sekedar ilustrasi, mereka gak sekeren ini kok |
Setelah dinasti Emak yang udah gue ceritain di postingan sebelumnya (bisa dibaca di sini), tinggal satu ekor kucing lagi yang tinggal di rumah gue. Sialnya, kucing ini betina dan feeling gue dia akan meneruskan jejak ibunya untuk terus beranak di sini.
Kucing ini tanpa nama. Jadi kalau manggil dia hanya dengan sebutan paling sederhana yaitu, “Meng, sini meng, makan.” Meng, itu diambil dari suara kucing mengeong dan berdasarkan pendengaran nyokap. Gue sih ngikut aja.
Beberapa lama kemudian hal yang dikhawatirkan nyokap kejadian juga. Kucing betina ini melahirkan 3 ekor anak kucing yang lucu. Awalnya nyokap kesel juga, tapi setelah liat anak-anaknya, nyokap agak lega. Dikarenakan ketiga anaknya jantan semua! Ya! Untuk pertama kali dari beberapa kelahiran kucing di rumah ini, anak yang lahir berjenis kelamin jantan semua! Di situ gue berpikir bahwa mereka adalah generasi terakhir kucing turunan Emak di rumah.
Semenjak itu pula kucing betina di rumah gue resmi mendapat nama sama seperti ibunya, Emak.
Meskipun punya nama sama, ternyata kelakuan Emak yang sekarang dengan Emak yang dulu sangat berbeda. Emak yang sekarang lebih penyayang sama anak-anaknya (bahkan sampai Emak mati). Dan sisi baiknya adalah, Emak yang sekarang hanya satu kali hamil! Beda banget sama Emak yang dulu yang setiap pulang ke rumah, perutnya selalu berisi janin bayi.
Semakin hari, nyokap juga semakin peduli juga sama kucing-kucing ini. Saat lagi lucu-lucunya, nyokap sering ngajak bercanda di teras depan rumah. Nyokap rajin ngasih makan mereka bukan hanya dengan tulang, melainkan nasi dicampur ikan dan nungguin mereka makan sampai habis.
Nyokap juga memutuskan untuk memberi mereka nama, dan nama yang dipilih nyokap adalah... Nyimeng.
Bukan, bukan berarti nyokap gue gak tau arti sesungguhnya dari kata itu. Tapi nyokap cuma nyari nama paling sederhana seperti yang udah gue bilang di atas. Pada awalnya gue juga mempertanyakan nama pemberian nyokap. Tapi pembelaan nyokap demikian, “Itu cuma panggilan keluarga doang kok, lagian nggak akan dibawa kemana-mana juga.” Saat itu gue hanya bisa mengangguk dan gak tahu ke depannya ada kejadian apa..
Karena nama Nyimeng hanya untuk satu kucing, sedangkan anak kucingnya ada tiga, maka nyokap menambahkan panggilan berdasarkan ciri fisik ketiga anak kucing itu di belakang nama Nyimeng. Contohnya ada satu yang ekornya pendek, nyokap panggil Nyimeng Ekor Pendek. Begitu pula dengan dua saudaranya yang lain harus jadi ‘korban’ pemberian nama nyokap. Sehingga nama ‘resmi’ ketiganya ialah, Nyimeng Ekor Pendek, Nyimeng Ekor Panjang dan Nyimeng Banyak Belang. Sungguh bervaedah.
Sejak saat itu gue mulai manggil mereka sesuai nama yang nyokap berikan. Dan memang ini cuma panggilan dari keluarga ini doang, jadi gue ngerasa gak ada masalah dengan nama itu walau gue selalu punya perasaan aneh tiap gue manggil mereka dengan nama itu. Kasian aja sih. Mungkin mereka senang dipanggil Nyimeng, tapi kalau mereka tahu arti sesungguhnya dari kata itu, mungkin mereka akan menyesal dilahirkan sebagai kucing dan berpikir kenapa orang tua mereka bukan anjing aja.
Sampai ketika ada satu kejadian yang membuat gue sadar betapa pentingnya sebuah nama, bahkan untuk hewan sekalipun.
Gue baru pulang dari tanah rantau dan menemukan Ekor Pendek dalam kondisi mengenaskan. Dia kayak kena infeksi yang kata bokap gue, dia masuk ke selokan. Jalannya pincang, mukanya berantakan, badannya kurus dan dia terkena diare parah. Sehingga nyokap meminta gue untuk ngebawa dia ke klinik hewan.
Keesokan harinya gue bawa Ekor Pendek ke klinik. Sesampainya di sana, ada satu perawat dan satu penjaga yang menunggu. Kemudian gue disuruh masuk ke ruang periksa dan ditanya soal kondisi Ekor Pendek dan gue hanya menjelaskan apa yang gue pahami. Semua berjalan lancar sampai si perawat berkata, “Baik, mas. Sekarang diisi datanya dulu, ya. Nama kucingnya siapa?”
Mampus. Gue diem agak lama. Perawatnya masih ngeliatin gue, nunggu jawaban. Dengan ragu-ragu gue bilang, “Nyimeng, mas.”
Dia masih diem ngeliatin gue. Gue ulangi sekali lagi, “Ehm.. Nyimeng, mas. Namanya.. Nyimeng.”
Dia ngakak. Gue mau ngambil suntikan dan ngebius dia.
“Sekarang kondisi dia kayaknya sesuai sama nama dia yah.” Kata perawat itu karena ngeliat kondisi Ekor Pendek yang kalau jalan pincang seakan abis nyimeng beneran.
“He he he, iya mas.” Jawab gue sambil ketawa canggung. Berharap percakapan ini gak dilanjutin lagi. Atau beneran gue bius dia.
Dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya gue jawab dengan sangat tidak baik. Karena emang gue kurang tau banyak dengan kondisi kucing-kucing di rumah.
Mulai dari pertanyaan, “Umurnya berapa?” yang gue jawab, “Kurang tau mas, pokoknya udah cukup umur buat ngehamilin kucing lain aja.”
Sampai, “Ini sakitnya dari kapan?”
“Dari saya sampai rumah udah begini mas,” sumpah gue udah gak fokus.
Karena dokternya lagi gak ada di tempat, jadi Ekor Pendek disarankan untuk ditinggal sehari di sana dan nanti pihak kliniknya ngehubungin gue lagi. Dan apa yang dia bicarakan selanjutnya hanya gue iyakan karena gue mau secepatnya pergi dari sana.
Dari situ gue berpikir bahwa nama adalah sesuatu yang penting. Meskipun pada awalnya hanya untuk satu keluarga aja yang tahu, tapi kita gak akan tahu apa yang akan terjadi ke depan. Seperti kejadian Nyimeng Ekor Pendek satu ini. Tahu gitu gue kasih nama Joni kayak dulu.
Beberapa bulan setelah di bawa ke klinik, kondisi Ekor Pendek berangsur membaik. Sebelumnya dia benar-benar gak bisa keluar rumah, tapi nyokap dengan sabar ngerawat dia dengan memberi obat yang dikasih dari klinik. Sekarang dia udah bisa kembali jalan-jalan dan badannya terlihat lebih sehat. Walaupun jalannnya masih sedikit pincang. Sedangkan dua saudaranya yang lain udah jarang pulang ke rumah. Mereka lebih memilih merantau entah kemana tapi terkadang mereka juga sempat untuk pulang.
Gue yang di awal berpikir bahwa generasi tiga kucing jantan ini adalah generasi kucing terakhir di rumah gue, harus mengubur dalam-dalam pikiran itu ketika di suatu sore nyokap menghampiri gue dan berkata, “A, kamu bisa naik ke atas gak? Tolong turunin kucing. Udah beberapa hari dia di atas sana.”
Gue diem sejenak. Kemudian gue tanya, “Kucing siapa, Mah?”
“Pacarnya Ekor Pendek. Udah beberapa hari ini di rumah.”
Mampus. Gue gak tahu dia cerita apa tentang kondisinya ke kucing betina lain sampai kucing itu bisa tertarik sama Ekor Pendek. Mungkin dia cerita kalau jalannya yang pincang itu akibat berantem sama kucing lain dan ia terlihat jantan. Andai betina itu tahu cerita aslinya, mungkin kondisi sekarang akan sedikit berbeda.
Gue emang gak banyak tahu kondisi kucing-kucing di rumah karena gue harus merantau. Dan ketika gue pulang ke rumah, selalu ada hal baru yang gue lihat terutama dari perkembangan kucing-kucing ini.
Dan sekali lagi, pikiran gue bahwa tiga saudara ini adalah generasi terakhir kucing di rumah harus benar-benar kandas, ketika pada suatu sore, gue diperintahkan untuk memasukan mobil ke dalam garasi dan gue mendengar suara anak kucing. Ya, anak kucing. Dia anak-anak. Dan dia kucing. Damn.
Gue memasukan mobil dengan hati-hati, takut anak kucing itu ada di teras. Setelah mobil terparkir sempurna, gue cari sumber suara yang sudah menganggu fokus gue tadi. Dan benar saja, gue menemukan satu anak kucing di bagian samping rumah. Gue tepok jidat dan kisah tentang generasi kucing di rumah ini nampaknya tidak akan berakhir dengan cepat.
kerjaan Ekor Pendek tiap hari |
gokil wkwk, terus nulis bang
ReplyDeleteSiap! Terima kasii!
DeleteDitunggu kisah kucing selanjutnya☺
ReplyDeleteSiap!
Delete