Monday, February 27, 2017

The Geography of Bliss, Eric Weiner



Eric Weiner adalah seorang koresponden asing yang bekerja untuk New Public Radio (NPR). Awal dari lahirnya buku ini yaitu ketika Eric merasa tidak bahagia dan mencoba mendapatkan perspektif lain tentang kebahagiaan dari berbagai negara di dunia.

Mengapa harus repot-repot berkeliling dunia? saya pikir demikian. Tapi mungkin untuk orang yang merasa sulit bahagia—atau tidak peka terhadap apa yang seharusnya membuat dia bahagia—seperti Eric, sudah seharusnya mencari kebahagiaan di tempat lain. Bagaimana mereka mengekspresikan kebahagiaan? Apa pemicunya? Apakah mereka bahagia tinggal di sana? Merupakan daftar pertanyaan template yang digunakan Eric pada tiap kunjungannya di suatu negara.

Ia memulai perjalanannya dari Belanda. Mengunjungi suatu tempat bernama World Database of Happiness (WDH). Tempat dimana kebahagiaan direpresentasikan dalam bentuk angka. Di sana terdapat data-data negara mana yang paling bahagia dan paling tidak bahagia—dan tidak semua negara dengan pendapatan per kapitanya tinggi itu masyarakatnya bahagia. Ternyata kebahagiaan tidak selalu berkaitan dengan uang. Walaupun ada yang bilang bahwa, “Berikan saya uang dan saya akan belikan satu set playstation 4. Maka itu sama saja dengan membeli kebahagiaan.” Tapi nampaknya saya lebih setuju dengan data pada WDH.

Jikalau saya berada pada posisi Eric—yaitu mencari kebahagiaan di tempat atau negara lain—mungkin saya akan memilih destinasi mainstream yang biasa dipilih banyak orang untuk berlibur atau honeymoon, seperti Maldives, Hawaii, New York, New Zealand atau Paris. Tempat-tempat dimana ‘konon’ jutaan kebahagiaan berkumpul di sana.

Atau mungkin kebahagiaan yang dimaksud hanya terdapat pada tempat-tempat wisata yang memang ditujukan untuk turis yang ingin rehat atau melarikan diri dari rutinitas dan masalahnya saja? 

Jika benar, maka Eric melakukannya dengan cara berbeda. Ia tidak  mendatangi tempat wisata di negara yang ia kunjungi, melainkan ia melakukan pendekatan kepada masyarakat lokalnya—atau pendatang yang juga mencari kebahagiaan di tempat tersebut kemudian menetap karena merasa dia cocok berada di sana. Berbekal kemampuannya sebagai jurnalis, Eric dapat dengan ‘mudah’ menggali informasi dan bertanya apakah mereka bahagia dan menceritakannya kembali dengan bahasa yang bisa dikatakan sedikit berat, tapi sekaligus menimbulkan rasa penasaran untuk membuka lembar-lembar berikutnya.

Eric tidak mengunjungi destinasi-destinasi populer tersebut. Dalam perjalananya setelah Belanda, ia berkelana di banyak negara, bahkan melintasi benua. Mulai dari Islandia yang menurut WDH merupakan negara paling bahagia di dunia, sampai Moldova yang berada dibagian bawah pada daftar urutan data yang sama.

Tunggu, buat apa Eric mengunjungi negara yang masyarakatnya tidak bahagia? Ah, ternyata untuk menambah pemahaman mengenai hakikat kebahagiaan. Kita memahami sesuatu karena kebalikannya, begitu yang Eric katakan.

Saya sendiri dibuat penasaran dengan pilihan Eric mengunjungi Moldova. Setelah batin saya bertanya mengapa—yang dijawab Eric sesuai pernyataan yang ia katakan di atas—saya penasaran kebahagiaan apa yang ada di negara yang tidak bahagia. Apakah kebahagiaan itu hanya dirasakan segelintir orang terentu saja, ataukah memang tidak ada kebahagiaan di sana?

Dalam The Geography of Bliss ini juga membuka pandangan saya bahwa kebahagiaan tidak sesederhana yang saya kira. Eric memilih negara tujuannya berdasarkan tingkat kebahagiaan menurut statistik, budaya, masyarakat bahkan makanannya. Itu semua mempunyai kaitan dengan kebahagiaan masyarakat yang mendiami suatu negara. 

Berbagai sumber mengatakan bahwa buku ini termasuk dalam kategori buku psikologi—disamping kategori non-fiksi, memoar dan travel—yang berarti kali pertama saya membaca buku dengan genre psikologi. Untungnya Eric menyajikan buku ini dengan diselingi humor yang menggelikan, dan bahkan sesekali saya tersenyum sendiri membacanya.

Total keseluruhan ada 10 negara yang didatangi Eric untuk diteliti mengenai tingkat kebahagiaannya. Tentu, sepuluh negara tersebut mempunyai cerita, cara dan penggambarannya sendiri-sendiri tentang makna kebahagiaan. Kesepuluh negara tersebut adalah; Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia, Moldova, Thailand, Britania Raya, India dan Amerika.

Menurut saya kebahagiaan bisa datang dimana saja dan kapan saja. Mungkin Anda akan menemukan kebahagiaan Anda di lingkungan rumah, atau di kampus tempat Anda belajar, atau di kantor Anda atau bahkan tepat di depan pintu kamar Anda. Tapi untuk kebahagiaan suatu bangsa, memang semua tergantung bagaimana masyarakat yang bersangkutan menanggapi, juga ‘menyusun’ kebahagiaan tersebut.

Atau jangan-jangan hanya pandangan saya saja yang masih terlampau sempit tentang kebahagiaan? Hmm, mungkin suatu saat nanti saya akan menerapkan cara yang Eric lakukan untuk menemukan kebahagiaan yang ia cari; berkeliling dunia.

Satu hal terakhir yang membuat saya penasaran, kalau Eric memasukkan Indonesia pada daftar negara yang ia kunjungi. Kira-kira apa yang akan ia tulis tentang kebahagiaan bangsa Indonesia?

1 comment: