Tuesday, December 31, 2013

Beautiful Midnight

Tak banyak yang bisa ku ingat. Tentang masa lalu. Tentang semua suka dan duka yang tersimpan dalam kotak memori. Namun, segala hal yang berkaitan tentang dirimu, selalu ku ingat. Jika ku coba melupakan, tak beda dengan ku melupakan kehidupanku sendiri.
---
           Hujan deras turun sejak semalam, membuat udara pada pagi itu menjadi sangat dingin. Ini bukan merupakan daerah dengan cuaca sejuk, melainkan daerah dataran rendah dengan hawa panas yang selalu menyambangi tiap hari. Selasa pagi yang dingin membuat sebagian orang merasa enggan untuk menjalani aktifitas di awal minggu ini. Para pekerja, pelajar, bahkan ibu rumah tangga merasa hawa dingin ini memaksa mereka untuk melekat lebih lama pada kasur. Para pengendara motor yang pada saat itu belum banyak jumlahnya akan memaksimalkan waktu dengan menambah jam tidur dibalik alasan, “Maaf Pak/Bu, tadi hujan deras dan saya tidak punya jas hujan. Jadi, saya menunggu hujan agak reda dulu.”
          Hawa dingin yang tak biasa ini pun memasuki rumah-rumah penduduk. Mereka yang pada hari normal menggunakan air conditioner atau kipas angin, kali ini  harus berpikir ulang karena menganggap bahwa itu bukanlah ide yang baik. Tak terkecuali dengan rumah kecil bergaya zaman Belanda dengan halaman yang membentang luas serta beberapa pohon dengan akar yang menancap kokoh di bawahnya. Hawa itu merambat masuk ke dalam sebuah kamar kecil melalui ventilasi udara.  Kamar yang di dalamnya terdapat bocah berambut cepak sedang terlelap di bawah selimut tebalnya.
          “Dit... Adit... bangun nak, waktunya sekolah,” seorang perempuan paruh baya yang tak lain adalah bunda dari bocah tersebut, tampak mencoba membangunkan anaknya dengan menggoyang-goyangkan tubuh anak itu dari pinggir ranjang.
          “Hmmm... hmmm,” Adit. Begitulah nama bocah itu. Ia menggeliat berusaha kabur dari tangan sang bunda demi meneruskan tidurnya.
          “Adit, bangun dong nak, ini udah hampir jam 6. Kalau kamu gak siap-siap dari sekarang nanti kamu telat,” Bunda tidak menyerah, dengan sifat lembut khas seorang ibu ia terus berusaha membangunkan buah hati tunggalnya itu.
           “Adit, nanti sore bunda sama ayah mau pergi ke rumah nenek. Kalau kamu hari ini gak sekolah, kamu gak bunda ajak ya,” mendengar pernyataan Bunda, Adit langsung melompat keluar dari kasurnya dan berlari ke luar kamar seraya berteriak, “Nanti sore Adit ikut ya, Bun!”. Bunda hanya tersenyum melihat tingkah bocah 8 tahun itu. Bunda beranjak dari tempatnya, kemudian mulai merapikan tempat tidur dengan sprei motif Doraemon tersebut.
---
          Deru mobil BMW 318i keluaran tahun 1990 menggema ketika memasuki pekarangan sebuah rumah tua yang tampak besar. Salah satu mobil yang tergolong mewah pada saat itu. ‘BRAK!’ suara pintu mobil terbanting keras ketika mesin mobil berhenti.
       “Adit! Pelan-pelan dong nutupnya,” seru Bunda. Namun, Adit menghiraukan pernyataan Bundanya, ia berlalu ke arah pintu depan sambil berteriak kencang, “Nek... Nenek... Assalamualaikum Nenek!”.
             Lihat tuh, Bun, Adit selalu semangat kalau diajak ke rumah Ibu,” Ayah tersenyum dari dalam mobil melihat tingkah putranya itu.
          Halaman merupakan tempat favorit Adit untuk bermain. Bukan bermain suatu permainan selayaknya anak seusianya. Ia tak bermain gasing, gundu, atau permainan lainnya. Melainkan membaca berbagai buku cerita yang koleksinya selalu bertambah satu tiap bulannya. Bunda memahami hobi Adit yang gemar membaca, maka dari itu Bunda tak lupa meyisihkan uang bulanan demi membelikan buku cerita untuk Adit.
           Meski banyak koleksi buku cerita, tapi hanya cerita ‘Si Kancil’-lah yang melekat di hati Adit. Cerita tentang bagaimana seekor kancil yang berhasil mengelabui gerombolan buaya agar bisa sampai ke seberang sungai. Entah kenapa cerita ini sangat disukai Adit. Meskipun berulang kali ia membacanya, berulang kali pula ia mengulangnya.
         Sore itu, di halaman rumah nenek, Adit ‘bermain’ dengan buku-buku ceritanya. Dengan posisi tengkurap di atas hamparan rumput yang hijau dan di bawah langit sore yang menguning, Adit membuka lembar demi lembar buku cerita bergambarnya. Ekspresi wajahnya ceria tiap kali halaman ‘mainan’ miliknya berganti. Topi biru muda yang selalu digunakan Adit kalau ke luar rumah seakan melindunginya dari terpaan sinar mentari sore.
        “Kamu lagi baca apa? Kayaknya seru,” suara yang cukup mengagetkan Adit. Ia mengadahkan kepalanya ke arah pemilik suara. Anak perempuan dengan dress putih dan bando dengan warna serupa di atas rambut bergelombangnya berdiri tepat di sebelah Adit.
          “Dongeng kesukaanku, Si Kancil, ngomong-ngomong kamu siapa?”
          “Aku Denia, salam kenal,” gadis perempuan itu menjulurkan tangannya.
          “Adit,” ia menjabat tangan gadis kecil itu dengan hangat.
      “Boleh aku ikut membaca denganmu?” dengan satu anggukan pelan, Denia ikut membaca bersama Adit. Menghabiskan sore berdua dengan canda tawa khas anak kecil yang seakan tak memikirkan hal lain selain bermain dan bermain. Tak ada pikiran membayar tagihan listrik, membayar tagihan telfon, atau tagihan di warung makan yang menumpuk. Hanya ada kegembiraan dan keceriaan yang terbesit pada diri mereka.
         “Kamu kenapa pakai baju serapih itu?” pertanyaan yang sebenarnya sejak awal ingin Adit tanyakan namun tertahan oleh cerita Denia tentang kakak pertamanya yang suka menjahilinya di rumah dan kakak keduanya-lah yang menjadi malaikat pelindung bagi dirinya jika kakak pertama mulai iseng kepadanya.
         “Oh iya! Aku jadi lupa! Aku tadi mau ke pesta ulang tahun temanku, tapi kebetulan lewat sini dan melihat kamu, nggak jauh dari sini kok. Mungkin sekarang masih sempat, kamu mau ikut?”
           “Tapi aku enggak kenal siapa-siapa di sini,” Adit melihat Denia sudah beranjak dari sisinya dan kini berdiri tepat dihadapan Adit yang masih dengan posisinya semula.
         “Aku yakin kamu bisa punya banyak teman di sini. Kamu anaknya asik kok,” Denia kembali menjulurkan tangannya, tanpa menunggu lama Adit meraih tangan gadis itu. Mereka pergi ke pesta ulang tahun teman Denia yang dimaksud dengan bergandengan tangan dan tidak lupa, wajah ceria yang terlukis diantara keduanya.
---
         Hari mulai gelap, di depan teras beralaskan kayu rumah tua tersebut, tampak Bunda sedang gelisah. Menantikan seseorang pulang. Menantikan pangeran dalam hidupnya kembali. Menantikan Adit datang.
           “Duh, ini udah lewat maghrib, kemana ya Adit?” Bunda tak henti-hentinya berjalan untuk meredakan kegelisahanya yang sebenarnya memang tak bisa dihilangkan.
          “Kamu tunggu aja toh dik, kan mas Agung juga lagi nyari pakai mobil, kita doakan aja Adit ndak kenapa-napa,”
        “Tapi bu, Adit nggak biasanya main sampai jam segini, apa lagi ini bukan di daerah rumahnya, dia mana hafal jalan, bu, kalau dia nyasar bagaimana?”
          “Adit itu mirip ayahnya, dulu mas Agung juga sering keluyuran sampai malam, sampai-sampai ibu sama almarhum bapak kewalahan buat nyarinya. Ndak taunya dia ketiduran di taman main deket sini, kelakuan suamimu itu toh dik, ada-ada saja saat masih kecil. Sama kayak Adit sekarang ini,” kenang Nenek Adit mengisahkan. Mendengar cerita itu cukup menenangkan hati Bunda yang gelisah. Tak berapa lama kemudian...
              Brumm... Brumm...
          Suara mobil yang tak asing lagi di telinga Bunda. Bunda masih harap-harap cemas dengan kehadiran suaminya, ia khawatir hanya hasil nihil-lah yang dibawa pulang. Ayah turun dan membuka pintu belakang, dengan menggendong Adit yang dalam keadaan terlelap beliau berjalan memasuki rumah yang disambut tangis haru sang Bunda. Kegelisahannya menghilang ketika ia menggenggam erat tangan pangeran hidupnya tersebut.
         “Mas ketemu Adit di taman deket sini, dia ketiduran di sana dan ditemani gadis bernama Denia, katanya ia tadinya mau membangunkan Adit cuma karena melihat Adit sangat lelap, makannya dia nunggu kita buat nyari Adit,” Ayah menjelaskan.
           Nenek membalas dengan seyuman ketika mendengar cerita tentang cucunya, Bunda tersenyum lega ke arah Nenek. Ternyata benar, sifat dan kelakuan Adit sama seperti Ayahnya ketika masih kecil. Like father like son.
        “Kita biarkan dulu dia tidur di sini, kasihan juga Adit,” Bunda menganggukkan kepala tanda setuju atas pemintaan mas Agung, suaminya.
          Malam itu, hujan kembali turun, di sebuah kamar berukuran kecil dengan satu kasur berukuran sedang, satu keluarga tertidur dengan lelapnya, saling berpelukan membentuk kehangatan dalam dinginnya udara di luar sana. Adit, dengan wajah polosnya, ia sangat nyaman tidur diantara kedua orangtuanya.
---
           Esoknya, mereka pulang dan Adit tak sempat mengucapkan salam perpisahan kepada gadis bernama Denia itu. Perkenalan hangat tanpa diiringi perpisahan yang manis. Ada yang mengganjal di hati Adit ketika melihat pekarangan rumah Neneknya menjauh dari pandangan. Semakin jauh, semu, hingga akhirnya tak tampak lagi. Adit akan merindukan sosok ceria Denia, sedangkan hatinya, akan merindukan kenyamanan yang tercipta antara keduanya. Di pagi dengan langit gelap dan perlahan awan mulai menjatuhkan beban yang ditampungnya, langit seakan mengerti apa yang dirasakan Adit. Seakan tak ikhlas jika mereka harus berpisah.
          Di ruang tamu rumah yang asri, seorang gadis kecil menghadap ke arah luar jendela dengan gorden yang terbuka, menatap kosong ke arah halaman yang mulai tergenang air, menyambut datangnya hujan kecil pada pagi itu. Tetesan air yang jatuh seperti menghantarkan salam perpisahan yang disampaikan Adit di perjalanan pulangnya. Gadis itu tak tahu apakah bocah bertopi biru itu akan kembali atau tidak. Adit tak tahu apakah ia bisa bertemu kembali dengan Denia atau tidak. Mereka hanya diam membisu di tempatnya, berbicara pada hati masing-masing, biarkan hujan yang menerjemahkan kegelisahan mereka.
---
          Perpisahan yang cukup menyita waktuku untuk memikirkannya. Waktuku tersita cukup banyak hanya untuk sekedar memikirkannya pada saat itu. Tapi harus kuakui, senyumnya, tawanya, sikapnya, merupakan yang terbaik setelah Bunda.
          Perlu waktu yang tak sebentar untuk bertemu gadis itu, di saat gadis dengan gaun dan bando putih banyak bermunculan, ia sudah berpenampilan sedikit lebih dewasa dari lainnya.
---
      Kesibukkan Ayah dalam mengurus proyeknya membuat waktu untuk bersama agak berkurang. Kunjungan ke rumah Nenek pun menjadi imbasnya. Kegiatan rutin sebulan sekali menyambangi rumah Nenek menjadi terbengkalai. Sudah 5 bulan ini mereka tak berkunjung ke sana. Mungkin tak terlalu masalah bagi Ayah dan Bunda, tapi bagi Adit, ini merupakan masalah besar. 5 bulan menahan rindu yang tak lain masih dalam lingkup ‘cinta monyet’ tak mudah bagi anak seusianya.
        “Adit, kamu liburan sekolah mau kemana? Sekalian kita ngerayain tahun baru,” pertanyaan dari sang Bunda yang mengejutkan Adit. Tentu Adit sudah tau akan kemana.
         “Adit mau di rumah Nenek aja, Bun,” Bunda hanya mengangguk dan mengelus-elus rambut Adit. Lusa pagi, mereka berangkat ke rumah Nenek. Perasaan senang Adit menjadi dua, pertama karena liburan sekolah dan tahun baru, kedua, ia harap bisa bertemu Denia.
              BRAK!
         Gelengan kepala dari Bunda ketika Adit kembali menutup pintu mobil dengan keras. Ayah kembali melontarkan tersenyum dengan prilaku anaknya itu.
             “Nek.... Nenek.... Assalamualaikum...,”
         Setelah cukup bercertia tentang sekolahnya kepada Nenek, Adit menyanggahi tempat favoritnya. Halaman luas dengan hamparan rumput hijau yang halus. Sore itu, gumpalan awan membentuk karya alam yang indah, menambah rasa nyaman Adit untuk berlama-lama dengan ‘mainannya’ di bawah terik mentari yang tak terlalu panas sebenarnya, namun, topi biru kesukaannya tak jua dilepas walau cuaca sedang bersahabat.
          Adit memanjakan diri dengan bermain bersama ‘mainannya’. Kali ini tampak ada yang berbeda. Lembar demi lembar silih berganti. Gambar dari buku cerita berubah tiap lembarnya. Satu konflik dan konflik lainnya sudah terselesaikan hingga berakhir dengan akhir yang bahagia. Namun berbanding terbalik dengan Adit, gadis yang ia tunggu untuk membaca bersama-pun tak kunjung terlihat batang hidungya.
          Tetesan air kembali jatuh dari angkasa, gerimis kecil melengkapi kesepian bocah lelaki itu. Adit menatap langit. Wajahnya manisnya menantang air untuk membasahi kenignya, turun melalui pelipis hingga akhirnya jatuh ke tanah.
            “Adit, masuk, nak, di luar sudah mulai hujan,” Bunda memanggil Adit dari depan pintu yang terbuka.
         “Iya, Bun,” jawab Adit lemah. Adit berlari kecil menghampiri Bunda, “Bun, pintunya jangan ditutup, ya,” pinta Adit yang membuat Bunda heran.
            “Memangnya kenapa, Adit? Di luar kan dingin, nanti dinginnya masuk ke dalam rumah lho,”
          “Gapapa, Bun, Adit mau ngersain dinginnya hawa hujan di sore ini,” Bunda mengerti keinginan anaknya. Namun, bukan itu maksud sebenarnya, Adit ingin pintu ini selalu terbuka, agar dia, permaisuri dengan gaun putih itu tahu bahwa ada seseorang yang menunggu dirinya. Di depan pintu rumahnya, dibawah tetesan hujan yang mulai membesar, ada bocah lelaki bertopi biru sedang menunggu... dan menunggu....
---
          “Adit, kita ke taman yuk, sebentar lagi kan tahun baru, biasanya di sana ada pesta kembang api, sekalian kita makan jagung bakar di sana,” ajak Ayah. Adit bersoak gembira, ia bergegas mengambil sebuah buku dan senter, serta tak lupa topi biru kesukaannya.
          “Kamu kok bawa buku?” tanya Ayah sambil memakaikan jaket dengan warna serupa kepada anaknya. “Biar kamu nggak kedinginan,” sebuah senyum dari Ayah menyelesaikan proses pemakaian jaket Adit.
         “Selagi nunggu pergantian tahun, Adit mau baca ini dulu, Yah, tadi belum selesai bacanya,” Ayah sangat memahami hobi anaknya ini, ia kembali tersenyum sembari mengangguk, dan menggandeng tangan kecil Adit. “Kita jalan kaki aja ya, nanti Bunda nyusul, lagi ngobrol sama Nenek dulu soalnya,” Adit mengangguk lemah tanda setuju. Mereka berjalan keluar bersama. Hanya seorang ayah dan anaknya yang luar biasa.
---
           “Ayah beli jagung dulu ya di sana, kamu tunggu di sini sebentar, oke?” kata Ayah sambil mengacungkan jempolnya, yang dibalas hal yang sama oleh Adit.
             Duduk dibangku taman sambil membaca sebuah buku dan berkat senter yang tadi ia bawa maka ia tak kekurangan cahaya yang dapat merusak matanya.
          “Sekarang kamu baca buku cerita apa lagi?” suara yang tak asing tertangkap gendang telinga Adit. Suara dari karah kiri dirinya. Dia tau malam ini akan semakin lengkap dengan kehadiran sosok pemilik suara yang barusan menyapanya itu.
           “Ini bukan buku cerita, ini sebuah novel,” Adit tersenyum ketika tahu bahwa ia kini bertemu bidadari kecilnya lagi.
             “Oh ya? Novel apa? Kamu suka banget baca ya?'
            “Tintin, aku penasaran aja sama ceritanya, belum habis semua sih. Iya, aku lebih suka membaca dari pada bermain di luar rumah,” jawaban yang membuat Denia, yang kali ini menggunakan dress yang sama, namun dengan warna berbeda, warna biru dongker. Warna yang terkesan menyatu dengan gelapnya malam. Namun, berkas cahaya yang terpancar dari wajah mungilnya, cukup membuat fokus mata Adit terkunci ke arah Denia.
         “Boleh aku ikut membaca bersamamu?” anggukan pelan dan senyum manis Adit menghangatkan malam dingin itu. Di bawah sinar rembulan, di bawah lampu taman, di bawah sinar dari senter kecil milik Adit, rasa kerinduan yang lama terpendam, akhirnya dapat tersalurkan pada sebuah malam dingin di penghujung tahun.
---
           “Eh, ada temennya Adit ternyata, om lupa, siapa namanya?” tanya Ayah dengan memegang kantung plastik berisi 3 jagung bakar.
          "Denia om,” dengan ramah dan senyum manisnya yang khas, Denia membalas pertanyaan Ayah Adit.
           “Kebetulan, om bawa 3 jagung bakar, tadinya sih... 2 buat Adit, dia suka ngambek kalau cuma makan satu jagung bakar,”
           “Ah, Ayah, jangan ngomong gitu dong,” Ayah tertawa sembari menghidar ketika Adit berusaha mencubitnya. Melihat tingkah ayah dan anak itu, Denia hanya bisa menahan tawa.  Ia diberi 1 jagung bakar oleh ayah Adit, mereka menghabiskannya bersama di atas bangku taman, diselingi canda tawa diantara ketiganya.
         “Nah, itu Bunda sama Nenek datang,” kata Ayah sambil menunjuk ke arah keduanya dengam mulut penuh jagung yang berlum tertelan.
        “Kayaknya ada yang asik makan jagung bakar tapi nggak bagi-bagi nih,” sindir Bunda dan diikuti tawa lainnya.
          “Sebentar lagi pergantian tahun, yuk ke tengah taman, udah ramai juga disitu,” ajak Ayah yang disetujui oleh ‘pasukannya’. Taman dengan air mancur berbentuk lingkaran di bagian tengahnya, di kelilingi rumput halus dan pohon yang rindang, terasa sangat asri. Saat itu, polusi udara belum banyak memberi dampak negatif bagis atmosfer kita. Sangat natural.
          Mereka berlima duduk di atas rumput taman, Bunda, Nenek, Ayah, Adit dan Denia bersiap menyambut tahun baru. Bersiap memulai lembar baru dalam kehidupan masing-masing. Satu genggaman erat tangan Adit pada jemari-jemari Denia cukup menyatakan tak ada hati baru diantara keduanya.
             5....4....3...2...1..
             BAM!!!! TAAAR!!!! PLETAK!!!!
      Suara petasan menggema mengguncang angkasa, menghiasi gelapnya malam, menyaingi terangnya sinar rembulan dan bintang-bintang. Terompet tak henti-hentinya ditiup. Aura perayaan tahun baru terasa sangat kental. Adit dan Denia terpana melihat langit penuh dengan percak-percik kembang api. Malam itu, 1 Januari 1996, kehangatan, kerekatan, kebersamaan, terbalut indah dalam satu malam.
---
             Kini, seorang bernama Denia Alica Wiharja, gadis bergaun biru dongker pada malam tahun baru 17 tahun silam, ada dalam rangkulanku dengan menggunakan gaun serupa dengan ukuran yang berbeda. Dengan terbalut sebuah cincin pada masing-masing jari manis kami. Dengan seorang pangeran kecil yang berada diantara kami. Di atas kap mobil di daerah Ancol, kami menunggu detik-detik pergantian tahun menuju 2014
             5...4....3...2...1
             Ribuan orang yang ada di sana mulai menghitung mundur.
          Aku memejamakan mata. Suara dentuman yang nyaris serupa dengan tahun-tahun sebelumnya kembali terdengar. Aku membuka mataku perlahan, malam dimana bulan merasa memiliki saingan dalam hal menyinari, malam dimana social media penuh dengan kicauan-kicauan berawalan kata, ‘selamat’. Kalian masih ingat dengan hobiku sewaktu kecil? Hobi yang kutekuni hingga dewasa kini, bedanya, kali ini aku berperan sebagai pemain, bukan si penikmat lagi. Percayalah, jika kalian mempunyai hobi yang positif, tekuni dengan perlahan, maka hobimu itu akan mengantarkan kalian pada kesuksesan kelak.
        Malam ini, aku analogikan sebagai buku, dimana pada detik-detik pergantian tahun kita sudah sampai pada bagian daftar pustaka, atau pada sebuah novel.. umm, mungkin bagian tentang penulis. Mereka mengatakan, ‘mari memulai lembar baru’, tapi pada sebuah buku, tak ada lembaran baru setelah daftar pustaka atau tentang penulis. Aku akan mengatakan, seharusnya kita menyiapkan buku baru, buku baru yang polos tanpa goresan tinta sedikit pun. 365 hari ke depan, 365 halaman baru, kita mengisi halaman itu dengan tinta masing-masing. Entah tinta hitam, atau berwarna. Kita mencoba lebih baik di tahun yang baru, mencoba lebih, dari apapun yang kita inginkan.
        “Selamat tahun baru 17 sayang,” bisikku.
        “Lho, sekarang kan 2014, kok 17?” ia menaikan alisnya, aku tersenyum.
      “Tahun baru ke 17 kita bersama,” ia tersenyum, aku pun begitu. Dengan satu kecupan di dahinya, kita menghabiskan waktu di bawah sinar rembulan, dibawah gemerlapnya langit malam. Selamat tahun baru 2014!

Sunday, December 15, 2013

Saat-saat Tepat Untuk Melanjutkan Obrolan dan Menghentikannya

Assalamualaikum...

Di Minggu siang ini gue akan cuap-cuap sedikit tentang kapan kita harus melanjutkan suatu perbincangan dengan gebetan dan kapan kita harus menghentikannya. Pembahasan dibawah semuanya menurut gue pribadi ya.

Ada masanya, di mana saat kita sedang pdkt dengan lawan jenis, kita nggak mau dengan yang namanya ‘gak ngobrol satu haripun’. Mungkin kalo gebetannya deket atau satu sekolah/kampus/kantor/rumah dengan kita, siangnya bisa ngobrol di tempat dan setelah jam pulang kita melanjutkan obrolan atau membuka obrolan baru melalui sms.

Mungkin juga kita asik dengan pembicaraan kita sendiri, selalu mencari topik baru kalo keliatannya udah sampe diujung obrolan, tapi apa lawan bicara kita merasa enjoy juga? Belum tentu! Siapa tau dia bosen gara-gara terus diajak ngobrol dengan pembicaraan yang udah dibahas sebelumnya?

Seperti halnya begini;

B = Boy
G = Girl

*sms*

B: Hai...
G: Ya?
B: Eh, kamu tau gak? Kemarin di Taman Nasional Ujung Kulon ada badak yang ngelahirin bayi kembar 9 lho! Badaknya gak pake pil KB kali ya. Hahaha
G: Oh gitu, kemarin kamu udah cerita.
B: Terus di deket rumah aku ada anak kecil lagi pipis di bawah pohon mangga terus tititnya digigit semut lho! Kasian ya hahaha
G: Oh gitu, minggu lalu kamu udah cerita. Lagian udah aku bilang, itu adik aku. Diem kamu.
B: ....

Berdasarkan obrolan di atas, bisa dilihat bahwa si cewek bosan dengan pembicaraan cowoknya. Memang kita harus mencari obrolan baru, tapi jangan lupa dengan jeda waktu. Kalo kita udah ngobrol ngalor-ngidul seharian secara langsung dengan dia, upayakan dikasih waktu jeda sekiranya satu hari sebelum kembali melanjutkan tahap pdkt ini. Jadi, abis ngobrol gitu jangan dihubungi dulu, biarkan dia beristirahat sejenak dari bacotan kita. Lagian, kita juga bisa sekalian mencari bahan obrolan yang masih fresh untuk dibicarakan esok harinya, bukan?

*setelah ngobrol seharian*

B: Ah, gue diemin dulu deh, baru nanti gue chat lagi...

*50 tahun kemudian*

B: Haloo! Lanjutin obrolan yang kemarin yuk!
G: Maaf ini siapa? Pemilik nomer ini udah meninggal 12 tahun yang lalu.
B: *tiduran di rel*

Eh, tapi ini teori dari gue ya. Karena menurut gue, kalo gebetan kita udah nyaman sama kita, dan saat kita gak ngehubungin dia maka dia akan ngerasa kesepian dan akan menghubungi kita duluan. Ini udah sering gue coba, presentase berhasil: 0%.

Selanjutnya adalah ketika kita udah ngobrol atau smsan dengan gebetan selama berhari-hari tanpa putus, ada saatnya dia merasa bosan dengan kita. Ingat, tahap ini masih tahap pdkt, dimana kita sendiri belum jadi dan belum tentu juga jadi pacarnya. Dan kalo belum deket-deket amat kemungkinan dia buat bosen semakin tinggi.

Biasanya kalo lawan bicara kita udah bosen dia akan berusaha menyudahi obrolan dengan cara membalas sms secara singkat. Semacam tersirat bukan tersurat. Contoh;

*sms*

B: Kasian banget ya ada anak kucing itu gak diurus mamahnya...
G: Iyaa
B: Padahal dia masih butuh asupan asi dari mamahnya, kasihan sekali.
G: Ho’oh

Kurang lebih seperti itu. Si cewek secara gak langsung mau menyudahi chat dengan kita. Sepertinya dia berpikir kita akan kebingungan mau jawab apa dan akhirnya kita gak bales smsnya. Juga jangan coba untuk melanjutkan obrolan dengan mencari topik lain. Biarkan dia bebas tanpa kehadiran kita di inbox hp-nya. Ingat, beri jeda waktu. Mungkin dia lapar.

Terakhir, kalo misalnya lawan bicara yang dianggap gebetan itu bales chatnya agak lama, jangan diteror supaya cepet bales chat. Dia juga manusia biasa yang punya beragam aktifitas, bukan cuma balesin chat kita doang. Berpikir positif aja, siapa tau dia tidur? Ngerjain tugas? Atau kerja jadi tukang ojeg? Siapa tau. Tapi ya namanya sms, gak seperti Line atau BBM yang punya fitur ‘read’, kalo nyatanya cuma dibaca doang tapi gak dibales sih... Nasib,

*sms*

B: Eh, lagi ada promo tiket pesawat murah ke SG nih, kamu mau gak? Tapi bayar sendiri-sendiri ya!

*1 jam kemudian*

B: Halo?
B: Ada orang?
B: Woy bales wooooy!!!
B: Anjing kesel juga gue!
G: Anak saya lagi serius belajar, HP-nya saya sita, saya papahnya. Kamu ngomong anjing ke saya? Jangan deketin anak saya lagi!!
B: ......

Yah, mungkin cukup sekian pembahasan yang (sangat) gak penting dari gue. Maaf buat yang dari awal udah baca tapi pas sampe akhir bilang, “Kampret, salah masuk blog gue”, Anda terjebak hehehe. Sekali lagi, ini menurut opini gue, jadi kalo gue salah atau ada yang beda pendapat, harap maklum.

Jadi intinya, kita harus tau kapan saat yang tepat untuk memulai obrolan baru dengan gebetan, dan kapan saat dimana kita harus menghentikannya sejenak untuk memberi jeda agar dia gak bosan dengan kita.

Cukup deh, gue pamit. Wassalam!