|
source: google.com |
Aku masih bisa merasakannya. Tawanya masih bisa kudengar. Ia berada di sana, di atas komedi putar, menyeringai menampakkan giginya yang tersusun rapih dan melambai ke arahku yang sedang duduk di sebuah bangku taman tua di sebelah selatan komedi putar. Bangku taman tua yang di sisi sebelah kanannya terdapat ukiran namaku dan namanya.
“Sebaiknya kita tulis nama kita di sini,” katanya pada sore itu dengan tangan menggenggam ranting kayu dengan ujung yang agak runcing, “untuk menunjukkan bahwa bangku ini adalah milik kita.”
“Hei, bukankah ini tidak baik? Kita tidak boleh merusak fasilitas umum. Lagi pula bangku ini bukan milik kita, tapi milik siapa pun yang hendak duduk di sini.” Ia cemberut dan aku merasa bersalah telah mengatakan itu.
“Tapi kau suka duduk di sini. Di antara puluhan bangku taman, kau selalu memilih bangku ini dan aku tak pernah melihatmu duduk di bangku lain. Kau selalu di sini. Duduk, membaca, mendengarkan musik dari walkman-mu, dan... Menjaga dan mengawasiku dari sini.” Aku tahu ia punya jawaban yang tidak biasa diucapkan oleh anak sebayanya.
Aku tersenyum dan mengusap rambut hitamnya. “Berikan kayu itu. Biar aku yang menulisnya.” Senyumnya mengembang menunjukkan betapa manisnya ia. Lalu tertulislah di sisi kanan bangku ini, ‘milik Genta dan Linda.'
Mataku terpejam dan kuhirup nafas dalam-dalam. Saatku membuka mata, ia masih berada di sana bermain dengan teman-temannya. Beberapa kali ia melihat ke arahku dengan senyumnya yang menawan. Sungguh, aku rasa siapa pun yang melihatnya tersenyum maka orang itu akan membalas senyumannya dengan senyuman terbaik yang ia miliki. Bagaimana pun suasana hati mereka pada saat itu, senyum itu tak mungkin tertahan untuk mengembang. Aku berani bertaruh untuk hal ini.
Kalau kalian berpikir malaikat hanya dapat kalian lihat saat di akhirat nanti, aku rasa kalian salah. Di dunia ini aku punya 3 sosok malaikat; orang tuaku dan adikku, Linda. Malaikat terakhir hadir saat aku yakin bahwa aku tidak akan mempunyai adik. Harapan untuk memiliki sosok adik mulai sirna saat umurku menginjak satu dekade. Di saat aku mulai melupakan kehadiran sosok adik, Tuhan memberikan kejutan untukku. Ibu hamil lagi. Setelah penantian panjang, aku bisa melihatnya, aku dapat memegang tangannya yang mungil, di sebelah ibu yang bermandikan pilu pasca berjuang selama beberapa jam. Ku rasa ini merupakan bayaran yang setimpal setelah 12 tahun aku menunggu. Sosok malaikat terakhir di keluarga ini telah hadir di antara kami, ia Linda Stefani Arinka.
Kini aku berusia 21 tahun dan Linda 9 tahun. Tapi percayalah perkataan dan sikapnya tidak seperti yang kalian kira. Ia sering berucap atau bertingkah selayaknya orang seusiaku. Terkadang aku merasa ia bukanlah adikku, melainkan teman sebayaku. Seperti saat itu, tepat setelah hubunganku dengan Aura -kekasihku yang terakhir, berakhir.
--
Aku merasa kacau dan bahkan tidak bisa mengeluarkan air mata. Aku hanya dapat membongkar lemari kesalahanku dan menjejerkan satu persatu berkas kesalahan yang pernah kuperbuat. Aku menilik tiap berkas dan meratapinya. Aku duduk di pinggir ranjang dengan kepala tertunduk dan pikiran yang melayang jauh ke belakang melewati lorong ruang dan waktu. Kembali pada waktu aku dan Aura masih bersama serta apa saja yang kita telah kita lewati. Suka. Duka. Tawa. Tangis. Aku rasa tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain membiarkan diriku jatuh terlalu dalam pada lubang kehancuran. Sampai suara yang menenangkan itu menyadarkanku,
“Hei, kau baik-baik saja?” Aku mengangkat kepala dan menemukan Linda berdiri di ambang pintu kamarku sambil memeluk Molly, kucing persia kesayangannya. Ia menggunakan piyama bergambar Stitch, tokoh kartun yang ia suka. Ia nampak menggemaskan. Beban kesedihanku seakan terangkat secara perlahan kala melihat sosoknya.
“Ya, aku baik-baik saja.” Aku tersenyum walau aku tahu senyuman ini akan terlihat canggung. Aku hanya tak ingin terlihat bersedih di hadapannya.
“Ayolah, aku rasa kita tak seharusnya berbohong. Ibu berkata begitu, juga dengan dirimu yang selalu mengingatkanku.” Aku tahu tak akan bisa mengelabuinya.
Ia berjalan ke arahku kemudian menaruh bokong kecilnya tepat di sampingku masih dengan Molly dalam pelukannya. “Biarku tebak. Hmm... Kak Aura?” Aku hanya bisa terdiam menatapnya. Ia tahu tebakannya benar.
“Astaga! Ada apa? Apa kalian bertengkar lagi? Atau kalian hubungan kalian sudah berakhir?”
“Empat kata terakhir,” jawabku.
“Astaga! Apa penyebabnya? Bukan kah kalian sudah lama bersama? Astaga! Kau pernah bilang betapa baiknya ia. Kau pernah bilang betapa kau begitu mencintainya. Tapi kenapa? Astaga! Aku rasa kau adalah penyababnya! Benar, kan? Ini pasti ulahmu!” Baru 3 menit ia berada di sini tapi aku sudah merasa kesedihanku sudah meluap semua. Aku tak keberatan ia menyalahkanku. Aku hanya suka melihat reaksi histerisnya. Mengingatkanku saat pertama kali ia bertemu Molly di sebuah penampungan kucing,
“Astaga, kak! Lihat betapa lucunya dia! Lihat sepertinya ia menyukaiku! Astaga! Dia sungguh menggemaskan, kak! Astaga! Bolehkah ia kita bawa pulang?” Setelah saat itu aku selalu berupaya menghiutng berapa kali ia mengucapkan kata ‘Astaga’ ketika tertarik dengan suatu hal. Nampaknya kata itu akan menjadi kata kesukaannya. Melihatnya bertingkah seperti itu saat ini seketika aku ingin mencubit kedua pipinya yang bulat dan benar-benar melupakan tentang Aura.
“Maukah kau berbagi denganku?” Ia merendahkan nada suaranya. Terdengar lembut dan menenangkan. Aku rasa aku tak punya pilihan lain. Ia begitu penasaran akan ceritaku sampai-sampai ia tak sadar kalau Molly sudah tak ada dipelukannya lagi.
Aku menceritakan segalanya. Aku pikir aku sudah kehilangan akal ketika menceritakan kisah cinta yang rumit kepada anak kecil yang bahkan belum genap berusia 10 tahun. Aku memang sering berbagi kisah dengannya -bahkan tentang Aura, tapi hanya bagian menyenangkan saja yang aku ceritakan, bukan segala permasalahan rumit seperti sekarang ini.
Tapi bukan Linda kalau tidak terus membuatku terpesona. Kali ini ia hanya diam dan berperan menjadi pendengar yang baik. Sangat baik menurutku. Aku bilang kepadanya bahwa hubungan kami -aku dan Aura, belakangan ini sedang tidak baik. Kami sering bertengkar bahkan untuk urusan remeh. Hingga tiba hari ini, hari dimana hubungan kami berakhir dan ini bukanlah akhir yang baik -aku tidak tahu apakah ada sisi baik dalam perpisahan. Kami bertengkar dan ia pergi dengan membawa kebencian terhadap diriku.
“Apa kesalahanmu?”
Aku katakan padanya bahwa aku telah berkhianat. Seketika aku mendapat respon yang tak terduga dari Linda. Ia mengepalkan telapak tangannya dan memukul lengan kiriku berulang kali dengan cepat. Kemudian setiap aku mengucapkan kata ‘berkhianat/khianat/menghianati’, Linda kembali memukulku. Aku menerima perlakuanya karena memang aku pantas menerima itu. Untuk anak seumuran Linda ia dapat merasakan betapa sakitnya dikhianati. Bahkan aku berpikir seharusnya Aura lah yang ada di sini dan memukulku habis-habisan.
“Aku ingin bertemu dengannya,” terdengar seperti ancaman, namun ancaman yang menggemaskan.
“Siapa? Aura?”
“Bukan, perempuan yang membuat kau menghianati kak Aura.”
Satu alisku terangkat, “untuk apa?”
“Aku ingin mengatakan bahwa tidak baik berpacaran dengan orang yang masih memiliki kekasih.”
Aku tersenyum mendengarnya. “Aku tidak berpacaran dengannya.”
“Maksudmu? Bagaimana bisa? Tadi kau bilang kau menghianatinya?” Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Aku hanya menghianati hati kita berdua.” Linda terlihat bingung, lalu aku katakan bahwa aku telah jatuh cinta pada orang lain dan bukan berarti aku telah berpacaran dengannya. Aku katakan padanya aku terhipnotis pada pesonanya, tenggelam pada kepribadiannya, dan suaranya bagaikan melodi yang indah bagi pendengaranku. Linda hanya diam saja.
“Aku rasa kau mengenalnya dengan baik,” tebakannya benar lagi. Ia memang punya insting penebak yang kuat.
“Ya, aku mengenalnya tapi kurasa belum sebaik itu. Aku belum pernah berada dalam kehidupannya.” Aku melemparkan pandanganku ke arah yang berlawanan dari Linda. Menatap kosong ke arah meja belajar di sebelah kanan ranjang ini.
“Apakah itu berarti ia lebih baik dari kak Aura?”
Aku menoleh padanya dan tersenyum, “Aku tak tahu, sungguh, aku tak tahu.” Seketika Linda memelukku. Perubahan sikapnya sungguh tak bisa diduga.
“Kak, ikuti apa yang menurut hati kak Genta katakan,” aku terdiam. Aku tak tahu ia akan mengatakan hal demikian, “aku tahu kak Aura, Kak. Aku tahu dia baik dan begitu perhatian sama kak Genta. Kalau ada perempuan yang menurut kakak lebih baik dari kak Aura dan kak Genta lebih memilih dia, maka teguhkan pilihan kakak. Kejar dia, Kak,” tanpa sadar air mataku mulai mengalir membasahai pipi, “tapi aku gak mau ada ‘dia’ yang lain lagi. Aku gak mau kak Genta terus nyakitin hati perempuan, Kak, karena Linda juga perempuan. Kak, kalau nanti kak Genta akhirnya bersama dia, tolong sayang dan jaga dia seperti kakak sayang dan menjaga aku, Kak.”
Aku memeluknya erat dan berucap lirih, “iya adikku sayang, pasti. Terima kasih.”
--
Air mataku mengalir dengan deras. Aku membuka mata dan mendapati mimik heran dari mereka yang lewat di depanku. Mereka hanya tak mengerti perasaan seperti apa yang melandaku saat ini. Kuusap air mata karena pandanganku mulai tertutup oleh bulir-bulir air. Aku masih di sini. Di bangku taman tua di sebelah selatan komedi putar. Duduk dengan Molly dipelukanku, memandang ke arah komedi putar. Ia tak ada di sana. Ia memang sudah tak pernah lagi ke sana. Bukan karena tak mau, tapi ia tak bisa. Linda sudah tak bisa bermain. Linda sudah tak ada. Maksudku, ia sudah tak ada di antara kami. Ia, malaikat kecil kami, telah dipanggil pulang ke rumah-Nya. Aku rasa Ia merindukan sosok malaikat seperti Linda sehingga memanggilnya pulang sebegitu cepat.
Mengingatnya tak pernah tak ada tangis. Kehadirannya sangat singkat. Bahkan penantianku akan kehadiran sosoknya lebih lama dari umurnya saat ia tiada. Linda kecil ingin bermain dengan Molly, dan ketika kucing itu lolos dari pelukannya dan berlari ke jalanan, Linda mengejarnya sampai ia tak sadar bahwa posisinya sudah sangat dekat dengan mobil yang saat itu sedang melintas.
Ia tak bisa diselamatkan. Pendarahan di kepalanya terlalu parah. Saat kejadian aku berada di kamarku, mengerjakan beberapa tugas kuliah dan menolak ajakannya untuk bermain. Insiden itu merupakan pukukan telak untukku. Aku merasa bersalah karena tak berada di dekatnya saat... Saat kejadian itu. Aku merasa gagal menjadi kakak. Bahkan aku merasa hidupku pun sudah berakhir.
Tak ada lagi tawanya yang riang. Tak ada lagi suaranya yang begitu nyaring didengar. Tak ada lagi kejutan yang ia perlihatkan kepada kami, kepadaku. Tak ada lagi yang histeris dan merengek ketika melihat apapun yang berkaitan dengan Stitch ketika kami berada di mall. Meskipun ia sudah punya barang itu di rumah, tapi ketika ia melihatnya dipajang di etalase mall ia selalu ingin membawanya pulang -dengan paksaan tentunya. Tak ada lagi suara yang menenangkanku ketika aku sedang tertekan. Tak ada lagi kegiatan menghitung berapa kali ia mengucapkan kata ‘Astaga’ ketika ia tertarik dengan suatu hal. Semuanya hanya bisa hadir kembali diingatanku, ingatan keluarga kami. Bagaimana pun ini sudah merupakan ketetapan-Nya dan Linda selalu ada di hati kami. Di hati ku.
--
Kini aku 26 tahun dan Linda -seharusnya 14 tahun. Tentu ia akan menjadi gadis remaja yang menawan. Menjadi gadis terpandai di sekolahnya. Menjadi gadis yang punya banyak teman karena sifatnya yang ramah. Menjadi primadona bagi lelaki di sekolahnya dan aku akan menjadi kakak yang membantunya memilih siapa yang terbaik untuk bisa bersanding dengan dia.
Aku masih di sini. Duduk di bangku taman tua di sebelah selatan komedi putar. Kini, bangku ini merupakan satu-satunya bangku di taman yang tak dicat ulang. Aku melarang petugas yang kala itu hendak mencat seluruh bangku di taman ini. Aku tak mau kenanganku dengan Linda -nama kami yang terukir di sisi kanan bangku ini, hilang begitu saja.
“Hei,” aku menoleh ke arah sumber suara dan tersenyum, “ini kopimu.”
Aku meraih apa yang diberikannya dan si pemilik suara duduk di sampingku.
“Semuanya baik-baik saja, sayang?”
“Ya, hanya sedikit mengenang beberapa kejadian di tempat ini.”
“Tempat ini akan selalu menyimpan kenangan untukmu.”
“Begitulah. Sekarang kita berharap agar taman ini tak pernah digusur.”
“Amin. Aku juga ingin menyaksikan anak kita tumbuh dan dapat bermain dengan ceria di sini.”
“Begitu pun denganku.” Ia memelukku dan aku mengecup keningnya. Ia Andrea, istriku. Kehadirannya di sisiku saat ini berkat campur tangan Linda dahulu, ketika ia mengatakan kepadaku untuk terus mengikuti apa kata hatiku dan memperjuangkannya. Aku memperjuangkan Andrea. Menjaga dan menyayanginya seperti aku menjaga dan menyayangi Linda.
“Sudah mau gelap, aku rasa sebaiknya kita pulang.” Andrea menyadarkanku.
Aku berdiri dan menatap ke arah komedi putar sekali lagi. Ada Linda di sana. Ia melambaikan tangannya ke arahku dan tertawa bahagia. Aku membalasnya dengan satu senyuman dan air mata. Andrea merangkulku dan berbisik, “ayo.”
Aku berjalan meninggalkan taman dengan mendorong kereta bayi. Bayi perempuan mungil nan sehat yang baru satu bulan lalu hadir di dunia dan membuat hari-hari kami lebih bermakna. Ia lah malaikat kecil kami dan kami sepakat menamainya sesuai dengan nama malaikatku dulu; Linda Stefani Arinka.
The End