negeri Sakura. Mbak Aya tinggal di Jepang sejak 9 tahun lalu. Suaminya, Mas Angga, merupakan seorang pengajar mata kuliah Bahasa Indonesia di Tokyo University of Foreign Studies.

Mbak Aya tinggal di Setagaya, salah satu distrik di Toyko dan membuka usaha kedai kopi kecil-kecilan yang turut menjual makanan Indonesia, juga tempat tinggal bagi mahasiswa yang kuliah di Jepang.

Sebelum semesta mempertemukan aku dengan Andre, aku beberapa kali mengunjungi Mbak Aya. Bisa dibilang, rumah Mbak Aya merupakan escape plan ku dari segala tekanan yang aku terima, baik dari perkuliahan maupun dari Ibu.

Menulis di Kinuta Park adalah aktifitas mayorku jika sedang menetap di sana. Sungguh, tak ada tempat yang begitu mudahnya mendatangkan inspirasi selain Kinuta Park. Taman yang begitu indah dalam segala musim, khususnya ketika sakura mulai mekar. Aku merasa Tuhan berbaik hati memberikanku kesempatan menikmati bagian kecil dari Surga-Nya ketika duduk di bawah pohon sakura dan melihat daun merah muda berguguran karena menerima sentuhan lembut angin. Dan saat momen itu tiba, aku tak acuh lagi dengan laptop di pangkuanku, atau apapun itu yang membawaku ke sana.

Mbak Aya tiba di Indonesia 4 hari silam. Setelah pertemuan terakhirku yang tidak-terlalu-berjalan-baik dengan Andre, aku acap menghubungi Mbak Aya tuk mengatakan betapa gegabahnya aku dalam mengambil keputusan itu.

Sejujurnya, aku ingin ke sana, ke kediaman Mbak Aya. Akan tetapi sepulangnya aku dari Prancis dan mendapati apa yang aku harapkan urung menjadi nyata, keputusan pergi ke Jepang malah semakin menasbihkan diriku sebagai pengecut yang terus lari dari masalahnya.

Alhasil tak hentinya aku menghubungi Mbak Alya melalui media sosial. Karena merasa gusar terus menerus mendengar keluhanku, Mbak Aya memutuskan pulang ke Jakarta, membawa Kenji dan menitipkan kedainya pada mahasiswa yang tinggal di rumahnya.

“Mereka nggak kerepotan tuh, Mbak, diberi tanggung jawab buat ngurus keseluruhan kedai?” tanyaku sewaktu menjemput Mbak Aya di bandara.

“Ah, mereka udah biasa kok. Lagi pula, sebagai imbalannya Mbak memotong biaya sewa tempat tinggal untuk bulan berikutnya. Mahasiswa mana sih yang nggak suka kosannya dikasih diskon setengah harga?”  jawabnya enteng.

---

 “Tanteh...tanteh, mau kemanah?” suara itu menyambutku ketika aku keluar kamar dengan pakaian rapih. Kenji melihatku dengan mata bulatnya yang berwarna cokelat muda. Aku suka caranya berbicara karena selalu ada huruf ‘h’ mengekor di belakangnya.

Aku berjongkok agar sejajar dengannya. “Tante pergi ke dokter sebentar sama Bunda,” dustaku seraya mengusap rambutnya yang lurus.

“Kenji, kamu di rumah dulu ya sama Bi Asih, Bunda kelur bentaaar aja,” Mbak Aya yang baru selesai berhias menghampiri Kenji yang berada di dekatku. Kenji tergolong anak cerdas dan tidak rewel. Ia tak keberatan jika harus ditinggal di rumah bersama Bi Asih. Toh, ia sibuk bermain dengan mainannya yang menumpuk di salah satu kamar meskipun keluargnya jarang pulang ke Indonesia.

“Tapih, tapih, pulangnyah beliin popkoln yah?” dan itu syarat kedua Kenji--dibelikan popcorn. Aku melihat Mbak Aya yang tersenyum padaku. Sudah pasti Kenji menyukai popcorn karena Bundanya termasuk maniak cemilan yang biasa disantap ketika menonton film tersebut.

Aku mengacungkan jempol pada Kenji, sedangkan Bundanya merunduk untuk mencium keningnya.

Kafe tempat kami tuju berada di daerah Kemang, tak jauh dari rumah kami di Cilandak. Aku senang dengan design interior kafe ini; didominasi warna hitam yang dilengkapi kursi, meja dan bar berbahan kayu. Kami mengambil tempat duduk di sudut ruangan dekat kaca besar yang mempersilakan sinar matahari masuk memberi cahaya natural ke seluruh ruangan.

“Jadi, gimana? Kamu sama Andremu?” tanya Mbak Aya tanpa basa-basi seraya menyeruput cappuccino-nya.

Ia terbelalak sebelum aku menjawab pertanyaannya. “Gila, enak banget cappuccino-nya! Pakai house blend apa, ya, mereka? Duh, La, asli enak banget! Kira-kira mereka mau kirim ke Jepang nggak, ya?” girang Mbak Aya. Aku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum.

“Ah, nanti aja deh biar Mbak tanya, sekarang kamu dulu,” ia menaruh cangkirnya, menegakkan punggung dan melipat tangan di atas meja. Ia dalam posisi siap untuk mendengarkan.

Aku bersandar pada kursi, menatap tepat pada pupil mata Mbak Aya, lalu menghela nafas.

“Nggak gimana-gimana, Mbak. Setelah malam itu kita nggak pernah ketemu lagi. Bahkan saling mengirim kabar via media sosial pun tidak. Aku merasa...merasa bahwa pada malam itu seakan tak ada kejadian apa-apa. Kita kembali ke kehidupan masing-masing. Kehidupan sebelum kita bertemu, lagi. Dia dengan band dan kafenya, sedangkan aku dengan kebiasaanku dulu; mengikuti kegiatannya lewat akun kedua instagramku. Beruntung dia punya ratusan ribu pengikut, sehingga tak mungkin mengenali siapa yang mengikuti dia,” aku berhenti sementara tuk menyesap kopiku, Malabar Natural—kopi kesukaan Andre.

Mbak Aya tak akan bersuara sebelum aku menyelesaikan ocehanku, maka aku melanjutkan, “Aku nggak tau apa yang ada dipikiran dia sekarang. Dia berhak merasa apa saja kepadaku—marah, benci, ilfeel. Apapun. Mbak, apa ada yang bisa melebihi ini? Saat kita merasa lega karena mengutarakan sesuatu, namun menyakitkan pada saat bersamaan.”

Aku memutar-mutar gelasku.

“Terkadang aku turut menyalahkan Ayah dan Ibu. Terutama Ayah, pikiran Ibu jadi bebal karena tindakannya yang meninggalkan kita untuk...,” ku raih tisu dari dalam tasku. Aku terisak. Air mataku menggenang spontan. “Untuk tinggal bersama perempuan sialan itu. Saat itu Mbak Aya sudah berpacaran dengan Mas Angga dan Ibu menyetujui hubungan kalian, karena kalian telah menjalin hubungan sejak SMA—dimana suasana sangat baik-baik saja masa itu. Sedangkan aku? Aku yang baru memasuki SMP harus terus hidup di bawah sifat protektif Ibu, terutama dalam berteman dengan lelaki. Bahkan...bahkan sampai Ibu meninggal. Sehingga aku harus meninggalkan Andre dan bersanding dengan lelaki pilihan Ibu, walaupun kita nggak saling mencintai.” Air mata Mbak Aya nampak memenuhi tepian matanya, bersiap untuk jatuh.

“Aku ingin mengutuk kebebalan Ibu. Aku tau Ibu trauma setelah Ayah pergi. Aku tau Ibu ingin aku tidak merasakan penderitaan yang sama, meskipun aku mendapat penderitaanku sendiri. Kalau Ibu tidak bersimpuh memohon padaku mengikuti kemauannya, aku nggak mungkin ninggalin Andre. Kalau Ibu tak mengatakan itulah permintaan terakhirnya, bahwa ia ingin melihatku menikah dengan pria pilihannya...aku...” nafasku tercekat selama beberapa saat. Mbak Aya menyapu lenganku dengan tangannya.

Entah apa yang Tuhan inginkan dariku. Ia selalu mengujiku dengan memberi pilihan sulit yang mampu menguras emosiku untuk menentukan mana yang terbaik.

Andre dan Ibu. Salah satu contoh ujian yang Ia berikan. Aku harus memilih antara dua orang terpenting dalam hidupku.

Aku menemukan warna hidupku kembali semenjak berjumpa dengan Andre. Ia mampu memberikan secercah cahaya terhadap jalan ke depanku yang selama ini kelam. Namun, aku terlambat. Aku membuang kesempatan emas yang sempat Ibu berikan kepadaku; memilih lelaki. Kesempatan yang selama ini tak diberikannya padaku.

Hanya dua. Dan dua pria yang singgah dihidupku sebelum Andre tak mampu membuat Ibu memberikan restunya. Sehingga ia lekas memilihkanku pendamping yang menurutnya tepat, tapi tidak bagiku.

Jikalau ditanya, ‘Kenapa Andre nggak diperjuangin?’, jika ada yang bisa melunakkan kedegilan Ibuku, maka aku bersedia melakukan apapun yang ia inginkan. Selama masih dalam batas wajar. Dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Andre.

Dan memilih Andre tanpa memikirkan Ibu? Aku semakin tak mampu. Aku paham Ibuku sangat keras kepala sehingga membuatku naik pitam dibeberapa kesempatan. Tapi beliau Ibuku. Seseorang yang mengandung dan menjagaku sembilan bulan lamanya dalam rahimnya, dan orang yang merawat, membiayai, serta mendidikku sampai umurku dua puluh tiga tahun. Ibu tetaplah Ibu. Sepahit apapun peringainya, tetaplah mustahil bagiku membalas semua hal yang telah ia berikan padaku.

Lagi pula, sejak kami—aku dan Mbak Aya, tahu Ibu divonis terkena kanker, durhakalah aku sebagai anak kalau ikut serta membuat sakit perasaannya dalam mengindahkan permohonan itu.

Aku tahu, terlalu sulit untuk memilih antar dua orang yang sejatinya dapat memberi kesempurnaan dalam kehidupanku.

Lidahku acap kelu untuk mengatakan perihal ini kepada Andre. Beban ini menjadi mimpi buruk yang datang tiap malam. Tentang bagaimana reaksi Andre jika mendengar pengakuanku, dari mulai yang buruk hingga ke paling buruk.

Aku bergidik membayangkannya. Maka aku putuskan untuk bungkam dan akan kuutarakan hingga saatnya tepat. Dan ternyata aku salah. Tak ada saat tepat. Tak ada hati yang utuh ketika ditinggalkan pemiliknya sekalipun berkata bahwa ini adalah yang terbaik.

Yang terbaik tak mungkin pergi.

Ia akan bertahan dan memikirkan jalan keluar bersama. Bukan sepihak dan kabur selayaknya pecundang.

“Laila, kamu wanita kuat. Jujur, Mbak nggak mengalami hal seperti kamu di usia yang sama. Tapi Mbak salut sama kamu, Laila. Secara perlahan kamu mampu melewati cobaan ini. Hatimu menjadi kian teguh karena rentetan peristiwa yang kamu lalui. Percaya bahwa ini bagian dari proses..proses menuju akhir yang bahagia,” kata Mbak Aya selembut mungkin. “Dan percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan yang terbaik bagi kamu, La.”

Tuhan telah menyiapkan yang terbaik.

Aku tahu, terlalu angkuh jika turut menyalahkan-Nya. Tapi aku merasa labirin ujian yang aku hadapi kini semakin menyempit, hingga raga dan jiwaku terhimpit. Aku tak merasa ada pintu keluar di sana. Apakah memang ini yang dikatakan terbaik?

Kami terdiam sesaat. Mbak Aya masih menatapku. Aku melihat cangkir kopi di meja.

“Satu lagi, Mbak,” aku mengangkat dagu. “Aku merasa bersalah pada dua orang; Andre dan Mas Fahri—mantan suamiku.”

Kening Mbak Aya berkerut.

“Pada awalnya kami emang nggak saling mencintai. Tapi...semakin lama ia menunjukkan kalau perasaannya padaku berubah. Bahkan ia mulai menyinggung perihal anak, padahal sejak awal kami sepakat bahwa pernikahan ini hanya sementara dan tidak memiliki anak.”

Mbak Aya terkesiap mendengarnya. Aku memang belum membagi mengenai bagian ini pada siapapun.

“Aku nggak bodoh, Mbak. Meski hatiku mati sejak meninggalkan Andre, tetapi aku masih bisa ada sesuatu yang sedang diusahakan Mas Fahri. Terutama menjelang kami berpisah. Aku kira aku mengubur harapannya agar aku bertahan. Keseluruhan hatiku mengatakan Andre lah tempatku pulang dan menetap.”

Meski sempat tercengang, Mbak Aya mampu menguasai rautnya dalam sekejap. Ia tidak banyak berbicara, karena memang bukan itu yang aku butuhkan. Aku hanya butuh didengarkan, tidak ada yang lebih mengerti hal ini selain Mbak Aya.

Ia memberiku waktu untuk beristirahat, beranjak menuju bar meninggalkanku sendiri. “Mbak mau tanya perihal pengiriman house blend mereka sama Masnya.”

Aku menumbukkan pandangan pada deretan pohon di luar kaca besar. Pikiranku berkelut dengan gambaran ‘what if’ di dalamnya. Bagaimana kalau Andre benar-benar nggak mau bertatap muka lagi denganku? Sampai bagaimana kehidupan Mas Fahri setelah kami bercerai—apakah kembali seperti sebelum kami menikah atau lebih buruk?

“Alhamdulillah bisa. Masalah ongkos kirim mah gampang. Anak-anak pasti bakal suka deh,” suara Mbak Aya memecah lamunanku. Ia kembali menempati posisinya.

Mbak Aya menghela nafas. “Sekarang kamu jangan begadang lagi deh. Kasihan fisik sama batinmu kalau begini terus. Udah deh, kalau mau nonton Blue Jay sama Eternal Shine of the Spotless Mind nggak usah mulai jam 10. Bisa, kan, nonton dua film itu siang-siang? Lagi pula, nggak bosen apa nonton itu terus?”

Aku tersenyum getir.

“Nggak pernah bosen kayaknya, Mbak. Aku sebenarnya pengin reaksi Andre pas pertama melihat aku sama kayak reaksi Jim melihat Amanda setelah bertahun-tahun nggak ketemu. He said, ‘Hai’, walau dengan senyum canggung,” senyumku tersimpul karena membayangkan adegan film Blue Jay itu benar terjadi dalam kisahku. “Atau karena our first meeting not going well, aku berharap bisa menghapus memoriku seperti Clementine menghilangkan ingatan tentang Joel dari pikirannya.”

Aku mengangkat bahu sembari menggelengkan kepala. Merasa bodoh karena menggambarkan reka ulang adegan dua film tersebut dalam khayalanku dengan aku dan Andre sebagai tokoh utamanya.

“Tapi pada akhirnya, baik Jim dan Amanda serta Joel dan Clementine saling melempar senyum juga tawa, kan? Meskipun ada air mata yang mengiringi mereka.”

Aku terperangah. Mbak Aya tersenyum melihatku.

Semoga aku mendapati akhir yang sama seperti mereka.

Semoga.

“Udah yuk, kasihan Kenji ditinggal kelamaan,” Mbak Aya berdiri dari kursinya seraya mengemas barangnya ke dalam tas. “Eh, ke XXI Kemang dulu deh. Mumpung dekat.” Lanjutnya.

Aku mendongak keheranan. “Ngapain? Emang ada film seru?”

“Loh, siapa yang bilang mau nonton? Mbak cuma mau beli popcorn kok,” ujarnya. Aku melongo. Ia tersenyum.

“Kenapa nggak di minimarket aja sih?” protesku.

Mbak Aya telah selesai memasukkan barangnya. Ia mematung di depanku. Merunduk sedikit lalu menempelkan telunjuknya ke hidungku. “Karena nggak ada popcorn caramel yang lebih enak dari punyanya XXI, Laila,” ujarnya sambil berlalu melewatiku.

“Dasar maniak!!!” Aku sedikit meninggikan suaraku. Mbak Aya menoleh sembari memeletkan lidah. Aku terkekeh melihatnya.

---

Di perjalanan pulang aku hanya duduk diam mengamati jalanan. Sedangkan Mbak Aya menyetir dengan tangan kanan pada kemudi dan tangan kiri yang berulang kali menggerus popcorn caramel dari cup holder di bagain tengah. Dua cup popcorn caramel dan satu salty popcorn large size untuk di rumah masih terbungkus rapih dalam plastik di kursi  belakang.

“Mbak,” sahutku tanpa melihatnya.

“Hmm?”

“Makasih ya,” tatapanku berpindah ke arah Mbak Aya. Ia tersenyum dan mengacak rambutku.

“Mbak! Kotor ih! Abis makan popcorn juga!” kesalku seraya menghentikan gerakan tangannya di kepalaku. Ia malah tertawa tapi tidak menyudahi aktifitasnya.

“Kamu itu,” ia menaruh tangannya pada kemudi. Aku merapihkan rambutku. Bibirku mengerut kesal. “Adikku yang paling kuat. Yang paling teguh hatinya. Paling ceria peringainya, jadi sudahi sedihmu, La. Mbak selalu berdoa yang terbaik untukmu. Mbak percaya akan akhir yang bahagia. Kamu juga harus tanamkan kepercayaan itu dalam hatimu.” Ia mengerling melontarkan seringai.

Kerut dibibirku digantikan oleh senyuman.

Ya, aku harus percaya,

akan akhir yang indah,

Percaya...

Harus.

Dan berbicara mengenai masa sulitku ketika harus terpisah dari Andre dan hidup dengan seseorang yang tak saling mencintai. Proyektor memoriku seakan memutar kisah itu, kisah ketika aku berada di negeri yang disebut banyak orang negeri yang romantis, tapi aku jalani dengan hati teriris tiap harinya, yaitu Prancis.
to be continued

0 comments:

Post a Comment