Ayah dan Ibu. Dua sosok yang paling berharga dalam kehidupan
seseorang. Tak terkecuali dengan gue. Tanpa mereka gue bukanlah apa-apa. Bahkan
gue meragukan kalo gue bisa sekolah tanpa mereka. Nabi Muhammad pernah berkata,
“Ibumu, Ibumu, Ibumu”, baru kemudian disusul dengan ayah. Itu karena sosok ibu lebih
diutamakan. Tapi, di sini gue akan ngebahas tentang bokap gue dulu. Sebelumnya
gue udah menceritakan tentang adek gue dan diri gue sendiri. Well, selamat
membaca! ;)
Bokap gue itu orangnya keras, tapi baik hati. Yah, sifat
dasar seorang ayah. Selama 17 tahun gue hidup, gue merasakan apa yang banyak
orang katakan, kalo bokap itu lebih cuek daripada nyokap. Bokap gue terlalu
malas untuk melakukan hal yang menurutnya bisa dilakukan oleh nyokap gue
ataupun anak-anaknya. Contoh simpelnya adalah saat pengambilan rapot. Dari TK
sampe sekarang, rapot gue nggak pernah diambil sama boka. Selalu nyokap. Meskipun
kondisi nyokap lagi nggak sehat, beliau tetap menyuruh nyokap untuk ngambil
rapot gue, beliau hanya nganter dan tidur di mobil sembari menunggu nyokap
selesai.
Jarang marah, tapi sekalinya marah sama kayak gunung merapi
yang larvanya tak keluar selama beratus-ratus tahun. Sekalinya meledak,
menghasilkan ledakan yang sangat dahsyat. Kemarahan bokap bukan tanpa suatu
alasan yang pasti. Kenakalan gue sendiri-lah sumber utama munculnya amarah
bokap.
Jujur, gue punya beberapa sifat negatif dan gue yakin semua
orang pasti punya itu. Negatif dilambangkan dengan simbol min atau kurang (-).
Nah, sifat gue ini mungkin double negatif (--). Kenapa ada dua minus? Minus
pertama karena sifat itu sendiri, dan minus kedua karena gue selalu menjadikan
ortu gue sebagai sasaran sifat jelek gue itu.
Semakin hari gue semakin sadar. Gue udah dewasa. Gue
nggak bisa terus-terusan gini. Gue nggak bisa terus-terusan bikin sakit orang
tua. Bukan hanya kecewa yang ortu gue dapet, sakit hati turut serta
melengkapi kesedihan mereka karena sifat gue. Dikit-dikit marah. Permintaan
nggak dipenuhi marah. Yah, begitulah gue beberapa tahun lalu. Buruk. Gue coba
berubah. Merubah sifat tak semudah membalikkan telapak tangan. Of course i
can. Perlahan tapi pasti, gue berubah. Sifat buruk itu gue jadikan sumber
pelajaran buat ke depan. Akhir yang manis dari sesuatu yang jelek.
Setiap gue ngambek, nyokap-lah yang berusaha menenangkan gue.
Dengan cara apapun yang beliau mampu. Apa lagi kalo menyangkut permintaan gue
yang beliau pikir, nggak sanggup untuk dipenuhi. Kebutuhan sehari-hari lebih
penting daripada keinginan konyol gue. Mulai dari cara halus sampe cara kasar
dilakukan nyokap gue (membentak, dll). Hingga yang paling ekstrem... sumpah
serapah.
Sumpah adalah jurus andalan nyokap andai kata rengekan gue
belum juga reda. Tapi menurut gue, itu tidak akan merubah suasana. Malah
memperburuknya. Rengekan gue semakin besar, entah seberapa besar, mungkin para
tetangga denger gue nangis. Ah, bodo amat. Pikir gue saat itu. Alasannya hanya
satu. Gue cuma mau nyokap membatalkan sumpahnya. Karena ridha Allah tergantung ridha
ortu, dan murka Allah tergantung muka ortu. Entah kenapa disaat itu gue masih
mengingat hadits tersebut. Padahal perbuatan yang gue lakukan aja, udah membuat
nyokap gue marah.
Di saat rengekan gue semakin menjadi, bokap gue yang sedari
tadi diem aja, tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah nyokap.
“Udahlah, mah. Jangan ngomong gitu lagi. Namanya juga
anak-anak, pasti suka ngerengek minta ini minta itu. Boleh keras, tapi jangan
bawa-bawa sumpah,” gue mendengar ucapan bokap. Gue diem.
Orang yang gue nilai paling cuek –karena daritadi hanya diem
aja-, ternyata orang yang mampu meredakan hati nyokap gue demi menolong gue
yang ketakutan setengah mati karena sumpah nyokap, dan juga... meredakan hati gue. Gue mulai berhenti nangis. Gue diem. Bokap nyamperin gue.
“Nanti papah beliin. Tapi, mungkin nggak sama kayak yang kamu
minta. Mungkin yang lebih murah, tapi, papah jamin kualitasnya nggak kalah
bagus dari yang asli,” gue masih diem. Suara berat khas seorang ayah ditambah
aura wibawanya membuat gue speechless. Tanpa perlu membentak. Tanpa perlu
mengucapkan sumpah. Hanya dengan perkataan yang diucapkan satu kali. Bocah 6
tahun yang semenjak 2,5 jam tadi menangis, menjadi diam.
Tangis gue semakin mereda. Kini, gue hanya terisak-isak. Menarik-narik
ingus agar tidak keluar akibat tangisan tadi. “Mah, ambilin ember, dong.
Lantainya banjir nih, gara-gara Aldi nangis tadi,” sambil teisak-isak gue tersenyum.
Senyum geli campur malu. Gue menundukkan kepala. Nyokap tertawa kecil sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangannya. Candaan bokap langsung merubah suasana kembali
hangat.
Salah satu momen yang membuat gue mengerti, besarnya peranan
ayah. Itu cuma satu dari ribuan cerita pendek yang apabila kumpulan cerita itu
disatukan, akan menjadi sebuah novel dengan berbagai konflik di dalamnya. Dengan
berbagai suasana yang berubah-ubah. Duka, bahagia, haru. Hingga berujung pada sebuah akhir, yang sampe saat ini belum diketahui akan bagaimana jadinya.
Gue bagaikan seorang bocah yang berdiri di sebuah padang
rumput yang luas dengan cuaca yang sejuk. Gue dikelilingi oleh tembok besar yang
seakan berbicara pada gue, kalo dia akan melindungi gue dari apapun di luar
sana yang mencoba mencelakakan gue. Nyokap gue adalah temboknya, dan bokap gue
adalah sang padang rumput. Yang membiarkan gue bebas bermain ditempatnya. Yang membuat
tenang gue dengan memberikan angin sejuknya. Yang membuat gue, dan nyokap gue
berada di dalamnya.
Mungkin, sekian dulu post gue kali ini. Lain kali gue ceritain lagi tentang keluarga gue. See u next time. Dan... mohon maaf lahir batin,
kan mau puasa, hehe. Wassalamualaikum! Mwah! :*
Your Dad is really your hero bro!
ReplyDeleteThanks, mate!
DeleteBro, gue suka ama tulisan2 lo, jgn berenti berkarya bro, sukses selalu.
ReplyDelete