Monday, February 27, 2017

The Geography of Bliss, Eric Weiner



Eric Weiner adalah seorang koresponden asing yang bekerja untuk New Public Radio (NPR). Awal dari lahirnya buku ini yaitu ketika Eric merasa tidak bahagia dan mencoba mendapatkan perspektif lain tentang kebahagiaan dari berbagai negara di dunia.

Mengapa harus repot-repot berkeliling dunia? saya pikir demikian. Tapi mungkin untuk orang yang merasa sulit bahagia—atau tidak peka terhadap apa yang seharusnya membuat dia bahagia—seperti Eric, sudah seharusnya mencari kebahagiaan di tempat lain. Bagaimana mereka mengekspresikan kebahagiaan? Apa pemicunya? Apakah mereka bahagia tinggal di sana? Merupakan daftar pertanyaan template yang digunakan Eric pada tiap kunjungannya di suatu negara.

Ia memulai perjalanannya dari Belanda. Mengunjungi suatu tempat bernama World Database of Happiness (WDH). Tempat dimana kebahagiaan direpresentasikan dalam bentuk angka. Di sana terdapat data-data negara mana yang paling bahagia dan paling tidak bahagia—dan tidak semua negara dengan pendapatan per kapitanya tinggi itu masyarakatnya bahagia. Ternyata kebahagiaan tidak selalu berkaitan dengan uang. Walaupun ada yang bilang bahwa, “Berikan saya uang dan saya akan belikan satu set playstation 4. Maka itu sama saja dengan membeli kebahagiaan.” Tapi nampaknya saya lebih setuju dengan data pada WDH.

Jikalau saya berada pada posisi Eric—yaitu mencari kebahagiaan di tempat atau negara lain—mungkin saya akan memilih destinasi mainstream yang biasa dipilih banyak orang untuk berlibur atau honeymoon, seperti Maldives, Hawaii, New York, New Zealand atau Paris. Tempat-tempat dimana ‘konon’ jutaan kebahagiaan berkumpul di sana.

Atau mungkin kebahagiaan yang dimaksud hanya terdapat pada tempat-tempat wisata yang memang ditujukan untuk turis yang ingin rehat atau melarikan diri dari rutinitas dan masalahnya saja? 

Jika benar, maka Eric melakukannya dengan cara berbeda. Ia tidak  mendatangi tempat wisata di negara yang ia kunjungi, melainkan ia melakukan pendekatan kepada masyarakat lokalnya—atau pendatang yang juga mencari kebahagiaan di tempat tersebut kemudian menetap karena merasa dia cocok berada di sana. Berbekal kemampuannya sebagai jurnalis, Eric dapat dengan ‘mudah’ menggali informasi dan bertanya apakah mereka bahagia dan menceritakannya kembali dengan bahasa yang bisa dikatakan sedikit berat, tapi sekaligus menimbulkan rasa penasaran untuk membuka lembar-lembar berikutnya.

Eric tidak mengunjungi destinasi-destinasi populer tersebut. Dalam perjalananya setelah Belanda, ia berkelana di banyak negara, bahkan melintasi benua. Mulai dari Islandia yang menurut WDH merupakan negara paling bahagia di dunia, sampai Moldova yang berada dibagian bawah pada daftar urutan data yang sama.

Tunggu, buat apa Eric mengunjungi negara yang masyarakatnya tidak bahagia? Ah, ternyata untuk menambah pemahaman mengenai hakikat kebahagiaan. Kita memahami sesuatu karena kebalikannya, begitu yang Eric katakan.

Saya sendiri dibuat penasaran dengan pilihan Eric mengunjungi Moldova. Setelah batin saya bertanya mengapa—yang dijawab Eric sesuai pernyataan yang ia katakan di atas—saya penasaran kebahagiaan apa yang ada di negara yang tidak bahagia. Apakah kebahagiaan itu hanya dirasakan segelintir orang terentu saja, ataukah memang tidak ada kebahagiaan di sana?

Dalam The Geography of Bliss ini juga membuka pandangan saya bahwa kebahagiaan tidak sesederhana yang saya kira. Eric memilih negara tujuannya berdasarkan tingkat kebahagiaan menurut statistik, budaya, masyarakat bahkan makanannya. Itu semua mempunyai kaitan dengan kebahagiaan masyarakat yang mendiami suatu negara. 

Berbagai sumber mengatakan bahwa buku ini termasuk dalam kategori buku psikologi—disamping kategori non-fiksi, memoar dan travel—yang berarti kali pertama saya membaca buku dengan genre psikologi. Untungnya Eric menyajikan buku ini dengan diselingi humor yang menggelikan, dan bahkan sesekali saya tersenyum sendiri membacanya.

Total keseluruhan ada 10 negara yang didatangi Eric untuk diteliti mengenai tingkat kebahagiaannya. Tentu, sepuluh negara tersebut mempunyai cerita, cara dan penggambarannya sendiri-sendiri tentang makna kebahagiaan. Kesepuluh negara tersebut adalah; Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia, Moldova, Thailand, Britania Raya, India dan Amerika.

Menurut saya kebahagiaan bisa datang dimana saja dan kapan saja. Mungkin Anda akan menemukan kebahagiaan Anda di lingkungan rumah, atau di kampus tempat Anda belajar, atau di kantor Anda atau bahkan tepat di depan pintu kamar Anda. Tapi untuk kebahagiaan suatu bangsa, memang semua tergantung bagaimana masyarakat yang bersangkutan menanggapi, juga ‘menyusun’ kebahagiaan tersebut.

Atau jangan-jangan hanya pandangan saya saja yang masih terlampau sempit tentang kebahagiaan? Hmm, mungkin suatu saat nanti saya akan menerapkan cara yang Eric lakukan untuk menemukan kebahagiaan yang ia cari; berkeliling dunia.

Satu hal terakhir yang membuat saya penasaran, kalau Eric memasukkan Indonesia pada daftar negara yang ia kunjungi. Kira-kira apa yang akan ia tulis tentang kebahagiaan bangsa Indonesia?

Saturday, February 25, 2017

Chapter II - About Time

 
source: freerangestock.com
Chapter I - can read here
---

‘Ndre, i have to go..’ Begitulah isi pop-up message Line dari Laila pagi ini.

Tanpa pikir panjang gue langsung menghubungi Laila.

Tut... Tut... Ayolah, La, angkat telfonnya. Gue mondar-mandir gak jelas. Berusaha menghilangkan gelisah tapi gagal total.

“Halo.” Ah, akhirnya. Tapi suaranya terdengar begitu tenang. Ada apa ini? Jujur, hal itu malah ngebuat gue semakin panik.

“La? Kamu mau pergi kemana? Jangan bilang kalau kam...”

“Ndre,” Laila memotong pembicaraan gue dengan nada yang sangat datar. Gue diam. Menunggu apa yang akan ia katakan. Ada kesunyian yang menyesakkan diantara kita. Tak lama, Laila menarik nafas panjang. “Aku...,” dia mengucapkan itu dengan sangat pelan. Kata per kata.  Ayolah, La, jangan bikin aku jantungan begini.

“.... Harus pergi sekarang...,” Damn! Secepat ini, kah? Apa yang gue takutkan dulu ketika Laila berbicara tentang masa depannya yang mungkin akan meninggalkan gue dengan tiba-tiba karena suatu hal, nampaknya segera terjadi. Gue terdiam di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Sepertinya gue harus pasrah dan memutuskan untuk terus diam.

“.... Ke Erha. Krim ku habis, sekalian mau perawatan juga. ” Gue bengong. Terdengar Laila menahan tawa. Asu, opo meneh iki. Sumpah, gue emang gak berharap apa yang gue takutkan itu jadi nyata, tapi bukan berarti kayak gini juga.
“Gimana, La?” Gue memastikan perkataannya.

“Aku harus pergi sekarang ke Erha Jakal. Krimku udah habis, Ndre.”

“Jangan bercada, La.” Jujur, emosi gue mulai naik karena merasa dipermainkan. Bayangin aja lo baru bangun tidur dan dapet chat yang ambigu kayak ‘I have to go’-nya Laila. Gimana gak panik coba?

“Aku serius. Banget.”

Gue menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, sebelum..

“KAMU TUH GIMANA, SIH? BIKIN PANIK AKU AJA TAU GAK?! MASIH PAGI UDAH CHAT KAYAK GITU! AKU KIRA, KAN, KAMU...”

“ANDRE!” Mampus gue dibentak balik. Dan begonya gue langsung diam. “Diam dulu! Kamu tenang aja, aku gak akan pergi seperti yang kamu kira, kok. Abis aku bingung gimana caranya ngebangunin kamu.” Gue terdiam dan berusaha mencari koneksi dari semua random things pagi ini.

“Kamu susah banget dibanguninnya. Chat aku udah banyak. Udah 5 kali aku telfon ke nomor Simpati, 4 kali ke nomor IM3 dan kamu tuh sebenarnya udah ngangkat, tapi cuma ngomong ‘hah.. iya.. he eh..’ , yaudah aku chat begitu. Eh, langsung bangun.” Setelah Laila ngomong gitu, gue bengong. Emang iya, ya? Gue baru mau menjawab sebelum  Laila melanjutkan omongannya.

“Dan satu lagi, Ndre...,” ada keheningan sejenak. Hening sebelumnya bikin gue panik, tapi kali ini entah kenapa feeling gue gak enak. “INI UDAH JAM 11 ANDRE!!!! DI LUAR EMANG HUJAN JADI KELIHATANNYA KAYAK MASIH PAGI! SADAR WOY KEBO!!!!” Gue menjauhkan handphone dari telinga gue. Asli ini kuping gue beneran terancam. Kalau deket pasti kena jewer. Dan kalau lagi jauh gini, gue kena semprot teriakannya yang konon bisa ngebuat gendang telinga pecah. Gue berani bilang seperti tadi secara langsung ke Laila hanya kalau nyawa gue ada sembilan.

Sesaat kemudian gue ngeliat HP, Laila masih teriak-teriak gak jelas. Biarin deh, biar capek sendiri. Gue cek notifikasi pesan dan benar apa kata Laila. Seketika nyali gue langsung ciut. Suara Laila udah gak kedengeran, gue memberanikan diri mendekatkan HP ke telinga gue.

Belum lama handphone gue bersentuhan dengan telinga, kembali terdengar suara dengan nada datar, dingin dan mengerikan yang seketika membuat bulu kuduk gue merinding. Suara yang mengeluarkan kalimat tanya singkat yang gue yakin, bukan cuma gue yang ketakutan dengernya. Tapi cowok manapun akan merinding kalau dengar pacarnya ngomong seperti ini. Hanya 5 kata; “Tadi kamu dengerin aku gak, Ndre?” Dengan penekanan intonasi pada bagian ‘Ndre’. Gue nelen ludah.

---

Di sinilah gue sekarang. Dengan mata menatap monitor dan tangan kanan sibuk menggerakan mouse dan headset melintang di kepala gue, begini cara terbaik menunggu pacar yang sedang perawatan. Ya, gue lagi ada di sebuah warnet multimedia gak jauh dari tempat Laila melakukan girl-things-nya.

Gue bukan termasuk cowok yang rela nemenin ceweknya berjam-jam melakukan apa yang mereka suka. Untungnya Laila bukan tipe cewek ribet yang selalu minta ditemenin kemana-mana. Sebenernya dia gak pernah minta temenin sih, cuma pengen dianterin doang, guenya aja yang rela buat nemenin. Kecuali hal satu ini. Dan kalau gak mager.

Setelah insiden ditelfon yang mengerikan itu berakhir. Gue segera mandi, ambil kunci mobil dan berangkat ke kos Laila. Ya, bisa dikatakan gue beruntung terlahir dari keluarga yang berkecukupan sehingga dapat membawa dua kendaraan di tanah rantau ini; mobil dan motor. Namun jujur, keseharian gue di sini terbiasa menggunakan motor. Gue mulai rajin naik mobil semenjak pacaran sama Laila. Bukan, Laila bukan cewek materialistis. Dia gak pernah mempermasalahkan gue jemput dia pakai kendaraan yang mana dan gak pernah minta yang aneh-aneh –kecuali tiba-tiba dia minta ditemenin makan nasi goreng jam satu malam. 

Gue juga bukan termasuk cowok yang romantis, tapi gue terus mencoba untuk menjadi yang terbaik buat dia. Dan alasan gue sering pakai mobil tiap ketemu dia adalah untuk membuat dia nyaman. Bukankah itu termasuk normal?

Bahkan sebelum pacaran sama Laila, gue lupa bahwa Honda Jazz hitam di parkiran kos itu adalah mobil gue. Karena gue lebih cinta sama skuter matic dengan merek yang sama berkapasitas 125cc yang udah nemenin gue dari jaman SMA. Bukan masalah kendaraan mana yang lebih keren, tapi cerita dibalik kendaraan itu yang bikin gue selalu pakai Blacky –nama motor gue, kemana-mana. Gitu-gitu jok belakangnya udah pernah bonceng banyak cewek, sob. Mulai dari cewek paling cantik di sekolahan gue dulu, sampai pembantu gue yang disuruh nyokap belanja ke pasar tiap sabtu pagi dengan mengorbankan anak sulungnya yang beliau tau kerjaannya kalau weekend cuma tidur sampai siang jadi beliau menggunakan cara keji tersebut, pernah duduk manis manja di jok itu. Money can buy a new vehicle, but not the story.

‘Kalau udah selesai, bilang.’ Sent.

Tak berapa lama setelah gue ngirim pesan ke Laila, ada balasan yang mengatakan bahwa dia sudah selesai. Gue mengerenyitkan dahi. Kok cepet amat?. Ah, tapi menghindari sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada organ tubuh gue, maka gue langsung log out dan membayar billing warnet. Padahal belum banyak film yang gue copy. Sial.

Sesampainya di parkiran tempat perawatan Laila, gue kembali mengirim pesan menanyakan posisi Laila dan ia menjawab masih di dalam lalu menyuruh gue nunggu sebentar lagi. Gue hafal Laila. Sebentar laginya dia berarti ada pada rentang 20-30 menit ke depan. Gue menghela nafas dan mengelus dada sendiri. “Sabar, Ndre, ini cobaan.”

Jejak hujan deras yang mengguyur Yogyakarta pagi tadi masih belum hilang. Hingga siang ini, Jogja masih dilanda gerimis syahdu. Sedangkan gue dirundung kegabutan karena menunggu seorang wanita yang sebenarnya udah bilang ‘aku udah selesai’, tapi setelah album Hail To The King-nya Avenged selesai, dia belum datang juga.

Baru sebentar gue memejamkan mata, menikmati kesyahduan gerimis manja ala Jogja, terdengar ketukan di jendela mobil. Princess yang ditunggu akhirnya muncul. Sekali lagi, Ndre, sabar.

“Lama amat, katanya udah selesai?” Gue bertanya dengan tingkat bete skala 15 dari 10, it means gue bete parah.

“Oalah, yang tadi chat kamu itu aku dari masa depan. Hmm, gak bisa dibilang masa depan juga sih, ya satu jam deh. Abis kalau aku bilang pas baru banget selesai, ada juga kamu yang telat.” Gue membenturkan kepala ke stir. Ampun deh.

Cup. “Makasih ya sayang, udah mau nungguin.” Sebuah kecupan mendarat di pipi gue. Gue nengok ke arah dia dan dia tersenyum manis. Senyum favorit gue. Dia tau gue lemah kalau dia udah senyum begitu. Sial, apa ini cara semua cewek buat nenangin cowoknya yang lagi bete karena seharian dikerjain terus?

“Sekarang gantian deh, terserah kamu mau kemana. Aku ngikut aja.” Gue masih bengong ngeliatin dia. Otak gue masih melakukan negosisasi agar bete dalam diri gue pergi setelah dikasih kecupan tadi. Dan sekarang gue udah disuruh nentuin tempat selanjutnya.

“Hmm, pizza yuk?”

“Andre sayangku, aku kan abis perawatan sama beli krim. Uangnya habis sayang, yang lain coba.” Tarik nafas, hembuskan perlahan. Penderitaan ini nampaknya belum berakhir, Ndre.

“Mau coto makassar?”

“Kamu masih muda udah pikun ya, Ndre. Kemarin kan kita baru makan di sana, ganti dong sayang.”
Gusti Allah, ampuni hamba.

“Yaudah, terus maunya kemana?”

“Terserah kamu, Andre sayang.” Dia tersenyum manis. Gue pura-pura mati.

---

Malam itu gue duduk di tepi tebing suatu tempat bernama Bukit Bintang. Meskipun Jogja malam ini tanpa bintang karena sepanjang hari hujan tanpa henti. Pemandangan dari tempat gue sekrang ini memperlihatkan gemerlap kota Jogja pada malam hari. Cukup untuk menghilangkan rasa lelah yang seharian ini jadi sopir princess kesayangan.

Gue mengalihkan pandangan menuju seorang gadis yang sedang memesan jagung bakar. Tak apa malam ini Jogja tanpa bintang, gue membawa bintang gue sendiri. Orang yang menerangi hati dan hari-hari gue. Bapak penjual jagung bakar tersenyum ketika Laila memesan -dan mungkin sedikit ngobrol, itu kebiasannya. Gue jatuh cinta ketika Laila selalu membuat orang yang diajak ngobrol tersenyum. Seakan hadirnya membawa virus positif bagi mereka yang ada di dekatnya. Bahkan gue yang hanya ngeliat mereka ngobrol pun ikut tersenyum.

“Ndre, nih,” Laila menyodorkan satu jagung bakar ke gue. “Gak pedes kayak biasa. Cupu kamu.”

“Lah, bodo amat. Kalau perut aku sakit, terus nanti gak bisa nganterin kamu pulang, malah yang ada kita ke JIH, gimana?”

“Ndre, mau aku jewer lagi?”

“Boleh, tapi di hati aku ya, hehe.”

“Kok tiba-tiba aku mau ngedorong kamu ke jurang ya, Ndre.” Kita tertawa. Pasca hujan, cuaca di jogja terutama diketinggian seperti ini menjadi sangat dingin, namun percakapan antara kita sedikit banyak membuat suasana jadi hangat.

“Ndre, aku mau nanya.”

“He eh.. Nghanya ajhha.” Gue jawab sebisanya. Mulut gue penuh sama jagung bakar.

“Telen dulu sayang.”

“Iya yaudah, sok mau nanya apa.”

“Kenapa kita baru dipertemukan sekarang, ya? Maksud aku, kenapa gak dari dulu aja gitu. Kalau gitu, kan, hidup aku jadi seru dari dulu.” Laila menatap kosong kota Jogja di bawah sana. Buset, kesurupan apa ini anak?

“Kan dulu kita beda kota, kocak. Ya bersyukur aja kita dipertemukan di sini, yang kata orang-orang ‘Kota Romantis’ dan bikin cerita romantis versi kita sendiri.” Gue dan Laila berasal dari dua kota berbeda, tapi masih tergolong dekat. Gue dari Banten, Laila asal Jakarta. Jadi ketika liburan semester tiba, kita masih bisa jalan bareng walaupun gak se-intens di sini.

“Emang kita romantis?”

“Engga sih,” kita kembali tersenyum. “Dan, mungkin kalau kita ketemu lebih cepat, kita gak akan sama kayak sekarang. Maksudku, aku yang sekarang adalah aku yang dulu pernah gagal. Yang selalu introspeksi diri dan sekarang saat sama kamu, aku gak mau kesalahan bodoh yang dulu aku perbuat, aku lakukan juga ke kamu.” Gue menambahkan.

“Pas sama Rara?”

“Gausah nyebut merk juga, bu.” Senyum yang sama tersungging kembali. Malam ini sepertinya sedang obral kebahagiaan dan senyum. Kita. Bapak-bapak penjual jagung bakar. Mbak-mbak yang sedang menyiapkan minuman pesanan orang. Muda-mudi yang tertawa dikejauhan sana. Dan beberapa pasangan yang saling tukar suka cita. Tiap individu di sini mempertunjukan senyumannya dalam tiap beraktifitas. Malam yang indah.

Oh iya, Rara itu nama pacar gue sebelum Laila. Gue sama Rara itu teman SMA dan kita pacaran selama 3 tahun sampai berakhir ketika tahun pertama gue di perkuliahan. Laila udah tau cerita gue sama Rara. Ya, itu karena dia maksa gue buat cerita dan gue masih sayang dengan bagian tubuh gue yang belum disiksa. Juga nyawa gue.

Selama 3 tahun pacaran sama Rara, banyak pelajaran yang gue ambil dari hubungan itu. Termasuk LDR. Sebelumnya gue sama sekali takut dengan namanya LDR, Long Distance Relationshit. Saat dimana Rara berubah secara fisik, yaitu dari 160 cm menjadi 5,5 inci. Walaupun dapat berjalan selama setahun, tapi LDR juga lah yang menjadi mimpi buruk gue sama Rara dan pada akhirnya menghempaskan hubungan gue.

Ketidakpercayaan. Merupakan kunci dari berakhirnya kisah gue dan Rara. Padahal itu bukan LDR pertama yang pernah Rara jalani. Sehingga pada akhirnya gue memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang jalannya udah rusak, meski udah berkali-kali diperbaiki. Sama kayak jalan tol Jakarta-Merak. Banyak bagian jalan yang rusak serta berlubang dan rutin dilakukan perbaikan jalan, tapi ujung-ujungnya tetap rusak lagi.

Sekalipun hubungan gue sama Rara itu termasuk yang paling lama bagi gue, pula rasa sayang gue ke dia begitu besar, tapi kalau segala sesuatunya udah gak bisa diperbaiki, mau bagaimana lagi?

Tapi gue berterima kasih sama Rara. Berkat dia, gue ngerasa berubah jadi sedikit lebih baik. Seenggaknya gue jadi cowok yang gak posesif dan tenang kala menghadapi masalah yang berhubungan dengan asmara.

Dulu, gue pernah cemburu ketika Rara naik ojek menuju kampusnya. Ojek di sini adalah teman kampusnya yang kata Rara, “gapapa, Ndre, teman aku doang kok ngajak bareng.” Dan (begonya) gue ngambek. Sekarang gue mikir kalau itu merupakan salah satu hal terkonyol yang pernah gue lakukan dan gak akan gue ulangi hal yang sama ke Laila, gadis yang kini mulutnya dipenuhi jagung bakar dan membuatnya semakin menggemaskan.

“Sederhananya, La, kita ketemu di waktu yang tepat.” Laila memandang gue. Mata kita bertemu. Dia senyum, gue ngerasa tenang banget.

“Iya, aku percaya kok.”

Malam itu kita habiskan dengan masing-masing memakan dua jagung bakar. Laila bukan tipe cewek yang takut gemuk kalau kebanyakan makan dan gue suka itu. Dengan wedang jahe untuk gue, susu putih panas digenggaman Laila dan percakapan sederhana yang kita bangun, membuat cuaca dingin Jogja malam itu semakin tak terasa.

Entah perasaan apa yang menyelimuti gue malam itu, padahal gue sama Laila udah ratusan kali berada di momen seperti ini. Tapi gue merasa ada sesuatu yang lain. Ada perantara tak terlihat yang menghubungkan hati dan pikiran kita. Dan saat kita beradu pandang dan saling tersenyum, ditemani meriahnya lampu kota Yogyakarta, gue merasa seperti pertama kali melihat dia di cafe tempat kita bertemu. Senyumnya memberikan ketenangan buat gue. Tatapannya merepresentasikan harapan. Kombinasi sempurna yang membuat gue terus berpikir, she’s the one. Gue merasa seperti jatuh cinta pertama kali. Dan gue berharap waktu tuk berhenti pada detik ini. Pada momen ini. Pada saat tangan gue menggenggam tangannya. Karena gue gak mau saat seperti ini berlalu dengan cepat.

La, jangan pernah tinggalin aku.
to be continued



Wednesday, February 15, 2017

Sebuah Cerpen Sederhana - Penantian Berharga


jingganyasenja.files.wordpress.com
Pagi itu, suatu pagi akhir pekan yang biasa. Pagi yang menghantar rasa lelah ke persembunyiannya setelah ditempa berbagai kesibukkan. Rasa lelah yang lusa esok, ia akan kembali melengkapi hariku dan jutaan orang lain di bumi.

Aku terbangun ketika jam wekerku berbunyi pada pukul lima kurang lima belas menit. Aku beranjak dari tempat tidur, lalu duduk tertunduk di tepi ranjang dan mulai menghembuskan nafas secara perlahan. Sebuah pagi baru telah menyambutku, tapi tidak dengan kenangan pahit yang tak kunjung hilang.

Ku bawa langkah yang terasa berat ini menuju kamar mandi. Mengambil wudhu tuk bertegur sapa dengan Sang Pencipta. Bersyukur karena masih diberi kesempatan kasih untuk kembali menghirup udara segar pagi hari.

Rutinitas pagi hari akhir pekan ini diakhiri oleh membuat sebuah kopi dengan tanganku sendiri. Satu brewing machine sengaja aku pindahkan dari toko ke dapur rumah dengan hasil jerih payahku sendiri. Bukankah seseorang rela berkorban demi hal yang ia sukai? Seperti membeli barang kesukaan yang memerlukan pengorbanan material, atau... Mendapatkan cinta idaman dengan mengorbankan hidupmu, waktumu.

Secangkir Flores Bajawa kini ada digenggaman, menemani ragaku yang bergerak menuju halaman belakang rumah dan menyapa penghuninya. Tanaman yang dulu kamu rekomendasikan untuk rumah kita, rumahku. Ku geser pintu kaca yang membatasi ruang utama dan halaman belakang dan seketika udara segar merangsek memenuhi paru-paru. Udara ini membuat tubuhku hidup, tapi sumbernya mematikan perasaanku.

Kubiarkan pupilku beradaptasi dengan sekitar. Kabut tipis masih nampak menyelimuti dan kemana Matahari? Ah, nampaknya ia bangun sedikit terlambat hari ini. Aku biarkan saja dia dengan tidurnya. Maksudku, ia seorang pekerja keras, bukan? Setiap hari memberikan tenaganya untuk miliaran orang di bumi, hanya sesekali ia terlambat karena ia harus bergantian dengan hujan yang tak punya jam kerja tetap. Tapi hari ini kelihatannya bukan harinya hujan datang dan Matahari belum menampakkan sedikit pun sinarnya. Ah, aku biarkan saja dia dengan tidurnya. Sedikit terlambat tidak apa-apa, aku rasa ia kelelahan.

Aku pejamkan mata dan kopi berpindah dari cangkir di tangan ke dalam perutku. Kubiarkan pahitnya menjalar sedemikian lambatnya. Menempel pada langit-langit mulut dan dinding tenggorokanku. Bukankah pahitnya secangkir kopi tak bisa dibandingkan dengan pahitnya kehidupan? Karena menurutku pahit yang terdapat pada kopi merupakan esensi dari kopi itu sendiri, sedangkan manis dan asamnya secangkir kopi hanyalah rasa pelengkap. Sedangkan kehidupan, apakah tujuan hidup seseorang adalah kepahitan? Aku pikir, itu hanya pelengkap dari makna hidup itu sendiri.

Tapi bagaimana dengan hidupku? Kenapa yang aku rasakan hanya kepahitan? Seakan kepahitan itu mengurungku dalam penjara keji dan tak memberikan kesempatan menghirup udara bebas. Udara kebahagiaan. Udara penuh kasih sayang. Bukan kegiatan dalam penjara yang menyesakkan. Duduk di sudut ruangan, pagi hari sarapan penyesalan. Siang (atau mungkin sore) bekerja menambang batu harapan. Menghancurkannya menjadi kepingan kecil. Dan malam, istirahat di bawah langit-langit gelap nan sempit. Bukan langit-langit penuh bintang di sebuah lahan penuh ilalang tinggi di atas atap mobil dengan kamu ada di sampingku.

Sekarang di sinilah aku, berdiri di halaman belakang rumah yang awalnya dirancang oleh dua orang, namun hanya ditempati oleh salah satunya. Kubuka mata dan kuhirup nafas dalam dan kembali menghembuskannya perlahan. Matahari memang sedang malas hari ini. Sudah tiga puluh menit melewati pukul lima dan ia masih belum menunjukkan sedikit pun tanda kehadirannya? Ia bahkan kalah dengan Roni, kenari kecilku yang suaranya meresap ke gendang telinga dengan nyaring, tapi begitu halus untuk didengar. Iya menyapaku, kubalas dengan senyum dan menyentakkan jari di depan kandangnya.

Mataku kembali menyusuri halaman belakang ini, mulai dari sudut kiri yang terdapat kolam ikan dengan sebuah jembatan kecil di atasnya yang berujung pada gazebo kecil tempat kita –aku, nantinya ngaso kala penat dengan hiruk pikuk kehidupan perkotaan. Lalu beralih ke bagian tengah dimana deretan pinus berukuran kecil tertanam, dan saat perlahan pandanganku mengarah ke bagian kanan, terdapat cahaya di sana. Tepat di sebelah daun pandan yang merupakan tanaman terakhir yang ditanam di sini.

Hey, Matahari? Itu kah kau? Akhirnya kau dat...

Tunggu.

Itu tidak nampak seperti engkau, Sang Surya. Lalu...

Ah! Senja?! Kenapa dia di sini? Maksudku, kenapa pada waktu ini? Bukankah ini belum waktunya ia menampakkan diri?

“Hai, Al.” Sebentar. Ia menyapaku? Ia tahu namaku?

“Eh, hai.” Aku menjawabnya canggung karena masih belum mengerti sebenarnya ada apa ini.

“Ada apa dengan dirimu? Tidak biasanya kau bertingkah seperti itu. Dimana ketenanganmu saat bertemu klien-klien besar? Sederhana lagi, dimana semua ketenanganmu itu saat kau bertemu denganku?” Aku diberondong pertanyaan olehnya. Membuatku semakin kebingungan harus menjawab dari mana. Namun kenyataannya, memang aku tidak bisa menjawabnya.

“Aku rasa mereka yang bekerja di dalam otakmu kini sedang kalang kabut. Mencerna dan mencari koneksi dari kejadian yang bahkan belum sepuluh menit terjadi.” Senja menambahkan.

Mendengarnya, aku mencoba membuka suara. “Dari mana kau tahu namaku?”

“Aku tidak hanya tahu namamu, tapi aku kenal siapa kamu,” Senja tersenyum. Aku terdiam. Menunggu apa yang ia akan katakan selanjutnya. Jujur, aku khawatir. Tapi aku penasaran. “Aku juga kenal seorang di Jepang sana yang kini sedang mabuk sake ditemani dua orang Geisha di sebuah kedai yang terletak di kaki gunung Gunung Arashi. Atau seorang pria yang sedang menikmati ganja maroko di sebuah cafe di pusat kota Rotterdam. Atau presiden negara adidaya yang sekarang ini sedang bermain golf indoor di ruangannya. Aku kenal dengan dirimu, seorang lelaki 30 tahun yang setiap empat kali dalam sepekan selalu menyisihkan waktunya untuk menikmati keindahanku.” Aku tercengang. Senja menjelaskan semuanya dan ia benar.

“Bagaimana bisa?”

“Kau sudah tahu jawabannya,” Senja kembali tersenyum ke arahku. Aku terdiam tidak mengerti. Senja menghirup nafas dalam dan menghembuskannya perlahan sembari menggelengkan kepalanya. “Sungguh kau tidak tahu?” Ia bertanya. Aku mengangguk pelan.

“Apa alasanmu kerap mengunjungiku?”

Alasanku mengunjunginya? Untuk sepersekian detik aku tak menjawab, sebelum bibirku bergerak mengatakan untuk mencari ketenangan dan menikmati fisiknya.

“Lalu, apa kau merasa tenang kala mengunjungiku?”

“Ya.” Aku menjawabnya tanpa ragu karena memang benar adanya. Entahlah, seakan goresan jingga di langit sana terlihat sungguh menenangkan.

“Kau tahu, Al? Saat orang-orang melihatku dengan tujuan benar-benar ingin melihatku. Merasakan kehadiranku. Mencari ketenangan melaluiku. Maka saat itulah aku menjadi satu dengan orang-orang itu. Aku masuk menuju relung jiwa orang-orang itu, sampai palung terdalam dimana kegelisahan itu ada. Dan pada saat itu juga aku mengenal mereka; siapa mereka, dari mana asalnya, bagaimana latar belakang keluarganya sampai hal terakhir yang mereka permasalahkan atau membuat mereka bermasalah. Hal demikian juga aku lakukan kepada dirimu, Al. Dari...,”

Senja terdiam. Ia menatapku sejenak kemudian mengalihkan pandangannya kembali menuju tanaman pandan yang berembun.

“Dari waktu-waktu indahmu menikmatiku bersama Tisya, sampai kesendirianmu yang coba kau isi dengan kenangan itu bersamaku.”

Aku tercekat. Dan bayangan itu seketika muncul. Muncul di waktu yang tidak aku inginkan. Maksudku, aku memang menyisihkan satu atau dua jam sehari selama dua tahun belakangan ini dengan Senja sebagai teman ‘melamunku’ untuk menyelami memori itu. Bagi seorang pria yang baru menyentuh kepala tiga, hal itu tentu menyedihkan.

---

“Indah, bukan?”

“Tidak lebih indah darimu.”

“Gombal.”

“Tapi suka, kan?”

“Enggak, jelek!”

“Terus kenapa senyum-senyum?”

“Gombal kamu garing.”

“Loh?”

“Garingnya aku suka, gombalnya enggak.”

“Aneh.”

“Tapi cinta, kan?”

Aku tersenyum. Begitupun ia. Di dalam mobil berwarna putih, di bawah cahaya jingga Senja yang menjadi saksi bisu dan deburan ombak merangsang gendang telinga untuk terus mendengarnya, we’re kissed.

---

Sial. Kilasan memori itu muncul tanpa diperintahkan. Tapi mengapa? Mengapa hanya berupa kenangan manis saja yang –entah siapa yang mengatur, yang kerap muncul? Maksudku, aku dan, eh, ehm.. Tisya, juga punya segudang pengalaman pahit. Pertengkaran. Dan tangis.

Mulai dari yang sederhana, seperti aku telat menjemputnya di kantor saat jam makan siang. Atau ketika aku tidak menghadiri pesta ulang tahunnya yang ke 22 karena ada meeting mendadak dengan klien.

Atau saat mendengar berita aku dipindahkan ke kantor pusat di Negeri Ratu Elisabeth dan dia meminta untuk ikut kemudian aku berujar bahwa aku belum siap. Sungguh, kata-kata pada waktu itu merupakan penyesalanku yang terbesar. Seandainya aku bisa mengulangi waktu saat itu, aku hanya ingin memundurkan waktu selama 10 menit saja, hanya sampai kata laknat itu tidak meluncur dari bibirku. 

“Aku rasa kau sebaiknya pergi.” Aku membuka percakapan kembali.

“Kenapa? Apa karena sinarku membawamu kembali ke masa lalu? Seperti yang biasa kau lakukan?” Ia menoleh kepadaku dan aku menggeleng.

“Bukan. Tapi sepertinya Matahari tak kunjung datang karena kehadiranmu.” Senja tersenyum seraya menjelaskan bahwa memang ia sengaja meminta Matahari keluar sedikit terlambat karena dirinya ingin muncul lebih cepat.

Matahari tentu menolak keinginan Senja. Keluar saat pagi hari? Sungguh gila, pikir Matahari. Namun setelah negoisasi panjang dan Matahari yang tidak tegak melihat Senja begitu memohon, maka ia mengabulkannya.

“Apa alasan kau mau muncul sedini ini?”

“Apa ini?” Senja menunjuk ke arah butiran air yang berada di atas daun pandan.

“Oh, itu embun pagi.”

“Embun?” Aku mengangguk. “Aku tak pernah melihatnya saat kemunculanku.” Ia menambahkan.

“Itu karena ia baru mulai terbentuk pada malam hari.”

“Mengapa demikian?”

“Aku sendiri kurang tau pasti, namun ada campur tangan ketenangan dan dinginnya malam pada proses pembentukannya.”

“Hal yang tidak aku miliki dan itu mungkin kenapa embun tidak pernah muncul.” Senja menatap sendu embun itu. Aku belum pernah melihat Senja semurung ini, mungkin kalau ia yang melihatku murung adalah hal biasa. Tapi kali ini?

“Itu karena sinarmu menghangatkan. Memberi ketenangan dengan cara yang berbeda.” Aku mencoba menangkannya walau ku yakin tidak sebaik caranya menenangkanku.

“Sinar matahari bahkan lebih terang daripada milikku. Ia pun bukan hanya menghangatkan. Tapi kenapa ia diberi kesempatan melihat embun pagi, walau ku yakin hanya sebentar, sedangkan aku tidak?”

“Hmm, tapi ku rasa ada bagian yang Matahari pun tak merasakannya dan ku rasa juga bagian itu sangat penting.”

“Apa itu?”

“Ketika Matahari mulai tenggelam, saat kau sendirian dengan sinarmu, seperti yang kau bilang tadi. Bahwa kau masuk ke tiap jiwa yang menyaksikanmu. Membawa ketenangan. Membawa inspirasi. Membawa harapan. Dan.. Melepaskan kenangan,” aku terdiam sebentar. Senja menunggu. “Kau tahu bahwa lebih banyak puisi dengan menggunakan namamu dibanding Matahari? Begitu pun dengan lagu dan kutipan-kutipan yang ada.”

“Benarkah?”

“Ku yakin begitu. Hey, sudahlah tidak perlu kau murung seperti itu. Tak setiap orang juga punya hal-hal yang sama dengan lainnya.”

“Mungkin kau ada benarnya. Oh ya, dibandingkan yang lain, aku lebih menyukai kejutan.”

“Maksudnya?” Kini aku yang keheranan.

“Kau tahu bahwa aku mengenal miliaran orang di muka bumi ini. Mereka datang kadang untuk hanya sekedar melihatku, sampai yang mencoba melepaskan sesuatu sepertimu,” aku menunjukkan wajah kurang suka dengan kata-katanya, tapi ia melanjutkan. “Kau tahu bagian mana yang aku suka dari semua itu?” Aku menggeleng lemah.

“Yaitu ketika suasana hati mereka yang datang bisa berubah hanya dalam satu malam. Seperti ada yang datang hari ini dengan perasaan sedih, namun ketika esok tiba, ia hadir dengan senyum mengembang dan kebahagiaan. Begitu pula sebaliknya. Dan aku tahu apa yang terjadi pada setelah mereka menunjungiku. Pada saat ini aku merasa bahwa aku merupakan bagian dari mereka. Seperti dirimu. Entah perasaan seperti apa yang sedang dirasakan, mereka selalu mencurahkan sedikit waktunya untuk bercerita denganku; membagi kisahnya dan menertawakan atau menangisinya bersama.”

Untuk beberapa saat aku meresapi kata-katanya. Bahwa ia berkata benar. Aku telah menjadikannya sebagai sahabat tuk mencurahkan isi hatiku. Anggapan bahwa selama ini aku berbicara sendiri ternyata salah, ternyata ia mendengarkan.

“Dan, satu lagi, Al,” dia menatapku lekat. “Seperti yang tadi aku kataan bahwa aku menyukai kejutan, maka aku punya satu untukmu.”

Kejutan? Apa lagi ini?

“Juga tadi aku telah katakan, bahwa aku mengenal miliaran orang. Bahwa bukan hanya dirimu seorang yang mencoba melepaskan beban yang kau pikul dengan bercerita kepadaku.”

“Dan?”

“Dan kau akan segera tahu. Ah, sudah saatnya sekarang. Aku sudah terlalu lama berada di sini, mungkin Matahari sedang mengumpat di sisi lain bumi ini.” Sungguh, kejutan seperti apa yang ia maksud? Ah, tapi aku tak ingin memusingkannya.

“Kau sudah puas?”

“Tentu belum, tapi setidaknya aku tahu seperti apa kehidupan pagi hari. Juga bagaimana bentuk dari embun pagi yang fenomenal itu. Ternyata benar apa yang dibisikkan angin, ini indah, namun sayang sepertinya ini kali terakhir aku melihat mereka. Aku tak akan mencoba menerobos waktu keluarku lagi.” Senja menyelesaikan kata-katanya. Ia perlahan mendekatiku yang sejak tadi tak bergerak dari tempatku, bahkan kopiku belum habis dan sudah dingin. Ia menyentuhku dengan sinarnya. Mencoba menenangkanku seperti biasanya.

Tak lama berselang, ia lenyap. Ia sudah pergi. Seketika muncul sinar baru dari ufuk timur. Sinar yang tepat untuk saat ini, waktu ini. Matahari menampakkan diri. Ia tersenyum ke arahku dan aku mengerti apa maksudnya. Aku membalas senyum itu dan ia segera memposisikan diri lebih tinggi dengan begitu cepat. Mengejar waktu yang telah buang.

Senja telah pergi. Matahari kembali. Embun akan menjadi cerita bagi Senja yang dibawa oleh angin. Membisikannya, menceritakan segala sesuatu yang tak ia ketahui.

Aku masuk kembali ke dalam rumah. Duduk di sofa putih di ruang keluarga. Keluarga? Keluarga siapa? Pikiranku kadang suka kalut jika berada di rumah ini. Tapi kemana lagi aku harus singgah? Rumah ini seperti raga tanpa jiwa. Tampak hidup dari luar, namun mati di dalam.

Kembali aku mengingatnya, dimana aku menolak untuk mempersuntingnya dengan alasan belum siap. Bodoh. Belum siap karena apa? Aku dan dia telah menjadi kekasih selama 4 tahun. Dia merupakan adik tingkatku di kampus dulu, perbedaan umur kami berjarak 3 tahun. Sejujurnya, kami sudah ideal. Hanya aku saja yang tolol.

Semenjak aku bekerja, begitupun dengannya, entah mengapa aku semakin chaos. Tidak bisa mengatur waktuku dengan baik. Tidak bisa mengatur hubungan ini dengan baik. Dan saat perintah harus pindah ke kantor pusat di London, dia, Tisya Aprilia Wijaya, memintaku untuk membawanya sebagai... Seorang istri.

Dan jawaban tolol itu keluar. Aku menolaknya. Saat itu, aku merasa belum siap tapi dia merasa bahwa waktunya tepat. Hingga hubungan kami haru berakhir saat aku baru 2 bulan berada di sana.

Aku bertugas di London selama 2 tahun lamanya dan dalam kurun waktu tersebut aku tidak mencoba menghubunginya. Entah karena aku terlalu kacau, atau aku merasa bodo amat, atau aku memang terlalu disibukkan oleh pekerjaan.

Ketika aku kembali menginjakkan diri di Tanah Air, aku mencoba menemuinya, menghubunginya, mengejarnya dengan penyesalan. Ia menolak dengan alasan sudah memiliki kekasih baru. Sakit? Tentu. Tapi aku bisa apa? Aku yang membuat keadaan menjadi seperti ini. Puncaknya saat aku berpapasan dengannya 2 bulan lalu, di pintu masuk sebuah cafe dibilangan Blok M. Dia keluar dengan seorang pria. Pria yang menggandeng tangannya. Di tangan telah melingkar sebuah cincin di jari manis sebelah kiri. Mereka telah bertunangan.

“Al?” Sungguh, aku lebih berharap ia berpura-pura tidak mengenalku dan terus berjalan menjauh. Bukannya menyapaku seperti itu.

“Hai, Sya.” Kuberikan senyum yang benar-benar kupaksakan.

“Mau ngopi? Sendirian aja?” Iya, Sya, aku sendiran aja. Teman ngopi aku paling asyik sekarang ada di depan aku, tapi digandeng cowok lain. Tentu aku mengucapkan itu di dalam hati. Aku hanya menjawab sampai bagian ‘sendirian aja’.

“Oh iya, kenalin, tunangan aku, Bagas.” Sungguh, aku tak mengerti dengan apa yang ada dipikiran Tisya. Memperkenalkan tunangannya ke mantan kekasih yang masih mengharapkannya? Sya, kamu boleh siksa aku, tapi jangan seperti ini. Sesaat kemudian lelaki metropolitan itu mengulurkan tangannya, menunggu jabatan tanganku. Ingin rasanya aku mengambil pecahan kaca yang ada di belakangku dan menempelkannya pada tangan lelaki itu. Namun pada akhirnya aku menjabatnya dan tersenyum –dengan paksaan tentunya.

“Almer.”

“Bagas,” kurasakan tangannya sedikit erat menjabatku. Kenapa? Dia kesal? Aku rasa sekarang waktu yang tepat untuk mengambil pecahan kaca itu. “Yuk, sayang, kita pulang. Mamah udah nungguin di rumah.” Ia berkata kepada Tisya setelah kami selesai berjabat.

“Yuk,” Tisya mengangguk, “Al, kita duluan ya.” Hanya kubalas dengan senyum. Aku masih mematung di depan pintu masuk. Memerhatikan langkah ringan Tisya menjauh dan... Ia menoleh kembali ke arahku seraya tersenyum. Senyum itu, yang aku rindukan di bawah tarian jingga saat senja, Sya.

Waktu menunjukkan pukul 7.20 WIB. Ternyata percakapan dengan Senja dan lamunanku benar-benar menerobos waktu. Tak heran Matahari buru-buru naik karena memang ia sudah sangat terlambat.

Aku berpikir akan menyalakan televisi, baru saat aku meraih remote-nya. Bel rumah berbunyi. Tamu? Sepagi ini? Jangan bercanda!

Kubawa kakiku dengan malas menuju pintu depan. Bel terus berbunyi. Kesal juga aku mendengarnya, sungguh semakin membuat pagiku rusak.

“Iya sebentar.” Aku raih gagang pintu dan membukanya perlahan.

“Tisya?” Aku mengucek mataku. Memastikan bahwa ini bukan fatamorgana belaka. Ia masih ada di sana. Menatapku dengan... Tunggu, matanya sembab? Dan... Cincin di jari manisnya menghilang?

“Sya.. Kamu kena..” Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku. Ia dengan cepat memelukku. Seketika tangisnya pecah. Air matanya membasahi bahuku. Peluknya. Peluk hangat ini yang aku rindukan. Juga wangi badannya yang tak aku temukan pada wanita lain seakan itu adalah parfum terbaik yang pernah aku cium.

Aku menggerakan tangan menuju punggungnya dengan gemetar. Membelai punggung itu dengan perlahan. Sungguh aku merindukannya. Sya, apapun yang terjadi pada kamu, bahu ini, tangan ini, raga ini, juga hati  ini akan selalu ada untukmu, Sya.

Di pagi hari akhir pekan. Setelah pembicaraan dengan Senja. Mungkin, mungkin inilah kejutan yang ia maksud. Sosok yang kurindukan datang dengan keadaan yang membuat hatiku meringis melihatnya. Kemudian ditengah tangisnya ia membisikkan kata-kata ke telingaku,

“Al, maafin aku...”

THE END


Saturday, February 11, 2017

Why I Write?

gambar: discardedimage.com
Serius. Terkadang pertanyaan di atas masih sering terngiang di pikiran gue. Meskipun untuk saat ini gue sudah mengantongi satu jawaban, tapi pertanyaan itu masih kerap muncul. 

Kenapa, sih, gue harus nulis? Kenapa seseorang itu harus nulis? Bahkan saat gue menulis ini, gue search di Google dengan keyword, “kenapa kita harus menulis?” Nulisception.

Berdasarkan beberapa artikel yang gue baca, terdapat alasan-alasan yang masuk akal yang digunakan sebagai dasaran untuk menulis. Tapi tidak dari semua alasan itu cocok menjadi alasan gue untuk menulis. Sebagai contoh, terdapat alasan “untuk merekam sejarah”, seperti tulisan yang dibuat saat ini, kelak akan dibaca anak cucu kita dan mereka akan belajar dari karya nyata ayah atau kakeknya. Bahkan, masa depan kita bisa bangga terhadap diri kita yang sekarang karena tulisan-tulisan kita saat ini.

Ya, kalau tulisannya bermanfaat dan berfaedah. Lah, kalau tulisannya macam ini? Mungkin anak gue berpikir dia dilahirkan dengan ayah yang salah...

Salah satu teman berkata, “menurut gue, nulis itu sebagai self healing aja, sih.” Gue agak setuju.

Menulis sebagai self healing... Emang terkadang saat gue menulis, ya, gue ngerasa enjoy. Mungkin saat orang lain melihat gue sedang serius menatap layar laptop, tapi percayalah tangan gue gak berhenti untuk menekan keyboard mengikuti apa yang otak gue perintahkan. Dan, ya, rasanya seperti ada beban yang terangkat. Tapi ternyata jawaban dan perasaan itu belum cukup jadi alasan kenapa gue menulis dan terus menulis.

Throwback sejenak ketika pertama kali gue memutuskan untuk menulis dan langsung membuat blog. Gue bukan berasal dari keluarga yang gemar baca, bahkan gue sendiri sedari kecil gak suka dengan dunia tulis menulis. Baru pada tahun 2013, waktu dimana gue suka banget sama setiap karya dari Raditya Dika, mulai dari buku sampai filmnya. Setelah membaca semuanya, secara tiba-tiba muncul hasrat untuk menulis seperti yang Radit. Maka dari itu isi dari blog gue mostly adalah personal life gue dengan gaya yang Radit-banget istilahnya.

Saat itu tulisan gue bener-bener apa adanya. Apa yang gue pikirkan, gue tuangin dalam bentuk tulisan untuk kemudian dengan pedenya gue post dan gue share tanpa ada pikiran lain. Sederhananya, waktu itu gue nulis untuk iseng dan ikut-ikutan doang. Bermodal pede dan nekat.

Tahun itu, gue memposting 33 kali di blog. Belum termasuk tulisan yang masih dalam bentuk draft di blogger dan yang terlupakan di drive laptop. Sampai ketika di beberapa tulisan terdapat komentar yang menunjukkan kesukaannya terhadap apa yang gue tulis. Semakin banyak komentar itu, semakin membuat gue terus ingin menulis.

Ternyata jawabannya sederhana, gue bukannya suka menulis. Gue suka bikin orang bahagia. Gue suka membuat orang tersenyum atau membuat harinya kembali baik setelah diterpa banyak masalah. Dalam kasus gue, yaitu dengan membaca tulisan yang gue buat.

Apresiasi atau feedback yang gue dapat membuat gue terus membenahi cara menulis gue. Awalnya gue menulis dengan asal-asalan. Tulis. Share. Sekarang gue bahkan harus melalui proses editing kurang lebih tiga kali untuk setiap post hanya untuk memastikan bahwa tulisan gue nyaman untuk dibaca. Memikirkan jokes seperti apa yang akan gue gunakan, meskipun lebih sering garing, tapi tujuan gue tetap sama; membuat pembaca tertawa. Ya, seenggaknya senyumlah. Kalau masih engga, ya, nanti kalau baca tulisan gue senyum aja udah, apresiasi kecil-kecilan gitu.

Setiap orang punya alasan menulisnya masing-masing. Bahkan gue yakin, ada jutaan penulis di luar sana yang punya alasan yang sama dengan gue. Jadikan setiap alasan itu sebagai batu loncatan untuk terus menulis. Juga sebagai reminder kenapa lo nulis disaat mungkin nantinya lelah karena terus menulis. Dan buat kalian yang mau menulis tapi belum berani memulai, temukan alasan itu dan jangan ragu tuk memulai. Semakin lama memulai, maka sama artinya menunda satu tulisan luar biasa yang siapa tau bakal bermanfaat bagi banyak orang.

Anjay.

Wednesday, February 1, 2017

Nyimeng

sekedar ilustrasi, mereka gak sekeren ini kok
Setelah dinasti Emak yang udah gue ceritain di postingan sebelumnya (bisa dibaca di sini), tinggal satu ekor kucing lagi yang tinggal di rumah gue. Sialnya, kucing ini betina dan feeling gue dia akan meneruskan jejak ibunya untuk terus beranak di sini.

Kucing ini tanpa nama. Jadi kalau manggil dia hanya dengan sebutan paling sederhana yaitu, “Meng, sini meng, makan.” Meng, itu diambil dari suara kucing mengeong dan berdasarkan pendengaran nyokap. Gue sih ngikut aja.

Beberapa lama kemudian hal yang dikhawatirkan nyokap kejadian juga. Kucing betina ini melahirkan 3 ekor anak kucing yang lucu. Awalnya nyokap kesel juga, tapi setelah liat anak-anaknya, nyokap agak lega. Dikarenakan ketiga anaknya jantan semua! Ya! Untuk pertama kali dari beberapa kelahiran kucing di rumah ini, anak yang lahir berjenis kelamin jantan semua! Di situ gue berpikir bahwa mereka adalah generasi terakhir kucing turunan Emak di rumah.

Semenjak itu pula kucing betina di rumah gue resmi mendapat nama sama seperti ibunya, Emak.

Meskipun punya nama sama, ternyata kelakuan Emak yang sekarang dengan Emak yang dulu sangat berbeda. Emak yang sekarang lebih penyayang sama anak-anaknya (bahkan sampai Emak mati). Dan sisi baiknya adalah, Emak yang sekarang hanya satu kali hamil! Beda banget sama Emak yang dulu yang setiap pulang ke rumah, perutnya selalu berisi janin bayi.

Semakin hari, nyokap juga semakin peduli juga sama kucing-kucing ini. Saat lagi lucu-lucunya, nyokap sering ngajak bercanda di teras depan rumah. Nyokap rajin ngasih makan mereka bukan hanya dengan tulang, melainkan nasi dicampur ikan dan nungguin mereka makan sampai habis. 

Nyokap juga memutuskan untuk memberi mereka nama, dan nama yang dipilih nyokap adalah... Nyimeng.

Bukan, bukan berarti nyokap gue gak tau arti sesungguhnya dari kata itu. Tapi nyokap cuma nyari nama paling sederhana seperti yang udah gue bilang di atas. Pada awalnya gue juga mempertanyakan nama pemberian nyokap. Tapi pembelaan nyokap demikian, “Itu cuma panggilan keluarga doang kok, lagian nggak akan dibawa kemana-mana juga.” Saat itu gue hanya bisa mengangguk dan gak tahu ke depannya ada kejadian apa..

Karena nama Nyimeng hanya untuk satu kucing, sedangkan anak kucingnya ada tiga, maka nyokap menambahkan panggilan berdasarkan ciri fisik ketiga anak kucing itu di belakang nama Nyimeng. Contohnya ada satu yang ekornya pendek, nyokap panggil Nyimeng Ekor Pendek. Begitu pula dengan dua saudaranya yang lain harus jadi ‘korban’ pemberian nama nyokap. Sehingga nama ‘resmi’ ketiganya ialah, Nyimeng Ekor Pendek, Nyimeng Ekor Panjang dan Nyimeng Banyak Belang. Sungguh bervaedah.

Sejak saat itu gue mulai manggil mereka sesuai nama yang nyokap berikan. Dan memang ini cuma panggilan dari keluarga ini doang, jadi gue ngerasa gak ada masalah dengan nama itu walau gue selalu punya perasaan aneh tiap gue manggil mereka dengan nama itu. Kasian aja sih. Mungkin mereka senang dipanggil Nyimeng, tapi kalau mereka tahu arti sesungguhnya dari kata itu, mungkin mereka akan menyesal dilahirkan sebagai kucing dan berpikir kenapa orang tua mereka bukan anjing aja.

Sampai ketika ada satu kejadian yang membuat gue sadar betapa pentingnya sebuah nama, bahkan untuk hewan sekalipun.

Gue baru pulang dari tanah rantau dan menemukan Ekor Pendek dalam kondisi mengenaskan. Dia kayak kena infeksi yang kata bokap gue, dia masuk ke selokan. Jalannya pincang, mukanya berantakan, badannya kurus dan dia terkena diare parah. Sehingga nyokap meminta gue untuk ngebawa dia ke klinik hewan.

Keesokan harinya gue bawa Ekor Pendek ke klinik. Sesampainya di sana, ada satu perawat dan satu penjaga yang menunggu. Kemudian gue disuruh masuk ke ruang periksa dan ditanya soal kondisi Ekor Pendek dan gue hanya menjelaskan apa yang gue pahami. Semua berjalan lancar sampai si perawat berkata, “Baik, mas. Sekarang diisi datanya dulu, ya. Nama kucingnya siapa?”

Mampus. Gue diem agak lama. Perawatnya masih ngeliatin gue, nunggu jawaban. Dengan ragu-ragu gue bilang, “Nyimeng, mas.”

Dia masih diem ngeliatin gue. Gue ulangi sekali lagi, “Ehm.. Nyimeng, mas. Namanya.. Nyimeng.”

Dia ngakak. Gue mau ngambil suntikan dan ngebius dia.

“Sekarang kondisi dia kayaknya sesuai sama nama dia yah.” Kata perawat itu karena ngeliat kondisi Ekor Pendek yang kalau jalan pincang seakan abis nyimeng beneran.

“He he he, iya mas.” Jawab gue sambil ketawa canggung. Berharap percakapan ini gak dilanjutin lagi. Atau beneran gue bius dia.

Dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya gue jawab dengan sangat tidak baik. Karena emang gue kurang tau banyak dengan kondisi kucing-kucing di rumah. 

Mulai dari pertanyaan, “Umurnya berapa?” yang gue jawab, “Kurang tau mas, pokoknya udah cukup umur buat ngehamilin kucing lain aja.”

Sampai, “Ini sakitnya dari kapan?”

“Dari saya sampai rumah udah begini mas,” sumpah gue udah gak fokus.

Karena dokternya lagi gak ada di tempat, jadi Ekor Pendek disarankan untuk ditinggal sehari di sana dan nanti pihak kliniknya ngehubungin gue lagi. Dan apa yang dia bicarakan selanjutnya hanya gue iyakan karena gue mau secepatnya pergi dari sana.

Dari situ gue berpikir bahwa nama adalah sesuatu yang penting. Meskipun pada awalnya hanya untuk satu keluarga aja yang tahu, tapi kita gak akan tahu apa yang akan terjadi ke depan. Seperti kejadian Nyimeng Ekor Pendek satu ini. Tahu gitu gue kasih nama Joni kayak dulu.

Beberapa bulan setelah di bawa ke klinik, kondisi Ekor Pendek berangsur membaik. Sebelumnya dia benar-benar gak bisa keluar rumah, tapi nyokap dengan sabar ngerawat dia dengan memberi obat yang dikasih dari klinik. Sekarang dia udah bisa kembali jalan-jalan dan badannya terlihat lebih sehat. Walaupun jalannnya masih sedikit pincang. Sedangkan dua saudaranya yang lain udah jarang pulang ke rumah. Mereka lebih memilih merantau entah kemana tapi terkadang mereka juga sempat untuk pulang.

Gue yang di awal berpikir bahwa generasi tiga kucing jantan ini adalah generasi kucing terakhir di rumah gue, harus mengubur dalam-dalam pikiran itu ketika di suatu sore nyokap menghampiri gue dan berkata, “A, kamu bisa naik ke atas gak? Tolong turunin kucing. Udah beberapa hari dia di atas sana.”

Gue diem sejenak. Kemudian gue tanya, “Kucing siapa, Mah?”

“Pacarnya Ekor Pendek. Udah beberapa hari ini di rumah.”

Mampus. Gue gak tahu dia cerita apa tentang kondisinya ke kucing betina lain sampai kucing itu bisa tertarik sama Ekor Pendek. Mungkin dia cerita kalau jalannya yang pincang itu akibat berantem sama kucing lain dan ia terlihat jantan. Andai betina itu tahu cerita aslinya, mungkin kondisi sekarang akan sedikit berbeda.

Gue emang gak banyak tahu kondisi kucing-kucing di rumah karena gue harus merantau. Dan ketika gue pulang ke rumah, selalu ada hal baru yang gue lihat terutama dari perkembangan kucing-kucing ini.

Dan sekali lagi, pikiran gue bahwa tiga saudara ini adalah generasi terakhir kucing di rumah harus benar-benar kandas, ketika pada suatu sore, gue diperintahkan untuk memasukan mobil ke dalam garasi dan gue mendengar suara anak kucing. Ya, anak kucing. Dia anak-anak. Dan dia kucing. Damn.

Gue memasukan mobil dengan hati-hati, takut anak kucing itu ada di teras. Setelah mobil terparkir sempurna, gue cari sumber suara yang sudah menganggu fokus gue tadi. Dan benar saja, gue menemukan satu anak kucing di bagian samping rumah. Gue tepok jidat dan kisah tentang generasi kucing di rumah ini nampaknya tidak akan berakhir dengan cepat.

kerjaan Ekor Pendek tiap hari