Saturday, December 24, 2016

Jadi Diri Sendiri, Apakah Ada?

source: imagesbuddy.com
Sering kali saya mendengar istilah ‘jadilah diri sendiri’, ‘just be yourself’ atau apa pun yang berkaitan tentang itu. Biasanya kata demikian ditujukan seseorang untuk memotivasi orang lain. Tapi pertanyaanya, apakah kita sebagai manusia sosial yang dituntut untuk berinteraksi dengan sesama dan selalu berkontak dengan lingkungan sekitar bisa menjadi diri sendiri seutuhnya?

Saya rasa tidak ada yang manusia yang 100% menjadi dirinya sendiri. Karena manusia itu dinamis. Pada dasarnya manusia akan terus berubah. Saya esok hari belum tentu sama dengan saya hari ini. Manusia itu terus berubah setiap harinya, bahkan setiap jam juga tiap detik.

Menjadi diri sendiri berarti tidak terpengaruh dengan sesuatu yang sifatnya eksternal. Seorang yang benar-benar menjadi dirinya sendiri tentu mempunyai sifat unik yang tidak akan pernah kita temukan pada diri orang lain. Karena memang hanya dia seorang yang punya. Jika ada orang lain yang mempunyai peringai, gelagat atau cara berpikir yang sama, berarti ada kemungkinan orang-orang itu mendapatkan pandangannya dari sumber yang sama.

Saya pribadi tidak bisa menjadi diri sendiri seutuhnya. Saat saya membaca buku karya Tan Malaka, saya terpengaruh dengan cara berpikir beliau yang pada zamannya sudah melangkah jauh ke depan memikirkan kemerdekaan bangsa. Ketika saya membaca buku karya tokoh lain, seperti Gus Dur, saya punya pandangan baru mengenai permasalahan agama negeri ini dan bagaimana cara yang tepat untuk menyikapinya. Saya tidak benar-benar menjadi saya.

Bukan hanya bacaan, menonton sebuah film pun dapat memengaruhi pribadi seseorang. Misalnya seseorang menonton film tentang American Football, setelah menonton seketika timbul keinginan untuk bermain American Football atau mencari informasi tentang olahraga itu yang sebenarnya bukan olahraga yang dia banget.

Di mesin pencarian Google, banyak ditemukan situs yang memuat kiat-kiat menjadi diri sendiri. Seperti yang ditemukan di laman wikihow.com tentang beberapa cara untuk menjadi diri sendiri. Lucunya, cara-cara tersebut ditulis oleh orang lain yang dengan penilaiannya sendiri, bahwa cara yang ia tulis bisa dikategorikan cara yang umum sehingga dapat digunakan oleh banyak orang. Katanya jadi diri sendiri, tapi mengetahui caranya saja dari pendapat orang lain, piye toh?

Menurut saya, perkataan yang tepat bukanlah ‘jadi diri sendiri’, melainkan ‘mengenal diri sendiri’. Kita tidak akan bisa menjadi diri sendiri seutuhnya, tapi kita tentu mengenal kapasitas, kemampuan dan potensi diri kita masing-masing. Walau potensi itu hanya di hal kecil, seperti susah-bangun-pagi-meski-sudah-memasang-alarm-dengan-jeda-3-menit-sekali, sekali pun.

Ketika seorang yang terpengaruh film tentang American Football tadi tertarik untuk terjun ke dunia American Football. Ia mengkaji ulang kapasitas, kemampuan dan potensi dirinya sendiri terlebih dahulu. Ia sadar bahwa kemampuannya bukan di American Football, tapi di bekel, misalnya. Ia juga menilai fisiknya kurang menunjang dalam American Football dan ia sadar ada di daerah dimana gobak sodor lebih populer dibanding American Football.

Ia sadar akan kemampuan dan kapasitasnya, sehingga ia memaksimalkan seluruh potensinya di bekel. Siapa tahu ia bisa menjadi juara di ajang World Bekel Championship, bukan?

Untuk mengetahui kadar kemampuan diri, hanya orang itu sendiri yang mampu menakarnya. Saya pun tak mau banyak berbicara banyak kali ini. Intinya, seseorang tidak akan 100% menjadi dirinya tanpa adanya pengaruh dari buku yang dibaca, film yang ditonton, sesuatu di dunia maya, dari media sosial, orang lain, atau lingkungan sekitar. 

Jadi jangan heran kalau ada orang yang bersikap manja akan tetapi di kemudian hari ia menjadi orang yang tenang dan dewasa. Bukan berarti ia tidak menjadi dirinya sendiri, ia hanya telah menemukan batu loncatan dalam perjalanan hidupnya yang mempengaruhinya dalam berpikir, bertindak juga berprilaku.

Btw, kalau beneran ada World Bekel Championship bakal keren kali, ya?

Monday, December 19, 2016

AFF 2016: Kenangan dan Harapan (Bagian Dua)

google.com
Bagian satu.

Berbagai kejuaraan diselenggarakan dengan tujuan setidaknya mampu mengobati kerinduan akan panasnya kompetisi sepak bola nasional. Namun itu semua tetap tak bisa mengalahkan sengitnya sebuah kompetisi dan kerinduan itu terbayar setelah pada tahun ini hadir kembali sebuah liga yang disebut banyak orang sebagai ‘Liga Kopi.’

Sampai akhirnya sanksi FIFA itu dicabut pada kongres FIFA di Mexico City, hanya beberapa bulan sebelum Piala AFF 2016 bergulir. PSSI langsung tancap gas dengan mempersiapkan timnas untuk ajang tersebut. Pelatih Alfred Riedl kembali dipercaya sebagai arsitek utama tim. Namun sayang seribu sayang, entah apa yang ada dipikiran empunya liga sehingga Liga Kopi hanya membatasi kuota maksimal 2 pemain per klub untuk dipanggil ke timnas Indonesia.

Lucu. Ketika seharusnya seluruh masyarakat mendukung timnas, justru hambatan yang datang berasal dari dunia sepak bola itu sendiri.

Tapi tak apalah, nyatanya coach Alfred masih mampu memilih pemain terbaik untuk dimasukkan ke dalam squad Garuda. Semoga ke depannya Liga Kopi diberikan kesadaran akan pentingnya mengutamakan timnas dibanding kompetisi yang tidak ada degradasi dan yang juara tidak berlaga di AFC Cup atau Liga Champions Asia.

Dan akhirnya penantian panjang pun berbuah manis. Kerinduan akan permainan timnas terbayar sudah ketika timnas mulai mengadakan beberapa pertandingan uji coba menjelang Piala AFF 2016. Saya termasuk salah satu yang menyaksikan aksi kembalinya timnas saat uji coba dengan Vietnam di Stadion Maguwoharjo, Sleman. Bahkan yang saya simpulkan di akhir pertandingan adalah kita punya modal mental yang kuat setelah mampu come back dari ketertinggalan dua gol dan membuat hasil akhir menjadi imbang dengan kedudukan 2-2.

Pemanggilan pemain yang merumput di luar negeri, seperti Stefano Lilipaly dari Belanda, Irfan Bachdim dari Jepang serta Andik Vermansyah dari Malaysia, mampu menaikkan animo supporter yang berharap pengalaman mereka dapat memperbaiki kualitas permainan timnas kita. Meskpun dua dari tiga nama yang saya sebutkan tadi tak bisa menyelesaikan gelaran ini dengan sempurna. Bahkan Irfan harus dicoret menyusul cideranya menjelang turnamen diselenggarakan.

Hasil dari serangkaian uji coba yang cukup baik serta rindu yang tak terbendung akan partisipasi timnas di ajang internasional membuat semua mata tertuju ke Philippines Sports Stadium pada 19 November kemarin. Pertandingan pertama pada AFF 2016 dan juga momen kembalinya timnas pada turnamen resmi harus diawali dengan kekalahan atas salah satu tim kandidat juara, Thailand. Kemudian dilanjutkan dengan hasil imbang melawan tuan rumah Filipina dan dengan luar biasa come back atas Singapura sehingga meloloskan timnas ke fase play-off.

AFF 2016. dok.AFF
Bertemu lawan berat Vietnam di babak semi-final tidak lantas membuat timnas kita ciut. Sebaliknya, gelombang dukungan yang tak ada putusnya membuat semangat timnas membara dan berhasil memukul Vietnam 2-1 pada leg pertama di Stadion Pakansari, Bogor. Mesikpun pada leg kedua para pendukung timnas harus lebih sering menahan nafas karena gempuran 7 hari 7 malam yang dilakukan pasukan Vietnam.

AFF 2016. Sumber: google.com
Lolos dengan agregat 4-2 setelah berhasil menahan imbang 2-2 di kandang Vietnam melawan 10 orang (setelah kipernya yang saya tau ada nama Nguyen-nya) dikartu merah. Dengan dibombardirnya timnas kita oleh 10 orang pemain Vietnam, timbul lagi sebuah pertanyaan, apakah mental juara pemain kita hanya jika kita bermain di kandang sendiri?

Jikalau pertanyaan saya benar adanya, maka saat tau akan berhadapan kembali dengan Thailand di partai final saya sudah bisa memprediksi bahwa timnas akan memetik kemenangan saat bermain di Indonesia. Tinggal pertanyaannya, siapa yang main di kandang terlebih dahulu? Saat jadwal perandingan final keluar, rasa pesimis kembali timbul mengingat Indonesia harus menjalani laga kandang pada leg pertama.

Prediksi saya terbukti tepat, timnas berhasil mempermalukan Thailand dengan skor yang sama kala memukul Vietnam di semi-final lalu. Dan bayangan bahwa mental juara kita tak berlaku saat laga tandang juga terbukti tepat. Timnas Indoesia seakan lesu dan ciut saat menjalani leg kedua di Thailand, sehingga harus rela kehilangan kesempatan merengkuh gelar juara AFF untuk pertama kalinya.

Sepak bola lah yang berhasil menyatukan kita, rakyat Indonesia. Begitu kata sebagian orang jika melihat hiruk pikuk yang melanda negeri belakangan ini. Seakan akhir-akhir ini yang ada di tanah air hanyalah konflik, masalah, perdebatan dan tetek bengeknya. Namun, saat timnas berlaga di Piala AFF 2016 seperti semuanya diistirahatkan. Tak ada lagi perdebatan tentang agama, suku juga ras. Semuanya sepakat untuk bersatu mendukung timnas Indonesia.

Namun kenapa timnas kita masih gagal menjadi juara? Waktu persiapan yang minim saya yakin dapat dimaksimalkan dengan baik. Bahkan jika dibilang sepak bola menyatukan Indonesia, dengan berbagai keyakinan yang ada di negeri ini, dengan Tuhannya masing-masing kita berdoa agar timnas diberi kesempatan mengangkat piala AFF tahun ini, tapi hal itu tak jua terwujud?

Kalau saya beranggapan 200 juta penduduk Indonesia berdoa dengan keyakinan masing-masing, kenapa doa kita masih kalah dengan 67 juta penduduk Thailand yang bahkan belum tentu animo dukungan kepada timnasnya sebesar yang kita berikan kepada timnas kita?

Saya tau masih banyak yang harus di evaluasi pasca turnamen ini berakhir. Efektivitas permainan harus lebih ditingkatkan. Juga beberapa nama di timnas harus di rotasi demi menciptakan komposisi ideal bagi timnas.

Salah satu hal yang saya lihat setelah AFF 2016 berakhir ialah proyeksi komposisi timnas untuk ajang serupa 2 tahun dari sekarang. Hansamu Yama, Evan Dimas, Yanto Basna, Manahati dan pemain muda lain bisa menjadi tumpuan timnas kita di masa depan dan semoga bisa menjadikan mimpi tiap pecinta sepak bola tanah air menjadi kenyataan; berjaya di ajang internasional.

Saya bukanlah seorang pemain sepak bola yang merasakan beban bermain dengan tekanan  juara dibenak saya. Bahkan jikalau disuruh bermain, pun saya belum tentu bisa. Saya juga bukan seorang pelatih sepak bola yang tau bagaimana cara meramu strategi yang baik, menyiapkan tim dalam waktu singkat atau kapan waktu yang tepat untuk mengganti pemain dalam pertandingan. Bahkan merakit sebuah tim dalam gim football manager juga saya masih sering menderita kekalahan, apalagi di dunia nyata?

Saya hanyalah seorang pecinta sepak bola tanah air yang rindu akan kejayaan sepak bola Indonesia. Seburuk apapun yang orang katakan tentang timnas, saya selalu berusaha menjaga pikiran positif saya kepada timnas. Saya selalu berpikir kalau kita selalu menjadi Sang Macan Asia. Saya selalu merinding kala menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum pertandingan dimulai. Juga air mata saya mampu keluar dengan sendirinya kala timnas mengalami kegagalan yang menyakitkan untuk kesekian kali.

Bukan karena saya terlalu nasionalis, tapi ini semua menyangkut sepak bola dan negara. Dimana sebuah timnas sepak bola adalah hal yang sakral dan selalu diharapkan kemenangannya.

Cukuplah kebanggaan kita akan keberanian Abduh Lestaluhu yang membela harga dirinya dengan tidak mau diremehkan kubu lawan. Saya rasa level kebanggaan kita harus ditingkatkan lagi, yaitu saat timnas kita mampu mempersembahkan gelar juara di ajang internasional dan membuka mata dunia bahwa pesepakbolaan tanah air ada dan menakutkan. Saya rasa itulah kebanggaan yang hakiki.

Sejatinya harapan itu akan terus berevolusi seiring berjalannya waktu dan tidak akan pernah mati sampai generasi berapa pun. Saat timnas kita berhasil merengkuh gelar juara AFF kelak, niscaya selalu ada harapan baru yang muncul, entah itu mempertahankan gelar atau merengkuh gelar pada level yang lebih tinggi lagi; Asia atau bahkan dunia.

Cepat atau lambat, saya selalu percaya akan tiba waktunya kita berada pada level tertinggi dunia sepak bola. Tidak akan pernah surut doa yang saya panjatkan untuk kalian, para pejuang merah putih. Tetaplah jaga asa dan harapan kami yang setia mendukungmu. Dan sertakan mimpi kami saat Garuda terbang tinggi ke angkasa.

Dari yang setia mendukungmu,
Serang, 19 Desember 2016.

Indonesia tanah air beta

Pusaka abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala

Tetap di puja-puja bangsa

nb: Tulisan ini memang penuh akan penilaian subjektif, semuanya murni menurut pandangan dan kegelisahan saya pribadi sebagai seorang pecinta sepak bola dan penggemar timnas. Jadi tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat mengenai apa yang tertera di sini. Silahkan berkomentar apabila ada kata atau data yang salah. Salam satu jiwa!



AFF 2016: Kenangan dan Harapan (Bagian Satu)


google.com
Gelaran Piala AFF 2016 berakhir sudah. Thailand keluar sebagai juara untuk kelima kalinya setelah mengalahkan Indonesia yang juga kali kelima harus puas menjadi runner up di turnamen dua tahunan tersebut. Nyatanya, Thailand masih menjadi momok menakutkan bagi Indonesia. Karena pada pertandingan penentuan yang digelar di Stadion Rajamangala, Bangkok (17/12) merupakan ketiga kalinya mimpi Garuda untuk mengangkat trofi paling bergengsi seantreo Asia Tenggara itu dihempaskan oleh tim yang sama, Thailand, setelah final tahun 2000 dan 2002.

Jika menilik dari masa persiapan timnas menjelang Piala AFF 2016 memang bisa dikatakan sangat singkat, yaitu kurang dari 3 bulan. Namun, dengan sangat luar biasa timnas kita mampu lolos dari grup yang disebut banyak orang sebagai grup neraka, bersama Thailand, Filipina dan Singapura. Bahkan, timnas Indonesia mampu membungkam caci maki mereka yang meremehkan kapasitas timnas diajang ini dengan berhasil menembus babak final. Meskipun harus bertemu lawan super berat yang sempat mengalahkan timnas dengan skor 4-2 pada babak grup, Thailand.

Aura pesimisme kembali mengudara. Walau tidak sedikit yang tak lelah berteriak ‘AYO INDONESIA! KITA PASTI BISA!’ dengan lantang. Mencoba mengusir ketidakyakinan tuk mengalahkan tim terkuat di ASEAN tersebut. Sayang, kenyatannya teriakan semangat saja tak cukup kuat tuk membawa trofi perak itu ke tanah air.

Timnas Indonesia kembali tertunduk lesu. Harapan jutaan rakyat Indonesia yang mereka panggul di pundak masing-masing, seakan ikut runtuh. Gulungan ombak caci maki dan hinaan kembali datang, meskipun karang pujian mencoba menghadang datangnya ombak tersebut dengan mengatakan, “Timnas sudah berjuang dengan maksimal. Jangan patah semangat dan tetap terbang tinggi, Garuda!”

Selepas itu semua, timbul pertanyaan; kalau tau akan kalah di final, apa bedanya dengan mereka yang gugur di fase grup? Karena dunia tidak akan pernah peduli dengan juara 2 dan orang-orang tidak akan bertanya, ‘siapa yang jadi runner up-nya?’

AFF 2016 merupakan turnamen pertama yang diikuti timnas setelah bebas dari sanksi FIFA. Kerinduan akan permainan sepak bola tim nasional sudah terlalu lama dipendam. Juga harapan akan membaiknya persepakbolaan negeri ini pasca diberikannya sanksi tersebut.

Atmosfer pendukung timnas selama Piala AFF 2016 ini berlangsung mengingatkan saya pada gelaran Piala AFF 6 tahun lalu, saat kita menjadi tuan rumah bersama dengan Vietnam. Kala itu seakan yang ada di benak masyarakat Indonesia hanyalah sepak bola dan sepak bola! 

Setelah membantai saudara satu rumpun, Malaysia, pada pertandingan pertama dengan skor telak 5-1, optimisme menggumpal di seluruh langit negeri ini. Semua percaya bahwa saat itu, ialah waktunya Sang Garuda terbang tinggi menjemput trofi AFF untuk pertama kali.

Kombinasi pemain senior seperti Firman Utina, Markus Horison, Nova Arianto hingga Bambang Pamungkas dipadukan dengan semangat membara anak-anak muda, mulai dari Irfan Bachdim juga Okto Maniani dan jangan lupakan pemain yang baru dinaturalisasi saat itu, Christian ‘El Loco’ Gonzales dan terakhir hadirnya juru taktik berkebangsaan Austria, coach Alfred Riedl, seakan melengkapi skuad timanas Indonesia pada Piala AFF 2010.

Timnas AFF 2010. Sumber: google.com
Saat itu Garuda seakan menemukan jati dirinya sebagai predator yang mengerikan. Terbukti dari gelontoran 13 gol selama berada di fase grup dan hanya kebobolan 2 gol saja! Filipina yang saat itu mulai bangkit dengan skuad yang dipenuhi pemain berdarah campuran berhasil kita hempaskan di babak semi-final. Namun sayang, di babak final kita harus merasakan balas dendam yang sempurna oleh Malaysia setelah harus menyerah dengan agergat 4-2. Belum cukup sakit hati dengan kekalahan yang diderita, isu adanya mafia dalam pertandingan final seketika menyeruak dan menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat kita, ‘apakah kebanggaan bangsa bisa begitu mudahnya dibeli dengan uang?’

Atmosfer serupa saya rasakan 3 tahun berselang, ketika segerombolan anak muda di bawah usia 19 tahun membuat bangga seluruh negeri dengan mempersembahkan gelar pertama Piala AFF U-19.

Permainan mereka sungguh memukau dengan gaya tiki-taka-nya, mengingatkan kita semua kepada tim asal Catalan, Barcelona. Karena biasanya permainan timnas Indonesia tekenal dengan long ball yang sering tidak akurat atau direct ball yang kerap dipotong pemain lawan. Tapi anak-anak muda ini sungguh ajaib, mereka berani memegang bola, melakukan passing satu dua sentuhan dengan sangat baik dan mengirim direct ball dengan begitu jeli sehingga kerap lolos dari jebakan offside kemudian diakhiri oleh finishing touch yang sangat manis.

Evan Dimas, dkk  juga melakukan uji coba di berbagai negara, mulai dari Eropa sampai Timur Tengah. Bahkan, mereka mampu menaklukan sejumlah negara kuat Timur Tengah seperti Qatar, Oman dan UAE yang notabene hal tersebut sulit dilakukan oleh seniornya.

Pada saat itu saya yakin, bahwa mereka lah masa depan timnas kita. Saya yakin tidak lama lagi timnas kita akan berjaya dengan skuad dipenuhi anak muda berbakat. Keyakinan saya bertambah ketika anak-anak ajaib ini mampu mempecundangi salah satu tim kuat Asia, yaitu Korea Selatan dalam play-off AFC Cup 2014. Mesikpun mereka gagal pada gelaran tersebut, namun dalam perjalanannya mereka telah memunculkan harapan dibenak masyarakat bahwa dalam waktu dekat ini Indonesia akan kembali menjadi Sang Macan Asia.

Timnas U-19 Saat Menjuarai AFF U-19 2013 lalu. Sumber:bola.kompas.com
Kembali ke level senior, pada ajang AFF Cup 2012 harapan rakyat masih tetap sama, yaitu Indonesia dapat merengkuh gelar juara. Dengan berstatus sebagai runner up pada gelaran sebelumnya, timnas tampil jauh dari harapan di bawah komando pelatih Nil Maizar saat itu.

Timnas berlaga dengan skuad yang mungkin sebagian besar nama pemainnya masih terdengar asing untuk masyarakat. Tapi timnas tetaplah timnas, mereka yang bisa berseragam merah putih tentu adalah yang terbaik di negeri ini. Ditambah dengan 3 pemain naturalisasi yang salah satunya ialah striker ‘gelonggongan’, Jhonny van Beukering, ternyata masih tak mampu membawa timnas juara bahkan tak mampu lolos dari grup setelah hanya finish di posisi 3 klasemen akhir.

Timnas AFF 2012. Sumber: google.com
AFF 2014 timnas kembali ditunggangi coach Aflred Riedl dan dalam squad timnas kembali diisi nama baru pemain hasil naturalisasi, yaitu Sergio van Dijk yang sedang on fire bersama Persib Bandung dan Victor Igbonefo, tembok tangguh klub Arema Cronous. Juga adanya pahlawan alumni timnas U-19, Evan Dimas, yang melengkapi skuad saat itu.

Saya pribadi menilai komposisi squad timnas pada AFF 2014 sudah ideal. Namun entah kenapa dalam perjalannya timnas tampi ‘konyol’ setelah dipermalukan 0-4 dari Filipina yang tercatat sebagai kekalahan pertama timnas dari pasukan yang dipimpin oleh Suami Muda itu. Dan lagi-lagi timnas harus keluar lebih awal dari turnamen pasca finsih di posisi yang sama seperti gelaran sebelumnya.

Timnas AFF 2014. Sumber: google.com
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Lima bulan setelah berakhirnya Piala AFF 2014, PSSI mendapat sanksi dari FIFA akibat kisruhnya dengan KEMENPORA. Sanksi tersebut berimbas kepada timnas yang tidak bisa berlaga pada ajang internasional selama sanksi berlaku. Tentu sebuah kerugian besar bagi pesepakbolaan tanah air.

Tidak adanya kompetisi resmi dan ‘matinya’ timnas saat itu membuat saya khawatir akan masa depan timnas. Terutama pada pemain muda yang telah mempersembahkan gelar perdana AFF U-19 bagi negara ini. Sehingga saya pun bertanya-tanya, haruskah mereka berada pada situasi seperti ini? Haruskah masa depan mereka berantakan hanya gara-gara segelintir petinggi mereka yang hanya memikirkan keuntungan pribadi semata?

Bersambung ke bagian dua.

Friday, December 9, 2016

Sebuah Tulisan Random - Kata Hati

 
source: google.com
Sering gue denger perkataan, “udah, ikutin aja apa kata hati lo. Dia lebih tau mana yang terbaik.” Tapi kini gue bertanya, apakah yang hati gue katakan selalu benar? Apakah yang ditunjukkan olehnya selalu mengarah kepada suatu nilai positif bagi gue pribadi? Pada sore hari yang gabut ini gue tertarik tuk sedikit membahas tentang apa yang namanya ‘kata hati’.

Perkataan di atas sering dilontarkan apabila seorang sedang bimbang dalam menentukan pilihan. Karena pada umumnya, kata hati dapat menuntun seorang itu untuk menentukan pilihan mana yang terbaik baginya. Namun tidak semua orang (termasuk gue) bisa menerima pilihan hati gue gitu aja, karena biasanya apa yang telah dipilih oleh hati itu mempunyai resiko dan memaksa kita untuk keluar dari zona nyaman dimana dua hal itu udah cukup membuat gue menahan langkah untuk mengikuti apa yang hati gue katakan.

Maka dari itu beberapa orang mungkin lebih menyarankan untuk mengikuti logika atau berpikir rasional yang notabene kebalikan dari hati. Karena dengan berpikir rasional seseorang dapat meninjau kembali baik-buruk serta resiko keputusan yang akan ia buat. Meskipun itu bertentangan dengan kata hatinya.

“Kayaknya gue lebih milih kerja di A deh. Gajinya lebih gede, tapi gue harus jauh dari keluarga.  Ah, gapapa deh, daripada di B gajinya cuma segitu walaupun deket sama rumah.” Untuk seorang family man, berada jauh dari keluarga bukanlah suatu keputusan yang mudah. Ia lebih memilih pendapatan yang lebih besar karena ia berpikir biaya hidup sekarang ini semakin mahal, meskipun hatinya mengatakan jangan jauh dari keluarga, tapi ia tetap mengikuti logikanya.

Atau contoh lain ketika gue melaksanakan ujian dengan soal pilihan ganda. Disaat gue frustasi pada satu jawaban, di situlah gue mengandalkan kekuatan tebakan dan insting dalam memilih jawaban. Saat itu logika gue memilih opsi C karena terlihat paling bersinar juga lebih masuk akal dibanding jawaban lain. Tapi di sisi lain, hati gue merujuk pada opsi A dengan alasan yang gak bisa gue mengerti. Pertentangan antara logika dan hati membuat gue mengambil jalan tengah untuk tidak memilih keduanya. Akhirnya gue pilih opsi B. Setelah dikoreksi, jawaban yang benar adalah opsi D. Shit.

Iya, iya. Itu guenya aja yang bego.

Tapi terkadang banyak orang yang sulit membedakan mana kata hati, mana ego. Karena emang keduanya mempunyai perbedaan yang sangat tipis. Keduanya sama-sama muncul dari dalam diri. Disaat lo merasa yakin pada satu pilihan, pastikan bahwa itu adalah kata hati lo, bukan ego semata. Karena apa yang diinginkan oleh ego adalah kenyamanan atau kesenangan yang hanya bersifat sementara. Dan pastikan pilihan yang lo buat apakah sejalan dengan keinginan lo atau tidak. Kalau sejalan, kemungkinan besar itu adalah ego yang jika diikuti kemauannya hanya akan bermuara pada penyesalan di akhir.
 
Pada kenyataannya, pilihan hati selalu punya resiko lebih besar dibanding pikiran rasional. Bahkan terkadang ia membutuhkan pengorbanan. Termasuk sesuatu yang ia sayangi. Tapi menurut gue, mengikuti kata hati dapat membuat kita belajar untuk keluar dari zona nyaman. Belajar untuk berani mengambil resiko dan belajar untuk siap dalam menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Selama ini sering gue mengabaikan kata hati dan berbohong padanya, padahal ia gak pernah berbohong dengan putusannya. Menurut gue, mengikuti kata hati itu penting. Kata hati yang sesungguhnya akan menuntun kita pada pilihan dan keputusan terbaik. Karena sejatinya ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Tuhan ingin kita melakukan apa yang Ia inginkan dan Tuhan tau apa yang baik untuk kita. Ikutilah kata hati kita, bukan ego kita. Seburuk apapun pilihan yang ditentukan hati kita di mata manusia, percayalah bahwa putusan itu baik di mata Tuhan. Percaya bahwa selalu ada hal positif yang terkandung di dalamnya.

Sekian dan salam super.