Chapter I - can read here
---
‘Ndre, i have to go..’ Begitulah isi pop-up message Line dari Laila pagi ini.
Tanpa pikir panjang gue langsung menghubungi Laila.
Tut... Tut... Ayolah, La, angkat telfonnya. Gue mondar-mandir gak jelas. Berusaha menghilangkan gelisah tapi gagal total.
“Halo.” Ah, akhirnya. Tapi suaranya terdengar begitu tenang. Ada apa ini? Jujur, hal itu malah ngebuat gue semakin panik.
“La? Kamu mau pergi kemana? Jangan bilang kalau kam...”
“Ndre,” Laila memotong pembicaraan gue dengan nada yang sangat datar. Gue diam. Menunggu apa yang akan ia katakan. Ada kesunyian yang menyesakkan diantara kita. Tak lama, Laila menarik nafas panjang. “Aku...,” dia mengucapkan itu dengan sangat pelan. Kata per kata. Ayolah, La, jangan bikin aku jantungan begini.
“.... Harus pergi sekarang...,” Damn! Secepat ini, kah? Apa yang gue takutkan dulu ketika Laila berbicara tentang masa depannya yang mungkin akan meninggalkan gue dengan tiba-tiba karena suatu hal, nampaknya segera terjadi. Gue terdiam di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Sepertinya gue harus pasrah dan memutuskan untuk terus diam.
“.... Ke Erha. Krim ku habis, sekalian mau perawatan juga. ” Gue bengong. Terdengar Laila menahan tawa. Asu, opo meneh iki. Sumpah, gue emang gak berharap apa yang gue takutkan itu jadi nyata, tapi bukan berarti kayak gini juga.
“Gimana, La?” Gue memastikan perkataannya.
“Aku harus pergi sekarang ke Erha Jakal. Krimku udah habis, Ndre.”
“Jangan bercada, La.” Jujur, emosi gue mulai naik karena merasa dipermainkan. Bayangin aja lo baru bangun tidur dan dapet chat yang ambigu kayak ‘I have to go’-nya Laila. Gimana gak panik coba?
“Aku serius. Banget.”
Gue menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, sebelum..
“KAMU TUH GIMANA, SIH? BIKIN PANIK AKU AJA TAU GAK?! MASIH PAGI UDAH CHAT KAYAK GITU! AKU KIRA, KAN, KAMU...”
“ANDRE!” Mampus gue dibentak balik. Dan begonya gue langsung diam. “Diam dulu! Kamu tenang aja, aku gak akan pergi seperti yang kamu kira, kok. Abis aku bingung gimana caranya ngebangunin kamu.” Gue terdiam dan berusaha mencari koneksi dari semua random things pagi ini.
“Kamu susah banget dibanguninnya. Chat aku udah banyak. Udah 5 kali aku telfon ke nomor Simpati, 4 kali ke nomor IM3 dan kamu tuh sebenarnya udah ngangkat, tapi cuma ngomong ‘hah.. iya.. he eh..’ , yaudah aku chat begitu. Eh, langsung bangun.” Setelah Laila ngomong gitu, gue bengong. Emang iya, ya? Gue baru mau menjawab sebelum Laila melanjutkan omongannya.
“Dan satu lagi, Ndre...,” ada keheningan sejenak. Hening sebelumnya bikin gue panik, tapi kali ini entah kenapa feeling gue gak enak. “INI UDAH JAM 11 ANDRE!!!! DI LUAR EMANG HUJAN JADI KELIHATANNYA KAYAK MASIH PAGI! SADAR WOY KEBO!!!!” Gue menjauhkan handphone dari telinga gue. Asli ini kuping gue beneran terancam. Kalau deket pasti kena jewer. Dan kalau lagi jauh gini, gue kena semprot teriakannya yang konon bisa ngebuat gendang telinga pecah. Gue berani bilang seperti tadi secara langsung ke Laila hanya kalau nyawa gue ada sembilan.
Sesaat kemudian gue ngeliat HP, Laila masih teriak-teriak gak jelas. Biarin deh, biar capek sendiri. Gue cek notifikasi pesan dan benar apa kata Laila. Seketika nyali gue langsung ciut. Suara Laila udah gak kedengeran, gue memberanikan diri mendekatkan HP ke telinga gue.
Belum lama handphone gue bersentuhan dengan telinga, kembali terdengar suara dengan nada datar, dingin dan mengerikan yang seketika membuat bulu kuduk gue merinding. Suara yang mengeluarkan kalimat tanya singkat yang gue yakin, bukan cuma gue yang ketakutan dengernya. Tapi cowok manapun akan merinding kalau dengar pacarnya ngomong seperti ini. Hanya 5 kata; “Tadi kamu dengerin aku gak, Ndre?” Dengan penekanan intonasi pada bagian ‘Ndre’. Gue nelen ludah.
---
Gue bukan termasuk cowok yang rela nemenin ceweknya berjam-jam melakukan apa yang mereka suka. Untungnya Laila bukan tipe cewek ribet yang selalu minta ditemenin kemana-mana. Sebenernya dia gak pernah minta temenin sih, cuma pengen dianterin doang, guenya aja yang rela buat nemenin. Kecuali hal satu ini. Dan kalau gak mager.
Setelah insiden ditelfon yang mengerikan itu berakhir. Gue segera mandi, ambil kunci mobil dan berangkat ke kos Laila. Ya, bisa dikatakan gue beruntung terlahir dari keluarga yang berkecukupan sehingga dapat membawa dua kendaraan di tanah rantau ini; mobil dan motor. Namun jujur, keseharian gue di sini terbiasa menggunakan motor. Gue mulai rajin naik mobil semenjak pacaran sama Laila. Bukan, Laila bukan cewek materialistis. Dia gak pernah mempermasalahkan gue jemput dia pakai kendaraan yang mana dan gak pernah minta yang aneh-aneh –kecuali tiba-tiba dia minta ditemenin makan nasi goreng jam satu malam.
Gue juga bukan termasuk cowok yang romantis, tapi gue terus mencoba untuk menjadi yang terbaik buat dia. Dan alasan gue sering pakai mobil tiap ketemu dia adalah untuk membuat dia nyaman. Bukankah itu termasuk normal?
Bahkan sebelum pacaran sama Laila, gue lupa bahwa Honda Jazz hitam di parkiran kos itu adalah mobil gue. Karena gue lebih cinta sama skuter matic dengan merek yang sama berkapasitas 125cc yang udah nemenin gue dari jaman SMA. Bukan masalah kendaraan mana yang lebih keren, tapi cerita dibalik kendaraan itu yang bikin gue selalu pakai Blacky –nama motor gue, kemana-mana. Gitu-gitu jok belakangnya udah pernah bonceng banyak cewek, sob. Mulai dari cewek paling cantik di sekolahan gue dulu, sampai pembantu gue yang disuruh nyokap belanja ke pasar tiap sabtu pagi dengan mengorbankan anak sulungnya yang beliau tau kerjaannya kalau weekend cuma tidur sampai siang jadi beliau menggunakan cara keji tersebut, pernah duduk manis manja di jok itu. Money can buy a new vehicle, but not the story.
‘Kalau udah selesai, bilang.’ Sent.
Tak berapa lama setelah gue ngirim pesan ke Laila, ada balasan yang mengatakan bahwa dia sudah selesai. Gue mengerenyitkan dahi. Kok cepet amat?. Ah, tapi menghindari sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada organ tubuh gue, maka gue langsung log out dan membayar billing warnet. Padahal belum banyak film yang gue copy. Sial.
Sesampainya di parkiran tempat perawatan Laila, gue kembali mengirim pesan menanyakan posisi Laila dan ia menjawab masih di dalam lalu menyuruh gue nunggu sebentar lagi. Gue hafal Laila. Sebentar laginya dia berarti ada pada rentang 20-30 menit ke depan. Gue menghela nafas dan mengelus dada sendiri. “Sabar, Ndre, ini cobaan.”
Jejak hujan deras yang mengguyur Yogyakarta pagi tadi masih belum hilang. Hingga siang ini, Jogja masih dilanda gerimis syahdu. Sedangkan gue dirundung kegabutan karena menunggu seorang wanita yang sebenarnya udah bilang ‘aku udah selesai’, tapi setelah album Hail To The King-nya Avenged selesai, dia belum datang juga.
Baru sebentar gue memejamkan mata, menikmati kesyahduan gerimis manja ala Jogja, terdengar ketukan di jendela mobil. Princess yang ditunggu akhirnya muncul. Sekali lagi, Ndre, sabar.
“Lama amat, katanya udah selesai?” Gue bertanya dengan tingkat bete skala 15 dari 10, it means gue bete parah.
“Oalah, yang tadi chat kamu itu aku dari masa depan. Hmm, gak bisa dibilang masa depan juga sih, ya satu jam deh. Abis kalau aku bilang pas baru banget selesai, ada juga kamu yang telat.” Gue membenturkan kepala ke stir. Ampun deh.
Cup. “Makasih ya sayang, udah mau nungguin.” Sebuah kecupan mendarat di pipi gue. Gue nengok ke arah dia dan dia tersenyum manis. Senyum favorit gue. Dia tau gue lemah kalau dia udah senyum begitu. Sial, apa ini cara semua cewek buat nenangin cowoknya yang lagi bete karena seharian dikerjain terus?
“Sekarang gantian deh, terserah kamu mau kemana. Aku ngikut aja.” Gue masih bengong ngeliatin dia. Otak gue masih melakukan negosisasi agar bete dalam diri gue pergi setelah dikasih kecupan tadi. Dan sekarang gue udah disuruh nentuin tempat selanjutnya.
“Hmm, pizza yuk?”
“Andre sayangku, aku kan abis perawatan sama beli krim. Uangnya habis sayang, yang lain coba.” Tarik nafas, hembuskan perlahan. Penderitaan ini nampaknya belum berakhir, Ndre.
“Mau coto makassar?”
“Kamu masih muda udah pikun ya, Ndre. Kemarin kan kita baru makan di sana, ganti dong sayang.”
Gusti Allah, ampuni hamba.
“Yaudah, terus maunya kemana?”
“Terserah kamu, Andre sayang.” Dia tersenyum manis. Gue pura-pura mati.
---
Malam itu gue duduk di tepi tebing suatu tempat bernama Bukit Bintang. Meskipun Jogja malam ini tanpa bintang karena sepanjang hari hujan tanpa henti. Pemandangan dari tempat gue sekrang ini memperlihatkan gemerlap kota Jogja pada malam hari. Cukup untuk menghilangkan rasa lelah yang seharian ini jadi sopir princess kesayangan.
Gue mengalihkan pandangan menuju seorang gadis yang sedang memesan jagung bakar. Tak apa malam ini Jogja tanpa bintang, gue membawa bintang gue sendiri. Orang yang menerangi hati dan hari-hari gue. Bapak penjual jagung bakar tersenyum ketika Laila memesan -dan mungkin sedikit ngobrol, itu kebiasannya. Gue jatuh cinta ketika Laila selalu membuat orang yang diajak ngobrol tersenyum. Seakan hadirnya membawa virus positif bagi mereka yang ada di dekatnya. Bahkan gue yang hanya ngeliat mereka ngobrol pun ikut tersenyum.
“Ndre, nih,” Laila menyodorkan satu jagung bakar ke gue. “Gak pedes kayak biasa. Cupu kamu.”
“Lah, bodo amat. Kalau perut aku sakit, terus nanti gak bisa nganterin kamu pulang, malah yang ada kita ke JIH, gimana?”
“Ndre, mau aku jewer lagi?”
“Boleh, tapi di hati aku ya, hehe.”
“Kok tiba-tiba aku mau ngedorong kamu ke jurang ya, Ndre.” Kita tertawa. Pasca hujan, cuaca di jogja terutama diketinggian seperti ini menjadi sangat dingin, namun percakapan antara kita sedikit banyak membuat suasana jadi hangat.
“Ndre, aku mau nanya.”
“He eh.. Nghanya ajhha.” Gue jawab sebisanya. Mulut gue penuh sama jagung bakar.
“Telen dulu sayang.”
“Iya yaudah, sok mau nanya apa.”
“Kenapa kita baru dipertemukan sekarang, ya? Maksud aku, kenapa gak dari dulu aja gitu. Kalau gitu, kan, hidup aku jadi seru dari dulu.” Laila menatap kosong kota Jogja di bawah sana. Buset, kesurupan apa ini anak?
“Kan dulu kita beda kota, kocak. Ya bersyukur aja kita dipertemukan di sini, yang kata orang-orang ‘Kota Romantis’ dan bikin cerita romantis versi kita sendiri.” Gue dan Laila berasal dari dua kota berbeda, tapi masih tergolong dekat. Gue dari Banten, Laila asal Jakarta. Jadi ketika liburan semester tiba, kita masih bisa jalan bareng walaupun gak se-intens di sini.
“Emang kita romantis?”
“Engga sih,” kita kembali tersenyum. “Dan, mungkin kalau kita ketemu lebih cepat, kita gak akan sama kayak sekarang. Maksudku, aku yang sekarang adalah aku yang dulu pernah gagal. Yang selalu introspeksi diri dan sekarang saat sama kamu, aku gak mau kesalahan bodoh yang dulu aku perbuat, aku lakukan juga ke kamu.” Gue menambahkan.
“Pas sama Rara?”
“Gausah nyebut merk juga, bu.” Senyum yang sama tersungging kembali. Malam ini sepertinya sedang obral kebahagiaan dan senyum. Kita. Bapak-bapak penjual jagung bakar. Mbak-mbak yang sedang menyiapkan minuman pesanan orang. Muda-mudi yang tertawa dikejauhan sana. Dan beberapa pasangan yang saling tukar suka cita. Tiap individu di sini mempertunjukan senyumannya dalam tiap beraktifitas. Malam yang indah.
Oh iya, Rara itu nama pacar gue sebelum Laila. Gue sama Rara itu teman SMA dan kita pacaran selama 3 tahun sampai berakhir ketika tahun pertama gue di perkuliahan. Laila udah tau cerita gue sama Rara. Ya, itu karena dia maksa gue buat cerita dan gue masih sayang dengan bagian tubuh gue yang belum disiksa. Juga nyawa gue.
Selama 3 tahun pacaran sama Rara, banyak pelajaran yang gue ambil dari hubungan itu. Termasuk LDR. Sebelumnya gue sama sekali takut dengan namanya LDR, Long Distance Relationshit. Saat dimana Rara berubah secara fisik, yaitu dari 160 cm menjadi 5,5 inci. Walaupun dapat berjalan selama setahun, tapi LDR juga lah yang menjadi mimpi buruk gue sama Rara dan pada akhirnya menghempaskan hubungan gue.
Ketidakpercayaan. Merupakan kunci dari berakhirnya kisah gue dan Rara. Padahal itu bukan LDR pertama yang pernah Rara jalani. Sehingga pada akhirnya gue memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang jalannya udah rusak, meski udah berkali-kali diperbaiki. Sama kayak jalan tol Jakarta-Merak. Banyak bagian jalan yang rusak serta berlubang dan rutin dilakukan perbaikan jalan, tapi ujung-ujungnya tetap rusak lagi.
Sekalipun hubungan gue sama Rara itu termasuk yang paling lama bagi gue, pula rasa sayang gue ke dia begitu besar, tapi kalau segala sesuatunya udah gak bisa diperbaiki, mau bagaimana lagi?
Tapi gue berterima kasih sama Rara. Berkat dia, gue ngerasa berubah jadi sedikit lebih baik. Seenggaknya gue jadi cowok yang gak posesif dan tenang kala menghadapi masalah yang berhubungan dengan asmara.
Dulu, gue pernah cemburu ketika Rara naik ojek menuju kampusnya. Ojek di sini adalah teman kampusnya yang kata Rara, “gapapa, Ndre, teman aku doang kok ngajak bareng.” Dan (begonya) gue ngambek. Sekarang gue mikir kalau itu merupakan salah satu hal terkonyol yang pernah gue lakukan dan gak akan gue ulangi hal yang sama ke Laila, gadis yang kini mulutnya dipenuhi jagung bakar dan membuatnya semakin menggemaskan.
“Sederhananya, La, kita ketemu di waktu yang tepat.” Laila memandang gue. Mata kita bertemu. Dia senyum, gue ngerasa tenang banget.
“Iya, aku percaya kok.”
Malam itu kita habiskan dengan masing-masing memakan dua jagung bakar. Laila bukan tipe cewek yang takut gemuk kalau kebanyakan makan dan gue suka itu. Dengan wedang jahe untuk gue, susu putih panas digenggaman Laila dan percakapan sederhana yang kita bangun, membuat cuaca dingin Jogja malam itu semakin tak terasa.
Entah perasaan apa yang menyelimuti gue malam itu, padahal gue sama Laila udah ratusan kali berada di momen seperti ini. Tapi gue merasa ada sesuatu yang lain. Ada perantara tak terlihat yang menghubungkan hati dan pikiran kita. Dan saat kita beradu pandang dan saling tersenyum, ditemani meriahnya lampu kota Yogyakarta, gue merasa seperti pertama kali melihat dia di cafe tempat kita bertemu. Senyumnya memberikan ketenangan buat gue. Tatapannya merepresentasikan harapan. Kombinasi sempurna yang membuat gue terus berpikir, she’s the one. Gue merasa seperti jatuh cinta pertama kali. Dan gue berharap waktu tuk berhenti pada detik ini. Pada momen ini. Pada saat tangan gue menggenggam tangannya. Karena gue gak mau saat seperti ini berlalu dengan cepat.
La, jangan pernah tinggalin aku.
to be continued
Menarik dan gue suka cerita nya. Good job :)
ReplyDeleteTerima kasi Anon :)
Delete