Saturday, December 24, 2016

Jadi Diri Sendiri, Apakah Ada?

source: imagesbuddy.com
Sering kali saya mendengar istilah ‘jadilah diri sendiri’, ‘just be yourself’ atau apa pun yang berkaitan tentang itu. Biasanya kata demikian ditujukan seseorang untuk memotivasi orang lain. Tapi pertanyaanya, apakah kita sebagai manusia sosial yang dituntut untuk berinteraksi dengan sesama dan selalu berkontak dengan lingkungan sekitar bisa menjadi diri sendiri seutuhnya?

Saya rasa tidak ada yang manusia yang 100% menjadi dirinya sendiri. Karena manusia itu dinamis. Pada dasarnya manusia akan terus berubah. Saya esok hari belum tentu sama dengan saya hari ini. Manusia itu terus berubah setiap harinya, bahkan setiap jam juga tiap detik.

Menjadi diri sendiri berarti tidak terpengaruh dengan sesuatu yang sifatnya eksternal. Seorang yang benar-benar menjadi dirinya sendiri tentu mempunyai sifat unik yang tidak akan pernah kita temukan pada diri orang lain. Karena memang hanya dia seorang yang punya. Jika ada orang lain yang mempunyai peringai, gelagat atau cara berpikir yang sama, berarti ada kemungkinan orang-orang itu mendapatkan pandangannya dari sumber yang sama.

Saya pribadi tidak bisa menjadi diri sendiri seutuhnya. Saat saya membaca buku karya Tan Malaka, saya terpengaruh dengan cara berpikir beliau yang pada zamannya sudah melangkah jauh ke depan memikirkan kemerdekaan bangsa. Ketika saya membaca buku karya tokoh lain, seperti Gus Dur, saya punya pandangan baru mengenai permasalahan agama negeri ini dan bagaimana cara yang tepat untuk menyikapinya. Saya tidak benar-benar menjadi saya.

Bukan hanya bacaan, menonton sebuah film pun dapat memengaruhi pribadi seseorang. Misalnya seseorang menonton film tentang American Football, setelah menonton seketika timbul keinginan untuk bermain American Football atau mencari informasi tentang olahraga itu yang sebenarnya bukan olahraga yang dia banget.

Di mesin pencarian Google, banyak ditemukan situs yang memuat kiat-kiat menjadi diri sendiri. Seperti yang ditemukan di laman wikihow.com tentang beberapa cara untuk menjadi diri sendiri. Lucunya, cara-cara tersebut ditulis oleh orang lain yang dengan penilaiannya sendiri, bahwa cara yang ia tulis bisa dikategorikan cara yang umum sehingga dapat digunakan oleh banyak orang. Katanya jadi diri sendiri, tapi mengetahui caranya saja dari pendapat orang lain, piye toh?

Menurut saya, perkataan yang tepat bukanlah ‘jadi diri sendiri’, melainkan ‘mengenal diri sendiri’. Kita tidak akan bisa menjadi diri sendiri seutuhnya, tapi kita tentu mengenal kapasitas, kemampuan dan potensi diri kita masing-masing. Walau potensi itu hanya di hal kecil, seperti susah-bangun-pagi-meski-sudah-memasang-alarm-dengan-jeda-3-menit-sekali, sekali pun.

Ketika seorang yang terpengaruh film tentang American Football tadi tertarik untuk terjun ke dunia American Football. Ia mengkaji ulang kapasitas, kemampuan dan potensi dirinya sendiri terlebih dahulu. Ia sadar bahwa kemampuannya bukan di American Football, tapi di bekel, misalnya. Ia juga menilai fisiknya kurang menunjang dalam American Football dan ia sadar ada di daerah dimana gobak sodor lebih populer dibanding American Football.

Ia sadar akan kemampuan dan kapasitasnya, sehingga ia memaksimalkan seluruh potensinya di bekel. Siapa tahu ia bisa menjadi juara di ajang World Bekel Championship, bukan?

Untuk mengetahui kadar kemampuan diri, hanya orang itu sendiri yang mampu menakarnya. Saya pun tak mau banyak berbicara banyak kali ini. Intinya, seseorang tidak akan 100% menjadi dirinya tanpa adanya pengaruh dari buku yang dibaca, film yang ditonton, sesuatu di dunia maya, dari media sosial, orang lain, atau lingkungan sekitar. 

Jadi jangan heran kalau ada orang yang bersikap manja akan tetapi di kemudian hari ia menjadi orang yang tenang dan dewasa. Bukan berarti ia tidak menjadi dirinya sendiri, ia hanya telah menemukan batu loncatan dalam perjalanan hidupnya yang mempengaruhinya dalam berpikir, bertindak juga berprilaku.

Btw, kalau beneran ada World Bekel Championship bakal keren kali, ya?

Monday, December 19, 2016

AFF 2016: Kenangan dan Harapan (Bagian Dua)

google.com
Bagian satu.

Berbagai kejuaraan diselenggarakan dengan tujuan setidaknya mampu mengobati kerinduan akan panasnya kompetisi sepak bola nasional. Namun itu semua tetap tak bisa mengalahkan sengitnya sebuah kompetisi dan kerinduan itu terbayar setelah pada tahun ini hadir kembali sebuah liga yang disebut banyak orang sebagai ‘Liga Kopi.’

Sampai akhirnya sanksi FIFA itu dicabut pada kongres FIFA di Mexico City, hanya beberapa bulan sebelum Piala AFF 2016 bergulir. PSSI langsung tancap gas dengan mempersiapkan timnas untuk ajang tersebut. Pelatih Alfred Riedl kembali dipercaya sebagai arsitek utama tim. Namun sayang seribu sayang, entah apa yang ada dipikiran empunya liga sehingga Liga Kopi hanya membatasi kuota maksimal 2 pemain per klub untuk dipanggil ke timnas Indonesia.

Lucu. Ketika seharusnya seluruh masyarakat mendukung timnas, justru hambatan yang datang berasal dari dunia sepak bola itu sendiri.

Tapi tak apalah, nyatanya coach Alfred masih mampu memilih pemain terbaik untuk dimasukkan ke dalam squad Garuda. Semoga ke depannya Liga Kopi diberikan kesadaran akan pentingnya mengutamakan timnas dibanding kompetisi yang tidak ada degradasi dan yang juara tidak berlaga di AFC Cup atau Liga Champions Asia.

Dan akhirnya penantian panjang pun berbuah manis. Kerinduan akan permainan timnas terbayar sudah ketika timnas mulai mengadakan beberapa pertandingan uji coba menjelang Piala AFF 2016. Saya termasuk salah satu yang menyaksikan aksi kembalinya timnas saat uji coba dengan Vietnam di Stadion Maguwoharjo, Sleman. Bahkan yang saya simpulkan di akhir pertandingan adalah kita punya modal mental yang kuat setelah mampu come back dari ketertinggalan dua gol dan membuat hasil akhir menjadi imbang dengan kedudukan 2-2.

Pemanggilan pemain yang merumput di luar negeri, seperti Stefano Lilipaly dari Belanda, Irfan Bachdim dari Jepang serta Andik Vermansyah dari Malaysia, mampu menaikkan animo supporter yang berharap pengalaman mereka dapat memperbaiki kualitas permainan timnas kita. Meskpun dua dari tiga nama yang saya sebutkan tadi tak bisa menyelesaikan gelaran ini dengan sempurna. Bahkan Irfan harus dicoret menyusul cideranya menjelang turnamen diselenggarakan.

Hasil dari serangkaian uji coba yang cukup baik serta rindu yang tak terbendung akan partisipasi timnas di ajang internasional membuat semua mata tertuju ke Philippines Sports Stadium pada 19 November kemarin. Pertandingan pertama pada AFF 2016 dan juga momen kembalinya timnas pada turnamen resmi harus diawali dengan kekalahan atas salah satu tim kandidat juara, Thailand. Kemudian dilanjutkan dengan hasil imbang melawan tuan rumah Filipina dan dengan luar biasa come back atas Singapura sehingga meloloskan timnas ke fase play-off.

AFF 2016. dok.AFF
Bertemu lawan berat Vietnam di babak semi-final tidak lantas membuat timnas kita ciut. Sebaliknya, gelombang dukungan yang tak ada putusnya membuat semangat timnas membara dan berhasil memukul Vietnam 2-1 pada leg pertama di Stadion Pakansari, Bogor. Mesikpun pada leg kedua para pendukung timnas harus lebih sering menahan nafas karena gempuran 7 hari 7 malam yang dilakukan pasukan Vietnam.

AFF 2016. Sumber: google.com
Lolos dengan agregat 4-2 setelah berhasil menahan imbang 2-2 di kandang Vietnam melawan 10 orang (setelah kipernya yang saya tau ada nama Nguyen-nya) dikartu merah. Dengan dibombardirnya timnas kita oleh 10 orang pemain Vietnam, timbul lagi sebuah pertanyaan, apakah mental juara pemain kita hanya jika kita bermain di kandang sendiri?

Jikalau pertanyaan saya benar adanya, maka saat tau akan berhadapan kembali dengan Thailand di partai final saya sudah bisa memprediksi bahwa timnas akan memetik kemenangan saat bermain di Indonesia. Tinggal pertanyaannya, siapa yang main di kandang terlebih dahulu? Saat jadwal perandingan final keluar, rasa pesimis kembali timbul mengingat Indonesia harus menjalani laga kandang pada leg pertama.

Prediksi saya terbukti tepat, timnas berhasil mempermalukan Thailand dengan skor yang sama kala memukul Vietnam di semi-final lalu. Dan bayangan bahwa mental juara kita tak berlaku saat laga tandang juga terbukti tepat. Timnas Indoesia seakan lesu dan ciut saat menjalani leg kedua di Thailand, sehingga harus rela kehilangan kesempatan merengkuh gelar juara AFF untuk pertama kalinya.

Sepak bola lah yang berhasil menyatukan kita, rakyat Indonesia. Begitu kata sebagian orang jika melihat hiruk pikuk yang melanda negeri belakangan ini. Seakan akhir-akhir ini yang ada di tanah air hanyalah konflik, masalah, perdebatan dan tetek bengeknya. Namun, saat timnas berlaga di Piala AFF 2016 seperti semuanya diistirahatkan. Tak ada lagi perdebatan tentang agama, suku juga ras. Semuanya sepakat untuk bersatu mendukung timnas Indonesia.

Namun kenapa timnas kita masih gagal menjadi juara? Waktu persiapan yang minim saya yakin dapat dimaksimalkan dengan baik. Bahkan jika dibilang sepak bola menyatukan Indonesia, dengan berbagai keyakinan yang ada di negeri ini, dengan Tuhannya masing-masing kita berdoa agar timnas diberi kesempatan mengangkat piala AFF tahun ini, tapi hal itu tak jua terwujud?

Kalau saya beranggapan 200 juta penduduk Indonesia berdoa dengan keyakinan masing-masing, kenapa doa kita masih kalah dengan 67 juta penduduk Thailand yang bahkan belum tentu animo dukungan kepada timnasnya sebesar yang kita berikan kepada timnas kita?

Saya tau masih banyak yang harus di evaluasi pasca turnamen ini berakhir. Efektivitas permainan harus lebih ditingkatkan. Juga beberapa nama di timnas harus di rotasi demi menciptakan komposisi ideal bagi timnas.

Salah satu hal yang saya lihat setelah AFF 2016 berakhir ialah proyeksi komposisi timnas untuk ajang serupa 2 tahun dari sekarang. Hansamu Yama, Evan Dimas, Yanto Basna, Manahati dan pemain muda lain bisa menjadi tumpuan timnas kita di masa depan dan semoga bisa menjadikan mimpi tiap pecinta sepak bola tanah air menjadi kenyataan; berjaya di ajang internasional.

Saya bukanlah seorang pemain sepak bola yang merasakan beban bermain dengan tekanan  juara dibenak saya. Bahkan jikalau disuruh bermain, pun saya belum tentu bisa. Saya juga bukan seorang pelatih sepak bola yang tau bagaimana cara meramu strategi yang baik, menyiapkan tim dalam waktu singkat atau kapan waktu yang tepat untuk mengganti pemain dalam pertandingan. Bahkan merakit sebuah tim dalam gim football manager juga saya masih sering menderita kekalahan, apalagi di dunia nyata?

Saya hanyalah seorang pecinta sepak bola tanah air yang rindu akan kejayaan sepak bola Indonesia. Seburuk apapun yang orang katakan tentang timnas, saya selalu berusaha menjaga pikiran positif saya kepada timnas. Saya selalu berpikir kalau kita selalu menjadi Sang Macan Asia. Saya selalu merinding kala menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum pertandingan dimulai. Juga air mata saya mampu keluar dengan sendirinya kala timnas mengalami kegagalan yang menyakitkan untuk kesekian kali.

Bukan karena saya terlalu nasionalis, tapi ini semua menyangkut sepak bola dan negara. Dimana sebuah timnas sepak bola adalah hal yang sakral dan selalu diharapkan kemenangannya.

Cukuplah kebanggaan kita akan keberanian Abduh Lestaluhu yang membela harga dirinya dengan tidak mau diremehkan kubu lawan. Saya rasa level kebanggaan kita harus ditingkatkan lagi, yaitu saat timnas kita mampu mempersembahkan gelar juara di ajang internasional dan membuka mata dunia bahwa pesepakbolaan tanah air ada dan menakutkan. Saya rasa itulah kebanggaan yang hakiki.

Sejatinya harapan itu akan terus berevolusi seiring berjalannya waktu dan tidak akan pernah mati sampai generasi berapa pun. Saat timnas kita berhasil merengkuh gelar juara AFF kelak, niscaya selalu ada harapan baru yang muncul, entah itu mempertahankan gelar atau merengkuh gelar pada level yang lebih tinggi lagi; Asia atau bahkan dunia.

Cepat atau lambat, saya selalu percaya akan tiba waktunya kita berada pada level tertinggi dunia sepak bola. Tidak akan pernah surut doa yang saya panjatkan untuk kalian, para pejuang merah putih. Tetaplah jaga asa dan harapan kami yang setia mendukungmu. Dan sertakan mimpi kami saat Garuda terbang tinggi ke angkasa.

Dari yang setia mendukungmu,
Serang, 19 Desember 2016.

Indonesia tanah air beta

Pusaka abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala

Tetap di puja-puja bangsa

nb: Tulisan ini memang penuh akan penilaian subjektif, semuanya murni menurut pandangan dan kegelisahan saya pribadi sebagai seorang pecinta sepak bola dan penggemar timnas. Jadi tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat mengenai apa yang tertera di sini. Silahkan berkomentar apabila ada kata atau data yang salah. Salam satu jiwa!



AFF 2016: Kenangan dan Harapan (Bagian Satu)


google.com
Gelaran Piala AFF 2016 berakhir sudah. Thailand keluar sebagai juara untuk kelima kalinya setelah mengalahkan Indonesia yang juga kali kelima harus puas menjadi runner up di turnamen dua tahunan tersebut. Nyatanya, Thailand masih menjadi momok menakutkan bagi Indonesia. Karena pada pertandingan penentuan yang digelar di Stadion Rajamangala, Bangkok (17/12) merupakan ketiga kalinya mimpi Garuda untuk mengangkat trofi paling bergengsi seantreo Asia Tenggara itu dihempaskan oleh tim yang sama, Thailand, setelah final tahun 2000 dan 2002.

Jika menilik dari masa persiapan timnas menjelang Piala AFF 2016 memang bisa dikatakan sangat singkat, yaitu kurang dari 3 bulan. Namun, dengan sangat luar biasa timnas kita mampu lolos dari grup yang disebut banyak orang sebagai grup neraka, bersama Thailand, Filipina dan Singapura. Bahkan, timnas Indonesia mampu membungkam caci maki mereka yang meremehkan kapasitas timnas diajang ini dengan berhasil menembus babak final. Meskipun harus bertemu lawan super berat yang sempat mengalahkan timnas dengan skor 4-2 pada babak grup, Thailand.

Aura pesimisme kembali mengudara. Walau tidak sedikit yang tak lelah berteriak ‘AYO INDONESIA! KITA PASTI BISA!’ dengan lantang. Mencoba mengusir ketidakyakinan tuk mengalahkan tim terkuat di ASEAN tersebut. Sayang, kenyatannya teriakan semangat saja tak cukup kuat tuk membawa trofi perak itu ke tanah air.

Timnas Indonesia kembali tertunduk lesu. Harapan jutaan rakyat Indonesia yang mereka panggul di pundak masing-masing, seakan ikut runtuh. Gulungan ombak caci maki dan hinaan kembali datang, meskipun karang pujian mencoba menghadang datangnya ombak tersebut dengan mengatakan, “Timnas sudah berjuang dengan maksimal. Jangan patah semangat dan tetap terbang tinggi, Garuda!”

Selepas itu semua, timbul pertanyaan; kalau tau akan kalah di final, apa bedanya dengan mereka yang gugur di fase grup? Karena dunia tidak akan pernah peduli dengan juara 2 dan orang-orang tidak akan bertanya, ‘siapa yang jadi runner up-nya?’

AFF 2016 merupakan turnamen pertama yang diikuti timnas setelah bebas dari sanksi FIFA. Kerinduan akan permainan sepak bola tim nasional sudah terlalu lama dipendam. Juga harapan akan membaiknya persepakbolaan negeri ini pasca diberikannya sanksi tersebut.

Atmosfer pendukung timnas selama Piala AFF 2016 ini berlangsung mengingatkan saya pada gelaran Piala AFF 6 tahun lalu, saat kita menjadi tuan rumah bersama dengan Vietnam. Kala itu seakan yang ada di benak masyarakat Indonesia hanyalah sepak bola dan sepak bola! 

Setelah membantai saudara satu rumpun, Malaysia, pada pertandingan pertama dengan skor telak 5-1, optimisme menggumpal di seluruh langit negeri ini. Semua percaya bahwa saat itu, ialah waktunya Sang Garuda terbang tinggi menjemput trofi AFF untuk pertama kali.

Kombinasi pemain senior seperti Firman Utina, Markus Horison, Nova Arianto hingga Bambang Pamungkas dipadukan dengan semangat membara anak-anak muda, mulai dari Irfan Bachdim juga Okto Maniani dan jangan lupakan pemain yang baru dinaturalisasi saat itu, Christian ‘El Loco’ Gonzales dan terakhir hadirnya juru taktik berkebangsaan Austria, coach Alfred Riedl, seakan melengkapi skuad timanas Indonesia pada Piala AFF 2010.

Timnas AFF 2010. Sumber: google.com
Saat itu Garuda seakan menemukan jati dirinya sebagai predator yang mengerikan. Terbukti dari gelontoran 13 gol selama berada di fase grup dan hanya kebobolan 2 gol saja! Filipina yang saat itu mulai bangkit dengan skuad yang dipenuhi pemain berdarah campuran berhasil kita hempaskan di babak semi-final. Namun sayang, di babak final kita harus merasakan balas dendam yang sempurna oleh Malaysia setelah harus menyerah dengan agergat 4-2. Belum cukup sakit hati dengan kekalahan yang diderita, isu adanya mafia dalam pertandingan final seketika menyeruak dan menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat kita, ‘apakah kebanggaan bangsa bisa begitu mudahnya dibeli dengan uang?’

Atmosfer serupa saya rasakan 3 tahun berselang, ketika segerombolan anak muda di bawah usia 19 tahun membuat bangga seluruh negeri dengan mempersembahkan gelar pertama Piala AFF U-19.

Permainan mereka sungguh memukau dengan gaya tiki-taka-nya, mengingatkan kita semua kepada tim asal Catalan, Barcelona. Karena biasanya permainan timnas Indonesia tekenal dengan long ball yang sering tidak akurat atau direct ball yang kerap dipotong pemain lawan. Tapi anak-anak muda ini sungguh ajaib, mereka berani memegang bola, melakukan passing satu dua sentuhan dengan sangat baik dan mengirim direct ball dengan begitu jeli sehingga kerap lolos dari jebakan offside kemudian diakhiri oleh finishing touch yang sangat manis.

Evan Dimas, dkk  juga melakukan uji coba di berbagai negara, mulai dari Eropa sampai Timur Tengah. Bahkan, mereka mampu menaklukan sejumlah negara kuat Timur Tengah seperti Qatar, Oman dan UAE yang notabene hal tersebut sulit dilakukan oleh seniornya.

Pada saat itu saya yakin, bahwa mereka lah masa depan timnas kita. Saya yakin tidak lama lagi timnas kita akan berjaya dengan skuad dipenuhi anak muda berbakat. Keyakinan saya bertambah ketika anak-anak ajaib ini mampu mempecundangi salah satu tim kuat Asia, yaitu Korea Selatan dalam play-off AFC Cup 2014. Mesikpun mereka gagal pada gelaran tersebut, namun dalam perjalanannya mereka telah memunculkan harapan dibenak masyarakat bahwa dalam waktu dekat ini Indonesia akan kembali menjadi Sang Macan Asia.

Timnas U-19 Saat Menjuarai AFF U-19 2013 lalu. Sumber:bola.kompas.com
Kembali ke level senior, pada ajang AFF Cup 2012 harapan rakyat masih tetap sama, yaitu Indonesia dapat merengkuh gelar juara. Dengan berstatus sebagai runner up pada gelaran sebelumnya, timnas tampil jauh dari harapan di bawah komando pelatih Nil Maizar saat itu.

Timnas berlaga dengan skuad yang mungkin sebagian besar nama pemainnya masih terdengar asing untuk masyarakat. Tapi timnas tetaplah timnas, mereka yang bisa berseragam merah putih tentu adalah yang terbaik di negeri ini. Ditambah dengan 3 pemain naturalisasi yang salah satunya ialah striker ‘gelonggongan’, Jhonny van Beukering, ternyata masih tak mampu membawa timnas juara bahkan tak mampu lolos dari grup setelah hanya finish di posisi 3 klasemen akhir.

Timnas AFF 2012. Sumber: google.com
AFF 2014 timnas kembali ditunggangi coach Aflred Riedl dan dalam squad timnas kembali diisi nama baru pemain hasil naturalisasi, yaitu Sergio van Dijk yang sedang on fire bersama Persib Bandung dan Victor Igbonefo, tembok tangguh klub Arema Cronous. Juga adanya pahlawan alumni timnas U-19, Evan Dimas, yang melengkapi skuad saat itu.

Saya pribadi menilai komposisi squad timnas pada AFF 2014 sudah ideal. Namun entah kenapa dalam perjalannya timnas tampi ‘konyol’ setelah dipermalukan 0-4 dari Filipina yang tercatat sebagai kekalahan pertama timnas dari pasukan yang dipimpin oleh Suami Muda itu. Dan lagi-lagi timnas harus keluar lebih awal dari turnamen pasca finsih di posisi yang sama seperti gelaran sebelumnya.

Timnas AFF 2014. Sumber: google.com
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Lima bulan setelah berakhirnya Piala AFF 2014, PSSI mendapat sanksi dari FIFA akibat kisruhnya dengan KEMENPORA. Sanksi tersebut berimbas kepada timnas yang tidak bisa berlaga pada ajang internasional selama sanksi berlaku. Tentu sebuah kerugian besar bagi pesepakbolaan tanah air.

Tidak adanya kompetisi resmi dan ‘matinya’ timnas saat itu membuat saya khawatir akan masa depan timnas. Terutama pada pemain muda yang telah mempersembahkan gelar perdana AFF U-19 bagi negara ini. Sehingga saya pun bertanya-tanya, haruskah mereka berada pada situasi seperti ini? Haruskah masa depan mereka berantakan hanya gara-gara segelintir petinggi mereka yang hanya memikirkan keuntungan pribadi semata?

Bersambung ke bagian dua.

Friday, December 9, 2016

Sebuah Tulisan Random - Kata Hati

 
source: google.com
Sering gue denger perkataan, “udah, ikutin aja apa kata hati lo. Dia lebih tau mana yang terbaik.” Tapi kini gue bertanya, apakah yang hati gue katakan selalu benar? Apakah yang ditunjukkan olehnya selalu mengarah kepada suatu nilai positif bagi gue pribadi? Pada sore hari yang gabut ini gue tertarik tuk sedikit membahas tentang apa yang namanya ‘kata hati’.

Perkataan di atas sering dilontarkan apabila seorang sedang bimbang dalam menentukan pilihan. Karena pada umumnya, kata hati dapat menuntun seorang itu untuk menentukan pilihan mana yang terbaik baginya. Namun tidak semua orang (termasuk gue) bisa menerima pilihan hati gue gitu aja, karena biasanya apa yang telah dipilih oleh hati itu mempunyai resiko dan memaksa kita untuk keluar dari zona nyaman dimana dua hal itu udah cukup membuat gue menahan langkah untuk mengikuti apa yang hati gue katakan.

Maka dari itu beberapa orang mungkin lebih menyarankan untuk mengikuti logika atau berpikir rasional yang notabene kebalikan dari hati. Karena dengan berpikir rasional seseorang dapat meninjau kembali baik-buruk serta resiko keputusan yang akan ia buat. Meskipun itu bertentangan dengan kata hatinya.

“Kayaknya gue lebih milih kerja di A deh. Gajinya lebih gede, tapi gue harus jauh dari keluarga.  Ah, gapapa deh, daripada di B gajinya cuma segitu walaupun deket sama rumah.” Untuk seorang family man, berada jauh dari keluarga bukanlah suatu keputusan yang mudah. Ia lebih memilih pendapatan yang lebih besar karena ia berpikir biaya hidup sekarang ini semakin mahal, meskipun hatinya mengatakan jangan jauh dari keluarga, tapi ia tetap mengikuti logikanya.

Atau contoh lain ketika gue melaksanakan ujian dengan soal pilihan ganda. Disaat gue frustasi pada satu jawaban, di situlah gue mengandalkan kekuatan tebakan dan insting dalam memilih jawaban. Saat itu logika gue memilih opsi C karena terlihat paling bersinar juga lebih masuk akal dibanding jawaban lain. Tapi di sisi lain, hati gue merujuk pada opsi A dengan alasan yang gak bisa gue mengerti. Pertentangan antara logika dan hati membuat gue mengambil jalan tengah untuk tidak memilih keduanya. Akhirnya gue pilih opsi B. Setelah dikoreksi, jawaban yang benar adalah opsi D. Shit.

Iya, iya. Itu guenya aja yang bego.

Tapi terkadang banyak orang yang sulit membedakan mana kata hati, mana ego. Karena emang keduanya mempunyai perbedaan yang sangat tipis. Keduanya sama-sama muncul dari dalam diri. Disaat lo merasa yakin pada satu pilihan, pastikan bahwa itu adalah kata hati lo, bukan ego semata. Karena apa yang diinginkan oleh ego adalah kenyamanan atau kesenangan yang hanya bersifat sementara. Dan pastikan pilihan yang lo buat apakah sejalan dengan keinginan lo atau tidak. Kalau sejalan, kemungkinan besar itu adalah ego yang jika diikuti kemauannya hanya akan bermuara pada penyesalan di akhir.
 
Pada kenyataannya, pilihan hati selalu punya resiko lebih besar dibanding pikiran rasional. Bahkan terkadang ia membutuhkan pengorbanan. Termasuk sesuatu yang ia sayangi. Tapi menurut gue, mengikuti kata hati dapat membuat kita belajar untuk keluar dari zona nyaman. Belajar untuk berani mengambil resiko dan belajar untuk siap dalam menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Selama ini sering gue mengabaikan kata hati dan berbohong padanya, padahal ia gak pernah berbohong dengan putusannya. Menurut gue, mengikuti kata hati itu penting. Kata hati yang sesungguhnya akan menuntun kita pada pilihan dan keputusan terbaik. Karena sejatinya ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Tuhan ingin kita melakukan apa yang Ia inginkan dan Tuhan tau apa yang baik untuk kita. Ikutilah kata hati kita, bukan ego kita. Seburuk apapun pilihan yang ditentukan hati kita di mata manusia, percayalah bahwa putusan itu baik di mata Tuhan. Percaya bahwa selalu ada hal positif yang terkandung di dalamnya.

Sekian dan salam super.

Wednesday, November 30, 2016

Secuil Tentang Cinta

source: google.com
Topik yang satu ini emang gak ada habisnya untuk dibahas. Selain tak lepas dari kehidupan manusia, ya, kisah tiap orang yang merasakannya juga berbeda-beda. Kesempatan kali ini gue akan sedikit berkicau tentang (lagi-lagi) cinta.

Sejujurnya cinta ini punya banyak bentuknya, mulai dari cinta kepada Tuhan, orang tua, kakak, adik, sahabat, teman, kekasih hingga mantan kekasih. Namun untuk bahasan kali ini gue lebih terfokus pada salah satu bentuk cinta, yaitu kepada kekasih.

Bahkan menurut gue cinta merupakan suatu yang abstrak. Ia tak punya arti sesungguhnya untuk dijabarkan. Karena ia punya sejuta tafsir tergantung siapa dan bagaimana ia menerjemahkan arti kata cinta. Seiring berjalannya waktu, bertambahnya usia dan bertambahnya pengalaman dengan cinta, pengertian seseorang akan kata cinta pasti akan berubah. Seperti ketika anak SMP bilang ke gue kalau ia sedang jatuh cinta, gue akan berpikir kalau apa yang ia rasakan itu cuma sementara dan dia itu hanya sekedar ‘suka’ dengan lawan jenisnya. Sederhananya; cinta, monyet. Eh, cinta monyet maksudnya. Sedangkan apa yang anak itu rasakan mungkin ia benar-benar gak bisa jauh dari orang yang dia suka, merasa bahwa orang itu adalah alasan kenapa ia dilahirkan, merasa bahwa mereka akan terus bersama hingga  Fir’aun bangkit dari kubur. Apa yang mereka rasakan itu ialah sesuatu yang lumrah bagi orang yang sedang dimabuk cinta. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh mereka yang.. Belum pernah patah hati.

Bagi mereka yang sudah berkali-kali merasakan yang patah hati, tiap seorang yang datang dan berusaha memberikan cintanya, ia pasti akan lebih ‘waspada’ dari sebelumnya. Kewaspadaan itu bisa dituangkan dalam bentuk menguji kesabaran orang itu misalnya. Hanya sekedar memastikan bahwa orang itu benar-benar serius karena sebelumnya sudah kenyang dengan namanya dikecewakan.

Kata orang, awal umur 20-an merupakan masa-masa dimana seseorang mencari jati diri mereka. Mencari tujuan hidup mereka. Meluruskan apa yang salah dalam hidup mereka. Termasuk dalam menetapkan atau mempertahankan siapa yang kelak menjadi pendamping hidup (bukan lagi pacar, tapi kalau pacaran dulu juga gapapa, gak nolak). Dan hal demikian yang gue alami. Keraguan gue dalam menetapkan suatu pilihan membawa gue kepada perpisahan yang baru. 

Satu hal yang sebenarnya sudah termasuk dalam kesepakatan apabila dua insan manusia memutuskan untuk menjalin hubungan lebih jauh (pacaran atau pernikahan). Sebuah kesepakatan tersirat sehingga banyak orang yang pada akhirnya membenci perpisahan, padahal sejak awal sebenarnya mereka tahu kalau perpisahan itu akan tiba, karena pada hakikatnya perpisahan selalu menjadi bagian dari pertemuan. Sisanya, hanya bagaimana perpisahan itu datang, dengan pertengkaran, diskusi baik-baik (walaupun gak ada yang namanya pisah baik-baik) atau bahkan kematian.

Sekarang pandangan gue tentang cinta sedikit berubah. Cinta bukan lagi melulu tentang harus memiliki, melainkan cinta adalah sebuah anugerah. Anugerah yang esensinya berbeda tiap mereka yang merasakan. Bagi gue, bisa mencintai seseorang tanpa harus dicintai balik itu udah termasuk sebuah anugerah. Setidaknya gue punya satu sosok untuk gue tuju. Juga gue bisa belajar lagi caranya menjadi setia, bertahan pada pilihan hati walau entah bagaimana ke depannya.

Tiap cinta pasti hadir dengan kesedihan, pilu, pelajaran berharga, hingga perpisahan. Namun itu semua bersembunyi dibalik kebahagiaan yang dibawanya. Kita tak akan tau bagaimana rasanya patah hati sampai kita sendiri merasakannya dan kalau patah hati yang sama kembali datang, kita bisa lebih siap menghadapinya.

Di dunia ini, yang sempurna hanyalah lagu Andra and The Backbone. Sisanya tak ada orang yang sempurna. Yang ada adalah ia yang pantas untuk dicintai dan dipilih. Jatuh cintalah dengan didukung keyakinan dan kesungguhan hati karena itu merupakan salah satu kunci dalam mencintai.

Menurut gue, definisi kita akan cinta akan terus berevolusi seiring berjalannya waktu. Karena cinta bukan hanya sebatas saling memiliki, bukan terus tentang patah hati, bukan juga selalu tentang membahagiakan dan dibahagiakan. Cinta itu adalah kehidupan. Tak bisa dipisahkan dan tak bisa dihindari kedatangannya. Bahkan, kita juga tak bisa munafik padanya. Sejatinya tiap cinta yang hadir datang dengan kejujuran.

Sebagai penutup gue mengucapkan terima kasih untuk tiap orang yang pernah datang untuk mencintai dan rela dicintai. Terima kasih untuk tiap pengalaman yang tak akan terulang. Terima kasih untuk berbagai pelajaran berharga yang gue dapat. Dan terima kasih telah mengingatkan gue akan berbagai kekurangan diri gue, juga secara tidak langsung menyadarkan diri gue untuk menjadi orang yang terus berusaha memperbaiki diri dalam tiap menit hidup gue.

Sebenarnya tulisan ini termasuk salah satu tulisan random gue dengan tujuan asli untuk membuang-buang waktu dan kuota orang yang baca tulisan ini. Makasih banyak, lho. He-he.

"The best and most beautiful things in this world cannot be seen or even heard, but must be felt with the heart." — Helen Keller


Saturday, November 26, 2016

Sebuah Cerpen Sederhana - Aku dan Malaikatku

source: google.com

Aku masih bisa merasakannya. Tawanya masih bisa kudengar. Ia berada di sana, di atas komedi putar, menyeringai menampakkan giginya yang tersusun rapih dan melambai ke arahku yang sedang duduk di sebuah bangku taman tua di sebelah selatan komedi putar. Bangku taman tua yang di sisi sebelah kanannya terdapat ukiran namaku dan namanya.

“Sebaiknya kita tulis nama kita di sini,” katanya pada sore itu dengan tangan menggenggam ranting kayu dengan ujung yang agak runcing, “untuk menunjukkan bahwa bangku ini adalah milik kita.”

“Hei, bukankah ini tidak baik? Kita tidak boleh merusak fasilitas umum. Lagi pula bangku ini bukan milik kita, tapi milik siapa pun yang hendak duduk di sini.” Ia cemberut dan aku merasa bersalah telah mengatakan itu.

“Tapi kau suka duduk di sini. Di antara puluhan bangku taman, kau selalu memilih bangku ini dan aku tak pernah melihatmu duduk di bangku lain. Kau selalu di sini. Duduk, membaca, mendengarkan musik dari walkman-mu, dan... Menjaga dan mengawasiku dari sini.” Aku tahu ia punya jawaban yang tidak biasa diucapkan oleh anak sebayanya. 

Aku tersenyum dan mengusap rambut hitamnya. “Berikan kayu itu. Biar aku yang menulisnya.” Senyumnya mengembang menunjukkan betapa manisnya ia. Lalu tertulislah di sisi kanan bangku ini, ‘milik Genta dan Linda.'

Mataku terpejam dan kuhirup nafas dalam-dalam. Saatku membuka mata, ia masih berada di sana bermain dengan teman-temannya. Beberapa kali ia melihat ke arahku dengan senyumnya yang menawan. Sungguh, aku rasa siapa pun yang melihatnya tersenyum maka orang itu akan membalas senyumannya dengan senyuman terbaik yang ia miliki. Bagaimana pun suasana hati mereka pada saat itu, senyum itu tak mungkin tertahan untuk mengembang. Aku berani bertaruh untuk hal ini.

Kalau kalian berpikir malaikat hanya dapat kalian lihat saat di akhirat nanti, aku rasa kalian salah. Di dunia ini aku punya 3 sosok malaikat; orang tuaku dan adikku, Linda. Malaikat terakhir hadir saat aku yakin bahwa aku tidak akan mempunyai adik. Harapan untuk memiliki sosok adik mulai sirna saat umurku menginjak satu dekade. Di saat aku mulai melupakan kehadiran sosok adik, Tuhan memberikan kejutan untukku. Ibu hamil lagi. Setelah penantian panjang, aku bisa melihatnya, aku dapat memegang tangannya yang mungil, di sebelah ibu yang bermandikan pilu pasca berjuang selama beberapa jam. Ku rasa ini merupakan bayaran yang setimpal setelah 12 tahun aku menunggu. Sosok malaikat terakhir di keluarga ini telah hadir di antara kami, ia Linda Stefani Arinka.

Kini aku berusia 21 tahun dan Linda 9 tahun. Tapi percayalah perkataan dan sikapnya tidak seperti yang kalian kira. Ia sering berucap atau bertingkah selayaknya orang seusiaku. Terkadang aku merasa ia bukanlah adikku, melainkan teman sebayaku. Seperti saat itu, tepat setelah hubunganku dengan  Aura -kekasihku yang terakhir, berakhir. 

--

Aku merasa kacau dan bahkan tidak bisa mengeluarkan air mata. Aku hanya dapat membongkar lemari kesalahanku dan menjejerkan satu persatu berkas kesalahan yang pernah kuperbuat. Aku menilik tiap berkas dan meratapinya. Aku duduk di pinggir ranjang dengan kepala tertunduk dan pikiran yang melayang jauh ke belakang melewati lorong ruang dan waktu. Kembali pada waktu aku dan Aura masih bersama serta apa saja yang kita telah kita lewati. Suka. Duka. Tawa. Tangis. Aku rasa tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain membiarkan diriku jatuh terlalu dalam pada lubang kehancuran. Sampai suara yang menenangkan itu menyadarkanku,

“Hei, kau baik-baik saja?” Aku mengangkat kepala dan menemukan Linda berdiri di ambang pintu kamarku sambil memeluk Molly, kucing persia kesayangannya. Ia menggunakan piyama bergambar Stitch, tokoh kartun yang ia suka. Ia nampak menggemaskan. Beban kesedihanku seakan terangkat secara perlahan kala melihat sosoknya.

“Ya, aku baik-baik saja.” Aku tersenyum walau aku tahu senyuman ini akan terlihat canggung. Aku hanya tak ingin terlihat bersedih di hadapannya. 

“Ayolah, aku rasa kita tak seharusnya berbohong. Ibu berkata begitu, juga dengan dirimu yang selalu mengingatkanku.” Aku tahu tak akan bisa mengelabuinya.

Ia berjalan ke arahku kemudian menaruh bokong kecilnya tepat di sampingku masih dengan Molly dalam pelukannya. “Biarku tebak. Hmm... Kak Aura?” Aku hanya bisa terdiam menatapnya. Ia tahu tebakannya benar. 

“Astaga! Ada apa? Apa kalian bertengkar lagi? Atau kalian hubungan kalian sudah berakhir?” 

“Empat kata terakhir,” jawabku. 

“Astaga! Apa penyebabnya? Bukan kah kalian sudah lama bersama? Astaga! Kau pernah bilang betapa baiknya ia. Kau pernah bilang betapa kau begitu mencintainya. Tapi kenapa? Astaga! Aku rasa kau adalah penyababnya! Benar, kan? Ini pasti ulahmu!” Baru 3 menit ia berada di sini tapi aku sudah merasa kesedihanku sudah meluap semua. Aku tak keberatan ia menyalahkanku. Aku hanya suka melihat reaksi histerisnya. Mengingatkanku saat pertama kali ia bertemu Molly di sebuah penampungan kucing, 

“Astaga, kak! Lihat betapa lucunya dia! Lihat sepertinya ia menyukaiku! Astaga! Dia sungguh menggemaskan, kak! Astaga! Bolehkah ia kita bawa pulang?” Setelah saat itu aku selalu berupaya menghiutng berapa kali ia mengucapkan kata ‘Astaga’ ketika tertarik dengan suatu hal. Nampaknya kata itu akan menjadi kata kesukaannya. Melihatnya bertingkah seperti itu saat ini seketika aku ingin mencubit kedua pipinya yang bulat dan benar-benar melupakan tentang Aura.

“Maukah kau berbagi denganku?” Ia merendahkan nada suaranya. Terdengar lembut dan menenangkan. Aku rasa aku tak punya pilihan lain. Ia begitu penasaran akan ceritaku sampai-sampai ia tak sadar kalau Molly sudah tak ada dipelukannya lagi.

Aku menceritakan segalanya. Aku pikir aku sudah kehilangan akal ketika menceritakan kisah cinta yang rumit kepada anak kecil yang bahkan belum genap berusia 10 tahun. Aku memang sering berbagi kisah dengannya -bahkan tentang Aura, tapi hanya bagian menyenangkan saja yang aku ceritakan, bukan segala permasalahan rumit seperti sekarang ini.

Tapi bukan Linda kalau tidak terus membuatku terpesona. Kali ini ia hanya diam dan berperan menjadi pendengar yang baik. Sangat baik menurutku. Aku bilang kepadanya bahwa hubungan kami -aku dan Aura, belakangan ini sedang tidak baik. Kami sering bertengkar bahkan untuk urusan remeh. Hingga tiba hari ini, hari dimana hubungan kami berakhir dan ini bukanlah akhir yang baik -aku tidak tahu apakah ada sisi baik dalam perpisahan. Kami bertengkar dan ia pergi dengan membawa kebencian terhadap diriku.

“Apa kesalahanmu?”

Aku katakan padanya bahwa aku telah berkhianat. Seketika aku mendapat respon yang tak terduga dari Linda. Ia mengepalkan telapak tangannya dan memukul lengan kiriku berulang kali dengan cepat. Kemudian setiap aku mengucapkan kata ‘berkhianat/khianat/menghianati’, Linda kembali memukulku. Aku menerima perlakuanya karena memang aku pantas menerima itu. Untuk anak seumuran Linda ia dapat merasakan betapa sakitnya dikhianati. Bahkan aku berpikir seharusnya Aura lah yang ada di sini dan memukulku habis-habisan.

“Aku ingin bertemu dengannya,” terdengar seperti ancaman, namun ancaman yang menggemaskan.

“Siapa? Aura?”

“Bukan, perempuan yang membuat kau menghianati kak Aura.” 

Satu alisku terangkat, “untuk apa?”

“Aku ingin mengatakan bahwa tidak baik berpacaran dengan orang yang masih memiliki kekasih.” 

Aku tersenyum mendengarnya. “Aku tidak berpacaran dengannya.”

“Maksudmu? Bagaimana bisa? Tadi kau bilang kau menghianatinya?” Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. 

“Aku hanya menghianati hati kita berdua.” Linda terlihat bingung, lalu  aku katakan bahwa aku telah jatuh cinta pada orang lain dan bukan berarti aku telah berpacaran dengannya. Aku katakan padanya aku terhipnotis pada pesonanya, tenggelam pada kepribadiannya, dan suaranya bagaikan melodi yang indah bagi pendengaranku. Linda hanya diam saja.

“Aku rasa kau mengenalnya dengan baik,” tebakannya benar lagi. Ia memang punya insting penebak yang kuat. 

“Ya, aku mengenalnya tapi kurasa belum sebaik itu. Aku belum pernah berada dalam kehidupannya.” Aku melemparkan pandanganku ke arah yang berlawanan dari Linda. Menatap kosong ke arah meja belajar di sebelah kanan ranjang ini.

“Apakah itu berarti ia lebih baik dari kak Aura?”

Aku menoleh padanya dan tersenyum, “Aku tak tahu, sungguh, aku tak tahu.” Seketika Linda memelukku. Perubahan sikapnya sungguh tak bisa diduga.

“Kak, ikuti apa yang menurut hati kak Genta katakan,” aku terdiam. Aku tak tahu ia akan mengatakan hal demikian, “aku tahu kak Aura, Kak. Aku tahu dia baik dan begitu perhatian sama kak Genta. Kalau ada perempuan yang menurut kakak lebih baik dari kak Aura dan kak Genta lebih memilih dia, maka teguhkan pilihan kakak. Kejar dia, Kak,” tanpa sadar air mataku mulai mengalir membasahai pipi, “tapi aku gak mau ada ‘dia’ yang lain lagi. Aku gak mau kak Genta terus nyakitin hati perempuan, Kak, karena Linda juga perempuan. Kak, kalau nanti kak Genta akhirnya bersama dia, tolong sayang dan jaga dia seperti kakak sayang dan menjaga aku, Kak.” 

Aku memeluknya erat dan berucap lirih, “iya adikku sayang, pasti. Terima kasih.”

--

Air mataku mengalir dengan deras. Aku membuka mata dan mendapati mimik heran dari mereka yang lewat di depanku. Mereka hanya tak mengerti perasaan seperti apa yang melandaku saat ini. Kuusap air mata karena pandanganku mulai tertutup oleh bulir-bulir air. Aku masih di sini. Di bangku taman tua di sebelah selatan komedi putar. Duduk dengan Molly dipelukanku, memandang ke arah komedi putar. Ia tak ada di sana. Ia memang sudah tak pernah lagi ke sana. Bukan karena tak mau, tapi ia tak bisa. Linda sudah tak bisa bermain. Linda sudah tak ada. Maksudku, ia sudah tak ada di antara kami. Ia, malaikat kecil kami, telah dipanggil pulang ke rumah-Nya. Aku rasa Ia merindukan sosok malaikat seperti Linda sehingga memanggilnya pulang sebegitu cepat.

Mengingatnya tak pernah tak ada tangis. Kehadirannya sangat singkat. Bahkan penantianku akan kehadiran sosoknya lebih lama dari umurnya saat ia tiada. Linda kecil ingin bermain dengan Molly, dan ketika kucing itu lolos dari pelukannya dan berlari ke jalanan, Linda mengejarnya sampai ia tak sadar bahwa posisinya sudah sangat dekat dengan mobil yang saat itu sedang melintas.

Ia tak bisa diselamatkan. Pendarahan di kepalanya terlalu parah. Saat kejadian aku berada di kamarku, mengerjakan beberapa tugas kuliah dan menolak ajakannya untuk bermain. Insiden itu merupakan pukukan telak untukku. Aku merasa bersalah karena tak berada di dekatnya saat... Saat kejadian itu. Aku merasa gagal menjadi kakak. Bahkan aku merasa hidupku pun sudah berakhir.

Tak ada lagi tawanya yang riang. Tak ada lagi suaranya yang begitu nyaring didengar. Tak ada lagi kejutan yang ia perlihatkan kepada kami, kepadaku. Tak ada lagi yang histeris dan merengek ketika melihat apapun yang berkaitan dengan Stitch ketika kami berada di mall. Meskipun ia sudah punya barang itu di rumah, tapi ketika ia melihatnya dipajang di etalase mall ia selalu ingin membawanya pulang -dengan paksaan tentunya. Tak ada lagi suara yang menenangkanku ketika aku sedang tertekan. Tak ada lagi kegiatan menghitung berapa kali ia mengucapkan kata ‘Astaga’ ketika ia tertarik dengan suatu hal. Semuanya hanya bisa hadir kembali diingatanku, ingatan keluarga kami. Bagaimana pun ini sudah merupakan ketetapan-Nya dan Linda selalu ada di hati kami. Di hati ku.

--

Kini aku 26 tahun dan Linda -seharusnya 14 tahun. Tentu ia akan menjadi gadis remaja yang menawan. Menjadi gadis terpandai di sekolahnya. Menjadi gadis yang punya banyak teman karena sifatnya yang ramah. Menjadi primadona bagi lelaki di sekolahnya dan aku akan menjadi kakak yang membantunya memilih siapa yang terbaik untuk bisa bersanding dengan dia. 

Aku masih di sini. Duduk di bangku taman tua di sebelah selatan komedi putar. Kini, bangku ini merupakan satu-satunya bangku di taman yang tak dicat ulang. Aku melarang petugas yang kala itu hendak mencat seluruh bangku di taman ini. Aku tak mau kenanganku dengan Linda -nama kami yang terukir di sisi kanan bangku ini, hilang begitu saja.

“Hei,” aku menoleh ke arah sumber suara dan tersenyum, “ini kopimu.”

Aku meraih apa yang diberikannya dan si pemilik suara duduk di sampingku.

“Semuanya baik-baik saja, sayang?”

“Ya, hanya sedikit mengenang beberapa kejadian di tempat ini.”

“Tempat ini akan selalu menyimpan kenangan untukmu.”

“Begitulah. Sekarang kita berharap agar taman ini tak pernah digusur.”

“Amin. Aku juga ingin menyaksikan anak kita tumbuh dan dapat bermain dengan ceria di sini.”
 
“Begitu pun denganku.” Ia memelukku dan aku mengecup keningnya. Ia Andrea, istriku. Kehadirannya di sisiku saat ini berkat campur tangan Linda dahulu, ketika ia mengatakan kepadaku untuk terus mengikuti apa kata hatiku dan memperjuangkannya. Aku memperjuangkan Andrea. Menjaga dan menyayanginya seperti aku menjaga dan menyayangi Linda.

“Sudah mau gelap, aku rasa sebaiknya kita pulang.” Andrea menyadarkanku.

Aku berdiri dan menatap ke arah komedi putar sekali lagi. Ada Linda di sana. Ia melambaikan tangannya ke arahku dan tertawa bahagia. Aku membalasnya dengan satu senyuman dan air mata. Andrea merangkulku dan berbisik, “ayo.”

Aku berjalan meninggalkan taman dengan mendorong kereta bayi. Bayi perempuan mungil nan sehat yang baru satu bulan lalu hadir di dunia dan membuat hari-hari kami lebih bermakna. Ia lah malaikat kecil kami dan kami sepakat menamainya sesuai dengan nama malaikatku dulu; Linda Stefani Arinka.

The End


Saturday, November 12, 2016

Rindu


google.com
Aku rindu pada hal-hal sederhana
ketika kita tertawa
tanpa tahu karena apa

Aku rindu pada hal-hal sederhana
ketika senyum mu tak kunjung tampak
tanpa tahu karena apa

Kita tak selalu berjalan seiringan
tapi Tuhan menggiring kita
hingga aku menyalahi kuasa-Nya
memisahkan jalan menuju parung kehancuran

Ada satu waktu kita menyukai rindu
bagaimana caranya,
ia mempermainkan perasaan
meluapkan gejolak ingin bertemu
pada waktu yang tak tentu

Ada satu saat kita membenci pertemuan
bagaimana caranya,
ia menghilangkan keberadaan rindu    
serta ia tak pernah sendirian
perpisahan setia menantinya

Kini,
rindu bukan apa yang kita suka
Mungkin aku akan,
menjadikannya sahabat
ketika,
sepi mengetuk pintu
hati yang pilu