gambar: discardedimage.com |
Serius. Terkadang pertanyaan di atas masih sering terngiang di pikiran gue. Meskipun untuk saat ini gue sudah mengantongi satu jawaban, tapi pertanyaan itu masih kerap muncul.
Kenapa, sih, gue harus nulis? Kenapa seseorang itu harus nulis? Bahkan saat gue menulis ini, gue search di Google dengan keyword, “kenapa kita harus menulis?” Nulisception.
Berdasarkan beberapa artikel yang gue baca, terdapat alasan-alasan yang masuk akal yang digunakan sebagai dasaran untuk menulis. Tapi tidak dari semua alasan itu cocok menjadi alasan gue untuk menulis. Sebagai contoh, terdapat alasan “untuk merekam sejarah”, seperti tulisan yang dibuat saat ini, kelak akan dibaca anak cucu kita dan mereka akan belajar dari karya nyata ayah atau kakeknya. Bahkan, masa depan kita bisa bangga terhadap diri kita yang sekarang karena tulisan-tulisan kita saat ini.
Ya, kalau tulisannya bermanfaat dan berfaedah. Lah, kalau tulisannya macam ini? Mungkin anak gue berpikir dia dilahirkan dengan ayah yang salah...
Salah satu teman berkata, “menurut gue, nulis itu sebagai self healing aja, sih.” Gue agak setuju.
Menulis sebagai self healing... Emang terkadang saat gue menulis, ya, gue ngerasa enjoy. Mungkin saat orang lain melihat gue sedang serius menatap layar laptop, tapi percayalah tangan gue gak berhenti untuk menekan keyboard mengikuti apa yang otak gue perintahkan. Dan, ya, rasanya seperti ada beban yang terangkat. Tapi ternyata jawaban dan perasaan itu belum cukup jadi alasan kenapa gue menulis dan terus menulis.
Throwback sejenak ketika pertama kali gue memutuskan untuk menulis dan langsung membuat blog. Gue bukan berasal dari keluarga yang gemar baca, bahkan gue sendiri sedari kecil gak suka dengan dunia tulis menulis. Baru pada tahun 2013, waktu dimana gue suka banget sama setiap karya dari Raditya Dika, mulai dari buku sampai filmnya. Setelah membaca semuanya, secara tiba-tiba muncul hasrat untuk menulis seperti yang Radit. Maka dari itu isi dari blog gue mostly adalah personal life gue dengan gaya yang Radit-banget istilahnya.
Saat itu tulisan gue bener-bener apa adanya. Apa yang gue pikirkan, gue tuangin dalam bentuk tulisan untuk kemudian dengan pedenya gue post dan gue share tanpa ada pikiran lain. Sederhananya, waktu itu gue nulis untuk iseng dan ikut-ikutan doang. Bermodal pede dan nekat.
Tahun itu, gue memposting 33 kali di blog. Belum termasuk tulisan yang masih dalam bentuk draft di blogger dan yang terlupakan di drive laptop. Sampai ketika di beberapa tulisan terdapat komentar yang menunjukkan kesukaannya terhadap apa yang gue tulis. Semakin banyak komentar itu, semakin membuat gue terus ingin menulis.
Ternyata jawabannya sederhana, gue bukannya suka menulis. Gue suka bikin orang bahagia. Gue suka membuat orang tersenyum atau membuat harinya kembali baik setelah diterpa banyak masalah. Dalam kasus gue, yaitu dengan membaca tulisan yang gue buat.
Apresiasi atau feedback yang gue dapat membuat gue terus membenahi cara menulis gue. Awalnya gue menulis dengan asal-asalan. Tulis. Share. Sekarang gue bahkan harus melalui proses editing kurang lebih tiga kali untuk setiap post hanya untuk memastikan bahwa tulisan gue nyaman untuk dibaca. Memikirkan jokes seperti apa yang akan gue gunakan, meskipun lebih sering garing, tapi tujuan gue tetap sama; membuat pembaca tertawa. Ya, seenggaknya senyumlah. Kalau masih engga, ya, nanti kalau baca tulisan gue senyum aja udah, apresiasi kecil-kecilan gitu.
Setiap orang punya alasan menulisnya masing-masing. Bahkan gue yakin, ada jutaan penulis di luar sana yang punya alasan yang sama dengan gue. Jadikan setiap alasan itu sebagai batu loncatan untuk terus menulis. Juga sebagai reminder kenapa lo nulis disaat mungkin nantinya lelah karena terus menulis. Dan buat kalian yang mau menulis tapi belum berani memulai, temukan alasan itu dan jangan ragu tuk memulai. Semakin lama memulai, maka sama artinya menunda satu tulisan luar biasa yang siapa tau bakal bermanfaat bagi banyak orang.
Anjay.
0 comments:
Post a Comment