google.com |
Gelaran Piala AFF 2016 berakhir sudah. Thailand keluar sebagai juara untuk kelima kalinya setelah mengalahkan Indonesia yang juga kali kelima harus puas menjadi runner up di turnamen dua tahunan tersebut. Nyatanya, Thailand masih menjadi momok menakutkan bagi Indonesia. Karena pada pertandingan penentuan yang digelar di Stadion Rajamangala, Bangkok (17/12) merupakan ketiga kalinya mimpi Garuda untuk mengangkat trofi paling bergengsi seantreo Asia Tenggara itu dihempaskan oleh tim yang sama, Thailand, setelah final tahun 2000 dan 2002.
Jika menilik dari masa persiapan timnas menjelang Piala AFF 2016 memang bisa dikatakan sangat singkat, yaitu kurang dari 3 bulan. Namun, dengan sangat luar biasa timnas kita mampu lolos dari grup yang disebut banyak orang sebagai grup neraka, bersama Thailand, Filipina dan Singapura. Bahkan, timnas Indonesia mampu membungkam caci maki mereka yang meremehkan kapasitas timnas diajang ini dengan berhasil menembus babak final. Meskipun harus bertemu lawan super berat yang sempat mengalahkan timnas dengan skor 4-2 pada babak grup, Thailand.
Aura pesimisme kembali mengudara. Walau tidak sedikit yang tak lelah berteriak ‘AYO INDONESIA! KITA PASTI BISA!’ dengan lantang. Mencoba mengusir ketidakyakinan tuk mengalahkan tim terkuat di ASEAN tersebut. Sayang, kenyatannya teriakan semangat saja tak cukup kuat tuk membawa trofi perak itu ke tanah air.
Timnas Indonesia kembali tertunduk lesu. Harapan jutaan rakyat Indonesia yang mereka panggul di pundak masing-masing, seakan ikut runtuh. Gulungan ombak caci maki dan hinaan kembali datang, meskipun karang pujian mencoba menghadang datangnya ombak tersebut dengan mengatakan, “Timnas sudah berjuang dengan maksimal. Jangan patah semangat dan tetap terbang tinggi, Garuda!”
Selepas itu semua, timbul pertanyaan; kalau tau akan kalah di final, apa bedanya dengan mereka yang gugur di fase grup? Karena dunia tidak akan pernah peduli dengan juara 2 dan orang-orang tidak akan bertanya, ‘siapa yang jadi runner up-nya?’
AFF 2016 merupakan turnamen pertama yang diikuti timnas setelah bebas dari sanksi FIFA. Kerinduan akan permainan sepak bola tim nasional sudah terlalu lama dipendam. Juga harapan akan membaiknya persepakbolaan negeri ini pasca diberikannya sanksi tersebut.
Atmosfer pendukung timnas selama Piala AFF 2016 ini berlangsung mengingatkan saya pada gelaran Piala AFF 6 tahun lalu, saat kita menjadi tuan rumah bersama dengan Vietnam. Kala itu seakan yang ada di benak masyarakat Indonesia hanyalah sepak bola dan sepak bola!
Setelah membantai saudara satu rumpun, Malaysia, pada pertandingan pertama dengan skor telak 5-1, optimisme menggumpal di seluruh langit negeri ini. Semua percaya bahwa saat itu, ialah waktunya Sang Garuda terbang tinggi menjemput trofi AFF untuk pertama kali.
Kombinasi pemain senior seperti Firman Utina, Markus Horison, Nova Arianto hingga Bambang Pamungkas dipadukan dengan semangat membara anak-anak muda, mulai dari Irfan Bachdim juga Okto Maniani dan jangan lupakan pemain yang baru dinaturalisasi saat itu, Christian ‘El Loco’ Gonzales dan terakhir hadirnya juru taktik berkebangsaan Austria, coach Alfred Riedl, seakan melengkapi skuad timanas Indonesia pada Piala AFF 2010.
Timnas AFF 2010. Sumber: google.com |
Saat itu Garuda seakan menemukan jati dirinya sebagai predator yang mengerikan. Terbukti dari gelontoran 13 gol selama berada di fase grup dan hanya kebobolan 2 gol saja! Filipina yang saat itu mulai bangkit dengan skuad yang dipenuhi pemain berdarah campuran berhasil kita hempaskan di babak semi-final. Namun sayang, di babak final kita harus merasakan balas dendam yang sempurna oleh Malaysia setelah harus menyerah dengan agergat 4-2. Belum cukup sakit hati dengan kekalahan yang diderita, isu adanya mafia dalam pertandingan final seketika menyeruak dan menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat kita, ‘apakah kebanggaan bangsa bisa begitu mudahnya dibeli dengan uang?’
Atmosfer serupa saya rasakan 3 tahun berselang, ketika segerombolan anak muda di bawah usia 19 tahun membuat bangga seluruh negeri dengan mempersembahkan gelar pertama Piala AFF U-19.
Permainan mereka sungguh memukau dengan gaya tiki-taka-nya, mengingatkan kita semua kepada tim asal Catalan, Barcelona. Karena biasanya permainan timnas Indonesia tekenal dengan long ball yang sering tidak akurat atau direct ball yang kerap dipotong pemain lawan. Tapi anak-anak muda ini sungguh ajaib, mereka berani memegang bola, melakukan passing satu dua sentuhan dengan sangat baik dan mengirim direct ball dengan begitu jeli sehingga kerap lolos dari jebakan offside kemudian diakhiri oleh finishing touch yang sangat manis.
Evan Dimas, dkk juga melakukan uji coba di berbagai negara, mulai dari Eropa sampai Timur Tengah. Bahkan, mereka mampu menaklukan sejumlah negara kuat Timur Tengah seperti Qatar, Oman dan UAE yang notabene hal tersebut sulit dilakukan oleh seniornya.
Pada saat itu saya yakin, bahwa mereka lah masa depan timnas kita. Saya yakin tidak lama lagi timnas kita akan berjaya dengan skuad dipenuhi anak muda berbakat. Keyakinan saya bertambah ketika anak-anak ajaib ini mampu mempecundangi salah satu tim kuat Asia, yaitu Korea Selatan dalam play-off AFC Cup 2014. Mesikpun mereka gagal pada gelaran tersebut, namun dalam perjalanannya mereka telah memunculkan harapan dibenak masyarakat bahwa dalam waktu dekat ini Indonesia akan kembali menjadi Sang Macan Asia.
Timnas U-19 Saat Menjuarai AFF U-19 2013 lalu. Sumber:bola.kompas.com |
Kembali ke level senior, pada ajang AFF Cup 2012 harapan rakyat masih tetap sama, yaitu Indonesia dapat merengkuh gelar juara. Dengan berstatus sebagai runner up pada gelaran sebelumnya, timnas tampil jauh dari harapan di bawah komando pelatih Nil Maizar saat itu.
Timnas berlaga dengan skuad yang mungkin sebagian besar nama pemainnya masih terdengar asing untuk masyarakat. Tapi timnas tetaplah timnas, mereka yang bisa berseragam merah putih tentu adalah yang terbaik di negeri ini. Ditambah dengan 3 pemain naturalisasi yang salah satunya ialah striker ‘gelonggongan’, Jhonny van Beukering, ternyata masih tak mampu membawa timnas juara bahkan tak mampu lolos dari grup setelah hanya finish di posisi 3 klasemen akhir.
Timnas AFF 2012. Sumber: google.com |
AFF 2014 timnas kembali ditunggangi coach Aflred Riedl dan dalam squad timnas kembali diisi nama baru pemain hasil naturalisasi, yaitu Sergio van Dijk yang sedang on fire bersama Persib Bandung dan Victor Igbonefo, tembok tangguh klub Arema Cronous. Juga adanya pahlawan alumni timnas U-19, Evan Dimas, yang melengkapi skuad saat itu.
Saya pribadi menilai komposisi squad timnas pada AFF 2014 sudah ideal. Namun entah kenapa dalam perjalannya timnas tampi ‘konyol’ setelah dipermalukan 0-4 dari Filipina yang tercatat sebagai kekalahan pertama timnas dari pasukan yang dipimpin oleh Suami Muda itu. Dan lagi-lagi timnas harus keluar lebih awal dari turnamen pasca finsih di posisi yang sama seperti gelaran sebelumnya.
Timnas AFF 2014. Sumber: google.com |
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Lima bulan setelah berakhirnya Piala AFF 2014, PSSI mendapat sanksi dari FIFA akibat kisruhnya dengan KEMENPORA. Sanksi tersebut berimbas kepada timnas yang tidak bisa berlaga pada ajang internasional selama sanksi berlaku. Tentu sebuah kerugian besar bagi pesepakbolaan tanah air.
Tidak adanya kompetisi resmi dan ‘matinya’ timnas saat itu membuat saya khawatir akan masa depan timnas. Terutama pada pemain muda yang telah mempersembahkan gelar perdana AFF U-19 bagi negara ini. Sehingga saya pun bertanya-tanya, haruskah mereka berada pada situasi seperti ini? Haruskah masa depan mereka berantakan hanya gara-gara segelintir petinggi mereka yang hanya memikirkan keuntungan pribadi semata?
Bersambung ke bagian dua.
0 comments:
Post a Comment