Tuesday, September 20, 2016

Sebuah Tulisan Sederhana: Tentang Waktu

Waktu, salah satu artinya menurut KBBI adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. Artinya waktu sangat terkait dengan hidup. Karena hidup manusia tak jauh dari kata proses atau perbuatan. Mulai dari proses penjajakan diri hingga proses pembelajaran semuanya terikat dengan waktu. Bahkan memori manusia terbelenggu oleh waktu. Kali ini gue akan sedikit membahas mengenai waktu.

Sebagai anak rantau, gue semakin menyadari betapa berharganya waktu. Bahkan unutk sepersejuta detik pun gue berusaha menikmatinya. Acap kali saat libur semester tiba, dan rumah menjadi destinasi liburan terbaik, waktu seakan menjadi ‘barang mahal’ dibanding apapun di dunia, bahkan berlian termahal pun tak mampu menyainginya. Waktu seakan mendekap diri gue erat dalam ikatan kebersamaan keluarga. Gue sadar, saat seperti itu gak berlansgung selamanya -pada kondisi ini. Semua kehangatan itu dapat sirna hanya dalam hitungan menit. Keinginan menghentikan waktu hanya berupa angan belaka yang mungkin juga terbesit dalam pikiran beberapa orang. Prinsipnya kuat, waktu akan terus berjalan sampai sang Pencipta yang menghentikannya.

Waktu terkadang membuat gue merasa tergelitik, ketika sadar berkatnya gue dapat berada di dua tempat berbeda, dua situasi kehidupan yang berbeda hanya dengan satu pejaman mata. Ia juga membuat gue sadar betapa cepatnya tahun berganti, umur bertambah dan tren masyarakat berubah. Tanpa disadari, gue udah selesai pada setengah jalan di dunia perkuliahan dan bersiap menaklukan setengah berikutnya.

Menurut gue, waktu punya dua sisi yang berlainan, seperti sisi baik dan jahat. Kadang waktu membuat seseorang bergembira karena pekerjaan, perbuatan atau doanya dijawab olehnya dengan memberikan sesuatu yang mereka impikan. Di sisi lain, waktu seakan membawa kita kembali ke masa yang tak ingin lagi kita kenang bahkan ia sengaja ‘memenjarakan’ kita di sana dan membawa kepedihan dan kesedihan yang nyata.

Waktu juga tak punya batasan yang jelas dan terkesan abstarak. Seperti zaman, apakah satu zaman punya periode tetap? Sekali waktu kita melihat fenomena yang terjadi sekarang mendapat banyak sorotan dan tak sedikit juga yang berucap, “zaman sekarang, gak seperti zaman gue dulu, zaman sekarang moralnya sudah pada rusak.” Padahal jarak antara zaman sekarang dengan zaman orang itu hanya berjarak kurang dari satu dekade. Memang, zaman bisa diartikan jangka waktu tertentu (bisa panjang atau pendek). Tapi apa berarti dalam jangka katakanlah, dua tahun, jika tren dan kebiasaan masyarakat berubah pesat bisa dibilang itu adalah zaman baru? Apakah itu kuasamu, wahai waktu? Membuat pergerakan demikian cepat, menyeret manusia membuat arus baru yang merubah lingkungannya sendiri?

Gue juga menyadari, waktu punya peran penting dalam hidup gue pada khususnya. Ia menjadi salah satu faktor utama dalam membentuk diri serta pola pikir, disamping pengalaman dan usaha kemandirian. Gue yang sekarang berbeda dengan gue setahun lalu atau bahkan berbeda dari lima menit lalu. Sedangkan masa depan masih samar seperti oase padang pasir.

Gue meyakini bahwa hidup pada saat kini adalah yang terbaik. Karena hidup adalah sebuah kepastian yang harus dijalani, sedalam apapun jurang yang menunggu, seterjal apapun batu karang yang menghantam dan setinggi apapun benteng menjulang yang menghadang, hidup adalah hidup, sebuah konsep perjalanan yang ditemani waktu sebagai pendamping. Dan perjalanan ini akan menghanyutkan kita menuju akhir yang abstrak dan penuh pengharapan.

Karena hidup di masa lalu hanya menimbulkan aura pesimisme. Membuat pikiran berkutat dengan penyesalan. Tiap keping kenangan hanya melahirkan kekecewaan. Kenangan manis yang terlintas terlalu sayang untuk dibuang dan kenangan pahit yang membelenggu terlampau sakit untuk terjadi kembali.

Hidup adalah sebuah proses. Dimana masa lalu merupakan ‘literasi’ pribadi untuk pembelajaran dan jadikan masa depan sebagai sebuah rancangan, bukan kepastian. Berharap dengan ‘literasi’ tersebut akan menjadi sesuatu yang berharga pada saat yang akan datang.

Speaking about time
What we have is just present
The past is history and the future is none of ours
Life goes on, but still not yet on our own
What will be, will be
What should be then, let it be
We’re here in the present, no other time than now


Referensi:
- Pemikiran dan kegelisahan pribadi
- dkelana.wordpress.com/2010/09/06/konsepsi-waktu/

Masalah Klasik Dunia Literasi Indonesia

Bismillahirrahmanirrahim.

Sehubungan dengan kegelisahan yang akhir-akhir ini meresahkan jiwa dan akhirnya menuangkan sedikit pemikiran ke tempat ini. Bahasan ini merupakan bahasan yang sudah sering kali dikaji dan dibicarakan. Bahkan sudah terdapat ribuan tulisan mengenai topik ini di mesin pencari Google, yaitu membaca.

Dengan menggunakan keyword ‘minat membaca’ di Google, kita akan mendapatkan banyak hasil telusuran dari berbagai website, namun hampir semuanya merujuk pada satu judul, ‘Minat Baca Di Indonesia Rendah.’

Memang benar jika tinjauannya adalah buku, maka minat membaca bangsa ini bisa dikatakan rendah. Menurut data dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat terendah di antara 52 negara di Asia.

UNESCO melaporkan pada 2012 kemampuan membaca anak-anak Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku, sedangkan Indonesia mencapai titik terendah: 0 persen! Tepatnya 0,001 persen.

Artinya, dari 1000 anak Indonesia, hanya satu anak yang mampu menghabiskan satu buku dalam setahun.

Ini persoalan penting, ini perkara genting. Soal minat baca memang terlihat tidak semendesak persoalan energi atau pangan. Tapi bagaimana menyiapkan masa depan negeri ini jika tingkat literasi begitu rendah?

Meskipun demikian, jika konteknya diperluas -tidak hanya buku, maka data di atas tidak dipergunakan. Seperti yang dikatakan Windy Ariestanty, Pemimpin Redaksi Gagas Media berikut ini,

“Sekarang di era kemajuan teknologi, kita dapat membaca apapun di internet, baik itu artikel, berita, atau e-book. Kalau kita masih menyempitkannya pada membaca buku, jumlah buku yang terbit memang belum sebanding dengan jumlah penduduk di Indonesia,” imbuhnya.

Windy juga mengungkapkan, ada dua kekeliruan yang muncul dari data di atas. Pertama, konteks minat baca selalu dipersempit untuk membaca buku. Padahal, minat baca sejatinya tidak hanya dilihat dari seberapa sering seseorang membaca buku.

Kekeliruan kedua terletak dari karakteristik minat baca seseorang. Seringkali seseorang memandang rendah minat baca orang lain dilihat dari apa yang dibacanya. Windy menjelaskan, seseorang yang membaca buku-buku yang ringan jangan lalu dianggap memiliki selera membaca yang rendah.

Dengan kata lain, membaca tulisan ini sampai selesai saja sudah mengindikasikan bahwa masyarakat kita masih ada minat untuk membaca. Bahkan untuk hal paling sederhana sekali pun; membaca status di media sosial hingga caption nan panjang di instagram.

Namun pada akhirnya, sebaik-baiknya orang yang membaca adalah orang yang mampu memahami, merangkum dan menceritakan kembali apa yang telah ia dapat kepada orang lain dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahan isi dan sumbernya.

Internet memang memberikan kemudahan dalam mengakses informasi. Namun bagi saya, itu saja tidak cukup. Kelihaian media dalam menyunting informasi sebelum dipublikasi sangat berpengaruh dengan hasilnya sehingga membuat ‘kedahsyatan’ informasi itu berkurang. Ditambah mayoritas dari media hanya mengejar rating semata tanpa memperdulikan apakah isinya bermanfaat atau tidak membuat buku semakin berharga di mata saya.

Saya sendiri menyesal terlambat menyelami dunia literasi. Pepatah mengatakan, 'buku merupakan jendela dunia', ya, buku sebagai media untuk melihat dunia lebih luas tanpa harus menggerakan apapun melainkan pikiran dan imajinasi. Terkadang saya berpikir, dengan jam terbang membaca saya yang minim seperti sekarang ini, sudah seluas apa dunia yang saya lihat? Jika buku adalah jendela dunia, mungkin kini saya hanya dapat ‘mengintip’ dari balik gorden jendela. Namun, hasrat untuk melihat dunia seluruhnya selalu ada dan tetap terjaga.

Ada dual hal utama yang membuat saya begitu mencintai buku, yaitu rasa iri dan keingintahuan yang hebat. Saya iri apabila melihat orang yang lihai berbicara tentang A, padahal cabang ilmu yang dia kuasai B. Contoh sederhananya seperti anak teknik yang paham betul politik dan filsafat. Sehingga membuat dirinya dipenuhi oleh pengetahuan. Karena buku merupakan gudang ilmu, gerbang utama yang menuntun pada cakrawala tak terbatas.

Kedua ialah rasa ingin tahu. Saya membaca kembali perjuangan bangsa ini ketika melawan kolonialisme dahulu karena saya penasaran dengan kisah yang membuat saya dapat hidup tanpa tekanan penjajah sekarang ini. Saya pun yakin bahwa sejarah bangsa yang ada pada buku sejarah sekolah sudah mengalami penyuntingan sana-sini.

Hal unik dari sebuah buku ialah ketika saya membaca buku mengenai A tapi di dalamnya ada tokoh B, C dan seterusnya, hal tersebut memancing gairah keingintahuan saya sehingga memutuskan membaca buku tentang tokoh tersebut. Bagi saya ini merupakan sebuah alur yang immortal.

Di Surabaya, Jakarta, dan di kota-kota yang lain, ada orang-orang dengan semangat serupa yang gigih mengkampanyekan pentingnya membaca. Tanpa dibayar, bahkan mesti keluar uang untuk membeli buku dan ongkos ini itu, mereka dengan keras kepala mengantarkan buku-buku kepada siapa pun yang mau membaca. Bahkan, gangguan aparat tidak menyusutkan semangat mereka dalam menyebarkan ilmu pengetahuan. Karena membaca adalah melawan.

Negara kita berdiri dengan perjuangan para pemikir dan ‘kutu buku’. Mempertahankan keteguhan negara ini juga demikian. Menjadikan budaya membaca sebagai senjata menenggelamkan ‘budaya korupsi’ adalah tugas bersama. Terlampau banyak buku tersedia, tapi apalah arti buku tanpa pembacanya? Ia hanya akan menjadi arsip semata. Laksana raga tanpa jiwa, yang ada hanyalah hampa. Membuat negeri literasi tidak dimulai dari besok atau pun lusa, melainkan sekarang!

“Kalau sebuah bahasa dengan kesusasteraannya tidak didukung oleh tradisi membaca masyarakatnya, maka kematiannya akan segera menyusul.” – Ajip Rosidi.



Referensi:

---http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/18/11140791/menikam.kolonialisme.dan.merdeka.dengan.buku
---http://www.unpad.ac.id/2014/04/siapa-bilang-minat-baca-masyarakat-indonesia-rendah/

Sunday, September 11, 2016

Alur Penghidupan

Malam ini kuguratkan pena
Di atas kertas suci
Berlandaskan sunyi
Berselimutkan malam
Tulisan penghidupan, niatku

Pena meliuk
Garis hitam bergandengan
Seperti muara hidup
Entah apa ujungnya

Aku tak sendiri
Dewi malam bersamaku
Dengan tarian nyata
Menuntunku pada tiap aksara baru

Tapi malam terlalu beringas
Mendekap sang dewi
Lalu dihunuskan angin itu

Aku sendiri
Dewi malam tiada, arahku pun jua
Namun aku tak berhenti
Tiada jurang dalam bagiku

Ah!
Ternyata di sana sandingan sang dewi
Syukurlah, ia kembali
Dari ketiadaan yang hampa
Lintasanku terlihat
Aral makin tiada menghadang
Beginilah sekiranya
Tulisan penghidupan itu

Tuesday, September 6, 2016

Kata Siapa?


google.com

Kata orang, cinta dapat menerbangkan sukma ke angkasa
Tapi langit seakan runtuh ketika angan tak sampai
Kata orang, cinta dapat menumbuhkan semangat hidup
Tapi mudah meredupkannya dengan sejumlah aksara
Kata orang, cinta dapat memperlihatkan dunia penuh warna
Tapi kadang hanya hitam-putih adanya
Kata orang, cinta dapat membuat pikiran syahdu
Tapi persetan dengan mereka yang resah karena cinta
Kata orang, cinta itu perilhal jujur dan setia
Tapi penuh atas dusta serta fana belaka
Kata orang, cinta sejati akan hadir pada waktunya
Tapi bertebar nafsu berkedok ‘cinta sejati’
Kata orang, jangan mudah percaya cinta
Tapi kenapa aku harus mendengarkan kata-kata mu?
Kata orang, yakinlah pada dirimu sendiri
Tapi aku terlalu rapuh untuk melangkah
Aku bahkan tak tau makna sejati satu kata ini
Tapi aku percaya akan keteguhannya