Bismillahirrahmanirrahim.
Sehubungan dengan kegelisahan yang akhir-akhir ini meresahkan jiwa dan akhirnya menuangkan sedikit pemikiran ke tempat ini. Bahasan ini merupakan bahasan yang sudah sering kali dikaji dan dibicarakan. Bahkan sudah terdapat ribuan tulisan mengenai topik ini di mesin pencari Google, yaitu membaca.
Dengan menggunakan keyword ‘minat membaca’ di Google, kita akan mendapatkan banyak hasil telusuran dari berbagai website, namun hampir semuanya merujuk pada satu judul, ‘Minat Baca Di Indonesia Rendah.’
Memang benar jika tinjauannya adalah buku, maka minat membaca bangsa ini bisa dikatakan rendah. Menurut data dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat terendah di antara 52 negara di Asia.
UNESCO melaporkan pada 2012 kemampuan membaca anak-anak Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku, sedangkan Indonesia mencapai titik terendah: 0 persen! Tepatnya 0,001 persen.
Artinya, dari 1000 anak Indonesia, hanya satu anak yang mampu menghabiskan satu buku dalam setahun.
Ini persoalan penting, ini perkara genting. Soal minat baca memang terlihat tidak semendesak persoalan energi atau pangan. Tapi bagaimana menyiapkan masa depan negeri ini jika tingkat literasi begitu rendah?
Meskipun demikian, jika konteknya diperluas -tidak hanya buku, maka data di atas tidak dipergunakan. Seperti yang dikatakan Windy Ariestanty, Pemimpin Redaksi Gagas Media berikut ini,
“Sekarang di era kemajuan teknologi, kita dapat membaca apapun di internet, baik itu artikel, berita, atau e-book. Kalau kita masih menyempitkannya pada membaca buku, jumlah buku yang terbit memang belum sebanding dengan jumlah penduduk di Indonesia,” imbuhnya.
Windy juga mengungkapkan, ada dua kekeliruan yang muncul dari data di atas. Pertama, konteks minat baca selalu dipersempit untuk membaca buku. Padahal, minat baca sejatinya tidak hanya dilihat dari seberapa sering seseorang membaca buku.
Kekeliruan kedua terletak dari karakteristik minat baca seseorang. Seringkali seseorang memandang rendah minat baca orang lain dilihat dari apa yang dibacanya. Windy menjelaskan, seseorang yang membaca buku-buku yang ringan jangan lalu dianggap memiliki selera membaca yang rendah.
Dengan kata lain, membaca tulisan ini sampai selesai saja sudah mengindikasikan bahwa masyarakat kita masih ada minat untuk membaca. Bahkan untuk hal paling sederhana sekali pun; membaca status di media sosial hingga caption nan panjang di instagram.
Namun pada akhirnya, sebaik-baiknya orang yang membaca adalah orang yang mampu memahami, merangkum dan menceritakan kembali apa yang telah ia dapat kepada orang lain dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahan isi dan sumbernya.
Internet memang memberikan kemudahan dalam mengakses informasi. Namun bagi saya, itu saja tidak cukup. Kelihaian media dalam menyunting informasi sebelum dipublikasi sangat berpengaruh dengan hasilnya sehingga membuat ‘kedahsyatan’ informasi itu berkurang. Ditambah mayoritas dari media hanya mengejar rating semata tanpa memperdulikan apakah isinya bermanfaat atau tidak membuat buku semakin berharga di mata saya.
Saya sendiri menyesal terlambat menyelami dunia literasi. Pepatah mengatakan, 'buku merupakan jendela dunia', ya, buku sebagai media untuk melihat dunia lebih luas tanpa harus menggerakan apapun melainkan pikiran dan imajinasi. Terkadang saya berpikir, dengan jam terbang membaca saya yang minim seperti sekarang ini, sudah seluas apa dunia yang saya lihat? Jika buku adalah jendela dunia, mungkin kini saya hanya dapat ‘mengintip’ dari balik gorden jendela. Namun, hasrat untuk melihat dunia seluruhnya selalu ada dan tetap terjaga.
Ada dual hal utama yang membuat saya begitu mencintai buku, yaitu rasa iri dan keingintahuan yang hebat. Saya iri apabila melihat orang yang lihai berbicara tentang A, padahal cabang ilmu yang dia kuasai B. Contoh sederhananya seperti anak teknik yang paham betul politik dan filsafat. Sehingga membuat dirinya dipenuhi oleh pengetahuan. Karena buku merupakan gudang ilmu, gerbang utama yang menuntun pada cakrawala tak terbatas.
Kedua ialah rasa ingin tahu. Saya membaca kembali perjuangan bangsa ini ketika melawan kolonialisme dahulu karena saya penasaran dengan kisah yang membuat saya dapat hidup tanpa tekanan penjajah sekarang ini. Saya pun yakin bahwa sejarah bangsa yang ada pada buku sejarah sekolah sudah mengalami penyuntingan sana-sini.
Hal unik dari sebuah buku ialah ketika saya membaca buku mengenai A tapi di dalamnya ada tokoh B, C dan seterusnya, hal tersebut memancing gairah keingintahuan saya sehingga memutuskan membaca buku tentang tokoh tersebut. Bagi saya ini merupakan sebuah alur yang immortal.
Di Surabaya, Jakarta, dan di kota-kota yang lain, ada orang-orang dengan semangat serupa yang gigih mengkampanyekan pentingnya membaca. Tanpa dibayar, bahkan mesti keluar uang untuk membeli buku dan ongkos ini itu, mereka dengan keras kepala mengantarkan buku-buku kepada siapa pun yang mau membaca. Bahkan, gangguan aparat tidak menyusutkan semangat mereka dalam menyebarkan ilmu pengetahuan. Karena membaca adalah melawan.
Negara kita berdiri dengan perjuangan para pemikir dan ‘kutu buku’. Mempertahankan keteguhan negara ini juga demikian. Menjadikan budaya membaca sebagai senjata menenggelamkan ‘budaya korupsi’ adalah tugas bersama. Terlampau banyak buku tersedia, tapi apalah arti buku tanpa pembacanya? Ia hanya akan menjadi arsip semata. Laksana raga tanpa jiwa, yang ada hanyalah hampa. Membuat negeri literasi tidak dimulai dari besok atau pun lusa, melainkan sekarang!
“Kalau sebuah bahasa dengan kesusasteraannya tidak didukung oleh tradisi membaca masyarakatnya, maka kematiannya akan segera menyusul.” – Ajip Rosidi.
Referensi:
---http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/18/11140791/menikam.kolonialisme.dan.merdeka.dengan.buku
---http://www.unpad.ac.id/2014/04/siapa-bilang-minat-baca-masyarakat-indonesia-rendah/
Minat baca buku di Indonesia masih tergolong sangat rendah, hal ini masih terus mengusik pikiran saya. Meskipun belum ada kampanye dari pemerintah yang mampu menggiring minat baca masyarakat meningkat secara masif, saya masih bersyukur masih ada di luar sana orang-orang yang tetap berusaha mengedukasi masyarakat tentang pentingnya membaca. Anyway, nice post!
ReplyDeleteBoleh juga mampir ke blog berdebu saya:
https://mylostlullaby.blogspot.co.id/
Yap, setuju, maka dari itu kita sebagai orang yang punya ketertarikan terhadap buku harus terus membantu mempropagandakan bahwa buku itu asyik.
Delete